Multibahasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Multilingualisme)
Papan yang bertuliskan "Pekerja ilegal akan ditangkap" dalam lima bahasa di Singapura (4 bahasa teratas adalah bahasa nasional manakala tulisan dalam bahasa kelima ditulis dengan tangan).
Mobil layanan kesehatan Hindia Belanda menggunakan bahasa Belanda, Jawa dan Melayu.

Multibahasa atau multilingualisme merupakan suatu tindakan menggunakan banyak bahasa oleh individu atau masyarakat. Di dunia terdapat lebih banyak orang yang multibahasa daripada ekabahasa.[1] Multibahasa menjadi salah satu fenomena sosial yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi dan keterbukaan budaya.[2] Berkat kemudahan akses informasi yang diberikan oleh Internet, semakin banyak orang yang terpapar oleh berbagai jenis bahasa.

Multibahasa dapat ditemukan baik dalam induvidu maupun dalam suatu komunitas. Seseorang yang mampu untuk berbicara dalam berbagai bahasa disebut poliglot.[3] Kemampuan komunitas untuk berbicara dalam beberapa bahasa didorong oleh berbagai latar belakang. Baik induvidu maupun komunitas multibahasa mendapatkan bahasa keduanya dengan berbagai cara, seperti pemerolehan simultan dan sekuensial.

Definisi[sunting | sunting sumber]

Definisi multibahasa masih dalam perdebatan. Di satu sisi, multibahasa dapat didefinisir sebagai keahlian dan kefasihan berbahasa yang tinggi. Dalam definisi ini, penutur diharapkan memiliki pengetahuan dan kemahiran berbahasa agar terdengar fasih. Di sisi lain, hanya mengetahui beberapa frasa dari berbagai bahasa juga dapat diterima sebagai kemampuan multibahasa. Sejak tahun 1992, Vivian Cook menyatakan bahwa kebanyakan penutur multibahasa berada di antara kedua definisi tersebut. Cook menyebut orang-orang ini sebagai multi-kompeten.[4]

Selain definisi multibahasa, bagaimana bahasa dapat dibedakan dari bahasa lain juga tidak memiliki batasan yang konsisten,[5] contohnya: para ahli sering berdebat mengenai bahasa Skots sebagai suatu bahasa bahasa tersendiri atau dialek dari bahasa Inggris.[6] Selain itu, apa yang dianggap bahasa juga dapat berubah, hal ini sering kali dipakai untuk tujuan politik murni, contohnya: ketika bahasa Serbo-Kroasia diciptakan sebagai bahasa standar berdasarkan dialek Herzegovina Timur sebagai payung bagi banyak dialek Slavia Selatan dan kemudian berubah menjadi bahasa Serbia, bahasa Kroasia, bahasa Bosnia, dan bahasa Montenegro setelah pecah. dari Yugoslavia, atau ketika bahasa Ukraina ditolak sebagai dialek Rusia oleh Tsar Rusia untuk melunturkan kebangsaan.[7] Di banyak negara, bilingualisme merupakan akibat dari adanya hubungan antarbangsa. Hal ini cukup tampak di negara-negara yang bahasa resminya bukan bahasa Inggris. Bahasa Inggris sebagai basantara global menghasilkan negara-negara dengan penduduk yang mayoritas bilingualis meskipun negara tersebut hanya memiliki satu bahasa resmi.[8]

Pemerolehan Bahasa[sunting | sunting sumber]

Menurut ahli bahasa Noam Chomsky, manusia merupakan perangkat akuisisi bahasa — sebuah alat yang memungkinkan seseorang untuk mengulang dengan benar aturan dan karakteristik tertentu dari suatu bahasa yang digunakan oleh penutur di sekitar pemeroleh bahasa.[9] Perangkat ini, menurut Chomsky, akan aus seiring waktu, dan biasanya "berhenti bekerja" saat pubertas. Alasan ini kemudian dipakai untuk menjelaskan kesulitan yang dimiliki beberapa remaja dan orang dewasa ketika mempelajari bahasa kedua.

Hal berbeda disebutkan oleh Stephen Krashen, di mana pemeroleh bahasa menerima bahasa kedua dalam suatu proses kognitif alamiah. Dalam hal ini pemberi bahasa lebih fokus kepada pesan yang mereka sampaikan dibandingkan tata bahasanya. Krashen berpendapat bahwa pemerolehan yang alami lebih penting dibandingkan pembelajaran formal.[10]

Kesulitan berpikir dalam bahasa kedua merupakan kendala yang umum dijumpai oleh siswa dalam pembelajaran formal. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pola pikir bahasa ibu dan pola budaya siswa. Robert B. Kaplan berpendapat bahwa akibat siswa asing menggunakan pola pikir bahasa ibunya dalam penyusunan makalah, penutur asli cukup kesulitan dalam menemukan fokus dari tulisan mereka.[11] Hal ini juga terjadi pada mahasiswa asing di mana mereka telah menguasai struktur sintaksis, namun masih belum bisa menyusun tema, makalah, tesis, dan disertasi yang memadai. Kaplan menjelaskan dua kata kunci yang mempengaruhi orang ketika mereka belajar bahasa kedua: logika dan retorika. Logika, yang merupakan dasar dari retorika, adalah sesuatu berkembang dari budaya, sehingga hal ini tidak bersifat universal. Retorika yang berakar dari logika, juga menjadi tidak universal, tetapi bervariasi, dari budaya ke budaya dan bahkan dari waktu ke waktu dalam budaya tertentu.[11]

Urutan pemerolehan[sunting | sunting sumber]

Terdapaat beberapa cara untuk memperoleh suatu bahasa. Dalam kedwibahasaan sekuensial, pelajar menerima ilmu literasi dalam bahasa asli mereka sampai mereka memperoleh kemampuan literasi minimum untuk bahasa yang mereka pelajari. Beberapa peneliti menentukan usia 3 tahun sebagai usia ketika seorang anak memiliki kompetensi komunikatif dasar dalam bahasa pertama mereka.[12] Anak-anak dapat memeroleh kedwibahasaan sekuensial jika mereka berpindah pada usia muda ke negara lain yang menggunakan bahasa berbeda, atau jika anak secara eksklusif berbicara bahasa ibu di rumah, namun menggunakan bahasa lain di lingkungan luar rumah.

Selain itu, ada pula kedwibahasaan simultan di mana bahasa asli dan bahasa komunitas diperoleh secara bersamaan. Penutur yang memperoleh bahasa dengan cara ini akan fasih dalam dua bahasa dalam waktu singkat, namun "pengajar" harus fasih dalam kedua bahasa dan memiliki teknik mengajar yang baik.[13]

Fase yang dilalui anak selama pemerolehan sekuensial tidak selinier pemerolehan simultan dan dapat sangat bervariasi di antara anak-anak. Pemerolehan sekuensial bersifat lebih kompleks dan lebih panjang, namun selama mereka menerima input bahasa yang baik dalam kedua bahasa, belum ada indikasi yang menunjukkan anak-anak yang memperoleh bahasa dengan metode ini tidak semahir anak yang memeroleh dengan cara simultan.[14]

Individu[sunting | sunting sumber]

Orang yang multilingual adalah seseorang yang dapat berkomunikasi menggunakan lebih dari satu bahasa, baik secara aktif (melalui berbicara, menulis, atau tanda tangan) maupun secara pasif (melalui mendengarkan, membaca, atau mengamati). Mereka umumnya disebut poliglot, istilah yang digunakan juga untuk menyebut orang yang mempelajari berbagai bahasa sebagai hobi.[15] Mereka biasanya telah memperoleh dan mempertahankan setidaknya satu bahasa selama masa kanak-kanak, yang disebut bahasa pertama (L1). Bahasa pertama (kadang juga disebut sebagai bahasa ibu) diperoleh tanpa pendidikan formal, dengan mekanisme yang sangat diperdebatkan. Anak-anak yang menguasai dua bahasa dengan cara ini disebut bilingual simultan. Dalam kasus bilingual simultan, satu bahasa biasanya mendominasi bahasa lainnya.[16] Dalam ilmu bahasa, penguasaan bahasa pertama terkait erat dengan konsep "penutur asli". Penutur asli dari bahasa tertentu memiliki tingkat keterampilan yang tidak dapat dengan mudah dicapai oleh pelajar bahasa kedua (atau selanjutnya). Akibatnya, studi empiris deskriptif bahasa biasanya bersubjek penutur asli. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penelitian linguistik telah memfokuskan perhatian pada penggunaan bahasa dunia yang dikenal luas, seperti Bahasa Inggris, sebagai lingua franca atau bahasa umum bersama komunitas profesional dan komersial. Dalam situasi lingua franca, sebagian besar penutur bahasa umum berfungsi multibahasa.[17]

Sebaliknya, fenomena di mana orang yang tahu lebih dari satu bahasa kehilangan kendali atas beberapa atau semua bahasa tambahan mereka, disebut atrisi bahasa. Dalam kondisi tertentu, individu akan kehilangan kemampuan bahasa L1 mereka sepenuhnya, setelah terus-menerus menggunakan bahasa L2 mereka dan secara efektif "menjadi penutur asli" dalam bahasa yang dulunya sekunder setelah mengalami penurunan kemampuan L1 total.[18]

Komunitas[sunting | sunting sumber]

Multilingualisme dalam komunitas adalah hal yang umum terjadi: pada masa-masa awal, ketika tersebar banyak komunitas kecil dengan bahasa sendiri, pedagang perlu menguasai dua atau lebih bahasa, dan ini berlaku hingga saat ini di daerah dengan keragaman bahasa yang tinggi seperti Afrika Sub-Sahara dan India.[19]

Dalam masyarakat multilingual, tidak semua penutur harus memiliki kemampuan multilingual. Beberapa negara bagian dapat memiliki kebijakan multilingual dan mengenali beberapa bahasa resmi, seperti Kanada (Bahasa Inggris dan Bahasa Prancis). Di beberapa negara bagian, bahasa tertentu dapat dikaitkan dengan wilayah tertentu di negara bagian tersebut atau dengan etnis tertentu.[20] Jika mayoritas penutur di suatu komunitas memiliki kemampuan multilingual, ahli bahasa akan mengelompokkan komunitas tersebut berdasarkan distribusi fungsional bahasa di komunitas tersebut, antara lain:

  • Diglossia: adanya distribusi struktural-fungsional dari bahasa yang terlibat. Masyarakat yang memiliki fungsi ini disebut 'diglossik'.[21] Daerah dengan ciri khas diglossik dapat ditemukan di daerah sekitar Eropa di mana bahasa daerah digunakan dalam konteks informal, biasanya lisan, sedangkan bahasa resmi digunakan dalam situasi yang lebih formal. Frisia (dengan Jerman atau Belanda) dan Lausitz (dengan Sorbia dan Jerman) adalah contoh yang terkenal. Beberapa penulis mengaitkan diglossia dengan situasi di mana bahasa dianggap sebagai dialek dari suatu bahasa lain dan sebaliknya. Salah satu negara tersebut adalah Skotlandia, di mana dalam situasi formal, mereka menggunakan Bahasa Inggris, namun dalam situasi informal, mereka menggunakan Bahasa Skotlandia. Keragaman bahasa dan fungsinya mengakibatkan kemunculan konsep spektroglosia.
  • Ambilingualisme: ketiadaan bahasa yang dominan dalam suatu komunitas, sehingga hampir tidak mungkin untuk memprediksi bahasa mana yang dipakai dalam situasi tertentu dan distribusi fungsional tidak diperhatikan.[22] Ambilingualisme murni jarang ditemukan. Kecenderungan ambilingual dapat ditemukan di negara bagian kecil dengan banyak latar belakang seperti Luksemburg, yang memiliki nenek moyang Perancis-Jermanik, atau Malaysia dan Singapura, yang memadukan Melayu, Tiongkok, dan India. Fenomena ini juga dapat terjadi di wilayah perbatasan dengan banyak kontak lintas batas.[23]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Tucker, G. Richard. "A Global Perspective on Bilingualism and Bilingual Education (1999)". Universitas Carnegie Mellon. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Agustus 2012. Diakses tanggal 16 Desember 2013. 
  2. ^ "The importance of multilingualism". ELBES Multilingual Communication. Diakses tanggal 16 September 2010. 
  3. ^ "polyglot". The Free Dictionary. Diakses tanggal 10 Juli 2010. 
  4. ^ "Multi-competence definition". Vivian Cook. Diakses tanggal 17 September 2020. 
  5. ^ Cook, Vivian (2008). Second Language Learning and Language Teaching (dalam bahasa Inggris). Hodder Education. ISBN 978-0-340-95876-6. 
  6. ^ McArthur, Thomas Burns; McArthur, Tom; McArthur, Roshan (2005). Concise Oxford Companion to the English Language (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 894. ISBN 978-0-19-280637-6. 
  7. ^ Luckyj, George S. N. (1990). Literary Politics in the Soviet Ukraine, 1917-1934 (dalam bahasa Inggris). Duke University Press. hlm. 25. ISBN 978-0-8223-1099-0. 
  8. ^ "English as a second language: Top 10 English Speaking Countries". Europe Language Jobs (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 September 2020. 
  9. ^ Feldman, Robert S.; Hupp; Jewell (2020). A Topical Approach to Life-Span Development (4th ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. hlm. 330–335. ISBN 978-0-07-803550-0. 
  10. ^ "Stephen Krashen's Theory of Second Language Acquisition". www.sk.com.br. Diakses tanggal 2020-09-18. 
  11. ^ a b Kaplan, Robert B. (1966). "Cultural Thought Patterns in Inter-Cultural Education". Language Learning (dalam bahasa Inggris). 16 (1-2): 1–20. doi:10.1111/j.1467-1770.1966.tb00804.x. ISSN 1467-9922. 
  12. ^ Stobbart, Cerlin L. (1992). "Bilingualism Theoretical Perspectives of Language Diversity" (PDF). The South African Journal of Communication Disorders. 39. 
  13. ^ Houwer, Annick De (2019). The Handbook of Child Language (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons, Ltd. hlm. 219–250. doi:10.1111/b.9780631203124.1996.00009.x. ISBN 978-1-4051-6631-7. 
  14. ^ Limacher, Ute (2019-05-29). "Simultaneous and Sequential Bilingualism". Ute's International Lounge (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-17. 
  15. ^ "The Cult of the Polyglot - LATG". web.archive.org. 2016-09-06. Archived from the original on 2016-09-06. Diakses tanggal 2020-09-19. 
  16. ^ Hult, Francis M. (2013). "https://www.researchgate.net/publication/275114994_Covert Bilingualism and Symbolic Competence Analytical Reflections on Negotiating Insider/Outsider Positionality in Swedish Speech Situations". Applied Linguistics. 35 (1): 63–81. doi:10.1093/applin/amt003.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  17. ^ Mauranen, Anna; Ranta, Elina (2009). English as a Lingua Franca: Studies and Findings. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing. ISBN 978-1-4438-1296-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-18. Diakses tanggal 2020-09-19. 
  18. ^ Weltens, Bert; Cohen, Andrew D. (1989). "LANGUAGE ATTRITION RESEARCH: An Introduction". Studies in Second Language Acquisition. 11 (2): 127–133. ISSN 0272-2631. 
  19. ^ Heine, Bernd; Nurse, Derek (2000-08-03). African Languages: An Introduction (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-66629-9. 
  20. ^ Minority Languages, National Languages, and Official Language Policies. McGill-Queen's University Press. 2018. ISBN 978-0-7735-5493-1. 
  21. ^ Hudson, Alan (1992). "Diglossia: A Bibliographic Review". Language in Society. 21 (4): 611–674. ISSN 0047-4045. 
  22. ^ Chalker, Sylvia; Weiner, Edmund (1998). The Oxford Dictionary of English Grammar (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. doi:10.1093/acref/9780192800879.001.0001/acref-9780192800879-e-64. ISBN 978-0-19-280087-9. 
  23. ^ Pokrivcakova, Silvia (2013). "Applied Linguistics Research of Bilingualism and its Incentives for Foreign Language Pedagogy". Journal if Language Indentity & Education. 1 (1). 

Bacaan lanjut[sunting | sunting sumber]