Negara Saudi Pertama

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Emirat Diriyah)
Negara Saudi Pertama

Ad-Daulah As-Su'udiyah Al-Ula
الدولة السعودية الأولى
1727–1818
Bendera Arab Saudi
Lokasi Arab Saudi
Ibu kotaDiriyah
Bahasa yang umum digunakanBahasa Arab
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Imam 
• 17271765
Muhammad bin Saud
• 17651803
Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud
• 18031814
Saud bin Abdul Aziz bin Mohammad bin Saud
• 18141818
Abdullah bin Saud Al Saud
Sejarah 
• Persetujuan Diriyah
1727
1818
Kode ISO 3166SA
Didahului oleh
Digantikan oleh
Syekh Diriyah
Eyalet Habesh
Emirat Bani Khalid
ksrKekaisaran
Oman
Eyalet Mesir
Keimaman Mu'ammarid
ksrKekaisaran
Oman
Sekarang bagian dari Arab Saudi
 Uni Emirat Arab
 Qatar
 Bahrain
 Kuwait
 Oman
 Yaman
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Keemiran Raya Diriyah (Arab: إمارة الدرعية الكبرى), juga di terjemahkan sebagai Keemiran Dir'iyah dan juga dikenal sebagai Negara Saudi Pertama,[1] didirikan pada tahun 1727 (1139 H) ketika pemimpin agama Muhammad bin Abdul Wahhab dan kepala suku Muhammad bin Saud membentuk aliansi untuk mendirikan gerakan reformasi sosial keagamaan untuk menyatukan negara negara di semenanjung arabia.[2] Pada 1744, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud bersumpah untuk mencapai tujuan mereka.[3] Pada tahun 1818 Negara Saudi Pertama ini dihancurkan oleh pasukan Kesultanan Utsmaniyah yang berasal dari Mesir.

Sejarah berdirinya Kerajaan Saudi tidak terlepas dari peran 2 tokoh utama yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud. Kedua tokoh inilah yang menjadi pondasi berdirinya Kerajaan Arab Saudi.

Muhammad bin Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman dilahirkan tahun 1115 H atau 1703 M. Ia berasal dari sebuah keluarga yang sangat agamis. Bapaknya adalah seorang Qadhi (hakim syar’i) di Uyainah dan Huramila’, begitu pula Kakeknya Sulaiman adalah seorang ulama yang sempat memiliki sebuah karya tulis yang membahas sebuah permasalahan bertemakan ibadah haji. Di antara kakek-kakeknya yang kesekian yang terkenal sebagai seorang ulama pula adalah yang bernama Abdul Qadir bin Buraid salah seorang ulama Hambali. Begitu pula kakeknya Ahmad bin Muhammad bin Musrif pernah menjadi Qadhi di Najd.

Tumbuhnya ia dalam keluarga yang sangat perhatian dengan agama ini memberi pengaruh yang sangat besar terhadap keagamaan dan kepribadian ia . Pada usia 10 tahun atau kurang, ia telah menghafal Al Quran. Pada usia 13 tahun ia menikah. Sehingga kehidupannya semakin tenang dalam keadaan semangat menuntut ilmu tetap kokoh, sampai-sampai ayahnya terkagum-kagum dengan putranya. Bahkan ayahnya pernah mengatakan,” Sungguh aku banyak mengambil faedah ilmiah dari anakku.” Dalam keadaan ayahnya adalah seorang ulama.

Perkembangan keilmuan ia terus bertambah. Berbagai buku-bukunya baca. Sampai pada akhirnya ia mengikuti ibadah haji dan bertemu dengan para ulama di negeri Hijaz. Pada ibadah haji yang pertama ia begitu terkesan dengan perkumpulan kaum muslimin yang begitu banyak dan bertemu dengan beberapa ulama, diantaranya adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an Najdiy. Ia begitu terkesan dengan Syaikh bin Ibrahim An Najdiy ini sehingga ia pun banyak mengambil ilmu darinya.

Sepulang menunaikan ibadah haji, tumbuh rasa rindu ia kepada negeri Hijaz (Madinah dan Mekah) sehingga kemudian ia pun kembali ke Madinah untuk menuntut ilmu. Ia kembali bertemu dengan syaikh Abdullah bin Ibrahim An Najdiy. Syaikh Abdullah bin Ibrahim adalah seorang ulama yang sangat mumpuni terutama dalam bidang akidah dan sangat mengetahui keadaan negeri Uyainah, asal Muhammad bin Abdul Wahab. Ia pun sangat menekankan kepada Muhammad bin Abdullah Wahab untuk mempelajari bab tauhid dan akidah. Ia mengarahkan Muhammad bin Abdul Wahab muda untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim.

Suatu saat Syaikh Abdullah bin Ibrahim berkata kepada muridnya ini,” Maukah aku perlihatkan kepadamu persenjataan yang aku persiapkan? Mari masuk!” Maka masuklah Muhammad bin Abdul Wahab. Setelah masuk, maka terlihatlah sebuah perpustakaan yang besar yang berisi buku-buku yang begitu banyak. Ia berkata, “ Inilah senjata. Engkau harus mempelajari buku-buku ini!” Ini menunjukkan betapa semangatnya sang guru; di sisi lain ini juga menjadikan semakin kuat semangat Muhammad bin Abdul Wahab untuk terus menuntut ilmu.

Di Madinah, ia juga bertemu dengan Syaikh Muhammad Hayah al Sindiy seorang ulama hadis yang ahli di bidang hadis dan mempunyai beberapa karya di bidang hadis. Muhammad bin Abdul Wahab pun banyak mengambil ilmu dari Syaikh Muhammad Hayah al Sindiy. Setelah beberapa saat menuntut ilmu di Madinah kemudian ia pulang ke negerinya.

Akan tetapi keinginannya untuk menuntut ilmu belum lah pupus. Apalagi ketika melihat betapa banyak kemungkaran-kemungkaran yang terjadi di negerinya, menjadi tambah kuat keinginannya untuk melanjutkan menuntut ilmu. Maka ia pun melanjutkan perjalanan menuntut ilmu ke Bashrah. Di sana ia belajar dari beberapa guru di antaranya seorang ulama Syaikh Al Majmu’i.

Di Basrah ini pulalah ia menulis sebuah kitab yang kita kenal sebagai Kitabut Tauhid. Ia menulis kitab ini karena melihat kondisi Irak yang tidak jauh berbeda dengan keadaan di Najd yang saat itu banyak terjadi kesyirikan. Ia menulis kitab ini sebagai bentuk kecemburuan terhadap Islam dan kaum muslimin. Kecemburuan yang memunculkan upaya untuk membenarkan akidah kaum muslimin.

Setelah dari Bashrah ia pulang kembali ke negeri Najd. Sebelum kemudian kembali melanjutkan rihlahnya dalam menuntut ilmu ke negeri Ahsa’. Di sana ia belajar kepada Syaikh Abdullah bin Fairuz sebelum akhirnya pulang kembali ke Uyainah.

Uyainah dan Sekitarnya

Keadaan Uyainah dan sekitarnya ketika itu sangat memperihatinkan. Walaupun pada umumnya secara lahiriyah mereka adalah kaum muslimin akan tetapi pada kenyataannya perbuatan kesyirikan demikian merebak. Pada saat itu, ada sebuah kuburan yang sangat diagungkan yaitu kuburan Zaid bin Khaththab saudara Sayyidina Umar bin Khaththab. Zaid meninggal di daerah itu (Yamamah) pada saat berperang melawan Musailamah al Kadzab dan dimakamkan di sana. Akibat dari jauhnya kaum muslimin dari ilmu agama terutama ilmu tauhid maka kuburan ini saat itu menjadi kuburan yang sangat diagungkan.

Diterangkan oleh Al Ustadz Mas’ud An Nadwiy penulis kitab ‘Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab muslihun mazhlum muftara’ alaihi’ bahwa pada saat itu banyak terjadi kemungkaran di Jazirah Arab, dan ternyata di Najd memiliki kondisi yang lebih jelek dibandingkan daerah sekitarnya. Di daerah Jubailah kuburan Zaid bin Khaththab dijadikan tempat persembahan/ peribadahan. Di daerah Dir’iyyah banyak kubah-kubah di kuburan – yang katanya kuburan para sahabat- yang dijadikan tempat ibadah. Di daerah Huraimila demikian juga terdapat kuburan lain yang diagungkan dan diibadahi. Sedemikian rusaknya keadaan saat itu sampai-sampai jika ada seorang wanita yang tak kunjung mempunyai keturunan, akan datang ke kuburan-kuburan itu untuk berdoa meminta keturunan.

Kondisi yang seperti ini tentu sangat memprihatinkan Muhammad bin Abdul Wahab sehingga ia sangat berkeinginan untuk mengubah kondisi ini. Pada saat itu ia beserta orang tua dan anggota keluarga yang lain sempat pindah dari Uyainah ke Huraimila. Setelah ayahnya meninggal di Huraimila, maka ia pun pindah kembali lagi ke Uyainah. Pada saat itulah kemudian ia bertemu dengan penguasa Uyainah Usman bin Mu’ammar dan menawarkan kepadanya prinsip-prinsip dakwah Islam yang alhamdulillah kemudian disambut.

Bersama Penguasa Uyainah

Pertemuan Muhammad bin Abdul Wahab dan Penguasa Uyainah -Usman bin Ma’mar- melahirkan sinergi yang kuat. Maka mulai saat itulah terjadi ta’awun, kerjasama saling bantu-membantu berlandaskan syariat dalam dakwah antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan Usman bin Mu’ammar.

Terjadilah kegiatan amar ma’ruf nahi munkar berpadu antara ulama dan umara. Sampai kemudian mereka berhasil menghilangkan bangunan di kuburan Zaid bin Khaththab yang diibadahi. Hal ini tentu sesuai dengan perintah Rasulullah ketika suatu ketika bersabda kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib,

لَاتَدَعَتِمْثَالًاإِلَّاطَمَسْتَهُوَلَاقَبْرًامُشْرِفًاإِلَّاسَوَّيْتَهُ

“Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.”. [H.R. Muslim no. 2240, Kitab Al-Jana`iz, bab Al-Amr bi Taswiyatil Qabr] .

Maka ketika itulah ia bekerjasama dengan penguasa melaksanakan wasiat tersebut. Orang-orang yang mengagungkan kuburan tersebut menunggu-nunggu kecelakaan terjadi terhadapnya yang mereka yakini akan menimpa bagi siapa saja yang mengganggu kuburan tersebut. Namun, alhamdulillah khurafat mereka ini tidak terwujud. Ia dan para pengikutnya tetap dalam keadaan baik dan sehat.

Tujuan Dakwah Muhammad bin Abdul Wahab

Tujuan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab mencakup beberapa hal.

Yang pertama dan paling utama adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah inti dakwahnya. Dan itu pula lah inti dakwah para Rasul sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad .

Yang kedua, menolak kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya. Dan ini juga misi dakwah seluruh para Rasul. Di dalam Al Quran begitu banyak tersebutkan kisah para Rasul yang memberantas kesyirikan dan juga peringatan keras langsung oleh Allah terhadap segala bentuk kesyirikan.

Yang ketiga, menutup segala hal yang akan mengarahkan kepada kesyirikan. Ini juga mengikuti Rasulullah yang banyak memberikan perintah untuk menutup segala jalan yang dapat mengantarkan kepada segala bentuk kesyirikan, sebagaimana ia melarang para sahabatnya untuk mengatakan “maasya Allah wa syi’ta”(dengan kehendak Allah dan kehendakmu (wahai Rasulullah)) dan memerintahkan untuk menggantinya dengan ucapan “maasya Allah wahdahu (dengan kehendak Allah semata)”. Ini merupakan upaya untuk menutup jalan-jalan yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan.

Yang keempat, memerangi kebid’ahan-kebid’ahan. Dan ini juga merupakan wasiat Rasulullah sebagaimana dalam sabdanya, “wa iyyakum wal muhdatsatil umuur” ( dan berhati-hatilah kalian dari perkara bid’ah).

Ujian pun Datang

Saat ia di Uyainah bersama Penguasa Uyainah melaksanakan syariat Islam semaksimal mungkin, pernah ada suatu kejadian. Datang seorang wanita yang mengaku berbuat zina meminta untuk ditegakkan hukuman syar’i atasnya. Namun demikian, Muhammad bin Abdul Wahab tidak lantas bersegera mengiyakan. Akan tetapi menunggu pengakuannya hingga keempat kalinya. Setelah itu pun ia masih memperjelas dan menegaskan lagi keadaan wanita tersebut, apakah ia wanita yang sehat pikirannya ataukah tidak, apakah ia melakukannya karena pemerkosaan ataukah tidak. Setelah semuanya jelas, bahwa wanita itu dalam keadaan sehat akalnya dan tidak dalam keadaan dipaksa, maka tidak ada jalan lain, kecuali ketentuan syariat harus ditegakkan. Maka kemudian ditegakkanlah hukum rajam kepada wanita tersebut oleh penguasa.

Yang dilakukannya ini adalah mencontoh persis apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Yakni pada saat Rasulullah didatangi seorang wanita yang mengaku berzina, ia pun menunggu pengakuannya hingga yang keempat, kemudian diperjelaskan keadaannya apakah dalam keadaan sehat pikirannya dan tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa, baru kemudian dilakukan hukum rajam. Demikian pulalah yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. Maka yang ia lakukan ini, sama sekali bukan merupakan pelanggaran syariat dan bid’ah, apalagi ia tidak melakukannya sendirian akan tetapi atas persetujuan dan bersama penguasa. Bahkan yang mengeksekusi pertama kali adalah penguasa Uyainah, Usman bin Mu’amar sendiri.

Akan tetapi ujian dari Allah pun datang tak terelakkan. Semuanya terjadi dengan kesempurnaan hikmah-Nya. Peristiwa penegakkan hukum tersebut sangat memicu penentangan dari berbagai pihak karena pada waktu itu banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui hukum agama akibat tersebarnya kejahilan (kebodohan). Hingga puncaknya kemudian datang tekanan dari penguasa Ahsa’.

Sedemikian kuatnya tekanan ini menyebabkan penguasa Uyainah tidak kuasa menahannya. Akhirnya, karena tekanan ini, Usman bin Mu’ammar kemudian memintanya untuk meninggalkan Uyainah. Maka kemudian dengan berjalan kaki, ia pindah ke daerah Dir’iyyah.

Negeri Dir’iyyah

Alasan ia memilih daerah Dir’iyyah antara lain adalah karena daerah tersebut merupakan daerah yang terlepas dari pengaruh kekuasaan dari daerah lain. Dir’iyyah tidak seperti Uyainah yang terpengaruh oleh kekuasaan Ahsya’, sehingga terkadang tidak kuasa ketika mendapat tekanan darinya. Dir’iyyah merupakan daerah yang independen (berdiri sendiri) sehingga tidak ada kekhawatiran untuk mendapat tekanan dari daerah mana pun. Alasan yang kedua adalah bahwa penguasa Dir’iyyah yakni keluarga al Su’ud terkenal sebagai keluarga penguasa yang sangat memerhatikan ilmu syar’i dan menerapkannya. Alasan yang lain adalah karena ada beberapa muridnya sendiri yang bertempat tinggal di sana, sehingga sekiranya ada tempat persinggahan sementara.

Sesampainya di Dir’iyaah, maka disambutlah ia oleh murid-muridnya di sana dan tinggal di salah sebuah rumah di antara mereka. Maka tinggallah ia di sana memberikan pengajaran kepada murid-muridnya tanpa menampakkan diri. Dengan izin dari Allah, ternyata dari saudara-saudara Amir Dir’iyyah saat itu -Muhammad bin Su’ud- ada yang telah mengenal ia sebelumnya dengan perkenalan yang baik. Sehingga yang demikian ini menyebabkan mereka berupaya mempertemukan Muhammad bin Abdul Wahab dengan Amir Dir’iyyah. Akhirnya melalui keluarga Amir Dir’iyyah bertemulah kedua tokoh tersebut.

Maka disampaikanlah oleh Muhammad bin Abdul Wahab tentang berbagai permasalahan syar’i sehingga pemaparan tersebut disambut baik oleh Muhammad bin Su’ud. Hal ini dapat dipahami karena penguasa Dir’iyyah tergolong cukup memiliki perhatian terhadap permasalahan diniyyah. Sehingga pada saat itu terjadilah kesepakatan untuk saling membela Islam di antara keduanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1157 H / 1744 M. Boleh dibilang saat itulah titik awal munculnya Kerajaan Arab Saudi.

Pemimpin Negara Saudi Pertama[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

Majalah Qudwah Edisi 30 Vol 3 1436H/2015M
  1. ^ James Norman Dalrymple Anderson. The Kingdom of Saudi Arabia. Stacey International, 1983. p. 77.
  2. ^ "Reform Movements" (PDF). Shodhganga. Diakses tanggal 17 October 2017. 
  3. ^ Madawi Al Rasheed (2010). A History of Saudi Arabia. ISBN 978-0-521-74754-7. 
  4. ^ "Imam" disini berarti pemimpin politik.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]