Bahasa kedua
Bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh oleh manusia setelah pemerolehan bahasa pertama dengan penguasaan bahasa yang relatif sempurna. Kegunaan bahasa kedua hanya pada aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia. Fungsinya lebih sedikit dibandingkan dengan bahasa pertama.[1] Proses pemerolehan bahasa kedua oleh manusia terjadi dalam keadaan sadar.[2] Salah satu proses pemerolehan bahasa kedua ialah dengan kegiatan menyimak.[3]
Pemerolehan
[sunting | sunting sumber]Pemerolehan bahasa kedua dapat dimulai oleh manusia ketika masih dalam usia anak. Proses pemerolehannya melalui pendengaran. Kondisi pemerolehan bahasa kedua pada anak dibedakan menjadi bilingual simultan dan bilingual sekuensial. Bilingual simultan merupakan pemerolehan bahasa kedua pada anak dengan mendengar lebih dari satu bahasa sejak lahir. Sementara bilingual sekuensial ialah proses pemerolehan bahasa kedua oleh anak setelah memperoleh bahasa ibu.[4]
Penguasaan
[sunting | sunting sumber]Penguasaan terhadap bahasa kedua dipengaruhi oleh hubungannya dengan bahasa pertama. Bahasa kedua dapat dikuasai dengan baik ketika hubungannya sangat erat dengan bahasa pertama khususnya pada bahasa lisan. Selain itu, penguasaan bahasa kedua juga ditentukan oleh tingkat kesempatan penggunaannya. Semakin banyak kesempatan menggunakan bahasa kedua maka proses penguasaannya juga semakin cepat.[5]
Teori
[sunting | sunting sumber]Teori akuisisi bahasa kedua
[sunting | sunting sumber]Teori akuisisi bahasa kedua dikemukakan oleh Tracy Terrell dan Stephen Krashen pada tahun 1983. Gagasan tertulisnya diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Pendekatan Alam. Teori ini menyatakan bahwa pembelajaran bahasa kedua dapat dilakukan dengan meniru kondisi pemerolehan bahasa alami. Krashen berperan dalam menyusun teori, sementara Terrell berperan dalam menyiapkan ruang kelas untuk percobaan. Keduanya mengadakan penelitian untuk teori akuisisi bahasa pada akhir peiode tahun 1970-an hingga awal periode tahun 1980-an. Dalam teori ini pembelajaran bahasa dipusatkan pada komunikasi, kesadaran akan tata bahasa dan koreksi kesalahan berbahasa secara terus terang.[6]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Harras, K. A., dan Bachari, A. D. (2009). Sudana, Dadang, ed. Dasar-Dasar Psikolinguistik (PDF). UPI Press. hlm. 72. ISBN 979-378-906-9.
- ^ Mislikhah, St. (2018). "Pemerolehan Bahasa Kedua pada Anak Usia Dini di Taman Kanak-Kanak Dewi Masyithih I Kraton Kencong Jember" (PDF). Sastranesia: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 6 (4): 2. ISSN 2598-8271.
- ^ Karmila, M., dan Purwadi (2019). Pembelajaran Bahasa untuk Anak Usia Dini (PDF). Semarang: UPT Penerbitan Universitas PGRI Semarang Press. hlm. 82. ISBN 978-602-5784-71-2.
- ^ Salikin, Hairus (2014). Memahami Pemikiran Pasty M. Lightbown dan Nina Spada tentang Bagaimana Bahasa Dipelajari (PDF). Jember: Jember University Press. hlm. 2. ISBN 978-602-9030-56-3.
- ^ Oktradiksa, Ahwy (2013). "Pemerolehan Bahasa Pertama" (PDF). Tarbiyatuna. 4 (1): 237. ISSN 2086-0889.
- ^ Wicaksono, A., dkk. (2015). Wicaksono, A., dan Roza, A. S., ed. Teori Pembelajaran Bahasa: Suatu Catatan Singkat (PDF). Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca. hlm. 314. ISBN 978-602-7949-72-0.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Billiet, Jaak, Bart Maddens, and Roeland Beerten. "National Identity and Attitude Toward Foreigners in a Multinational State: A Replication". Vol. 24. International Society of Political Psychology
- Brian A. Jacob. "Defining Culture in a Multicultural Environment: An Ethnography of Heritage High School". American Journal of Education
- Doggett, G. (1994). "Eight Approaches to Language Teaching". Mosaic
- Krashen, Stephen D., Michael A. Long and Robin C. Scarcella. “Age, Rate and Eventual Attainment in Second Language Acquisition”. TESOL Quarterly