Puri Agung Denpasar
Puri Agung Denpasar (Puri Agung Satria) merupakan sebuah puri peninggalan raja-raja bali khususnya di daerah Bali selatan.[1] Puri ini didirikan oleh Kyai Agung Made Ngurah (I Gusti Ngurah Made Pemecutan) sebagai Raja Denpasar pertama dan pembangunannya selesai pada tahun 1788 setelah sebelumnya beliau memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Badung dari Puri Jambe Kesatria. Selanjutnya pusat pemerintahan Kerajaan Badung berada di Puri Agung Denpasar sampai akhirnya Pasukan Belanda mengalahkan Kerajaan Badung melalui Perang Puputan Badung tahun 1906.[2][3]
Sejak saat itu Puri Agung Denpasar dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dan selanjutnya digunakan sebagai Rumah Jabatan Asisten Residen Belanda untuk daerah Bali Selatan. Setelah Republik Indonesia merdeka maka lokasi yang tadinya berdiri Puri Agung Denpasar akhirnya pindah ke tangan Pemerintah Republik Indonesia dan dijadikan sebagai Rumah Jabatan Gubernur Bali hingga sekarang.
Lokasi Puri Agung Denpasar kurang lebih 300 meter dari arah utara Lapangan Puputan Badung di jalan Veteran No.62 Denpasar, masyarakat sering menyebutnya dengan Puri Satria karena lokasi Puri tersebut berada tepat di Jaba Pura Pedharman Ksatria Denpasar serta bersebelahan dengan tempat berjualan aneka jenis binatang seperti burung, ikan, anjing, dan lain sebagainya. Pada halaman utara Puri juga terdapat tempat persembahyangan keluarga yang luas dan indah dibangun pada abad ke-15 dan tidak hanya digunakan oleh kalangan keluarga raja, akan tetapi oleh masyarakat di sekeliling puri.[4]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Setelah Kyai Anglurah Aji Jambe Ksatriya, penguasa Kerajaan Badung dari dinasti Jambe, dapat dikalahkan oleh Kyai Agung Ngurah Rai dari Puri Kaleran Kawan maka selanjutnya kekuasaan Kerajaan Badung diserahkan kepada Kyai Agung Made Ngurah yang bergelar I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang tak lain adalah kakak dari Kyai Agung Ngurah Rai. Konon Raja Aji Jambe Ksatriya sebelum menghembuskan nafas terakhir, menyerahkan istrinya yang sedang hamil kepada orang kepercayaannya yaitu Kyai Agung Made Ngurah yang apabila nanti dari bobotan itu lahir seorang putra maka putra itu harus menjadi raja Denpasar; dan memang benar bahwa putra tersebut adalah raja ketiga (setelah Nararya Ngurah Sakti Kesiman menyerahkan kembali kekuasaan kepada Puri Denpasar) yang bergelar Nararya Agung Gede Ngurah Pemecutan (I Gusti Ngurah Jambe Denpasar). Jadi, dapat disimpulkan bahwa keturunan Puri Denpasar selanjutnya adalah berdarah Jambe (sebagai keturunan Pemecutan) dan juga berdarah Dalem karena ayahanda Kyai Anglurah Aji Jambe Ksatriya yaitu Kyai Anglurah Jambe Aji (Kyai Anglurah Jambe Haeng) adalah bobotan Dalem Sukawati.
Kyai Agung Made Ngurah memiliki banyak istri sehingga beliau juga mempunyai banyak putra-putri. Permaisurinya yang utama adalah istri dari Kyai Anglurah Aji Jambe Ksatriya Bhatara Dimade, putra mahkota masih belum cukup umur sehingga kekuasaan ditugaskan kepada Nararya Agung Gede Ngurah Pemecutan (I Gusti Ngurah Sakti Kesiman) yang sedang hamil (yang melahirkan keturunan Denpasar) dan seorang putrinya yang kemudian melahirkan putra yang membangun Puri Jambe.[5]
Setelah Perang Puputan Badung pada tahun 1906[6][7][8], karena sudah tidak memiliki rumah dan lokasi Puri Agung Denpasar digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai kantor-kantor, maka seluruh keturunan Puri Agung Denpasar membangun rumah di sekeliling Puri Satria. Sepuluh tahun kemudian pihak Belanda mengembalikan I Gusti Alit Ngurah Pemecutan (Cokorda Alit Ngurah) ke Badung pada tanggal 1 Oktober 1917 serta mengangkat beliau menjadi pegawai di pemerintahan Belanda sampai akhirnya menurut surat "Besluit Hoofd van het Kantoor van Reiswezen ddo; 27 Juli No.1512 Regent Badung" yang menjadikan I Gusti Alit Ngurah sebagai kepala daerah tingkat II Badung bersamaan dengan pengangkatan raja-raja di setiap kabupaten di Bali yang bertempat di Pura Besakih pada tanggal 27 Juli 1927 dan pada tahun yang sama pula dimulailah pembangunan Puri Denpasar yang baru di Jaba Pura Ksatria dan pembangunan itu selesai pada tahun 1928 diawali dengan kantor serta wantilan ditambah kori yang semuanya bergaya belanda sampai sekarang.
Puri Agung Denpasar saat ini
[sunting | sunting sumber]Puri Agung Denpasar saat ini terdapat 2 buah bangunan peninggalan Belanda seperti Wantilan/Pendopo lengkap dengan bangunan bekas kantor Pemerintah Tingkat II Badung yg dibangun pada tahun 1928 serta Kori Agung Puri ini bergaya Belanda yang membuatnya berbeda dengan puri-puri lain pada umumnya di Bali.
Walaupun Lokasi Puri Agung Denpasar saat ini menjadi Rumah Jabatan Gubernur Bali, tetapi Merajan (Tempat Suci) Puri Agung Denpasar tetap ada di lokasi tersebut dan sudah beberapa kali direnovasi serta dilestarikan juga keberadaannya oleh para Keturunan Keluarga Besar Puri Agung Denpasar Hingga saat ini, tetapi Keluarga Besar Puri saat ini mendiami kompleks Puri yang baru yakni di depan Pura Pedharman Agung Ksatria Denpasar dan Nama Besar Puri Agung Denpasar tetap di pakai hingga saat ini.
Saat ini aktivitas di Puri tidak sebagai tempat pemerintahan seperti dahulu, tetapi lebih di pusatkan sebagai aktivitas sosial, budaya, serta spiritual. Bahkan saat ini tersedia sanggar tari bagi anak-anak tingkatan SD yang pendidikannya tidak dipungut biaya sama sekali (gratis), hal tersebut merupakan salah satu program dari keluarga puri sebagai upaya pelestarian budaya dan pendidikan budaya bagi anak-anak untuk membendung derasnya pengaruh global yang terjadi di zaman saat ini sehingga kedepannya para generasi muda di kota Denpasar khususnya, agar tidak kehilangan jati dirinya sebagai orang Bali.[4]
Daftar Raja Badung dari Puri Agung Denpasar
[sunting | sunting sumber]Nama |
Jangka hidup |
Awal memerintah |
Akhir memerintah |
Keterangan |
Keluarga |
Gambar |
I Gusti Ngurah Made Pemecutan
|
1788 | 1813 | Cucu Kyai Anglurah Pemecutan III. Pendiri Puri Agung Denpasar | |||
I Gusti Gede Ngurah Pemecutan I
|
1813 | 1817 | Anak dari I Gusti Ngurah Made Pemecutan | |||
I Gusti Made Ngurah Pemecutan
|
1817 | 1829 | Anak dari I Gusti Gede Ngurah Pemecutan I | |||
I Gusti Gede Ngurah Pemecutan II
|
1829 | 1848 | Anak dari I Gusti Made Ngurah Pemecutan | |||
I Gusti Alit Ngurah Pemecutan
|
1848 | 1902 | Anak dari I Gusti Gede Ngurah Pemecutan II | |||
I Gusti Ngurah Made Agung
|
5 April 1876 - 20 September 1906 (umur 30) | 1902 | 20 September 1906 | Anak dari I Gusti Gede Ngurah Pemecutan II. Wafat saat Puputan Badung, diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia | ||
Tjokorda Alit Ngurah
|
1896 - 1965 (umur 69) | 1929 | 1947 | Anak dari I Gusti Alit Ngurah Pemecutan | ||
Tjokorda Ngurah Agung
|
1917 - 29 April 1998 (umur 81) | 1967 | 1998 | Anak dari Tjokorda Alit Ngurah | ||
Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan
|
15 Juni 1943 - 18 Februari 2023 (umur 79) | 25 November 2005 | 18 Februari 2023 | Anak dari Tjokorda Ngurah Agung |
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Sejarah Singkat Puri Agung Denpasar". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-24. Diakses tanggal 2017-08-22.
- ^ Hanna 2004, hlm. 140-141.
- ^ Pieter ter Keurs (2007). Colonial collections revisited. CNWS Publication. hlm. 146. ISBN 90-5789-152-2.
- ^ a b Pemerintah Kota Denpasar (18 Februari 2012). "Puri Agung Denpasar (Satria)". Denpasarkota.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-05. Diakses tanggal 12 Maret 2015.
- ^ "Kisah Asmara Dibalik Perang Puputan Badung 1906 (1)". Beritabali.com. 19 September 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-22. Diakses tanggal 12 Maret 2015.
"Kisah Asmara Dibalik Perang Puputan Badung 1906 (2)". Beritabali.com. 19 September 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-22. Diakses tanggal 12 Maret 2015. - ^ Hanna 2004, hlm. 140.
- ^ Barski 2007, hlm. 49.
- ^ Haer 2001, hlm. 38.
Bacaan lebih lanjut
[sunting | sunting sumber]- Hanna, Willard A. (2004), Bali Chronicles, Periplus, Singapore, ISBN 0-7946-0272-X
- Barski, Andy Barski, Albert Beaucort and Bruce Carpenter (2007), Bali and Lombok, Dorling Kindersley, London, ISBN 978-0-7566-2878-9
- Haer, Debbie Guthrie Haer, Juliette Morillot and Irene Toh (2001), Bali, a traveller's companion, Editions Didier Millet, ISBN 978-981-4217-35-4