Lompat ke isi

Sejarah ekonomi Tiongkok sebelum 1912

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seekor naga Tionghoa tampak mengambang di atas awan, diukir pada sebuah cetakan emas era Ming (abad ke-15).

Sejarah ekonomi Tiongkok meliputi ribuan tahun dan kawasan tersebut telah berada di bawah lingkar kekayaan dan penurunan. Selama sebagian besar dua milenium, Tiongkok memiliki perekonomian paling maju dan terbesar di dunia.[1][2] Para sejarawan ekonomi biasanya membagi sejarah TIongkok dalam tiga periode: era pra-kekaisaran sebelum kebangkitan Qin; era kekaisaran awal dari Qin sampai kebangkitan Song (221 SM sampai 960 M); dan era kekaisaran akhir, dari Song sampai kejatuhan Qing.

Pertanian Neolitikum telah berkembang di Tiongkok pada sekitar tahun 8,000 SM. Meningkatnya budaya zaman perunggu, seperti budaya Erlitou, terjadi pada millennium ketiga SM. Di bawah dinasti Shang (abad ke 16–11 SM) dan Zhou Barat (abad ke 11–8 SM), sepasukan buruh dependen bekerja dalam lahan-lahan berskala besar dan loka-loka karya untuk menghasilkan perunggu dan sutra bagi kaum elit. Surplus pertanian yang diproduksi oleh ekonomi manorial mendukung industri-industri kerajinan tangan awal serta pusat-pusat perkotaan dan tentara-tentara. Sistem tersebut mulai terkikis sejak keruntuhan Zhou Barat pada 771 SM, meninggalkan Tiongkok masuk era Musim Semi dan Musim Gugur (abad ke 8-5 SM) dan Negara-Negara Berperang (abad ke 5–3 SM).

Karena sistem feodal runtuh, kebanyakan kekuasaan legislatif dialihkan dari bangsawan ke raja-raja lokal. Meningkatnya perdagangan pada periode Negara-Negara Beperang menghasilkan kelas pedagang yang lebih kuat. Raja-raja baru mendirikan birokrasi bersama, menggunakannya untuk menghindari perang, membangun kuil-kuil besar, dan mengadakan proyek-proyek kerja publik. Sistem meritokrasi tersebut mendatangkan kelahiran baru. Penggunaan alat-alat besi secara besar-besaran merevolusionisasikan pertanian dan berujung pada meningkatnya jumlah penduduk pada masa itu. Pada 221 SM, raja Qin mendeklrasikan dirinya sendiri menjadi Kaisar Pertama, menyatukan Tiongkok dalam sebuah kekaisaran tunggal, berbagai tembok negaranya digabungkan menjadi Tembok Raksasa, dan berbagai suku dan tradisi digabungkan dalam sebuah sistem pemerintahan tunggal.[3] Meskipun implementasi awal mereka berujung pada keruntuhannya pada 206 SM, lembaga-lembaga Qin masih berdiri. Pada masa dinasti Han (abad ke-3 SM sampai abad ke-3 M), Tiongkok menjadi kekaisaran yang kuat, bersatu dan tersentralisasi dari para petani dan artisan yang berdikari, dengan otonomi lokal terbatas.

Periode Song (abad ke 10–13) membawa reformasi ekonomi tambahan. Uang kertas, kompas, dan kemajuan teknologi lainnya memfasilitasi komunikasi pada skala besar dan merebakkan peredaran buku-buku. Kontrol negara terhadap ekonomi dicabut, membolehkan para pedagang swasta untuk memulai usaha dan investasi dan laba makin meningkat. Disamping gangguan saat penaklukan Mongol pada 1279, wabah penyakit ke-2 pada abad ke-14, dan pemberontakan-pemberontakan berskala besar yang menyusulnya, penduduk Tiongkok terbantu oleh Pertukaran Columbia dan makin meningkatnya kekuasaan dinasti Ming (abad ke 14–17). Ekonominya diremonetisi oleh perak Jepang dan Amerika Selatan melalui perdagangan luar negeri, disamping kebijakan-kebijakan yang umumnya isolasionis. Status ekonomi relatif Eropa dan Tiongkok pada sebagian besar masa dinasti Qing(abad ke 17-20) masih menjadi bahan perdebatan,[n 1] namun Divergensi Besar muncul pada abad ke-19,[6] saat Inggris melakukan menyeludupkan candu untuk membiayai impor tehnya berujung pada serangkaian perang yang mengakhiri isolasi Tiongkok dan otonomi melalui sejumlah Perjanjian Tak Adil.

  1. ^ Adam Smith menganggap China telah lama terstasioner sebelum abad ke-18. Shiue & al. berpendapat bahwa kawasan-kawasan paling berkembang di Tiongkok pada 1750 masih menunjukkan produktivitas sebanding dengan negara-negara Eropa yang berbatasan dengan Atlantik,[4] sementara Maddison berpendapat bahwa produktivitas per-kapita Eropa barat telah mengejutkan seluruh kawasan lainnya pada masa itu.[5]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Dahlman, Carl J; Aubert, Jean-Eric. China and the Knowledge Economy: Seizing the 21st Century. WBI Development Studies. World Bank Publications. Accessed January 30, 2008.
  2. ^ Angus Maddison. Chinese Economic Performance in the Long Run. Development Centre Studies. Accessed 2007. p.29 See the "Table 1.3. Levels of Chinese and European GDP Per Capita, 1–1700 AD" in page 29, Chinese GDP Per Capita was 450 and European GDP Per Capital was 422 in 960AD. Chinese GDP Per Capita was 600 while European was 576. During this time, Chinese per capita income rose by about a third.
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Twitchett pg 54
  4. ^ Shiue, Carol H.; et al., ?, NBER, diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-05-28, diakses tanggal 2017-04-23 .
  5. ^ Maddison, Angus (2006), The World Economy. A Millennial Perspective, Historical Statistics, Vol. II, Vol. I, OECD, hlm. 629, ISBN 92-64-02261-9 .
  6. ^ Landes, David S. (1998), The Wealth and Poverty of Nations: Why Some Are So Rich and Some So Poor, New York: W.W. Norton & Co., hlm. 29–44, ISBN 0-393-04017-8 .

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]