Wayang kulit Gagrag Banyumasan
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Wayang kulit gagrag Banyumasan adalah salah satu gaya pedalangan di tanah Jawa, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran, dan berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para pakar yang memahami benar. Pakeliran ini mencakup unsur-unsur yaitu, lakon wayang (penyajian alur cerita dan maknanya), sabet (seluruh gerak wayang), catur (narasi dan cakapan), karawitan (gendhing, sulukan, dan properti panggung).
Gaya kerakyatan Banyumas
[sunting | sunting sumber]Pakeliran gagrag Banyumasan, mempunyai nuansa kerakyatan yang kental sebagaimana karakter masyarakatnya, jujur dan terus terang, dan hidup serta berkembang di daerah eks-Karesidenan Banyumas, merupakan ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas dan mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan zaman, karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakatnya.
Hal ini berbeda dengan pakeliran gaya kerakyatan daerah lain, yang cenderung punah terutama di daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan Keraton, misalkan saja Wonogiri, Sragen dan Karanganyar, di mana pengaruh pedalangan Keraton seperti Kasunanan Surakarta dengan Pasinaon Dhalang Surakarta (Padhasuka (1923)), awal tahun 1920 Mangkunegaran mendirikan Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PMDN), dan Kesultanan Yogyakarta dengan pendirian seni pedalangan Hambiwarakake Rancangan Andhalang (Habirandha (1925)), cenderung menekan pakeliran gaya kerakyatan sekitarnya, dan mejadikan pelestariannya merupakan tantangan tersendiri.
Pedalangan gagrag Banyumasan, memperoleh pengaruh serta memiliki tatanan atau pakem dari seni pedalangan Surakarta dan Yogyakarta, akan tetapi mempunyai ciri khas tersendiri dengan penokohan Bawor dengan lagu "Kembang Lepang" serta Gendhing Banyumasan. Seni pedhalangan gagrag Banyumasan ini kemudian dibakukan dan dilestarikan oleh para pakar pedhalangan Banyumas dalam paguyuban ganasidi/pedalangan eks-Karesidenan Banyumas, yang diselenggarakan di Kawedanan Bukateja tanggal 21 April 1979.
Perkembangan pedalangan
[sunting | sunting sumber]Seperti juga seni pedalangan Indonesia yang lain, berkembang semenjak pengaruh Hindu, dengan berdirinya Mataram Hindu dengan serat Ramayana, era 898 M dalam bahasa Sanskerta dengan pengaruh India yang kuat, kemudian berkembang sejalan dengan penggunaan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi. Seni pedhalangan memasuki zaman keemasan pada era Kediri (1042-1222) dalam pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1157), berkembangnya penulisan dan karya sastra seperti serat Bharatayuda, serat Hariwangsa, serat Gathutkacasraya oleh Mpu Panuluh dan wayang purwa yang merupakan cikal bakal dan perkembangan seni pedalangan di Nusantara.
Zaman kesultanan
[sunting | sunting sumber]Pengaruh kuat lainnya pada pedalangan Banyumasan, yaitu pada zaman kesultanan Demak (1478-1546), kemudian Kesultanan Pajang (1546–1587), sampai dengan pengaruh Mataram pada zaman Plered (1645-1677) era Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai perhatian besar untuk karesidenan Banyumas, dan mengutus dalang Ki Lebdajiwa ke Ajibarang, untuk lebih mengembangkan seni pedalangan gagrag Banyumasan.
Pengaruh gagrag Mataram
[sunting | sunting sumber]Pengaruh gagrag Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul, dan dikenal dengan seni pedalangan Banyumas pesisiran atau gagrag kidul gunung, pengaruhnya dapat diketahui sampai dengan kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dalang trah Gombong, yaitu Ki Cerma sampai dengan Ki Dhalang Menganti.
Gagrag lor gunung
[sunting | sunting sumber]Sedangkan kawasan depan Banyumas (dari Purbalingga kemudian menyusuri Sungai Serayu, menuju ke arah Barat), mempunyai pakeliran tersendiri dan dikenal dengan gagrag lor gunung, seperti berkembang melalui dalang trah Kesugihan (aslinya dari pengembangan pesisiran) di antaranya Ki Dalang Tutur, dan terus berkembang sampai dengan era Ki Dalang Parsa, Ki Dalang Sugih. Akan tetapi yang cenderung tidak terpengaruh dhalang pesisiran adalah Ki Dalang Waryan dari Kalimanah.
Sampai sekarang tetap dikenal dan lestari seni tradisional, yaitu Pedalangan Gagrag Banyumasan Kidul Gunung dan Pedalangan Gagrag Banyumasan Lor Gunung (Redi Kendeng).
Lakon
[sunting | sunting sumber]Wayang gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas dalam penceritaan yang lebih memperjelas peran rakyat kecil yang dimanifestasikan dalam tokoh punakawan seperti cerita Bawor Dadi Ratu, Petruk Krama dan lain-lain. Selain itu pula, wayang gagrag Banyumasan lebih menonjolkan peran para muda dalam penyelesaian kasus-kasus dan permasalahan. Cerita Srikandi Mbarang Lengger' yang merupakan terusan lakon Srenggini Takon Rama adalah salah satu contoh kongkrit bahwa peran pemuda seperti Antasena dan Wisanggeni menjadi sangat sentral.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Bacaan lanjutan
[sunting | sunting sumber]- Patokan Pedhalangan Gagrag Banyumasan, Sek.Nas.Pewayangan Indonesia - Senawangi, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1983
- Pratiwimba Adhiluhung-Sejarah dan Perkembangan Wayang, S. Haryanto, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1988
- Koleksi Wayang kulit Gagrag Banyumasan di Museum Wayang Jakarta Diarsipkan 2011-03-16 di Wayback Machine.
- Lakon Wahyu Tridaya oleh Ki Sugino dalang Wayang Banyumasan Diarsipkan 2011-02-12 di Wayback Machine.
- Wayang kulit Gagrag Banyumasan[pranala nonaktif permanen]