Lompat ke isi

Selo Soemardjan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Soemardjan)
Selo Soemardjan

Prof. Dr. Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan (23 Mei 1915 – 11 Juni 2003) adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia. Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.

Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.

Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.

Penerima Bintang Mahaputera Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI).

Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia adalah ilmuwan sosial yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.

Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.

Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang bersih dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.

Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (19731978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.

Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959—seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS—mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.

Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justru mengajar di Fakultas Hukum UI.

Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.

Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.

Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.

Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.

Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.

Pendidikan

[sunting | sunting sumber]
  • HIS, Yogyakarta (19211928)
  • MULO, Yogyakarta (19281931)
  • MOSVIA, Magelang (19311934)
  • Universitas Cornell, Ithaca, New York, AS (Sarjana, 1959 Doktor, 1959)
  • Pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (19351949)
  • Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya (19491950)
  • Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri (19501956)
  • Sekretaris Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (19591961)
  • Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
  • Sekretaris Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri (19661973)
  • Sekretaris Wakil Presiden RI (19731978)
  • Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (19781983)
  • Staf Ahli Presiden RI (19601998)
  • Guru Besar Universitas Indonesia

Hasil pemikiran

[sunting | sunting sumber]

Penciptaan kebudayaan

[sunting | sunting sumber]

Selo Soemardjan menetapkan tiga kemampuan manusia yang menjadi penyebab terciptanya kebudayaan. Ketiganya adalah cipta, rasa dan karsa. Cipta diartikannya sebagai kemampuan manusia untuk mendayagunakan pikirannya. Bentuk pendayagunaannya berupa ilmu yang berkaitan dengan bahasa, hukum, politik,teknologi dan ekonomi. Rasa adalah kemampuan jiwa manusia untuk memberi penilaian terhadap sesuatu menjadi dua hal yang berlawanan. Misalnya penilaian baik dan buruk, indah dan jeleks, atau halus dan kasar. Sementara karsa adalah kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia dalam menentukan pilihan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.[1]

Karya Buku

[sunting | sunting sumber]
  • Social Changes in Yogyakarta (1962)
  • Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963)
  • Desentralisasi Pemerintahan

Penghargaan

[sunting | sunting sumber]
  • Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah 17 Agustus 1994
  • Gelar ilmuwan utama sosiologi 30 Agustus 1994
  • Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Jati, B. M. E., dan Pryambodo, T. K. (2015). Maya, ed. Kewirausahaan: Technopreneurship untuk Mahasiswa Ilmu-ilmu Eksakta. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta. hlm. 22. ISBN 978-979-29-5138-7. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]