Hipatia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox philosopher
{{Infobox philosopher
| image =
| image = Alfred Seifert Hypatia.jpg
| caption = Lukisan yang menggambarkan Hipatia karya [[Alfred Seifert]] dari tahun 1901. Sebagai catatan, tidak ada gambar Hipatia dari zaman kuno, dan lukisan ini merupakan hasil imajinasi senimannya.
| caption =
| name = Hipatia
| name = Hipatia
| birth_date = Antara tahun 350–370 M
| birth_date = Antara tahun 350–370 M

Revisi per 23 Maret 2019 05.09

Hipatia
Lukisan yang menggambarkan Hipatia karya Alfred Seifert dari tahun 1901. Sebagai catatan, tidak ada gambar Hipatia dari zaman kuno, dan lukisan ini merupakan hasil imajinasi senimannya.
LahirAntara tahun 350–370 M
Aleksandria, Mesir Romawi, Kekaisaran Romawi Timur
MeninggalMaret 415 M (umur 44–65)
Aleksandria, Provinsi Mesir, Kekaisaran Romawi Timur
EraFilsafat kuno
KawasanFilsafat Barat
AliranNeoplatonisme
Minat utama

Hipatia[a] (lahir antara 350 dan 370; meninggal tahun 415) adalah seorang filsuf, astronom, dan matematikawan Helenistik yang tinggal di kota Aleksandria, Mesir pada zaman Kekaisaran Romawi. Ia merupakan tokoh neoplatonisme di Aleksandria, dan di kota tersebut ia mengajarkan ilmu filsafat dan astronomi. Ia adalah matematikawan wanita pertama yang kehidupannya tercatat dengan cukup baik dalam sejarah. Hipatia dikenal pada masanya sebagai seorang guru besar dan penasihat yang bijak. Ia pernah menulis sebuah komentar untuk Aritmatika karya Diofantos yang terdiri dari tiga belas volume, dan komentar ini telah disisipkan ke dalam naskah aslinya. Ia juga pernah membuat komentar untuk risalah Apolonios dari Perga mengenai irisan kerucut, tetapi komentar ini sudah hilang ditelan zaman. Banyak ahli modern yang meyakini bahwa Hipatia mungkin pernah menyunting naskah Almagest karya Ptolemaios berdasarkan judul komentar ayahnya, Theon, untuk Buku III Almagest.

Hipatia dikenal karena pernah membuat astrolab dan hidrometer, tetapi ia bukanlah penemu kedua alat ini, dan alat-alat ini sendiri sudah digunakan jauh sebelum ia lahir. Walaupun Hipatia adalah seorang pagan, ia toleran terhadap orang-orang Kristen dan memiliki banyak murid Kristen, termasuk Sinesios yang kelak akan menjadi Uskup Ptolemais. Sumber-sumber kuno mencatat bahwa Hipatia disukai oleh orang pagan maupun Kristen, dan ia sangat berpengaruh di kalangan elit politik Aleksandria. Menjelang akhir hayatnya, Hipatia menasihati Orestes, prefek Romawi di Aleksandria yang saat itu tengah bersaing secara politik dengan Uskup Aleksandria Sirilus. Muncul desas desus bahwa Hipatia adalah orang yang membuat Orestes tidak bisa rukun dengan Sirilus, dan pada Maret 415, Hipatia dibunuh oleh gerombolan Kristen yang dipimpin oleh seorang lektor yang bernama Petrus.

Pembunuhan Hipatia mengguncang kekaisaran dan mengubah sosoknya menjadi seorang "martir untuk filsafat", sehingga tokoh-tokoh neoplatonis sesudahnya (seperti Damaskios) menjadi semakin ganas dalam mengkritik agama Kristen. Pada Abad Pertengahan, Hipatia dijadikan simbol kebajikan Kristen, dan para ahli meyakini bahwa legenda Santa Katarina dari Aleksandria dilandaskan pada kisah Hipatia. Pada Abad Pencerahan, Hipatia menjadi simbol perlawanan terhadap agama Katolik. Pada abad ke-19, karya-karya sastra Eropa (khususnya novel Hypatia karya Charles Kingsley dari tahun 1853) meromantisasi Hipatia sebagai "orang Helen terakhir". Pada abad ke-20, Hipatia juga menjadi simbol dalam pergerakan hak wanita. Semenjak akhir abad ke-20, mulai muncul penggambaran yang mengait-ngaitkan kematian Hipatia dengan kehancuran Perpustakaan Aleksandria, meskipun faktanya perpustakaan itu sudah tidak lagi ada pasa masa kehidupan filsuf wanita tersebut.

Kehidupan

Keluarga dan tahun kelahiran

Ayah Hipatia, Theon dari Aleksandria, dikenal sebagai penyunting teks Euklides yang berjudul Elemen,[1][2][3] seperti yang bisa dilihat di sini dalam bentuk naskah dari abad ke-9.

Hipatia adalah putri dari matematikawan Theon dari Aleksandria (lahir sekitar tahun 335 – meninggal sekitar tahun 405 M).[4][5][6] Menurut sejarawan klasik Edward J. Watts, Theon adalah kepala mazhab "Mouseion", dengan nama yang meniru Mouseion dari zaman Helenistik.[5] Mazhab Theon bersifat eksklusif, sangat bergengsi, dan secara doktrin beraliran konservatif.[7] Theon menolak ajaran Iamblikos[7] dan mungkin bangga akan ajaran neoplatonisme "murni" seperti yang diajarkan oleh Plotinos.[7] Walaupun ia dianggap sebagai matematikawan terkemuka pada masanya,[1][3][8] karya-karya Theon di bidang matematika jika dilihat dengan kaca mata modern dapat dianggap "kecil",[1] "biasa",[3] dan "sangat tidak orisinil".[8] Pencapaian utamanya adalah dalam memproduksi edisi baru Elemen karya Euklides, dan ia telah memperbaiki kesalahan penulisan yang telah dilakukan dalam proses penyalinan selama hampir 700 tahun.[1][2][3] Elemen yang disunting oleh Theon menjadi buku teks yang paling sering digunakan selama berabad-abad[2][9] dan menggantikan hampir semua edisi lain.[9]

Sementara itu, sama sekali tidak ada keterangan mengenai ibu kandung Hipatia.[10][11][12] Theon mempersembahkan komentarnya di dalam Buku IV Almagest karya Ptolemaios kepada seseorang yang bernama Epifanios, dan ia menyebutnya "anakku sayang",[13][14] sehingga terdapat kemungkinan bahwa ia adalah saudara kandung Hipatia.[13] Namun, dalam bahasa Yunani, istilah teknon yang dipakai oleh Theon tidak selalu berarti "anak lelaki" dalam artian biologis, tetapi hanya digunakan untuk mengungkapkan hubungan seperti ayah-anak yang mendalam.[13][14] Tahun kelahiran Hipatia sendiri masih diperdebatkan, dengan usulan tahun yang berkisar dari 350 hingga 370 M.[15][16][17] Banyak cendekiawan yang telah mengikuti penalaran Richard Hoche bahwa Hipatia lahir sekitar tahun 370.[18][19] Menurut deskripsi di dalam Kehidupan Isidoros karya sejarawan neoplatonis Damaskios (kelahiran sekitar tahun 458 – kematian sekitar tahun 538) yang kini sudah hilang (tetapi masih tersimpan di dalam lema mengenai Hipatia di dalam Suda, sebuah ensiklopedia Romawi Timur dari abad ke-10), Hipatia hidup pada masa kekuasaan Kaisar Arkadius.[18][19] Hoche berpendapat bahwa cara Damaskios menggambarkan kecantikan Hipatia menyiratkan bahwa ia berumur maksimal 30 tahun pada masa itu, dan tahun 370 itu 30 tahun sebelum pertengahan tahun kekuasaan Arkadius.[18][19] Di sisi lain, hipotesis bahwa ia lahir tahun 350 didasarkan pada tulisan Ioannes Malalas (lahir sekitar tahun 491 – meninggal tahun 578), yang menyebut Hipatia sebagai wanita tua pada masa kematiannya pada tahun 415.[17] Robert Penella sendiri berpendapat bahwa kedua hipotesis ini tidak memiliki dasar yang kuat, dan tahun kelahiran Hipatia sebaiknya tetap dibiarkan kosong daripada harus menduga-duga.[18]

Karier

Hipatia adalah seorang neoplatonis.[7] Namun, seperti ayahnya, ia menolak ajaran Iamblikos dan mendukung neoplatonisme "asli" yang dikemukakan oleh Plotinos.[7] Mazhab Aleksandria saat itu dikenal akan filsafatnya,[15] dan Aleksandria dianggap sebagai pusat filsafat kedua di dunia Yunani-Romawi setelah Athena.[15] Hipatia mengajar siswa dari berbagai kawasan Mediterania.[20] Menurut Damaskios, ia menyampaikan ceramah mengenai tulisan Plato dan Aristoteles.[21][22][23][24] Ia juga mengatakan bahwa Hipatia berjalan di Aleksandria sembari mengenakan tribon (semacam jubah yang dikaitkan dengan para filsuf) dan ia memberikan ceramah kepada umum secara impromptu.[25][26][27]

Salah satu dari tujuh surat Sinesios kepada Hipatia, hasil cetakan tahun 1553.

Menurut Watts, terdapat dua ragam utama neoplatonisme yang diajarkan di Aleksandria pada akhir abad keempat.[28] Yang pertama adalah neoplatonisme religius yang sangat pagan dan diajarkan di Serapeum; aliran ini sangat dipengaruhi oleh ajaran Iamblikos.[28] Ragam kedua adalah aliran yang lebih moderat dan tidak terlalu berpolemik. Aliran yang didukung oleh Hipatia dan ayahnya[29] ini dilandaskan pada ajaran Plotinos.[29] Walaupun Hipatia sendiri adalah seorang pagan, ia toleran terhadap orang Kristen,[30][31] bahkan semua muridnya yang tercatat dalam sejarah beragama Kristen.[32] Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Sinesios dari Kirene,[33][15][34][35] yang kemudian menjadi Uskup Ptolemais (kini di Libya timur) pada tahun 410.[36][35] Setelah menjadi uskup, ia masih bertukar surat dengan Hipatia,[37][34][35] dan surat-suratnya saat ini dipakai oleh sejarawan untuk mengetahui kiprah Hipatia.[34][38][39][35][40] Terdapat tujuh surat dari Sinesios kepada Hipatia yang masih ada hingga kini,[35][34] tetapi tidak ada satu pun surat dari Hipatia kepada Sinesios yang telah ditemukan.[35] Di dalam sebuah surat yang ditulis sekitar tahun 395, Sinesios menulis kepada temannya, Herkulianos, bahwa Hipatia adalah "... seseorang yang sangat terkenal, reputasinya sungguh luar biasa. Kita telah melihat dan mendengar sendiri dirinya dengan terhormat membicarkaan misteri-misteri filsafat."[34]

Sejarawan Kristen Sokrates dari Konstantinopel, yang merupakan orang yang sezaman dengan Hipatia, mendeskripsikan sosok filsuf wanita tersebut di dalam karyanya, Sejarah Keuskupan:[10]

Terdapat seorang wanita di Aleksandria yang bernama Hipatia, putri filsuf Theon, yang telah membuat pencapaian dalam bidang sastra dan ilmu pengetahuan hingga melampaui semua filsuf pada zamannya. Sebagai penerus mazhab Plato dan Plotinos, ia menjelaskan asas-asas filsafat kepada para pendengarnya, dan banyak dari mereka yang datang dari jauh untuk belajar darinya. Berkat penguasaan diri dan keluwesan yang telah ia peroleh dari pengembangan pikiran, ia tidak jarang muncul di muka umum di hadapan para pejabat. Ia juga tidak malu saat mendatangi perkumpulan lelaki. Karena semua lelaki semakin mengaguminya berkat martabat dan kebajikannya yang luar biasa.[21]

Sejarawan Kristen lain yang sezaman dengan Hipatia adalah Filostorgios, dan ia menulis bahwa Hipatia lebih unggul dari ayahnya dalam bidang matematika.[34] Sementara itu, ahli leksikografi Hesikios dari Aleksandria mencatat bahwa Aleksandria juga merupakan seorang astronom yang sangat berbakat seperti ayahnya.[34][41] Damaskios menulis bahwa Hipatia "amat cantik dan rupawan",[42][43] tetapi tidak ada hal lain yang diketahui mengenai penampilan fisiknya,[44] dan juga tidak ada gambar Hipatia dari zaman kuno yang telah ditemukan.[45] Damaskios mengatakan bahwa Hipatia tetap perawan seumur hidup,[46][47] dan ketika salah satu laki-laki yang datang ke ceramahnya mencoba merayunya, Hipatia menenangkan nafsu di diri lelaki tersebut dengan memainkan alat musik lira.[48][43][b] Ketika lelaki itu masih tetap mencoba mendekatinya, Hipatia menolaknya[50][48][43] dengan menunjukkan kain yang sudah dicemari darah menstruasi, dan ia pun berkata "Ini yang sesungguhnya kamu cintai, anak muda, tetapi kamu tidak mencintai kecantikan itu sendiri."[50][48][43][22] Damaskios juga menceritakan bahwa lelaki muda itu sangat trauma sampai-sampai ia langsung berhenti menginginkannya.[50][48][43]

Sejarawan matematika Michael A. B. Deakin berpendapat bahwa menstruasi yang dialami Hipatia merupakan bukti bahwa ia berselibat,[51][52] karena ia mengklaim bahwa pada zaman kuno, siklus menstrual pertama biasanya muncul pada masa ketika wanita masuk usia menikah dan lebih terlambat bila dibandingkan dengan para wanita di negara-negara maju saat ini.[51][52] Mengingat saat itu tidak ada metode pengendalian kelahiran yang terandalkan,[51][52] Deakin meyakini bahwa menstruasi merupakan hal yang jarang bagi wanita yang tidak berselibat.[51][52] Namun, klaim ini dibantah oleh ahli Mesir Kuno Charlotte Booth.[53] Ia menegaskan bahwa teks-teks Firaun menyebut soal amenorea, yaitu tidak terjadinya pendarahan haid pada wanita dengan usia yang seharusnya mengalaminya,[52] dan rumah-rumah di Mesir pada zaman Helenistik memiliki ruangan di bawah tangga yang disebut "ruangan wanita" yang dipakai khusus bagi wanita untuk bernaung saat mereka sedang menstruasi.[52] Kedua hal ini tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan hipotesis Deakin bahwa menstruasi itu "jarang terjadi".[53] Selain itu, siklus menstrual pertama pada zaman Mesir Kuno maupun pada zaman sekarang berlangsung pada kisaran waktu yang sama, yang berubah hanyalah usia menikah untuk wanita.[53] Maka dari itu, Booth menganggap menstruasi yang dialami Hipatia bukan bukti bahwa ia berselibat, tetapi justru menunjukkan "femininitas dan bahkan kesuburan".[54]

Kematian

Latar belakang

Gambar dari Kronik Dunia Aleksandria yang menggambarkan Paus Teofilos dari Aleksandria yang memegang Injil di satu tangannya dan berdiri dengan jaya di atas Serapeum pada tahun 391 M[55].

Dari tahun 382 hingga 412, orang yang menjabat sebagai Uskup Aleksandria adalah Teofilos.[56] Teofilos sangat menentang neoplatonisme Iamblikos,[56] dan ia menghancurkan Serapeum pada tahun 391.[57][58] Walaupun begitu, Teofilos menoleransi mazhab Hipatia dan tampaknya ia menganggap Hipatia sebagai sekutunya.[10][59][56] Teofilos mendukung murid Hipatia, Sinesios,[60][10] dan Sinesios sendiri menerangkan Teofilos dengan penuh kekaguman dan kesukaan di dalam surat-suratnya.[61][59] Teofilos juga mengizinkan Hipatia membina hubungan erat dengan para pejabat Romawi dan tokoh-tokoh politik penting lainnya.[56] Hipatia sendiri sangat populer di kalangan rakyat Aleksandria dan memiliki pengaruh politik yang besar salah satunya berkat toleransi dari Teofilos.[62]

Teofilos meninggal secara mendadak pada tahun 412.[56] Ia telah mendidik keponakannya, Sirilus,[63] tetapi Teofilos masih belum mengangkatnya sebagai penerus.[63] Maka meletuslah perebutan kekuasaan antara pendukung Sirilus dengan saingannya, Timotius.[64] Sirilus berhasil menang dan mulai menghukum mereka yang mendukung Timotius;[64] ia menutup gereja-gereja kaum Noviantis yang telah mendukung Timotius dan juga menyita harta benda mereka.[64] Pengikut Hipatia tampaknya tidak percaya dengan uskup baru ini ,[61][59] seperti yang ditunjukkan oleh fakta bahwa di dalam semua surat-suratnya, Sinesios hanya pernah menulis satu surat untuk Sirilus, dan ia memperlakukannya sebagai orang yang tidak berpengalaman dan tersesat.[61] Di dalam suratnya yang dialamatkan kepada Hipatia pada tahun 413, Sinesios meminta kepadanya untuk menjadi perantara bagi dua individu yang terkena dampak perselisihan di Aleksandria,[65][66][67] dan ia mengatakan, "Anda selalu memiliki kekuasaan, dan Anda bisa membawa kebaikan dengan menggunakan kekuasaan itu."[65] Ia juga mengingatkan Hipatia tentang ajarannya bahwa seorang filsuf neoplatonik harus memperkenalkan standar moral tertinggi dalam kehidupan politik dan bertindak demi kepentingan rakyat.[65]

Pada tahun 414, Sirilus menutup semua sinagoga di Aleksandria, menyita semua harta benda orang Yahudi, dan mengusir mereka semua dari kota tersebut.[64] Orestes (prefek Romawi di Aleksandria, teman dekat Hipatia,[10] dan juga baru masuk Kristen)[68][10][69] dibuat murka oleh tindakan Sirilus dan ia mengirim sebuah laporan yang sangat menyerang sang uskup kepada kaisar.[64][70][10] Konflik semakin memanas dan kerusuhan pun meletus. Sekelompok imam Kristen yang berada di bawah wewenang Sirilus (disebut parabalani) hampir membunuh Orestes.[64] Sebagai hukumannya, Orestes memerintahkan agar Amonios (biarawan yang memulai kerusuhan) disiksa sampai mati di muka umum.[64][71][72] Sirilus mencoba menyatakan Amonios sebagai martir,[64][71][73] tetapi orang Kristen di Aleksandria tidak menyukainya,[71][74] karena Amonios dibunuh akibat hasutannya dan bukan karena imannya.[71] Tokoh-tokoh Kristen Aleksandria melakukan campur tangan dan memaksa Sirilus untuk membatalkan keinginannya.[64][71][74] Walaupun begitu, perselisihan Sirilus dengan Orestes masih berlanjut.[75] Orestes seringkali meminta nasihat Hipatia,[76][77] karena ia disukai oleh kaum pagan dan Kristen.[78] Ia juga belum pernah terlibat dalam konflik,[78] dan ia dikenal sebagai orang yang bijak.[78]

Namun, Sirilus dan sekutunya mencoba merusak nama baik Hipatia.[79][80] Sokrates Skolastikos menyebut desas desus yang menuduh Hipatia sebagai dalang yang membuat Orestes tidak dapat berdamai dengan Sirilus.[77][80] Desas-desus lain yang menyebar di kalangan Kristen Aleksandria dapat ditemui dalam tulisan Kronik karya Uskup Koptik dari abad ketujuh Ywhna dari Nikiû,[28][80] yang mengatakan bahwa Hipatia menjalankan praktik-praktik setan dan secara sengaja menghambat upaya gereja untuk meluruskan Orestes:[81][82][80]

Dan pada hari-hari itu muncul seorang filsuf wanita di Aleksandria, seorang pagan bernama Hipatia, dan ia berbakti pada sihir, astrolab, dan alat musik, dan ia memperdaya banyak orang dengan tipu daya setannya. Dan gubernur kota amat menghormatinya; karena [Hipatia] telah memperdayanya dengan sihir. Dan [Orestes] tidak lagi ke gereja seperti yang biasa ia lakukan... Dan ia tidak hanya melakukan hal ini, tetapi ia juga menarik banyak pengikut kepada [Hipatia], dan ia sendiri menerima para kafir di rumahnya.[81]

Ilustrasi karya Louis Figuier dalam Vies des savants illustres, depuis l'antiquité jusqu'au dix-neuvième siècle dari tahun 1866, yang menunjukkan bagaimana penulis buku tersebut membayangkan peristiwa serangan terhadap Hipatia.

Pembunuhan

Menurut Sokrates Skolastikos, pada masa Prapaskah pada Maret 415, gerombolan Kristen yang dipimpin oleh seorang lektor yang bernama Petrus menyerang kereta kuda Hipatia saat ia sedang pulang ke rumah.[83][84][85] Mereka menyeretnya ke dalam sebuah bangunan yang disebut Kaisarion, yang sebelumnya pernah menjadi kuil pagan dan pusat kultus kekaisaran di Aleksandria sebelum akhirnya diubah menjadi gereja.[85][83][78][85] Di tempat tersebut, gerombolan ini menelanjangi Hipatia dan membunuhnya dengan menggunakan ostraka,[83][86][87][88] yang dapat diterjemahkan menjadi "genteng atap" atau "kerang tiram".[83] Damaskios menambahkan bahwa mereka juga mencongkel bola matanya.[89] Mereka memotong-motong tubuhnya[83][89][88] dan menyeret anggota-anggota tubuhnya ke sebuah tempat yang disebut Cinarion, dan di situ jasad Hipatia dibakar.[83][89][88] Menurut Watts, tindakan ini sejalan dengan tradisi orang Aleksandria yang mengangkut jenazah "penjahat terkeji" ke luar batas kota untuk dibakar sebagai lambang pemurnian kota.[89][90] Walaupun Sokrates Skolastikos tidak pernah menyebutkan secara jelas siapa pembunuh Hipatia, mereka diduga adalah anggota parabalani.[91] Christopher Haas menolak dugaan ini dan berpendapat bahwa para pembunuhnya kemungkinan adalah "kerumunan awam Aleksandria".[92]

Sokrates Skolastikos menggambarkan pembunuhan Hipatia sebagai sebuah peristiwa yang terjadi atas dasar politik,[93] dan ia sama sekali tidak menyebutkan peranan kepercayaan pagan yang dianut oleh Hipatia.[93] Malah ia mengatakan bahwa Hipatia "menjadi korban kecemburuan politik yang kuat pada saat itu. Karena ia sering berbicara dengan Orestes, muncul kabar di kalangan warga Kristen bahwa [Hipatia] adalah orang yang menghalangi perukunan Orestes dengan uskup."[83][94] Sokrates Skolastikos dengan tegas mengutuk tindakan gerombolan itu dan menyatakan, "Tidak ada lagi yang lebih jauh dari semangat Kekristenan daripada pembiaran pembantaian, perkelahian, dan tindakan semacam itu."[83][95][90]

Matematikawan Kanada Ari Belenkiy mengklaim bahwa Hipatia mungkin terlibat dalam kontroversi sehubungan dengan penanggalan hari Paskah pada tahun 417 dan ia dibunuh ketika ia sedang melakukan pengamatan astronomi.[96] Namun, pakar sejarah klasik seperti Alan Cameron dan Edward J. Watts menolak klaim ini dan menekankan bahwa sama sekali tidak ada bukti yang menopang pernyataan Belenkiy.[97][98]

Dampak

Kematian Hipatia mengguncang kekaisaran;[99][28] selama berbad-abad, filsuf dipandang sebagai sosok yang tak dapat disentuh walaupun sedang terjadi kekerasan di kota-kota Romawi,[99] dan pembunuhan seorang filsuf wanita oleh para gerombolan dianggap sebagai suatu hal yang "amat berbahaya dan mengacaukan".[99] Walaupun tidak ada bukti nyata yang benar-benar mengaitkan Sirilus dengan pembunuhan Hipatia,[28] konon ia adalah orang yang telah memerintahkan pembunuhan tersebut.[77][28] Jika Sirilus memang tidak pernah mengeluarkan perintah semacam ini, kampanye hitamnya terhadap Hipatia telah mengakibatkan peristiwa ini.[28] Tindakan Sirilus membuat khawatir Dewan Aleksandria,[28] dan dewan tersebut mengirim utusan ke Konstantinopel.[28] Para penasihat Theodosius II melancarkan penyelidikan untuk menentukan apakah Sirilus terlibat dalam peristiwa pembunuhan ini atau tidak.[95]

Setelah dilakukannya penyelidikan ini, kaisar Honorius dan Theodosius II mengeluarkan sebuah maklumat pada musim gugur tahun 416 yang mencoba melepaskan parabalani dari wewenang Sirilus dan menyerahkannya kepada Orestes.[95][28][100][101] Maklumat ini juga menyatakan bahwa parabalani tidak boleh menghadiri "pertunjukan umum apapun" atau masuk ke "ruang pertemuan sebuah dewan kota atau ruang pengadilan".[102] Maklumat ini juga sangat mempersulit proses perekrutan anggota baru dengan membatasi jumlah maksimal anggota parabalani menjadi lima ratus.[101] Sirilus sendiri konon berhasil lolos dari hukuman yang lebih berat dengan menyuap salah satu pejabat Theodosius II.[95] Walaupun begitu, Watts berpendapat bahwa pembunuhan Hipatia semakin memuluskan upaya Sirilus untuk menguasai Aleksandria.[103] Hipatia merupakan sosok yang menyatukan para pendukung Orestes dalam menghadapi Sirilus,[28] dan tanpa adanya Hipatia, gerakan perlawanan dengan cepat sirna.[28] Dua tahun sesudahnya, Sirilus membatalkan hukum yang menyerahkan kendali parabalani kepada Orestes,[103] dan pada awal dasawarsa 420-an, Sirilus telah mendominasi Dewan Aleksandria.[103]

Karya

Hipatia telah digambarkan sebagai sosok yang mahir dalam segala hal,[104] tetapi kemungkinan ia lebih berperan sebagai guru dan komentator alih-alih penemu.[105][106][10][107] Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hipatia pernah menerbitkan karyanya sendiri mengenai filsafat,[108] dan tampaknya ia juga tidak pernah membuat penemuan matematika yang mengguncang para ilmuwan.[105][106][10][107] Para cendekiawan pada masa Hipatia memang terbiasa menyimpan karya-karya klasik mengenai matematika dan merumuskan komentar untuk mengembangkan argumen mereka alih-alih menerbitkan karya sendiri.[105][109][110] Terdapat kemungkinan pula bahwa penutupan Mouseion dan penghancuran Serapeum telah mendorong Hipatia untuk mencurahkan segala upayanya untuk melestarikan buku-buku matematika dan memastikan agar buku-buku tersebut dapat dibaca murid-muridnya.[108] Ensiklopedia Suda membuat pernyataan yang salah bahwa semua tulisan Hipatia sudah hilang ditelan zaman,[111] tetapi para ahli modern telah menemukan beberapa tulisan yang mungkin adalah karyanya.[111] Para ahli lazim menemui ketidakpastian semacam ini saat mengkaji para filsuf wanita dari zaman kuno.[112] Hipatia menulis dalam bahasa Yunani, yang merupakan bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar orang terdidik di kawasan Mediterania Timur pada saat itu.[15] Pada zaman kuno, astronomi dianggap bersifat matematis.[113] Selain itu, pada masa itu juga tidak ada perbedaan antara matematika dengan numerologi atau astronomi dengan astrologi.[113]

Menyunting Almagest

Hipatia pernah menyunting Buku III Almagest karya Ptolemaios,[114][115][116] yang mendukung model geosentris seperti yang digambarkan di dalam diagram ini.[117][115]

Hipatia pernah menyunting naskah Buku III Almagest karya Ptolemaios.[114][115][116] Sebelumnya para ahli pernah menduga bahwa Hipatia hanya sekadar merevisi komentar Theon untuk buku ketiga Almagest,[118] sesuai dengan judulnya "Komentar oleh Theon dari Aleksandria mengenai Buku III Almagest karya Ptolemaios, edisi yang direvisi oleh putriku Hipatia, sang filsuf".[118][119] Namun, berdasarkan hasil analisis terhadap judul komentar-komentar karya Theon lainnya dan judul-judul serupa dari zaman tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa Hipatia tidak membenarkan komentar ayahnya, tetapi naskah dari Almagest itu sendiri.[118][120] Hipatia diduga telah bersumbangsih terhadap ilmu pengetahuan dengan membuat metode yang lebih baik untuk algoritme pembagian bersusun yang diperlukan untuk melakukan perhitungan astronomi.[117] Ptolemaios sendiri mengembangkan model geosentris, yaitu model yang menyatakan bahwa Matahari mengelilingi Bumi.[117] Dalam Almagest, Ptolemaios mencetuskan masalah pembagian untuk menghitung jumlah derajat yang dilalui oleh Matahari dalam satu hari saat mengorbit Bumi.[117] Dalam komentar awalnya, Theon mencoba memperbaiki perhitungan pembagian Ptolemaios.[117] Dalam naskah yang disunting oleh Hipatia, ia merincikan sebuah metode tabel.[117] Metode tabel ini mungkin merupakan "tabel astronomis" yang dikembangkan oleh Hipatia menurut sumber-sumber sejarah.[117] Sementara itu, sejarawan klasik Alan Cameron menambahkan bahwa terdapat kemungkinan Hipatia tidak hanya menyunting Buku III, tetapi semua sembilan buku Almagest yang masih ada hingga kini.[115]

Tulisan-tulisan sendiri

Hipatia pernah menulis komentar untuk risalah Apolonios dari Perga mengenai irisan kerucut,[22][121][122] tetapi komentar ini sudah hilang ditelan zaman.[121][122]

Hipatia menulis sebuah komentar untuk Aritmatika karya Diofantos yang terdiri dari tiga belas volume dan ditulis sekitar tahun 250 M.[22][123][8][124] Karya Diofantos ini menjabarkan lebih dari 100 soal matematika, dan jawabannya disusun dengan menggunakan aljabar.[125] Selama berabad-abad, para ahli mengira bahwa komentar Hipatia untuk karya ini sudah hilang.[111] Hanya volume satu Aritmatika yang masih ada dalam bahasa Yunani.[126][8][122] Walaupun begitu, empat volume lainnya masih ada hingga kini berkat terjemahan ke dalam bahasa Arab yang dibuat sekitar tahun 860.[8][124] Naskah Arabnya mengandung tambahan-tambahan yang tidak ada dalam naskah berbahasa Yunani,[8][124] termasuk pemastian terhadap contoh-contoh Diofantos dan soal-soal tambahan.[8]

Cameron mengatakan bahwa kemungkinan besar sumber tambahan ini merupakan karya Hipatia,[8] karena ia adalah satu-satunya penulis kuno yang diketahui pernah menulis sebuah komentar untuk Aritmatika,[8] dan isi yang ditambah juga menggunakan metode yang sama dengan ayahnya, Theon.[8] Orang pertama yang menarik kesimpulan bahwa isi tambahan dalam naskah-naskah Arab merupakan karya Hipatia adalah seorang ahli dari abad ke-19 yang bernama Paul Tannery.[121][127] Pada tahun 1885, Sir Thomas Heath menerbitkan terjemahan pertama Aritmatika dalam bahasa Inggris.[126] Heath berpendapat bahwa naskah Aritmatika yang masih ada sebenarnya merupakan edisi yang dipakai oleh Hipatia untuk mengajarkan murid-muridnya.[126] Menurut Mary Ellen Waithe, Hipatia memakai algoritme pembagian yang tidak biasa (dalam sistem bilangan seksagesimal yang menjadi standar pada masa itu), sehingga memudahkan para ahli untuk menentukan bagian naskah mana yang ditulis Hipatia.[121]

Konsensus ini telah dipertentangkan oleh Wilbur Knorr, seorang sejarawan Matematika[8] yang berpendapat bahwa materi tambahan yang disisipkan "sangat rendahan sehingga tidak membutuhkan wawasan matematika yang sesungguhnya", dan menurutnya orang yang menambahkan materi ini kemungkinan "memiliki pemikiran yang biasa-biasa saja... berlawanan dengan pengakuan-pengakuan dari zaman kuno mengenai mutu Hipatia yang mumpuni sebagai filsuf dan matematikawan."[8] Cameron menolak argumen ini dan menyatakan bahwa "Theon juga memiliki reputasi yang tinggi, tetapi karyanya yang masih ada dianggap 'sangat tidak orisinil'."[8] Cameron juga bersikeras bahwa "Karya Hipatia mengenai Diofantos adalah apa yang kita sebut edisi sekolah untuk saat ini, yang dirancang untuk murid-murid dan bukan untuk matematikawan profesional."[8]

Hipatia juga menulis sebuah komentar untuk karya Apolonios dari Perga mengenai irisan kerucut,[22][121][122] tetapi komentar ini sudah hilang ditelan zaman.[121][122] Ia juga pernah menyusun sebuah "Kanon Astronomis",[22] yang diyakini merupakan edisi baru Tabel-tabel Berguna karya Ptolemaios atau mungkin adalah komentar untuk Almagest.[128][129] Berdasarkan hasil pembacaan secara saksama bila dibandingkan dengan penyisipan dalam karya Diofantos, Knorr mengusulkan bahwa Hipatia mungkin juga pernah menyunting Pengukuran Lingkaran karya Archimedes, serta sebuah teks anonim yang membahas figur-figur isometrik dan sebuah naskah yang kelak digunakan oleh John dari Tynemouth dalam karyanya mengenai pengukuran bola oleh Archimedes.[130] Dibutuhkan kemampuan matematika yang sangat tinggi untuk membuat Kanon Astronomis atau komentar mengenai karya Apolonios.[105] Oleh sebab itu, sebagian besar sejarawan saat ini berkeyakinan bahwa Hipatia adalah salah satu matematikawan terbaik pada masanya.[105]

Mitos penemuan

Hipatia dikenal karena telah membuat sebuah astrolab datar,[131] mirip dengan yang ditunjukkan dalam gambar di atas (yang merupakan sebuah astrolab dari abad ke-11).

Salah satu surat yang dikirim oleh Sinesios menyebutkan bahwa Hipatia pernah mengajarkannya cara membuat sebuah astrolab datar perak untuk dihadiahkan kepada seorang pejabat.[131][40][132][133] Astrolab adalah sebuah alat yang dipakai untuk menghitung tanggal dan waktu berdasarkan posisi bintang dan planet.[131][134][135] Alat ini juga dapat dipakai untuk memprediksi posisi bintang dan planet pada tanggal tertentu.[131][134][135] "Astrolab datar" adalah jenis astrolab yang memakai teknik proyeksi stereografik untuk memproyeksikan langit-langit pada bidang datar, berbeda dengan bola armilari yang berbentuk seperti bola dunia.[117][134] Bola armilari berukuran besar dan biasanya dijadikan hiasan,[134] sementara astrolab datar dapat dibawa ke berbagai tempat untuk melakukan pengukuran.[134]

Pernyataan Sinesios telah menimbulkan kesalahpahaman bahwa Hipatia adalah penemu astrolab datar,[25][136] padahal benda ini sudah digunakan paling tidak 500 tahun sebelum Hipatia dilahirkan.[136][131][40][137] Hipatia mungkin belajar cara membuat alat ini dari ayahnya, Theon,[117][132][134] yang telah menulis dua risalah mengenai astrolab: salah satunya berjudul Laporan mengenai Astrolab Kecil dan yang lainnya adalah kajian bola armilari dalam Almagest karya Ptolemaios.[134] Risalah Theon kini sudah hilang ditelan zaman, tetapi keberadaannya diketahui oleh sejarawan berkat Uskup Siria Severus Sebokht (575–667), yang menerangkan isinya di dalam risalahnya sendiri mengenai astrolab.[134][138] Hipatia dan Theon mungkin juga pernah mempelajari Planisphaerium karya Ptolemaios yang menerangkan perhitungan-perhitungan yang diperlukan untuk membuat sebuah astrolab.[139] Kata-kata yang dipilih oleh Sinesios menunjukkan bahwa Hipatia tidak merancang atau membangun astrolab itu sendiri, tetapi hanya menjadi pemandu dan pengajar dalam proses pembuatannya.[3]

Di dalam suratnya yang lain, Sinesioes meminta kepada Hipatia untuk membuatkan sebuah "hidroskop" (alat yang kini dikenal dengan nama hidrometer) untuk menentukan kepadatan cairan.[136][140][132][141] Akibat permintaan ini, muncul klaim bahwa Hipatia adalah penemu hidrometer.[136][142] Namun, Sinesios menjelaskan alat ini dengan amat mendalam, sehingga terdapat kemungkinan bahwa Hipatia belum pernah tahu soal alat tersebut,[143][144] dan Sinesios mungkin percaya bahwa Hipatia mampu membuatnya dari deskripsi tersebut.[143] Walaupun para penulis modern sering menyebut Hipatia sebagai penemu berbagai macam alat,[143] klaim-klaim ini tidak berdasar.[143] Booth menyimpulkan, "Reputasi Hipatia pada zaman modern sebagai filsuf, matematikawan, astronom, dan penemu mekanik tidaklah sebanding dengan bukti yang masih ada mengenai pencapaiannya. Reputasi ini dilandaskan pada mitos atau kabar burung dan bukan bukti. Antara itu, atau kita semua kehilangan semua bukti yang dapat memperkuatnya."[142]

Tinggalan sejarah

Zaman Kuno

Hipatia bukanlah penganut pagan terakhir, dan ia juga bukan filsuf neoplatonis yang tersisa.[145][146] neoplatonisme dan paganisme masih tetap ada selama berabad-abad setelah kematiannya.[145][146] Booth menambahkan bahwa ada banyak sekali balai ceramah baru yang dibangun di Kom el Dikka, Aleksandria, tak lama setelah kematian Hipatia, yang berarti bahwa filsafat masih diajarkan di sekolah-sekolah Aleksandria.[147] Nyatanya neoplatonisme masih berkembang di kawasan Mediterania timur selama 200 tahun sesudahnya, dan filsuf-filsuf seperti Hierokles dari Aleksandria, Ioannes Filoponos, Simplikios dari Kilikia, dan Olimpiodoros yang Muda masih melakukan pengamatan astronomi, mengajarkan ilmu matematika, dan menulis komentar-komentar panjang mengenai karya Plato dan Aristoteles.[145][146] Booth bahkan mengatakan bahwa Hipatia bukanlah filsuf neoplatonis wanita terakhir.[147] Sejumlah tokoh neoplatonis wanita sesudahnya adalah Aedesia, Asklepigenia, dan Theodora dari Emesa.[147]

Di sisi lain, menurut Watts, Hipatia tidak memiliki penerus, pasangan, ataupun keturunan,[95][148] kematiannya sendiri memicu reaksi keras terhadap ideologi yang dianutnya.[149] Hipatia menoleransi orang Kristen, mempunyai siswa Kristen, dan mau bekerja sama dengan para pemimpin Kristen dengan maksud untuk menunjukkan bahwa neoplatonisme dan Kekristenan bisa rukun dan saling membantu.[150] Namun, kegagalan para pemimpin Kristen untuk mengadili para pembunuh Hipatia menghancurkan angan-angan tersebut,[150] dan pada akhirnya tokoh neoplatonis seperti Damaskios menganggap uskup-uskup Kristen sebagai "sosok-sosok yang berbahaya, dengki, yang juga sepenuhnya tidak berfalsafah."[150] Hipatia dipandang sebagai "martir untuk filsafat",[150] dan pembunuhannya mendorong para filsuf untuk semakin menekankan aspek pagan dalam kepercayaan mereka[151] dan membantu menciptakan jati diri para filsuf sebagai kaum tradisionalis pagan yang terpisah dari rakyat yang beragama Kristen.[152] Oleh sebab itu, walaupun kematian Hipatia tidak memusnahkan filsafat neoplatonisme secara keseluruhan, Watts berpendapat bahwa peristiwa tersebut mengakhiri ragam neoplatonisme yang dianutnya.[153]

Tidak lama setelah kematian Hipatia, surat-surat anti-Kristen yang dipalsukan muncul dengan memakai namanya.[154] Damaskios "sangat ingin memanfaatkan skandal kematian Hipatia", dan menyalahkan Uskup Sirilus dan para pengikutnya sebagai dalang pembunuhan.[155][156] Bagian dari Kehidupan Isidoros karya Damaskios yang terabadikan oleh ensiklopedia Suda menyimpulkan bahwa Hipatia dibunuh akibat kecemburuan Sirilus akan "kebijaksanaan [Hipatia] yang melampaui segala batas dan khususnya dalam hal yang terkait dengan astronomi".[157][158] Deskripsi pembunuhan Hipatia yang ditulis oleh Damaskios adalah satu-satunya sumber sejarah yang secara langsung menyalahkan Uskup Sirilus.[158] Pada saat yang sama, Damaskios juga bukan pemuja Hipatia;[159][160] ia menggambarkannya sebagai sosok beraliran sinisisme yang berkelana.[159][160] Ia juga membandingkannya dengan gurunya sendiri, Isidoros dari Aleksandria,[159][160][161] dan mengatakan bahwa "Isidoros jauh lebih cemerlang daripada Hipatia, tidak hanya seperti lelaki lebih baik dari wanita, tetapi seperti bagaimana seorang filsuf sejati lebih baik daripada seorang geometer jelata."[162]

Abad Pertengahan

Ikon Santa Katarina dari Aleksandria di Biara Santa Katarina, Semenanjung Sinai, Mesir. Legenda Santa Katarina diduga terilhami dari kisah Hipatia.[163][164][165]

Kisah mengenai kematian Hipatia mirip dengan nasib martir Kristen di Aleksandria yang diseret di jalanan selama penindasan oleh Kaisar Decius pada tahun 250.[166][167][168] Aspek-aspek lain dalam kehidupan Hipatia juga ada yang sesuai dengan pribadi seorang martir dalam agama Kristen, terutama keperawanannya.[163][169] Pada Abad Pertengahan Awal, orang Kristen mencampur kisah kematian Hipatia dengan para martir korban Kaisar Decius,[163][169] dan kisahnya juga melandasi legenda Santa Katarina dari Aleksandria, seorang martir perawan yang konon amat bijaksana dan terdidik.[163][164][165] Catatan sejarah pertama yang menyebut keberadaan kultus Santa Katarina berasal dari abad kedelapan, sekitar tiga ratus tahun setelah kematian Hipatia.[170] Terdapat salah satu kisah mengenai Santa Katarina yang berhadapan dengan lima puluh filsuf pagan yang ingin memurtadkannya,[171][165] tetapi Santa Katarina malah berhasil membuat mereka beriman kepada Kristus berkat kemampuan berbicaranya.[163][165] Legenda lain mengklaim bahwa Santa Katarina adalah murid Athanasius dari Alexandria.[167]

Ensiklopedia Suda dari Romawi Timur menceritakan dua kisah kehidupan Hipatia yang berbeda.[172] Sebelas baris pertama berasal dari satu sumber dan sisanya diambil dari Kehidupan Isidoros karya Damaskios.[173] Kebanyakan dari sebelas baris pertamanya kemungkinan berasal dari Onomatolos karya Hesikios,[173] tetapi beberapa bagian tidak diketahui asal usulnya, termasuk klaim bahwa Hipatia adalah "istri Isidoros sang Filsuf" (kemungkinan Isidoros dari Aleksandria).[22][173][54] Watts menyatakan bahwa klaim ini amat membingungkan, karena Isidoros dari Aleksandria lahir jauh sesudah kematian Hipatia, sementara tidak ada filsuf lain pada zaman Hipatia yang diketahui memiliki nama seperti itu.[174][175] Selain itu, klaim ini juga bertentangan dengan pernyataan Damaskios yang dikutip di rincian yang sama mengenai keperawanan Hipatia.[174] Watts menduga bahwa seseorang mungkin salah mengartikan kata gynē yang dipakai oleh Damaskios untuk mendeskripsikan Hipatia dalam Kehidupan Isidoros, karena kata ini dapat berarti "wanita" atau "istri".[176]

Cendekiawan Romawi Timur Fotios (c. 810/820–893) memasukkan tulisan Damaskios mengenai Hipatia dan tulisan Sokrates Skolastikos di dalam karyanya yang bertajuk Bibliotheke.[176] Fotios mengomentari kemasyhuran Hipatia sebagai seorang cendekiawan, tetapi tidak menyebut soal kematiannya, kemungkinan karena ia merasa karya Hipatia lebih penting untuk dibahas.[177] Cendekiawan Eudokia Makrembolitissa (1021–1096), yang merupakan istri Kaisar Romawi Timur Konstantinos X Doukas, disebut sebagai "Hipatia kedua" oleh sejarawan Nikeforos Grigoras.[178]

Zaman modern awal

Cendekiawan deis asal Inggris dari abad ke-18, John Toland, menggunakan kisah kematian Hipatia untuk membuat polemik anti-Katolik. Ia mengubah rincian kematiannya dan menambah-nambah hal yang tidak ada dalam sumber-sumber sejarah yang ia pakai agar ia dapat menggambarkan Sirilus sebagai sosok yang amat buruk.[179][180]

Cendekiawan deis asal Inggris dari awal abad ke-18, John Toland, menggunakan kisah Hipatia untuk menulis sebuah risalah anti-Katolik yang berjudul Hypatia: Or the History of a most beautiful, most vertuous, most learned, and every way accomplish'd Lady; who was torn to pieces by the Clergy of Alexandria, to gratify the pride, emulation, and cruelty of their Archbishop, commonly, but undeservedly, stiled St. Cyril.[179][180] Toland mengubah ceritanya dan menambahkan unsur-unsur yang tidak ada dalam sumber-sumber sejarah untuk menjelek-jelekan Uskup Sirilus.[179][180] Pada tahun 1721, Thomas Lewis menulis sebuah tanggapan untuk membela sang uskup dengan judul The History of Hypatia, a most Impudent School-Mistress of Alexandria: Murder'd and torn to Pieces by the Populace, in Defence of Saint Cyril and the Alexandrian Clergy from the Aspersions of Mr. Toland.[179][181] Lewis menganggap tulisan Damaskios sangat tidak terandalkan karena penulisnya adalah "seorang kafir",[181] dan lalu ia mengatakan bahwa Sokrates Skolastikos adalah "seorang puritan" yang membenci Sirilus.[181]

Voltaire dalam karyanya yang berjudul Examen important de Milord Bolingbroke ou le tombeau de fantisme (1736) menafsirkan Hipatia sebagai sosok yang percaya akan "hukum alam rasional" dan "kemampuan budi manusia yang terbebas dari dogma",[179][105] dan ia juga menulis bahwa kematiannya adalah "pembunuhan bengis yang dilakukan oleh anjing-anjing bertonsur Sirilus, dengan gerombolan fanatik di bawah mereka".[179] Kemudian, dalam Dictionnaire philosophique (1772), Voltaire menggambarkan Hipatia sebagai seorang jenius yang beraliran deisme dan merupakan seorang pemikir bebas yang dibunuh secara keji oleh orang-orang Kristen yang dianggap bodoh dan salah paham.[182][105][183] Sebagian besar tulisan Voltaire malah mengabaikan sosok Hipatia itu sendiri[183] dan lebih banyak membahas apakah Sirilus bertanggung jawab atas kematian Hipatia atau tidak.[183] Sehubungan dengan pertanyaan ini, Voltaire membuat sebuah kesimpulan dengan pernyataan yang mencemooh, "Ketika seseorang menelanjangi seorang wanita cantik, hal itu dilakukan bukan untuk membantainya."[182][183]

Dalam magnum opusnya yang berjudul The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, sejarawan Inggris Edward Gibbon mencap Sirilus sebagai satu-satunya pemicu segala kejahatan di Aleksandria pada permulaan abad kelima,[182] dan ia juga menjadikan pembunuhan Hipatia sebagai bukti untuk memperkuat pernyataannya bahwa kebangkitan Kekristenan adalah satu-satunya penyebab kemerosotan Kekaisaran Romawi.[184] Ia juga membahas soal Sirilus yang masih dihormati sebagai santo, dan berkata bahwa "takhayul [Kristen] mungkin akan menebus darah perawan dengan lebih lambut, alih-alih pembuangan seorang santo."[185] Sebagai tanggapan terhadap tuduhan-tuduhan ini, para penulis Katolik dan beberapa tokoh Protestan Prancis bersikeras bahwa Sirilus sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Hipatia, dan menurut mereka Petrus sang Lektor adalah satu-satunya orang yang menjadi dalang.[183] Di tengah perdebatan yang sengit ini, sosok Hipatia cenderung diabaikan, karena debatnya lebih berfokus pada pertanyaan mengenai apakah Petrus sang Lektor bertindak sendiri atau memang mengikuti perintah Sirilus.[183]

Abad ke-19

Drama Hypatia, yang dipentaskan di Teater Haymarket pada Januari 1893, didasarkan pada novel karya Charles Kingsley.[186]
Foto Hypatia karya Julia Margaret Cameron dari tahun 1867, juga terilhami dari novel Charles Kingsley[186]

Pada abad ke-19, para penulis sastra Eropa menciptakan legenda Hipatia sebagai bagian dari gerakan Neo-helenisme, yaitu pergerakan yang meromantisasi orang-orang Yunani Kuno dan nilai-nilai mereka.[105] Maka orang-orang mulai tertarik dengan legenda Hipatia.[182] Ipazia ovvero delle Filosofie karya Diodata Saluzzo Roero pada tahun 1827 menyatakan bahwa Sirilus telah membuat Hipatia masuk Kristen, dan Hipatia dibunuh oleh seorang imam "pengkhianat".[187]

Dalam puisinya yang berjudul Hypatie pada tahun 1852 dan Hypathie et Cyrille pada tahun 1857, penyair Prancis Charles Leconte de Lisle menggambarkan Hipatia sebagai lambang "kebenaran" dan "kecantikan".[188] Puisi Hypatie menggambarkan Hipatia sebagai seorang wanita yang dilahirkan setelah masanya, sehingga ia adalah korban hukum sejarah.[185][189] Puisi Hypathie et Cyrille menggunakan penggambaran abad ke-18 bahwa Hipatia adalah korban kekejaman Kristen,[190][191] tetapi dengan tambahan bahwa Hipatia pernah mencoba dan gagal meyakinkan Sirilus bahwa neoplatonisme dan Kekristenan itu sama.[192][191] Sementara itu, novel karya Charles Kingsley dari tahun 1853 yang berjudul Hypatia; Or, New Foes with an Old Face awalnya hendak dijadikan risalah sejarah,[193][194] tetapi pada akhirnya malah menjadi roman khas pertengahan zaman Victoria dengan pesan-pesan yang sangat anti-Katolik.[193][194] Novel ini menggambarkan Hipatia sebagai sosok dengan "semangat Plato dan tubuh Afrodit."[195]

Novel Kingsley sangat populer;[196][197] novel ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa Eropa[197][198] dan masih terus dicetak pada akhir abad ke-19.[198] Novel ini menyebarkan citra Hipatia sebagai "orang Helen terakhir",[197] dan juga diadaptasi menjadi drama,[198] seperti drama yang ditulis oleh Elizabeth Bowers dan dipentaskan di Philadelphia pada tahun 1859 dengan Bowers sendiri sebagai bintangnya.[198] Pada tanggal 2 Januari 1893, adaptasi drama Hypatia yang ditulis oleh G. Stuart Ogilvie dan diproduksi oleh Herbert Beerbohm Tree[199][200] mulai dipentaskan di Teater Haymarket di London.[199][200] Peranan utama awalnya diberikan kepada Julia Neilson, dan drama ini diiringi dengan musik karya Hubert Parry.[199][200] Novel ini juga mengilhami karya-karya seni visual,[186] seperti foto Hipatia sebagai seorang wanita muda karya fotografer Julia Margaret Cameron pada tahun 1867[186] serta sebuah lukisan karya Charles William Mitchell dari tahun 1885 yang menggambarkan Hipatia sedang telanjang di hadapan altar gereja.[186]

Pada saat yang sama, para filsuf dan ilmuwan Eropa juga menggambarkan Hipatia sebagai tokoh terakhir yang mewakili ilmu pengetahuan dan pemikiran bebas sebelum terjadinya "kemerosotan abad pertengahan yang panjang".[105] Pada tahun 1843, penulis Jerman Wilhelm Gottlieb Soldan dan Heinrich Heppe berpendapat dalam karya mereka yang berjudul Geschichte der Hexenprocesse bahwa Hipatia mungkin adalah "penyihir" terkenal pertama yang dihukum oleh Kristen.[201]

Abad ke-20

Seorang aktris (kemungkinan Mary Anderson) berperan dalam drama Hypatia sekitar tahun 1900. Kemiripan antara gambar ini dengan gambar karya Gaspard di kanan menyiratkan bahwa mugnkin saja gambar ini mengilhami Gaspard.[202]
Gambar Hipatia yang dibuat oleh Jules Maurice Gaspard, awalnya merupakan ilustrasi untuk biografi fiksi karya Elbert Hubbard dari tahun 1908, kini menjadi salah satu gambar Hipatia yang paling sering direproduksi.[203][204][205]

Pada tahun 1908, penulis Amerika Serikat Elbert Hubbard menerbitkan buku biografi Hipatia sebagai bagian dari seri Little Journeys to the Homes of Great Teachers.[203][206] Walaupun ia mengklaim karyanya sebagai sebuah biografi, buku ini hampir sepenuhnya bersifat fiksi.[203][206] Di dalamnya, Hubbard mengarang kisah soal program olah raga yang menurutnya dibuatkan oleh Theon untuk putrinya, yaitu "memancing, berkuda, dan mendayung".[207] Ia mengklaim bahwa Theon memberikan wejangan kepada Hipatia, "Jagalah hakmu untuk berpikir, karena berpikir salah itu lebih baik daripada tidak berpikir sama sekali."[207] Hubbard juga menceritakan bagaimana Hipatia muda mendatangi Athena dan menjadi murid filsuf Plutarkos.[207] Ini semua hanyalah fiksi[207] dan sama sekali tidak pernah disebutkan di dalam sumber sejarah kuno.[207] Hubbard bahkan mengarang kutipan-kutipan dengan sudut pandang rasionalis yang diklaim sebagai kutipan Hipatia.[207] Meskipun begitu, gambar di sampul buku ini (yaitu gambar Hipatia sebagai seorang wanita muda yang cantik karya seniman Jules Maurice Gaspard) telah menjadi gambar Hipatia yang paling dikenal dan paling sering direproduksi.[203][204][205]

Pada masa yang sama, Hipatia dijadikan tokoh feminisme,[208] dan kehidupan dan kematiannya mulai dilihat dari sudut pandang pergerakan hak wanita.[208] Penulis Carlo Pascal mengklaim pada tahun 1908 bahwa pembunuhan Hipatia merupakan tindakan anti-feminis yang mengubah cara peradaban memperlakukan wanita dan mengakibatkan kemerosotan peradaban Mediterania pada umumnya.[209] Dora Russell, istri Bertrand Russell, menerbitkan sebuah buku dengan judul Hypatia or Woman and Knowledge pada tahun 1925 yang membahas ketimpangan dan pendidikan yang tidak memadai untuk wanita.[210] Kata pengantarnya menjelaskan mengapa ia memilih judul ini:[210] "Hipatia adalah seorang pengajar universitas yang dikecam oleh para petinggi gereja dan dicabik-cabik oleh orang Kristen. Mungkin nasib yang sama akan menimpa buku ini."[211] Kematian Hipatia dianggap simbolis oleh beberapa sejarawan. Contohnya, Kathleen Wider mengusulkan bahwa kematian Hipatia merupakan akhir Era Klasik,[212] sementara Stephen Greenblatt menyatakan bahwa pembunuhannya "menandai kehancuran kehidupan intelektual Aleksandria".[213] Di sisi lain, Christian Wildberg mengamati bahwa filsafat Helenistik masih berkembang pada abad ke-5 dan ke-6, dan mungkin hingga masa Kaisar Yustinianus I.[214][215]

Fabel perlu diajarkan sebagai fabel, mitos sebagai mitos, dan mukjizat sebagai khayalan puitis. Mengajarkan takhayul sebagai kebenaran adalah suatu hal yang paling buruk. Pikiran anak-anak menerima dan meyakininya, dan hanya melalui rasa sakit yang besar dan mungkin tragedi dapatlah ia dibebaskan darinya. Nyatanya, orang akan berjuang demi sebuah takhayul sama mudahnya dibanding demi sebuah kebenaran–bahkan sering lebih mudah lagi, karena takhayul begitu semu sehingga tidak dapat disentuh dan dibantah, sedangkan "kebenaran" hanyalah suatu sudut pandang, sehingga dapat diubah.

— Kutipan karangan yang dibuat seolah-olah merupakan kutipan Hipatia di dalam biografi fiktif karya Elbert Hubbard tahun 1908[207]

Informasi yang salah mengenai Hipatia terus menyebar pada akhir abad ke-20.[206] Walaupun biografi fiksi Hubbard dalam Little Journeys to the Homes of Great Teachers mungkin ditulis untuk anak-anak,[204] cendekiawan Lynn M. Osen menjadikannya sebagai sumber utama dalam artikel biografinya yang terkenal dari tahun 1974 mengenai Hipatia di dalam buku Women in Mathematics yang diterbitkan oleh MIT Press pada tahun 1974.[206] Begitu pula dengan Universitas Fordham yang memakai biografi Hubbard sebagai sumber utama dalam kelas mereka mengenai sejarah abad pertengahan.[206][203] Episode ketigabelas dan terakhir dari serial Cosmos: A Personal Voyage yang dibawakan oleh Carl Sagan di stasiun televisi PBS pada tahun 1980 juga menyebarkan kisah yang tidak benar mengenai kematian Hipatia, dan Sagan mengklaim bahwa peristiwa ini mengakibatkan pembakaran Perpustakaan Aleksandria oleh orang Kristen militan.[136] Nyatanya, walaupun orang Kristen yang dipimpin oleh Teofilos pernah menghancurkan Serapeum pada tahun 391, Perpustakaan Aleksandria sudah tidak ada lagi berabad-abad sebelum kelahiran Hipatia.[216]

Mengingat Hipatia adalah seorang cendekiawan wanita, ia menjadi teladan bagi wanita cerdas pada zaman modern,[208] dan ada dua jurnal feminis yang mengambil nama darinya:[208] jurnal Yunani Hypatia: Feminist Studies diluncurkan di Athena pada tahun 1984,[208] dan Hypatia: A Journal of Feminist Philosophy diluncurkan di Amerika Serikat pada tahun 1986.[208] Sejak tahun 1996, Yayasan Hypatia Trust di Britania Raya telah membuat sebuah perpustakaan dan arsip untuk mengumpulkan pencapaian-pencapaian wanita dalam bidang sastra, seni, dan ilmu pengetahuan.[211] Yayasan ini juga terkait dengan yayasan yang mendirikan "Hypatia-in-the-Woods" di negara bagian Washington yang merupakan tempat bagi para wanita untuk mencari ketenangan dan menghabiskan waktu untuk mengerjakan proyek-proyek.[211]

Seni berskala besar karya Judy Chicago yang bertajuk The Dinner Party memberikan sebuah meja kepada Hipatia.[217] Meja Hipatia dihiasi dengan rancangan Koptik[217] dan kepala seorang dewi Helenistik yang membentuk tulisan "H" di namanya.[209] Di sepanjang taplak mejanya, tampak dewi-dewi Helenistik lainnya yang menangisi kematian Hipatia.[209] Saat mendeskripsikan meja yang diberikan untuk Hipatia, Chicago mengatakan bahwa kerusuhan yang berujung pada pembunuhan Hipatia secara langsung diakibatkan oleh patriarki Romawi dan penganiayaan wanita,[218] dan menurutnya kerusuhan yang masih terjadi saat ini hanya dapat diakhiri dengan mengembalikan matriarki yang pernah ada pada mulanya.[218] Ia juga menganggap Sirilus sebagai dalang pembunuhan Hipatia[209] dan menyimpulkan bahwa semua tulisan Hipatia telah hangus terbakar di Perpustakaan Aleksandria.[209] Sementara itu, karya-karya sastra besar pada abad ke-20 yang menyebutkan Hipatia[219] meliputi À la recherche du temps perdu karya Marcel Proust dan The Dream of Scipio karya Iain Pears.[194]

Abad ke-21

Kisah fiksi mengenai Hipatia terus menerus dikembangkan oleh penulis dari berbagai negara.[220] Dalam novel karya Umberto Eco dari tahun 2002 yang berjudul Baudolino, tokoh pahlawannya jatuh cinta dengan seseorang yang setengah wanita, setengah satir, dan merupakan keturunan dari kelompok murid wanita Hipatia yang melarikan diri setelah guru mereka dibunuh.[221] Murid-murid ini mendirikan komunitas khusus wanita "yang mencoba melestarikan apa yang mereka pelajari dari guru mereka... [tinggal] terpisah dari dunia, untuk menemukan kembali apa yang benar-benar dikatakan oleh Hipatia."[221] Para wanita ini, yang bereproduksi melalui pembuahan dengan bantuan para satir, diberi nama Hipatia dan mereka semua pun disebut "hipatia-hipatia".[221] Sementara itu, novel karya Charlotte Kramer dari tahun 2006 yang berjudul Holy Murder: the Death of Hypatia of Alexandria menggambarkan Sirilus sebagai penjahat yang tidak ada sifat baiknya sama sekali.[222] Hipatia berulang kali digambarkan sebagai sosok yang cemerlang dan dicintai,[223] dan ia mempermalukan Sirilus dengan menunjukkan bahwa ia tahu lebih banyak soal Alkitab.[222] Novel Ki Longfellow yang berjudul Flow Down Like Silver (2009) menceritakan sebuah kisah yang menjelaskan alasan Hipatia mulai mengajar untuk yang pertama kalinya.[224] Novel Youssef Ziedan yang berjudul Azazeel (2012) mendeskripsikan pembunuhan Hipatia dari sudut pandang biarawan Hipa yang menyaksikan peristiwa tersebut.[225] Dalam novel The Plot to Save Socrates (2006) karya Paul Levinson dan sekuelnya, Unburning Alexandria dan Chronica, Hipatia ternyata adalah seorang penjelajah waktu dari Amerika Serikat abad ke-21.[226][227][228]

Film Agora dari tahun 2009 yang disutradarai oleh Alejandro Amenábar adalah film yang sangat mendramatisasi tahun-tahun terakhir Hipatia. Tokoh Hipatia di dalam film ini diperankan oleh Rachel Weisz.[216][229][230] Film yang bertujuan untuk mengkritik fundamentalisme Kristen ini[231] sangat berdampak terhadap pandangan publik mengenai Hipatia.[229] Tidak seperti adaptasi-adaptasi fiksi sebelumnya, Agora lebih menekankan penelitian-penelitian astronomi dan mekanika yang dilakukan oleh Hipatia alih-alih filsafatnya, dan ia menggambarkannya "lebih seperti Kopernikus dan tidak terlalu seperti Plato".[229] Film ini juga sangat menekankan aspek pembatasan yang diberlakukan oleh gereja terhadap wanita.[232] Di dalam salah satu adegannya, Hipatia dilecehkan oleh salah satu budak ayahnya yang baru masuk Kristen,[233] dan dalam adegan yang lain, Sirilus membacakan ayat dari 1 Timotius 2:8-12:9 yang melarang wanita mengajar.[233][234] Menjelang akhir film, Sinesios memperingati Orestes bahwa ia harus memutuskan pertemanannya dengan Hipatia agar ia tetap dapat beriman Kristiani.[233] Film ini juga menggambarkan Sirilus dan para biarawannya sebagai laki-laki berjenggot dengan penutup kepala dari kain hitam,[233] yang menyerupai gambaran Taliban dalam media.[233]

Terdapat banyak kesalahan dalam film ini.[216][233][235] Film Agora melebih-lebihkan pencapaian Hipatia,[136][235] dan juga menyebarkan gambaran yang salah bahwa Hipatia telah menemukan bukti untuk mendukung model heliosentrisme Aristarkos dari Samos,[136] padahal tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hipatia pernah mempelajari model tersebut.[136] Di film ini juga terdapat adegan yang didasarkan pada episode terakhir Cosmos yang menunjukkan gerombolan Kristen yang menyerbu Serapeum dan membakar semua gulungan di dalamnya,[216] meskipun mereka masih membiarkan gedungnya berdiri walaupun mereka sudah menjatuhkan beberapa patung.[216] Nyatanya, Serapeum kemungkinan tidak menyimpan satu gulungan pun saat gedungnya dihancurkan,[216][c] dan orang Kristen meratakan bangunannya dengan tanah.[216] Film ini juga menyiratkan seolah Hipatia adalah seorang ateis,[136] padahal hal ini bertentangan dengan sumber-sumber sejarah yang ada,[136] yang menggambarkan Hipatia sebagai seorang pengikut ajaran Plotinos yang setia, dan Plotinos sendiri mengajarkan bahwa tujuan filsafat adalah "penyatuan mistis dengan yang ilahi."[136]

Di bidang astronomi, nama Hipatia telah diabadikan sebagai nama sebuah asteroid sabuk utama yang ditemukan pada tahun 1884, yaitu 238 Hypatia. Kawah bulan Hypatia juga dinamai darinya, dan ada pula kawah bulan lain yang mengambil nama dari ayahnya, Theon. Selain itu, di sebelah utara kawah Hipatia, terdapat kenampakan Rimae Hypatia dengan panjang 180 km yang terbentang di Mare Tranquillitatis.[236]

Catatan

  1. ^ Yunani: Ὑπατία Hypatía, pelafalan Yunani Koine: [y.pa.ˈti.a]
  2. ^ Musik merupakan obat Pitagorean untuk menenangkan hawa nafsu,[48] dan kebiasaan ini berasal dari anekdot dari kehidupan Pitagoras yang mengatakan bahwa konon ketika ia bertemu dengan beberapa pemuda mabuk yang mencoba masuk rumah seorang wanita yang berbudi luhur, Pitagoras bernyanyi dengan khidmat dan "keinginan yang membara" pada benak para lelaki itu pun sirna.[49]
  3. ^ Sumber-sumber yang ditulis sebelum tahun 391 M menyebut perpustakaan-perpustakaan Serapeum dengan kala lampau, sehingga kemungkinan perpustakaannya memang sudah tidak ada saat Serapeum dihancurkan.

Rujukan

  1. ^ a b c d Deakin 2007, hlm. 107.
  2. ^ a b c Bradley 2006, hlm. 60.
  3. ^ a b c d e Booth 2017, hlm. 112.
  4. ^ Deakin, Michael (3 Agustus 1997). "Ockham's Razor: Hypatia of Alexandria". ABC Radio. Diakses tanggal July 10, 2014. 
  5. ^ a b Watts 2008, hlm. 191–192.
  6. ^ Dzielska 1996, hlm. 66–70.
  7. ^ a b c d e Watts 2008, hlm. 192.
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n Cameron 2016, hlm. 194.
  9. ^ a b Cameron, Long & Sherry 1993, hlm. 47.
  10. ^ a b c d e f g h i Booth 2017.
  11. ^ Watts 2017, hlm. 21.
  12. ^ Deakin 2007, hlm. 52.
  13. ^ a b c Deakin 2007, hlm. 53.
  14. ^ a b Dzielska 1996, hlm. 70.
  15. ^ a b c d e Castner 2010, hlm. 49.
  16. ^ Deakin 2007, hlm. 51–52.
  17. ^ a b Dzielska 1996, hlm. 68.
  18. ^ a b c d Penella 1984, hlm. 126–128.
  19. ^ a b c Hoche 1860, hlm. 435–474.
  20. ^ Ed. Michael Gagarin (2010). The Oxford Encyclopedia of Ancient Greece and Rome. Oxford University Press. hlm. 20. ISBN 9780195170726. 
  21. ^ a b Sokrates dari Konstantinopel. Ecclesiastical History. 
  22. ^ a b c d e f g "Suda online, Upsilon 166". www.stoa.org. 
  23. ^ Bregman 1982, hlm. 55.
  24. ^ Cameron, Long & Sherry 1993, hlm. 49–50.
  25. ^ a b Oakes 2007, hlm. 364.
  26. ^ Dzielska 1996, hlm. 56.
  27. ^ Haas 1997, hlm. 311.
  28. ^ a b c d e f g h i j k l Watts 2008, hlm. 200.
  29. ^ a b Watts 2008, hlm. 200–201.
  30. ^ Bregman 1982, hlm. 38–39.
  31. ^ Cameron, Long & Sherry 1993, hlm. 58–59.
  32. ^ Cameron, Long & Sherry 1993, hlm. 58.
  33. ^ Watts 2017, hlm. 67–70.
  34. ^ a b c d e f g Waithe 1987, hlm. 173.
  35. ^ a b c d e f Curta & Holt 2017, hlm. 283.
  36. ^ Watts 2017, hlm. 88.
  37. ^ Dzielska 1996, hlm. 28.
  38. ^ Banev 2015, hlm. 100.
  39. ^ Watts 2017, hlm. 88–90.
  40. ^ a b c Bradley 2006, hlm. 63.
  41. ^ Booth 2017, hlm. 141.
  42. ^ Booth 2017, hlm. 117.
  43. ^ a b c d e Deakin 2007, hlm. 62.
  44. ^ Booth 2017, hlm. 116–117.
  45. ^ Booth 2017, hlm. 116.
  46. ^ Booth 2017, hlm. 128–130.
  47. ^ Watts 2017, hlm. 74–75.
  48. ^ a b c d e Watts 2017, hlm. 75.
  49. ^ Riedweg 2005, hlm. 30.
  50. ^ a b c Booth 2017, hlm. 128.
  51. ^ a b c d Deakin 2007, hlm. 63.
  52. ^ a b c d e f Booth 2017, hlm. 129.
  53. ^ a b c Booth 2017, hlm. 129–130.
  54. ^ a b Booth 2017, hlm. 130.
  55. ^ Watts 2017, hlm. 60.
  56. ^ a b c d e Watts 2008, hlm. 196.
  57. ^ Wessel 2004, hlm. 49.
  58. ^ Watts 2017, hlm. 57–61.
  59. ^ a b c Deakin 2007, hlm. 82.
  60. ^ Watts 2017, hlm. 196.
  61. ^ a b c Dzielska 1996, hlm. 95.
  62. ^ Watts 2008, hlm. 195–196.
  63. ^ a b Watts 2008, hlm. 196–197.
  64. ^ a b c d e f g h i Watts 2008, hlm. 197.
  65. ^ a b c Dzielska 2008, hlm. 139.
  66. ^ Deakin 2007, hlm. 83.
  67. ^ Haas 1997, hlm. 310–311.
  68. ^ Wessel 2004, hlm. 36–37.
  69. ^ Haas 1997, hlm. 312.
  70. ^ Wessel 2004, hlm. 36.
  71. ^ a b c d e Wessel 2004, hlm. 37.
  72. ^ Haas 1997, hlm. 306.
  73. ^ Haas 1997, hlm. 306–307.
  74. ^ a b Haas 1997, hlm. 307, 313.
  75. ^ Haas 1997, hlm. 307.
  76. ^ Watts 2008, hlm. 197–198.
  77. ^ a b c Novak 2010, hlm. 239–240.
  78. ^ a b c d Watts 2008, hlm. 198.
  79. ^ Watts 2008, hlm. 199–200.
  80. ^ a b c d Haas 1997, hlm. 312–313.
  81. ^ a b "Chronicle 84.87–103". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-07-31. 
  82. ^ Grout, James. "Hypatia". Penelope. University of Chicago. 
  83. ^ a b c d e f g h Novak 2010, hlm. 240.
  84. ^ Watts 2017, hlm. 114–115.
  85. ^ a b c Haas 1997, hlm. 313.
  86. ^ Dzielska 1996, hlm. 93.
  87. ^ Watts 2017, hlm. 115–116.
  88. ^ a b c Watts 2008, hlm. 198–199.
  89. ^ a b c d Watts 2017, hlm. 116.
  90. ^ a b Watts 2008, hlm. 199.
  91. ^ Haas 1997, hlm. 235–236, 314.
  92. ^ Haas 1997, hlm. 314.
  93. ^ a b Cameron, Long & Sherry 1993, hlm. 59.
  94. ^ Ecclesiastical History, Bk VII: Chap. 15 (miscited as VI:15).
  95. ^ a b c d e Watts 2017, hlm. 117.
  96. ^ Belenkiy 2010, hlm. 9–13.
  97. ^ Cameron 2016, hlm. 190.
  98. ^ Watts 2017, hlm. 157.
  99. ^ a b c Watts 2017, hlm. 121.
  100. ^ Dzielska 1996, hlm. 95–96.
  101. ^ a b Haas 1997, hlm. 436.
  102. ^ Haas 1997, hlm. 67, 436.
  103. ^ a b c Watts 2008, hlm. 197–200.
  104. ^ MacDonald, Beverley and Weldon, Andrew. (2003). Written in Blood: A Brief History of Civilization (hlm. 173). Allen & Unwin.
  105. ^ a b c d e f g h i Castner 2010, hlm. 50.
  106. ^ a b Deakin 2007, hlm. 111.
  107. ^ a b Cameron 2016, hlm. 194–195.
  108. ^ a b Dzielska 2008, hlm. 132.
  109. ^ Bradley 2006, hlm. 59–60.
  110. ^ Booth 2017, hlm. 106.
  111. ^ a b c Waithe 1987, hlm. 174–175.
  112. ^ Engels 2009, hlm. 97–124.
  113. ^ a b Emmer 2012, hlm. 74.
  114. ^ a b Dzielska 1996, hlm. 71–2.
  115. ^ a b c d Cameron 2016, hlm. 193–194.
  116. ^ a b Booth 2017, hlm. 108–111.
  117. ^ a b c d e f g h i Emmer 2012, hlm. 76.
  118. ^ a b c Dzielska 1996, hlm. 71–72.
  119. ^ Cameron, Long & Sherry 1993, hlm. 45.
  120. ^ Cameron, Long & Sherry 1993, hlm. 45–47.
  121. ^ a b c d e f Waithe 1987, hlm. 175.
  122. ^ a b c d e Booth 2017, hlm. 110.
  123. ^ Deakin 1992, hlm. 20–22.
  124. ^ a b c Booth 2017, hlm. 109.
  125. ^ Bradley 2006, hlm. 61.
  126. ^ a b c Deakin 1992, hlm. 21.
  127. ^ Sir Thomas Little Heath (1910). Diophantus of Alexandria; A Study in the History of Greek Algebra (edisi ke-2nd). Cambridge University Press, republished 2017. hlm. 14 & 18. 
  128. ^ Dzielska 1996, hlm. 72.
  129. ^ Deakin 1994.
  130. ^ Knorr 1989.
  131. ^ a b c d e Deakin 2007, hlm. 102–104.
  132. ^ a b c Deakin 1992, hlm. 22.
  133. ^ Booth 2017, hlm. 111–113.
  134. ^ a b c d e f g h Booth 2017, hlm. 111.
  135. ^ a b Pasachoff & Pasachoff 2007, hlm. 226.
  136. ^ a b c d e f g h i j k Theodore 2016, hlm. 183.
  137. ^ Booth 2017, hlm. 112–113.
  138. ^ edited by Virginia Trimble, Thomas R. Williams, Katherine Bracher, Richard Jarrell, Jordan D. Marché, F. Jamil Ragep (2007). Biographical Encyclopedia of Astronomers. Springer. hlm. 1134. ISBN 9780387304007. 
  139. ^ Booth 2017, hlm. 111–112.
  140. ^ Deakin 2007, hlm. 104–105.
  141. ^ Booth 2017, hlm. 113–114.
  142. ^ a b Booth 2017, hlm. 115.
  143. ^ a b c d Deakin 2007, hlm. 105.
  144. ^ Booth 2017, hlm. 114–115.
  145. ^ a b c Booth 2017, hlm. 151–152.
  146. ^ a b c Watts 2017, hlm. 154–155.
  147. ^ a b c Booth 2017, hlm. 151.
  148. ^ Watts 2008, hlm. 201.
  149. ^ Watts 2017, hlm. 117–119.
  150. ^ a b c d Watts 2017, hlm. 119.
  151. ^ Watts 2017, hlm. 119–120.
  152. ^ Watts 2017, hlm. 120.
  153. ^ Watts 2017, hlm. 155.
  154. ^ Synodicon, c. 216, in iv. tom. Concil. hlm. 484, seperti yang dirincikan di dalam The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, vol. 8, bab XLVII
  155. ^ Whitfield 1995, hlm. 14.
  156. ^ Wessel 2004, hlm. 51.
  157. ^ Rosser 2008, hlm. 12.
  158. ^ a b Dzielska 1996, hlm. 18.
  159. ^ a b c Wessel 2004, hlm. 52–53.
  160. ^ a b c Cameron, Long & Sherry 1993, hlm. 41–44.
  161. ^ Dzielska 1996, hlm. 55.
  162. ^ Deakin 2007, hlm. 54.
  163. ^ a b c d e Deakin 2007, hlm. 135–136.
  164. ^ a b Walsh 2007, hlm. 10.
  165. ^ a b c d Booth 2017, hlm. 152.
  166. ^ Dzielska 2008, hlm. 141.
  167. ^ a b Walsh 2007, hlm. 11.
  168. ^ Booth 2017, hlm. 150.
  169. ^ a b Walsh 2007, hlm. 10–11.
  170. ^ Walsh 2007, hlm. 34.
  171. ^ Deakin 2007, hlm. 135.
  172. ^ Watts 2017, hlm. 128–129.
  173. ^ a b c Watts 2017, hlm. 129.
  174. ^ a b Watts 2017, hlm. 129–130.
  175. ^ Booth 2017, hlm. 130–131.
  176. ^ a b Watts 2017, hlm. 130.
  177. ^ Watts 2017, hlm. 130–131.
  178. ^ Dzielska 1996, hlm. 67.
  179. ^ a b c d e f Dzielska 1996, hlm. 2.
  180. ^ a b c Watts 2017, hlm. 135–136.
  181. ^ a b c Watts 2017, hlm. 136–137.
  182. ^ a b c d Dzielska 1996, hlm. 3.
  183. ^ a b c d e f Watts 2017, hlm. 139.
  184. ^ Dzielska 1996, hlm. 3–4.
  185. ^ a b Dzielska 1996, hlm. 4.
  186. ^ a b c d e Watts 2017, hlm. 142.
  187. ^ Saluzzo Roero, Diodata (1827). Ipazia ovvero Delle filosofie poema di Diodata Saluzzo Roero. 
  188. ^ Edwards 1999, hlm. 112.
  189. ^ Booth 2017, hlm. 20–21.
  190. ^ Dzielska 1996, hlm. 4–5.
  191. ^ a b Booth 2017, hlm. 21–22.
  192. ^ Dzielska 1996, hlm. 5–6.
  193. ^ a b Dzielska 1996, hlm. 8.
  194. ^ a b c Booth 2017, hlm. 15.
  195. ^ Dzielska 1996, hlm. 9.
  196. ^ Watts 2017, hlm. 141–142.
  197. ^ a b c Dzielska 1996, hlm. 11.
  198. ^ a b c d Watts 2017, hlm. 141.
  199. ^ a b c Macqueen-Pope 1948, hlm. 337.
  200. ^ a b c Archer 2013, hlm. 9.
  201. ^ Soldan, Wilhelm Gottlieb (1843). Geschichte der Hexenprozesse: aus dem Qvellen Dargestellt. Cotta. , hlm.82.
  202. ^ Booth 2017, hlm. 25–26, 28.
  203. ^ a b c d e Deakin 2007, hlm. 163.
  204. ^ a b c Cohen 2008, hlm. 47.
  205. ^ a b Booth 2017, hlm. 25–26.
  206. ^ a b c d e Cohen 2008, hlm. 47–48.
  207. ^ a b c d e f g Cohen 2008, hlm. 48.
  208. ^ a b c d e f Dzielska 1996, hlm. 16.
  209. ^ a b c d e Booth 2017, hlm. 25.
  210. ^ a b Booth 2017, hlm. 26–27.
  211. ^ a b c Booth 2017, hlm. 27.
  212. ^ Wider, Kathleen (1986). "Women Philosophers in the Ancient Greek World: Donning the Mantle". Hypatia. 1 (1): 21–62. JSTOR 3810062. 
  213. ^ Greenblatt, The Swerve: how the world became modern 2011:93.
  214. ^ Christian Wildberg, dalam Hypatia of Alexandria – a philosophical martyr, The Philosopher's Zone, ABC Radio National (4 April 2009)
  215. ^ Dzielska 1996, hlm. 105.
  216. ^ a b c d e f g Theodore 2016, hlm. 182–183.
  217. ^ a b Booth 2017, hlm. 22.
  218. ^ a b Booth 2017, hlm. 22–23.
  219. ^ Booth 2017, hlm. 14–30.
  220. ^ Booth 2017, hlm. 13–20.
  221. ^ a b c Booth 2017, hlm. 16.
  222. ^ a b Booth 2017, hlm. 16–18.
  223. ^ Booth 2017, hlm. 17.
  224. ^ Booth 2017, hlm. 18–19.
  225. ^ Booth 2017, hlm. 19–20.
  226. ^ Levinson, Paul (November 2008). "Unburning Alexandria". Analog Science Fiction and Fact. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 March 2013. Diakses tanggal 26 March 2013. 
  227. ^ Clark, Brian Charles (2006). "The Plot to Save Socrates – book review". Curled Up With A Good Book. Diakses tanggal 26 March 2013. 
  228. ^ "Inteview [sic] with Paul Levinson, Author of Unburning Alexandria". The Morton Report. 2013. Diakses tanggal 3 November 2013. 
  229. ^ a b c Watts 2017, hlm. 145.
  230. ^ Booth 2017, hlm. 13–14.
  231. ^ Theodore 2016, hlm. 182.
  232. ^ Watts 2017, hlm. 145–146.
  233. ^ a b c d e f Watts 2017, hlm. 146.
  234. ^ Booth 2017, hlm. 14.
  235. ^ a b Mark 2014.
  236. ^ Booth 2017, hlm. 27-28.

Daftar pustaka

Bacaan lanjut

Pranala luar