Lompat ke isi

Rumah panggung Betawi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
HaEr48 (bicara | kontrib)
→‎Sejarah: sedikit copyedit agar lebih sesuai kebiasaan penulisan di Wikipedia, tambahkan {{butuh rujukan}} untuk paragraf tanpa rujukan.
Baris 1: Baris 1:
'''Rumah Panggung Betawi''' merupakan salah satu alternatif model rumah tinggal tradisional [[suku Betawi]] selain yang tidak menggunakan panggung. Hunian panggung orang Betawi biasanya dibangun di area [[Rawa|rawa-rawa]], [[Daratan|darat]], [[Daerah aliran sungai|Daerah Aliran Sungai]] (DAS), dan beberapa wilayah di [[pesisir]] Jakarta.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=42 : “Rumah Betawi berbentuk panggung ini biasanya berada di pesisir, rawa atau daerah aliran sungai ..."}} Secara umum konsep rumah panggung adalah mengangkat lantai rumah dari tanah. Hal demikian bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan keamanan, kondisi tanah dan juga iklim{{Sfn|Sarjono|(2006)|p=24 : “Secara umum, bentuk panggung dibuat dengan mengangkat lantai rumah dari tanah ..."}}. Lantai rumah panggung Betawi diangkat dengan tiang-tiang berbahan kayu. Kecuali yang tanpa panggung, tinggi tiang rumah panggung berbeda-beda sesuai di mana rumah tersebut didirikan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15 :"Jadi sudah jelas bahwa variasi rumah etnik Betawi menyesuaikan dengan sebaran komunitas Betawi beserta kondisi alam lingkungannya ..."}} Rumah Panggung Betawi kurang begitu dikenal ketimbang Rumah Betawi Darat.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=54 : “Sebagian besar orang kemudian mengenali rumah Betawi sebagai ‘rumah darat’ karena bentuk ini yang sering dimunculkan dalam kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah DKI Jakarta ..."}} Rumah Betawi yang menggunakan konsep panggung umumnya didirikan di wilayah Betawi Pesisir, Betawi Udik (atau disebut juga dengan Betawi Ora){{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=79-80 : “Hanya tinggal satu rumah saja yang sebagian ruangnya masih berupa panggung yaitu rumah Haji Sarpin (alm), ayah dari H. Marja yang terletak di Kampung Jati ..."}}, dan Betawi Pinggir.{{Sfn|Salim|(2015)|p=397 : “Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si Pitung di Marunda. Atap berbentuk bapang, joglo, dan sebagainya ..."}} Keberadaan rumah-rumah panggung Betawi tersebut terancam atau bahkan boleh dibilang sudah punah.{{Sfn|Abdullah|(2002)|p=6 :" Salah satu yang masih tersisa dari rumah jenis ini adalah sebuah rumah di kawasan Marunda, yang dikenal dengan nama rumah si Pitung ..."}}{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=9 : “Melalui kejelasan sejarah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk dapat melestarikan kebudayaan serta arsitektur rumah Betawi Ora yang sekarang ini terancam punah ..."}}{{Sfn|Nur|(2016)|p=16 : “Rumah Tradisional Masyarakat Bekasi atau Melayu Betawi dapat dikatakan hampir menuju kepunahan ..."}} [[Berkas:Tampak depan Rumah si Pitung Marunda.jpg|jmpl|Tampak depan Rumah si Pitung atau sering disebut Rumah Tinggi di Kelurahan [[Marunda, Cilincing, Jakarta Utara|Marunda]] [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]]. Merupakan rumah adat panggung khas Betawi di wilayah pesisir.|al=]]
'''Rumah Panggung Betawi''' merupakan salah satu alternatif model rumah tinggal tradisional [[suku Betawi]] selain yang tidak menggunakan panggung. Hunian panggung orang Betawi biasanya dibangun di area [[Rawa|rawa-rawa]], [[Daratan|darat]], [[Daerah aliran sungai|Daerah Aliran Sungai]] (DAS), dan beberapa wilayah di [[pesisir]] Jakarta.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=42 : “Rumah Betawi berbentuk panggung ini biasanya berada di pesisir, rawa atau daerah aliran sungai ..."}} Secara umum konsep rumah panggung adalah mengangkat lantai rumah dari tanah. Hal demikian bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan keamanan, kondisi tanah dan juga iklim{{Sfn|Sarjono|(2006)|p=24 : “Secara umum, bentuk panggung dibuat dengan mengangkat lantai rumah dari tanah ..."}}. Lantai rumah panggung Betawi diangkat dengan tiang-tiang berbahan kayu. Kecuali yang tanpa panggung, tinggi tiang rumah panggung berbeda-beda sesuai di mana rumah tersebut didirikan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15 :"Jadi sudah jelas bahwa variasi rumah etnik Betawi menyesuaikan dengan sebaran komunitas Betawi beserta kondisi alam lingkungannya ..."}} Rumah Panggung Betawi kurang begitu dikenal ketimbang Rumah Betawi Darat.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=54 : “Sebagian besar orang kemudian mengenali rumah Betawi sebagai ‘rumah darat’ karena bentuk ini yang sering dimunculkan dalam kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah DKI Jakarta ..."}} Rumah Betawi yang menggunakan konsep panggung umumnya didirikan di wilayah Betawi Pesisir, Betawi Udik (atau disebut juga dengan Betawi Ora){{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=79-80 : “Hanya tinggal satu rumah saja yang sebagian ruangnya masih berupa panggung yaitu rumah Haji Sarpin (alm), ayah dari H. Marja yang terletak di Kampung Jati ..."}}, dan Betawi Pinggir.{{Sfn|Salim|(2015)|p=397 : “Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si Pitung di Marunda. Atap berbentuk bapang, joglo, dan sebagainya ..."}} Keberadaan rumah-rumah panggung Betawi tersebut terancam atau bahkan boleh dibilang sudah punah.{{Sfn|Abdullah|(2002)|p=6 :" Salah satu yang masih tersisa dari rumah jenis ini adalah sebuah rumah di kawasan Marunda, yang dikenal dengan nama rumah si Pitung ..."}}{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=9 : “Melalui kejelasan sejarah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk dapat melestarikan kebudayaan serta arsitektur rumah Betawi Ora yang sekarang ini terancam punah ..."}}{{Sfn|Nur|(2016)|p=16 : “Rumah Tradisional Masyarakat Bekasi atau Melayu Betawi dapat dikatakan hampir menuju kepunahan ..."}} [[Berkas:Tampak depan Rumah si Pitung Marunda.jpg|jmpl|Tampak depan Rumah si Pitung atau sering disebut Rumah Tinggi di Kelurahan [[Marunda, Cilincing, Jakarta Utara|Marunda]] [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]]. Merupakan rumah adat panggung khas Betawi di wilayah pesisir.|al=]]
== Sejarah ==
== Sejarah ==
Asal-usul kata Betawi berasal dari kata [[Batavia]] yang diberikan oleh [[Hindia Belanda]] kepada para penghuni asli Batavia yang menggunakan [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|bahasa Melayu Kreol]]{{Efn|Asal kata Betawi diperdebatkan dalam Kongres Budaya Betawi tahun 2011. Sebagian peserta menyatakan kata Betawi berasal dari nama pohon ketepeng yang batang kayunya dimanfaatkan untuk gagang golok, senjata tradisional orang Betawi ({{harvnb|Kusumawardhani|(2012)|pp=36}})}}. Suku Betawi sendiri merupakan hasil [[akulturasi]] antar etnis nusantara dan bangsa yang bermigrasi lalu menetap di Batavia.{{Sfn|Leo, dkk|(2019)|p=10 : “Kata Betawi berasal dari kata Batavia, yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda ..."}} Sebut saja [[Suku Sunda]], [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Makassar|Makassar]], [[Suku Bugis|Bugis]], Malaka, [[Suku Ambon|Ambon]], [[Suku Sumbawa|Sumbawa]], dan lain-lain. Beberapa bangsa juga singgah dan menetap di Batavia: [[Tionghoa]], [[Bangsa Arab|Arab]], [[Orang India|India]], dan [[Bangsa Portugis|Portugis]]. Mereka lalu menikah satu sama lain sehingga melahirkan generasi baru yang merupakan cikal bakal masyarakat Betawi. Meskipun demikian, kebudayaan yang paling dominan pada kelompok etnis baru tersebut tetaplah kebudayaan Melayu, dengan tentunya terdapat banyak perubahan dan penyesuaian.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=9 : “Kawasan ini kemudian menjadi daerah kekuasaan Tarumanegara dan Pakuan yang berlatar belakang Sunda hingga abad ke-16. Oleh karena itu, wajar bila awalnya etnik Sunda telah mendominasi kawasan Betawi ..."}}
Asal-usul kata Betawi berasal dari kata [[Batavia]] yang diberikan oleh [[Hindia Belanda]] kepada para penghuni asli Batavia yang menggunakan [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|bahasa Melayu Kreol]]{{Efn|Asal kata Betawi diperdebatkan dalam Kongres Budaya Betawi tahun 2011. Sebagian peserta menyatakan kata Betawi berasal dari nama pohon ketepeng yang batang kayunya dimanfaatkan untuk gagang golok, senjata tradisional orang Betawi ({{harvnb|Kusumawardhani|(2012)|pp=36}})}}. Suku Betawi sendiri merupakan hasil [[akulturasi]] antar etnis nusantara dan bangsa yang bermigrasi lalu menetap di Batavia,{{Sfn|Leo, dkk|(2019)|p=10 : “Kata Betawi berasal dari kata Batavia, yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda ..."}} termasuk [[Suku Sunda]], [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Makassar|Makassar]], [[Suku Bugis|Bugis]], Malaka, [[Suku Ambon|Ambon]], [[Suku Sumbawa|Sumbawa]], dan lain-lain. Beberapa bangsa juga singgah dan menetap di Batavia: [[Tionghoa]], [[Bangsa Arab|Arab]], [[Orang India|India]], dan [[Bangsa Portugis|Portugis]]. Mereka lalu menikah satu sama lain sehingga melahirkan generasi baru yang merupakan cikal bakal masyarakat Betawi. Meskipun demikian, kebudayaan yang paling dominan pada kelompok etnis baru tersebut tetaplah kebudayaan Melayu, dengan tentunya terdapat banyak perubahan dan penyesuaian.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=9 : “Kawasan ini kemudian menjadi daerah kekuasaan Tarumanegara dan Pakuan yang berlatar belakang Sunda hingga abad ke-16. Oleh karena itu, wajar bila awalnya etnik Sunda telah mendominasi kawasan Betawi ..."}}
[[Berkas:Batavia 1914.jpg|jmpl|Peta Kota Batavia (Kini Jakarta) pada tahun 1914]]
[[Berkas:Batavia 1914.jpg|jmpl|Peta Kota Batavia (Kini Jakarta) pada tahun 1914]]
Suku Betawi tinggal di daerah pesisir sejak awal kota Batavia terbentuk. Mereka hidup dan menetap di muara sungai [[Ci Liwung|Ciliwung]]. Dari wilayah pesisir (muara sungai) mereka lalu menyebar ke tengah hingga ke daerah-daerah di pinggiran kota Batavia. Penyebaran tempat tinggal itu kemudian memecah Betawi ke dalam empat subetnis. Mereka terdiri dari Betawi Pesisir, Tengah, Pinggir, dan Betawi Udik (atau disebut juga dengan Betawi Ora{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=2 : “Luasnya wilayah sebaran etnis Betawi ini kemudian secara geografis dibagi lagi berdasarkan wilayah tempat mereka bermukim, yaitu Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik atau disebut juga sebagai Betawi Ora ..."}}).{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=10-15 : “Sejak awal terbentuknya kota Jakarta, daerah pesisir adalah tempat bermula suku ini berasal ..."}}
Suku Betawi tinggal di daerah pesisir sejak awal kota Batavia terbentuk. Mereka hidup dan menetap di muara sungai [[Ci Liwung|Ciliwung]]. Dari wilayah pesisir (muara sungai) mereka lalu menyebar ke tengah hingga ke daerah-daerah di pinggiran kota Batavia. Penyebaran tempat tinggal itu kemudian memecah Betawi ke dalam empat subetnis. Mereka terdiri dari Betawi Pesisir, Tengah, Pinggir, dan Betawi Udik (atau disebut juga dengan Betawi Ora{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=2 : “Luasnya wilayah sebaran etnis Betawi ini kemudian secara geografis dibagi lagi berdasarkan wilayah tempat mereka bermukim, yaitu Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik atau disebut juga sebagai Betawi Ora ..."}}).{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=10-15 : “Sejak awal terbentuknya kota Jakarta, daerah pesisir adalah tempat bermula suku ini berasal ..."}}
Baris 14: Baris 14:
=== Mulai Punah ===
=== Mulai Punah ===
[[Berkas:Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo.jpg|jmpl|Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]], salah satu rumah di Betawi Pesisir yang masih tersisa. Tidak terawat karena ditinggalkan penghuninya.|al=]]
[[Berkas:Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo.jpg|jmpl|Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]], salah satu rumah di Betawi Pesisir yang masih tersisa. Tidak terawat karena ditinggalkan penghuninya.|al=]]
Banyak yang mengenali rumah tradisional Betawi sebagai Rumah Darat atau sering disebut Rumah Depok, bukan rumah berbentuk panggung.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=54 : “Sebagian besar orang kemudian mengenali rumah Betawi sebagai ‘rumah darat’ karena bentuk ini yang sering dimunculkan dalam kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah DKI Jakarta ..."}} Rumah Darat merupakan istilah bagi orang Betawi untuk menunjuk rumah yang lantainya dibangun di atas permukaan tanah.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=54 : “Saidi mengutarakan tentang masyarakat Betawi yang mengenal bentuk rumah panggung dikarenakan dahulunya mereka tergolong masyarakat rawa ..."}} Rumah darat yang dikenal masyarakat umum adalah rumah-rumah yang ditemui dalam komunitas masyarakat Betawi Tengah. Hal ini karena Rumah Daratlah yang sering diangkat dalam forum-forum kebudayaan yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rumah Darat bisa dilihat replikanya di Kampung Budaya Betawi [[Setu Babakan]]{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=54 : “Sebagian besar orang kemudian mengenali rumah Betawi sebagai ‘rumah darat’ karena bentuk ini yang sering dimunculkan dalam kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah DKI Jakarta ..."}} dan di Anjungan DKI Jakarta, [[Taman Mini Indonesia Indah]] (TMII) Jakarta Timur.<ref>{{Cite web|url=http://www.tamanmini.com/anjungan/anjungan-dki-jakarta|title=Anjungan DKI Jakarta|last=|first=|date=|website=tamanmini|access-date=27 April 2019}}</ref> Rumah darat juga diangkat dalam beberapa acara televisi bertemakan Betawi, sebut saja [[Sinetron]] [[Si Doel Anak Sekolahan]].<ref name=":3">{{Cite web|url=https://www.medcom.id/properti/arsitektur/DkqqBqZk-apa-nama-tipe-rumah-si-doel-dalam-tradisi-betawi|title=Apa Nama Tipe Rumah Si Doel dalam Tradisi Betawi?|last=Badriyah|first=Laela|date=14 Februari 2019|website=medcom|access-date=15 April 2019}}</ref> Rumah Betawi Tengah yang dimaksud adalah jenis [[Rumah kebaya|Rumah Kebaya]] ([[Rumah kebaya|Rumah Bapang]]), [[Rumah Joglo]] dan [[Rumah Gudang]].{{Sfn|Suswandari|(2017)|p=91 : “Bentuk tradisional Betawi ada tiga macam. 1 Rumah tipe Gudang..."}}
Rumah tradisional Betawi yang lebih dikenal masyarakat adalah Rumah Darat atau sering disebut Rumah Depok, bukan rumah berbentuk panggung.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=54 : “Sebagian besar orang kemudian mengenali rumah Betawi sebagai ‘rumah darat’ karena bentuk ini yang sering dimunculkan dalam kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah DKI Jakarta ..."}} Rumah Darat merupakan istilah bagi orang Betawi untuk menunjuk rumah yang lantainya dibangun di atas permukaan tanah.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=54 : “Saidi mengutarakan tentang masyarakat Betawi yang mengenal bentuk rumah panggung dikarenakan dahulunya mereka tergolong masyarakat rawa ..."}} Rumah darat yang dikenal masyarakat umum adalah rumah-rumah yang ditemui dalam komunitas masyarakat Betawi Tengah. Hal ini karena Rumah Daratlah yang sering diangkat dalam forum-forum kebudayaan yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rumah Darat bisa dilihat replikanya di Kampung Budaya Betawi [[Setu Babakan]]{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=54 : “Sebagian besar orang kemudian mengenali rumah Betawi sebagai ‘rumah darat’ karena bentuk ini yang sering dimunculkan dalam kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah DKI Jakarta ..."}} dan di Anjungan DKI Jakarta, [[Taman Mini Indonesia Indah]] (TMII) Jakarta Timur.<ref>{{Cite web|url=http://www.tamanmini.com/anjungan/anjungan-dki-jakarta|title=Anjungan DKI Jakarta|last=|first=|date=|website=tamanmini|access-date=27 April 2019}}</ref> Rumah darat juga diangkat dalam beberapa acara televisi bertemakan Betawi, misalnya [[Sinetron]] [[Si Doel Anak Sekolahan]].<ref name=":3">{{Cite web|url=https://www.medcom.id/properti/arsitektur/DkqqBqZk-apa-nama-tipe-rumah-si-doel-dalam-tradisi-betawi|title=Apa Nama Tipe Rumah Si Doel dalam Tradisi Betawi?|last=Badriyah|first=Laela|date=14 Februari 2019|website=medcom|access-date=15 April 2019}}</ref> Rumah Betawi Tengah yang dimaksud adalah jenis [[Rumah kebaya|Rumah Kebaya]] ([[Rumah kebaya|Rumah Bapang]]), [[Rumah Joglo]] dan [[Rumah Gudang]].{{Sfn|Suswandari|(2017)|p=91 : “Bentuk tradisional Betawi ada tiga macam. 1 Rumah tipe Gudang..."}}


Rumah Panggung Betawi juga terdapat di wilayah Betawi Udik. Namun eksistensi rumah tersebut boleh dibilang sudah punah.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=9 : “Melalui kejelasan sejarah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk dapat melestarikan kebudayaan serta arsitektur rumah Betawi Ora yang sekarang ini terancam punah ..."}} Salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tinggal satu rumah di [[Kota Tangerang Selatan|Tangerang Selatan]] yang masih mempertahankan Rumah Panggung Betawi, itupun tidak semua bagian dari rumah tersebut. Pada era sebelum tahun 1960an, beberapa Rumah Panggung Betawi masih berdiri. Namun sejak akhir tahun 1960an satu persatu rumah-rumah tersebut ''didepokin'', mengambil istilah orang Betawi untuk menurunkan lantai rumah panggung mereka ke tanah.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=79-80 : “Hanya tinggal satu rumah saja yang sebagian ruangnya masih berupa panggung yaitu rumah Haji Sarpin (alm), ayah dari H. Marja yang terletak di Kampung Jati ..."}}
Rumah Panggung Betawi juga terdapat di wilayah Betawi Udik. Namun eksistensi rumah tersebut boleh dibilang sudah punah.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=9 : “Melalui kejelasan sejarah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk dapat melestarikan kebudayaan serta arsitektur rumah Betawi Ora yang sekarang ini terancam punah ..."}} Salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tinggal satu rumah di [[Kota Tangerang Selatan|Tangerang Selatan]] yang masih mempertahankan Rumah Panggung Betawi, itupun tidak semua bagian dari rumah tersebut. Pada era sebelum tahun 1960an, beberapa Rumah Panggung Betawi masih berdiri. Namun sejak akhir tahun 1960an satu persatu rumah-rumah tersebut ''didepokin'', atau diturunkan lantainya ke tanah.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=79-80 : “Hanya tinggal satu rumah saja yang sebagian ruangnya masih berupa panggung yaitu rumah Haji Sarpin (alm), ayah dari H. Marja yang terletak di Kampung Jati ..."}}


Beberapa penyebab kepunahan rumah-rumah Betawi Udik adalah langkanya material dan sudah tidak ada lagi tukang yang menguasai teknik membangun rumah tradisional tersebut. Termasuk soal filosofis bangunan, teknologi dan pemilihan material, waktu tebang pohon (material utama), dan teknik pengawetan secara alami. Memang masih ada keturunan dari ahli pembuat rumah Betawi Ora sebelumnya, namun keterampilan mereka lebih kepada bangunan rumah batu.
Beberapa penyebab kepunahan rumah-rumah Betawi Udik adalah langkanya material dan sudah tidak ada lagi tukang yang menguasai teknik membangun rumah tradisional tersebut, termasuk soal filosofis bangunan, teknologi dan pemilihan material, waktu tebang pohon (material utama), dan teknik pengawetan secara alami. Masih ada keturunan dari ahli pembuat rumah Betawi Ora sebelumnya, tetapi keterampilan mereka lebih kepada bangunan rumah batu.{{Butuh rujukan}}


Di daerah pinggiran Jakarta seperti di [[Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur|Kalisari]] masih dijumpai rumah-rumah yang berkolong, namun tidak setinggi seperti rumah Si Pitung atau rumah rumah orang Betawi Pesisir lainnya. Ada juga rumah-rumah Betawi yang kolongnya kurang lebih 20-30 cm di [[Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur|Pondok Rangon,]] [[Keranggan, Setu, Tangerang Selatan|Keranggan]], dan Tipar di [[Cakung, Jakarta Timur|Cakung]]. Rumah-rumah tersebut merupakan peralihan dari rumah berkolong ke rumah tanpa kolong.{{Sfn|Salim|(2015)|p=397 : “Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si Pitung di Marunda. Atap berbentuk bapang, joglo, dan sebagainya ..."}}
Di daerah pinggiran Jakarta seperti di [[Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur|Kalisari]] masih dijumpai rumah-rumah yang berkolong, namun tidak setinggi seperti rumah Si Pitung atau rumah rumah orang Betawi Pesisir lainnya. Ada juga rumah-rumah Betawi yang kolongnya kurang lebih 20-30 cm di [[Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur|Pondok Rangon,]] [[Keranggan, Setu, Tangerang Selatan|Keranggan]], dan Tipar di [[Cakung, Jakarta Timur|Cakung]]. Rumah-rumah tersebut merupakan peralihan dari rumah berkolong ke rumah tanpa kolong.{{Sfn|Salim|(2015)|p=397 : “Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si Pitung di Marunda. Atap berbentuk bapang, joglo, dan sebagainya ..."}}
Baris 120: Baris 120:
Seperti halnya rumah Betawi Pesisir, hunian pada Betawi Ora secara umum memanfaatkan material alam yang ada di sekeliling lingkungan mereka. Struktur utama menggunakan konstruksi kayu. Kayu nangka untuk kolom, balok, dan konstruksi atap. Kayu nangka yang dimanfaatkan mereka sebagai struktur utama adalah bagian lingkar terdalam. Bagian ini adalah bagian tertua dari keseluruhan kaya dan yang paling keras. Dinding sisi samping dan belakang pada sebagian rumah Betawi Ora ada yang sudah menggunakan batu bata kira-kira semeter. Sedangkan sisanya ditutup bilik bambu. Seluruh bagian dinding depan rumah mereka merupakan papan terbuat dari kayu nangka yang disusun tegak berjejer.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=76 : “Rumah Betawi Ora umumnya menggunakan material alam yang terdapat di sekeliling mereka. Struktur utama menggunakan konstruksi kayu, umumnya memakai kayu nangka untuk kolom, balok, dan konstruksi atapnya ..."}}
Seperti halnya rumah Betawi Pesisir, hunian pada Betawi Ora secara umum memanfaatkan material alam yang ada di sekeliling lingkungan mereka. Struktur utama menggunakan konstruksi kayu. Kayu nangka untuk kolom, balok, dan konstruksi atap. Kayu nangka yang dimanfaatkan mereka sebagai struktur utama adalah bagian lingkar terdalam. Bagian ini adalah bagian tertua dari keseluruhan kaya dan yang paling keras. Dinding sisi samping dan belakang pada sebagian rumah Betawi Ora ada yang sudah menggunakan batu bata kira-kira semeter. Sedangkan sisanya ditutup bilik bambu. Seluruh bagian dinding depan rumah mereka merupakan papan terbuat dari kayu nangka yang disusun tegak berjejer.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=76 : “Rumah Betawi Ora umumnya menggunakan material alam yang terdapat di sekeliling mereka. Struktur utama menggunakan konstruksi kayu, umumnya memakai kayu nangka untuk kolom, balok, dan konstruksi atapnya ..."}}


Orang Betawi Ora memiliki kepercayaan untuk tidak menggunakan kayu dari pohon yang daunnya gugur dengan sendirinya. Misalnya pohon petai cina yang daunnya mudah rontok ketika tertiup angin. Alasannya, jika memilih pohon tersebut, dikhawatirkan si pemilik rumah akan lemah menyerupai daun tersebut. Maka dipilihlah kayu nangka yang daunnya tidak mudah rontok. Terlepas dari kepercayaan tersebut, pohon dengan daun yang mudah gugur biasanya tergolong tanaman yang kayunya memiliki kekuatan lebih rendah daripada tanaman yang berdaun tebal, lebih lembek dan mudah lapuk.
Orang Betawi Ora memiliki kepercayaan untuk tidak menggunakan kayu dari pohon yang daunnya gugur dengan sendirinya. Misalnya pohon petai cina yang daunnya mudah rontok ketika tertiup angin. Alasannya, jika memilih pohon tersebut, dikhawatirkan si pemilik rumah akan lemah menyerupai daun tersebut. Maka dipilihlah kayu nangka yang daunnya tidak mudah rontok. Terlepas dari kepercayaan tersebut, pohon dengan daun yang mudah gugur biasanya tergolong tanaman yang kayunya memiliki kekuatan lebih rendah daripada tanaman yang berdaun tebal, lebih lembek dan mudah lapuk.{{Butuh rujukan}}


Kayu nangka tidak dipakai mereka untuk bagian-bagian yang berada di bagian bawah rumah atau dekat dengan tanah. Menurut mereka kayu nangka pantang untuk dilangkahi apalagi diinjak – injak. Terlepas dari pendapat tersebut, kayu nangka memang tahan terhadap rayap, karena kayu ini mengeluarkan getah dan bau yang tidak disukai rayap. Namun kayu ini punya kelemahan, yakni tidak tahan terhadap lembab dan air. Jika kayu nangka digunakan sebagai bahan baku yang bersentuhan langsung  dengan permukaan tanah, maka kayu tersebut akan  lembab dan basah sehingga mudah lapuk.
Kayu nangka tidak dipakai mereka untuk bagian-bagian yang berada di bagian bawah rumah atau dekat dengan tanah. Menurut mereka kayu nangka pantang untuk dilangkahi apalagi diinjak – injak. Terlepas dari pendapat tersebut, kayu nangka memang tahan terhadap rayap, karena kayu ini mengeluarkan getah dan bau yang tidak disukai rayap. Namun kayu ini punya kelemahan, yakni tidak tahan terhadap lembab dan air. Jika kayu nangka digunakan sebagai bahan baku yang bersentuhan langsung  dengan permukaan tanah, maka kayu tersebut akan  lembab dan basah sehingga mudah lapuk.{{Butuh rujukan}}


Selain kayu, Komunitas Betawi Ora juga memanfaatkan bambu sebagai bahan material rumahnya. Dinding rumah dan lantai mereka menggunakan bambu yang dianyam. Sementara itu sebagai reng pada bagian atap, bambu utuh yang digunakan. Model anyaman bambu pada dinding dibentuk menjadi bilah-bilah panjang yang kemudian dianyam saling silang membentuk lembaran. Anyaman tersebut meski rapat namun masih menyisakan celah kecil yang berfungsi mirip dengan ventilasi udara. Anyaman bambu pada lantai polanya mirip dengan anyaman di dinding. Namun demi alasan kekuatan, mengingat lantai menahan beban berat pada penghuni rumah, maka seringkali digunakan bambu utuh yang dipipihkan lalu diikat satu sama lain sehingga hingga membentuk bentangan yang ditopang balok-balok kayu di bawahnya.
Selain kayu, Komunitas Betawi Ora juga memanfaatkan bambu sebagai bahan material rumahnya. Dinding rumah dan lantai mereka menggunakan bambu yang dianyam. Sementara itu sebagai reng pada bagian atap, bambu utuh yang digunakan. Model anyaman bambu pada dinding dibentuk menjadi bilah-bilah panjang yang kemudian dianyam saling silang membentuk lembaran. Anyaman tersebut meski rapat namun masih menyisakan celah kecil yang berfungsi mirip dengan ventilasi udara. Anyaman bambu pada lantai polanya mirip dengan anyaman di dinding. Namun demi alasan kekuatan, mengingat lantai menahan beban berat pada penghuni rumah, maka seringkali digunakan bambu utuh yang dipipihkan lalu diikat satu sama lain sehingga hingga membentuk bentangan yang ditopang balok-balok kayu di bawahnya.{{Butuh rujukan}}


=== Proses Pembangunan ===
=== Proses Pembangunan ===
Pembuatan Rumah Betawi Panggung diawali dengan penentuan lokasi. Lokasi paling ideal adalah berdekatan dan membelakangi air yang mengalir. Setelah lokasi telah ditetapkan proses pembangunan dimulai. Awalnya tanah dikeraskan terlebih dahulu menggunakan pecahan. Kemudian tanah diratakan (didatarkan) agar umpak (pondasi rumah) mampu mencengkeram tanah dengan seimbang.<ref name=":5" />
Pembuatan Rumah Betawi Panggung diawali dengan penentuan lokasi. Lokasi paling ideal adalah berdekatan dan membelakangi air yang mengalir. Setelah lokasi telah ditetapkan proses pembangunan dimulai. Awalnya tanah dikeraskan terlebih dahulu menggunakan pecahan. Kemudian tanah diratakan (didatarkan) agar umpak (pondasi rumah) mampu mencengkeram tanah dengan seimbang.<ref name=":5" />


Setelah urusan tanah siap, kini saatnya membuat rangka. Rangka rumah terdiri dari 20 tiang panggung. Tiang-tiang ini sekaligus menjadi tiang rangka utama rumah dengan formasi 4x5. Rangka tidak dibuat di atas tanah di mana rumah hendak dibangun. Rangka rumah lalu dipindahkan dan didudukkan di atas umpak yang tadi telah dipersiapkan. Biasanya di sela-sela rangka rumah digelar tikar untuk acara [[selamatan]].
Setelah urusan tanah siap, kini saatnya membuat rangka. Rangka rumah terdiri dari 20 tiang panggung. Tiang-tiang ini sekaligus menjadi tiang rangka utama rumah dengan formasi 4x5. Rangka tidak dibuat di atas tanah di mana rumah hendak dibangun. Rangka rumah lalu dipindahkan dan didudukkan di atas umpak yang tadi telah dipersiapkan. Biasanya di sela-sela rangka rumah digelar tikar untuk acara [[selamatan]].{{Butuh rujukan}}


Tahap selanjutnya adalah memasang landasan lantai rumah, yang terbuat dari bambu yang dijajarkan. Setelah lantai selesai lalu berlanjut membuat dinding rumah. Dinding rumah terbuat dari papan yang dijajarkan. Pemasangan papan dilakukan tanpa jarak dengan menggunakan paku. Setelah selesai kini waktunya membuat langit-langit rumah. [[Langit-langit]] terbuat dari anyaman bambu (bilik). Setelah siap semua, kemudian dipasanglah genteng merah untuk atap rumahnya.
Tahap selanjutnya adalah memasang landasan lantai rumah, yang terbuat dari bambu yang dijajarkan. Setelah lantai selesai lalu berlanjut membuat dinding rumah. Dinding rumah terbuat dari papan yang dijajarkan. Pemasangan papan dilakukan tanpa jarak dengan menggunakan paku. Setelah selesai kini waktunya membuat langit-langit rumah. [[Langit-langit]] terbuat dari anyaman bambu (bilik). Setelah siap semua, kemudian dipasanglah genteng merah untuk atap rumahnya.{{Butuh rujukan}}


Setelah bagian-bagian penting dibuat dan dipasang, lalu saatnya membuat ruangan. Setiap ruangan merupakan bagian yang dibatasi oleh empat buah tiang utama. Dengan formasi tiang 4x5m, berarti terdapat empat ruang yang berderetan. Pintu dipasang agak ke samping kiri atau kanan agar angin tidak berhembus langsung ke dalam seluruh ruangan. Hal ini juga dilakukan dalam rangka melindungi tempat tidur dan dapur dari penglihatan orang.
Setelah bagian-bagian penting dibuat dan dipasang, lalu saatnya membuat ruangan. Setiap ruangan merupakan bagian yang dibatasi oleh empat buah tiang utama. Dengan formasi tiang 4x5m, berarti terdapat empat ruang yang berderetan. Pintu dipasang agak ke samping kiri atau kanan agar angin tidak berhembus langsung ke dalam seluruh ruangan. Hal ini juga dilakukan dalam rangka melindungi tempat tidur dan dapur dari penglihatan orang.{{Butuh rujukan}}


Kini waktunya membuat bangunan tambahan. Bangunan ini dibangun menempel dan sama tinggi dengan bangunan utama. Didirikan di atas 12 umpak dengan pondasi 3x4 m. Bambu yang digunakan sebagai tiang adalah [[bambu betung]] (bambu yang besar dan kuat). Bangunan tambahan ini berdinding bilik seperti bangunan utama. Sedangkan lantainya terbuat dari ''jaro-jaro'' atau bilah-bilah bambu yang dipasang agak renggang. Atap bangunan tambahan merupakan genteng merah yang disusun sedemikian rupa. Setelah itu lalu dibangunlah jamban (WC). Tidak begitu besar, hanya 1x1 m dan dibangun tanpa atap. [[Toilet|Jamban]] didirikan di atas air dan dihubungkan dengan bagian belakang rumah melalui titian (seperti jembatan untuk menyeberang) yang bisa terbuat dari bambu ataupun kayu. .
Kini waktunya membuat bangunan tambahan. Bangunan ini dibangun menempel dan sama tinggi dengan bangunan utama. Didirikan di atas 12 umpak dengan pondasi 3x4 m. Bambu yang digunakan sebagai tiang adalah [[bambu betung]] (bambu yang besar dan kuat). Bangunan tambahan ini berdinding bilik seperti bangunan utama. Sedangkan lantainya terbuat dari ''jaro-jaro'' atau bilah-bilah bambu yang dipasang agak renggang. Atap bangunan tambahan merupakan genteng merah yang disusun sedemikian rupa. Setelah itu lalu dibangunlah jamban (WC). Tidak begitu besar, hanya 1x1 m dan dibangun tanpa atap. [[Toilet|Jamban]] didirikan di atas air dan dihubungkan dengan bagian belakang rumah melalui titian (seperti jembatan untuk menyeberang) yang bisa terbuat dari bambu ataupun kayu.{{Butuh rujukan}}


Orang Betawi terkenal dengan budaya gotong royongnya{{Sfn|Anggraeni, dkk|(2019)|p=101 : “Masyarakat Betawi berpegang teguh pada kearifan nilai gotong royong dalam menjalankan berbagai kegiatan kemasyarakatan ..."}}, begitu juga dengan Betawi Ora. Bahan baku kayu dikumpulkan dengan cara bergotong royong:  Mulai dari pencarian, penebangan, hingga proses pengangkutan kayu ke lokasi rumah yang hendak dibangun. Si pemilik rumah biasanya sekedar menyiapkan air minum dan makanan berupa ubi rebus untuk sekedar pengganti lelah.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=77 : “Untuk memperoleh kayu sebagai bahan baku material, biasanya masyarakat bergotong royong untuk mengumpulkan bahan baku tersebut ..."}}
Orang Betawi terkenal dengan budaya gotong royongnya{{Sfn|Anggraeni, dkk|(2019)|p=101 : “Masyarakat Betawi berpegang teguh pada kearifan nilai gotong royong dalam menjalankan berbagai kegiatan kemasyarakatan ..."}}, begitu juga dengan Betawi Ora. Bahan baku kayu dikumpulkan dengan cara bergotong royong:  Mulai dari pencarian, penebangan, hingga proses pengangkutan kayu ke lokasi rumah yang hendak dibangun. Si pemilik rumah biasanya sekedar menyiapkan air minum dan makanan berupa ubi rebus untuk sekedar pengganti lelah.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=77 : “Untuk memperoleh kayu sebagai bahan baku material, biasanya masyarakat bergotong royong untuk mengumpulkan bahan baku tersebut ..."}}


Selain kayu, Orang Betawi Ora memanfaatkan bambu sebagai material, khususnya untuk dinding dan lantai. Mereka tidak sembarang mimilih bambu. Bambu merupakan tanaman yang dapat menyimpan air di dalam ruas-ruasnya, yang menjadikan tanaman sejenis perdu ini rentan lapuk. Maka harus dipilih bambu yang kuat dan awet. Mereka mempunyai trik tersendiri. Untuk mendapatkan bambu yang kuat dan tahan lama, Orang Betawi Ora tidak sembarang waktu menebangnya. Mereka memakai perhitungan kalender untuk menentukan kapan bambu-bambu tidak berada dalam kondisi terlalu basah maupun terlalu kering. Agar bertambah kuat dan awet, mereka melakukan pengawetan alami. Caranya, setelah ditebang, bambu didirikan tegak untuk kemudian didiamkan beberapa waktu sebelum digunakan. Metode tersebut juga sekaligus agar bambu tidak mudah lapuk dan dimakan rayap.
Selain kayu, Orang Betawi Ora memanfaatkan bambu sebagai material, khususnya untuk dinding dan lantai. Mereka tidak sembarang mimilih bambu. Bambu merupakan tanaman yang dapat menyimpan air di dalam ruas-ruasnya, yang menjadikan tanaman sejenis perdu ini rentan lapuk. Maka harus dipilih bambu yang kuat dan awet. Mereka mempunyai trik tersendiri. Untuk mendapatkan bambu yang kuat dan tahan lama, Orang Betawi Ora tidak sembarang waktu menebangnya. Mereka memakai perhitungan kalender untuk menentukan kapan bambu-bambu tidak berada dalam kondisi terlalu basah maupun terlalu kering. Agar bertambah kuat dan awet, mereka melakukan pengawetan alami. Caranya, setelah ditebang, bambu didirikan tegak untuk kemudian didiamkan beberapa waktu sebelum digunakan. Metode tersebut juga sekaligus agar bambu tidak mudah lapuk dan dimakan rayap.{{Butuh rujukan}}


Ketika awal membangun rumah, yang mereka dirikan terlebih dahulu adalah dua kolom utama (tiang). Di kolom itulah akan diletakkan pintu utama. Dua tiang tersebut harus berdiri tegak dan kokoh. Makna filosofisnya adalah agar si pemilik rumah juga kuat ketika nanti menghuni rumahnya. Secara keilmuan, memang posisi kedua tiang tersebut vital. Hal ini mengingat posisinya berada di tengah dan menjadi acuan atau patokan untuk bidang-bidang lain yang akan dibangun nanti. Seperti halnya Rumah Betawi Pesisir, rumah Betawi Ora dibangun dengan sistem ''knock down.'' Maka dibutuhkan keakuratan ketika memasang sambungan-sambungan setiap bagian. Nantinya ketika keseluruhan rangka bangunan tergabung menjadi satu maka konstruksi akan menjadi kokoh. Keuntungan sistem rangka seperti ini, ketika bangunan akan diperbaiki, rangka tinggal diangkat dan dipindahkan saja tanpa terlebih dahulu dilepas satu persatu.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=78 : “Sebagai tanaman perdu, bambu terkenal dapat menyimpan air di dalam ruas – ruasnya, sehingga memiliki kandungan air yang cukup tinggi dan menjadikan material alami ini lebih mudah lapuk ..."}}
Ketika awal membangun rumah, yang mereka dirikan terlebih dahulu adalah dua kolom utama (tiang). Di kolom itulah akan diletakkan pintu utama. Dua tiang tersebut harus berdiri tegak dan kokoh. Makna filosofisnya adalah agar si pemilik rumah juga kuat ketika nanti menghuni rumahnya. Secara keilmuan, memang posisi kedua tiang tersebut vital. Hal ini mengingat posisinya berada di tengah dan menjadi acuan atau patokan untuk bidang-bidang lain yang akan dibangun nanti. Seperti halnya Rumah Betawi Pesisir, rumah Betawi Ora dibangun dengan sistem ''knock down.'' Maka dibutuhkan keakuratan ketika memasang sambungan-sambungan setiap bagian. Nantinya ketika keseluruhan rangka bangunan tergabung menjadi satu maka konstruksi akan menjadi kokoh. Keuntungan sistem rangka seperti ini, ketika bangunan akan diperbaiki, rangka tinggal diangkat dan dipindahkan saja tanpa terlebih dahulu dilepas satu persatu.{{Sfn|Kusumawardhani|(2012)|p=78 : “Sebagai tanaman perdu, bambu terkenal dapat menyimpan air di dalam ruas – ruasnya, sehingga memiliki kandungan air yang cukup tinggi dan menjadikan material alami ini lebih mudah lapuk ..."}}
Baris 148: Baris 148:
'''Kayu Nangka'''. Dalam hal material bangunan, kayu nangka pantang menjadi bagian bawah kusen pintu. Jika demikian berarti kayu nangka akan selalu dilangkahi orang. Dalam kepercayaan Masyarakat Betawi, jika ada yang melangkahi kayu nangka maka dia dikhawatirkan akan terkena penyakit kuning.{{Sfn|BP Budpar|(2002)|p=10. :" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning..."}}
'''Kayu Nangka'''. Dalam hal material bangunan, kayu nangka pantang menjadi bagian bawah kusen pintu. Jika demikian berarti kayu nangka akan selalu dilangkahi orang. Dalam kepercayaan Masyarakat Betawi, jika ada yang melangkahi kayu nangka maka dia dikhawatirkan akan terkena penyakit kuning.{{Sfn|BP Budpar|(2002)|p=10. :" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning..."}}


'''Tanah Keramat'''. Orang Betawi pantang mendirikan rumah di atas tanah yang dikeramatkan, misalnya, tanah bekas [[Pemakaman|kuburan]].
'''Tanah Keramat'''. Orang Betawi pantang mendirikan rumah di atas tanah yang dikeramatkan, misalnya, tanah bekas [[Pemakaman|kuburan]].{{Butuh rujukan}}


'''Posisi Rumah'''. Jika ada Orang Betawi mau mendirikan rumah, hendaknya rumah itu berada di sebelah kiri rumah orang tua atau [[mertua]]. Jika posisinya berada di sebelah kanan, maka keluarga sang anak akan sakit-sakitan atau bahkan jadi susah rezekinya.
'''Posisi Rumah'''. Jika ada Orang Betawi mau mendirikan rumah, hendaknya rumah itu berada di sebelah kiri rumah orang tua atau [[mertua]]. Jika posisinya berada di sebelah kanan, maka keluarga sang anak akan sakit-sakitan atau bahkan jadi susah rezekinya.{{Butuh rujukan}}


'''Atap'''. Larangan keras lainnya adalah soal atap rumah. Ada pantangan untuk membuat atap rumah yang bahannya mengandung unsur tanah. Bagi Orang Betawi, tanah itu seharusnya berada di bawah. Kalau ada orang Betawi yang melanggarnya, berarti sama saja ia terkubur di dalam tanah.<ref name=":4" />
'''Atap'''. Larangan keras lainnya adalah soal atap rumah. Ada pantangan untuk membuat atap rumah yang bahannya mengandung unsur tanah. Bagi Orang Betawi, tanah itu seharusnya berada di bawah. Kalau ada orang Betawi yang melanggarnya, berarti sama saja ia terkubur di dalam tanah.<ref name=":4" />

Revisi per 3 Mei 2019 13.14

Rumah Panggung Betawi merupakan salah satu alternatif model rumah tinggal tradisional suku Betawi selain yang tidak menggunakan panggung. Hunian panggung orang Betawi biasanya dibangun di area rawa-rawa, darat, Daerah Aliran Sungai (DAS), dan beberapa wilayah di pesisir Jakarta.[1] Secara umum konsep rumah panggung adalah mengangkat lantai rumah dari tanah. Hal demikian bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan keamanan, kondisi tanah dan juga iklim[2]. Lantai rumah panggung Betawi diangkat dengan tiang-tiang berbahan kayu. Kecuali yang tanpa panggung, tinggi tiang rumah panggung berbeda-beda sesuai di mana rumah tersebut didirikan.[3] Rumah Panggung Betawi kurang begitu dikenal ketimbang Rumah Betawi Darat.[4] Rumah Betawi yang menggunakan konsep panggung umumnya didirikan di wilayah Betawi Pesisir, Betawi Udik (atau disebut juga dengan Betawi Ora)[5], dan Betawi Pinggir.[6] Keberadaan rumah-rumah panggung Betawi tersebut terancam atau bahkan boleh dibilang sudah punah.[7][8][9]

Tampak depan Rumah si Pitung atau sering disebut Rumah Tinggi di Kelurahan Marunda Jakarta Utara. Merupakan rumah adat panggung khas Betawi di wilayah pesisir.

Sejarah

Asal-usul kata Betawi berasal dari kata Batavia yang diberikan oleh Hindia Belanda kepada para penghuni asli Batavia yang menggunakan bahasa Melayu Kreol[a]. Suku Betawi sendiri merupakan hasil akulturasi antar etnis nusantara dan bangsa yang bermigrasi lalu menetap di Batavia,[10] termasuk Suku Sunda, Jawa, Makassar, Bugis, Malaka, Ambon, Sumbawa, dan lain-lain. Beberapa bangsa juga singgah dan menetap di Batavia: Tionghoa, Arab, India, dan Portugis. Mereka lalu menikah satu sama lain sehingga melahirkan generasi baru yang merupakan cikal bakal masyarakat Betawi. Meskipun demikian, kebudayaan yang paling dominan pada kelompok etnis baru tersebut tetaplah kebudayaan Melayu, dengan tentunya terdapat banyak perubahan dan penyesuaian.[11]

Peta Kota Batavia (Kini Jakarta) pada tahun 1914

Suku Betawi tinggal di daerah pesisir sejak awal kota Batavia terbentuk. Mereka hidup dan menetap di muara sungai Ciliwung. Dari wilayah pesisir (muara sungai) mereka lalu menyebar ke tengah hingga ke daerah-daerah di pinggiran kota Batavia. Penyebaran tempat tinggal itu kemudian memecah Betawi ke dalam empat subetnis. Mereka terdiri dari Betawi Pesisir, Tengah, Pinggir, dan Betawi Udik (atau disebut juga dengan Betawi Ora[12]).[13]

Subetnis

Disebut Betawi Pesisir karena memang mereka mendiami wilayah pesisir Jakarta. Komunitas Betawi Pesisir terbagi kedalam dua kelompok, yakni Betawi Darat dan Betawi Pulo. Betawi Darat meliputi daerah Marunda, Ancol, Muara Baru, Sunda Kelapa, Tanjung Priok, Kampung Bandan, Dadap, dan Kampung Japat Penjaringan (Kini masuk dalam wilayah administrasi Jakarta Utara). Sedangkan Betawi Pulo masyarakatnya tinggal di Kabupaten Kepulauan Seribu. Profesi orang Betawi pesisir umumnya adalah berdagang dan menjadi nelayan (mereka menyebutnya babang[14]).

Untuk nama-nama daerah seperti Senen, Kwitang, Tanah Abang, Kebon Sirih, Gunung Sahari, Salemba, Kramat, Cikini, Gondangdia, Petojo, Gambir, Sawah Besar, Pecenongan, Pasar Baru, Kampung Lima (sekarang kawasan administrasi Jakarta Pusat); Tambora, Tanah Sereal, Taman Sari, Krukut, Glodok, Jembatan Lima (Jakarta Barat); serta Matraman, Palmeriam, Jatinegara dan Condet (Jakarta Timur) tergolong wilayah kebudayaan Betawi Tengah.

Terakhir adalah Masyarakat Betawi Pinggir dan Udik (Ora). Mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan langsung atau berada di luar DKI Jakarta saat ini. Mereka terdiri dari Kabupaten Tangerang dan Kotamadya Tangerang (Provinsi Banten), Kabupaten Bekasi dan Kotamadya Bekasi, Kotamadya Depok, serta sebagian wilayah Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa Barat).

Mulai Punah

Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo Jakarta Utara, salah satu rumah di Betawi Pesisir yang masih tersisa. Tidak terawat karena ditinggalkan penghuninya.

Rumah tradisional Betawi yang lebih dikenal masyarakat adalah Rumah Darat atau sering disebut Rumah Depok, bukan rumah berbentuk panggung.[4] Rumah Darat merupakan istilah bagi orang Betawi untuk menunjuk rumah yang lantainya dibangun di atas permukaan tanah.[15] Rumah darat yang dikenal masyarakat umum adalah rumah-rumah yang ditemui dalam komunitas masyarakat Betawi Tengah. Hal ini karena Rumah Daratlah yang sering diangkat dalam forum-forum kebudayaan yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rumah Darat bisa dilihat replikanya di Kampung Budaya Betawi Setu Babakan[4] dan di Anjungan DKI Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur.[16] Rumah darat juga diangkat dalam beberapa acara televisi bertemakan Betawi, misalnya Sinetron Si Doel Anak Sekolahan.[17] Rumah Betawi Tengah yang dimaksud adalah jenis Rumah Kebaya (Rumah Bapang), Rumah Joglo dan Rumah Gudang.[18]

Rumah Panggung Betawi juga terdapat di wilayah Betawi Udik. Namun eksistensi rumah tersebut boleh dibilang sudah punah.[8] Salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tinggal satu rumah di Tangerang Selatan yang masih mempertahankan Rumah Panggung Betawi, itupun tidak semua bagian dari rumah tersebut. Pada era sebelum tahun 1960an, beberapa Rumah Panggung Betawi masih berdiri. Namun sejak akhir tahun 1960an satu persatu rumah-rumah tersebut didepokin, atau diturunkan lantainya ke tanah.[5]

Beberapa penyebab kepunahan rumah-rumah Betawi Udik adalah langkanya material dan sudah tidak ada lagi tukang yang menguasai teknik membangun rumah tradisional tersebut, termasuk soal filosofis bangunan, teknologi dan pemilihan material, waktu tebang pohon (material utama), dan teknik pengawetan secara alami. Masih ada keturunan dari ahli pembuat rumah Betawi Ora sebelumnya, tetapi keterampilan mereka lebih kepada bangunan rumah batu.[butuh rujukan]

Di daerah pinggiran Jakarta seperti di Kalisari masih dijumpai rumah-rumah yang berkolong, namun tidak setinggi seperti rumah Si Pitung atau rumah rumah orang Betawi Pesisir lainnya. Ada juga rumah-rumah Betawi yang kolongnya kurang lebih 20-30 cm di Pondok Rangon, Keranggan, dan Tipar di Cakung. Rumah-rumah tersebut merupakan peralihan dari rumah berkolong ke rumah tanpa kolong.[6]

Rumah Betawi Panggung di pinggir Jakarta (Bekasi) boleh dikatakan juga hampir menuju kepunahan. Jumlahnya tinggal sedikit. Rumah-rumah panggung ini masih bisa ditemui di Babelan, Kaliabang, Tarumajaya, Bantar Gebang, Pondok gede, Tambun, Cibitung, Lemahabang, Cikarang, dan Sukatani. Rumah-rumah di sana kadang disebut juga sebagai Rumah Betawi Melayu.[19]

Rumah si Pitung

Rumah si Pitung di Marunda Jakarta Utara merupakan satu dari sedikit Rumah Panggung Betawi yang tersisa. Rumah

Rumah panggung milik Suku Bugis di Anjungan Sulawesi Selatan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Mirip kapal Pinisi dengan tiang-tiang panggung.

panggung ini merupakan representasi hunian panggung masyarakat Betawi yang tinggal di wilayah-wilayah Pesisir.[7][20][21] Rumah ini menjadi museum dan masuk dalam cagar budaya[22]. Tidak diketahui kapan persisnya Rumah si Pitung didirikan. Diperkirakan bangunan tersebut dibangun pada abad ke-20. Rumah panggung yang sering juga disebut Rumah Tinggi Marunda ini mirip dengan rumah tradisional Suku Bugis. Rumah ini tadinya milik Haji Saipudin[23], seorang saudagar kaya bandar ikan asal Makassar (Sumber lain mengatakan Haji Saipudin adalah juragan sero atau konglomerat kapal[14]) Haji Saipuddin diyakini merupakan sahabat erat si Pitung. Pitung ditengarai hanya beberapa kali singgah di rumah itu (diperkirakan pada dekade 1890-an[24]). Singgahnya si Pitung terakhir kali adalah dalam rangka bersembunyi dari kejaran tentara Belanda dengan tuduhan merampok.[25] Pemerintah DKI Jakarta pertama kali memugar rumah panggung yang ditopang oleh 40 buah tiang itu pada tahun 1972.[26] Sebelumnya pada tahun yang sama bangunan ini dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta dari keturunan (ahli waris) H. Saipudin. Bangunan tersebut kini menjadi museum dan masuk dalam cagar budaya berdasarkan SK Gubernur No.475 tahun 1993 dan SK Menteri No.140/M/1998.[22] Adalah Museum Nasional yang memberi nama rumah asli Betawi Pesisir ini sebagai rumah si Pitung.[27]

Replika Kapal Pinisi koleksi Museum Bahari Jakarta Pusat.

Pada tahun 2010 rumah Si Pitung direnovasi kembali oleh pemerintah dengan anggaran Rp. 3 miliar. Renovasi yang dilakukan adalah meninggikan bangunan setinggi 4 meter (agar terhindar dari air laut yang pasang), mengganti lantai aslinya yang tadinya terbuat dari bilah-bilah bambu untuk kemudian diganti dengan kayu.[28] Dua tahun kemudian dilakukan renovasi kembali oleh Dinas Kebudayaan Jakarta Utara. Renovasi dengan anggaran Rp 2,1 miliar itu hanya dilakukan pada bangunan lain, halaman serta gerbang, pagar yang mengelilingi rumah Si Pitung.[29] Meskipun renovasi dilakukan beberapa kali, model asli bangunan tetap dipertahankan. Untuk masuk ke Rumah si Pitung seseorang harus menaiki tangga yang posisinya berada di sisi utara. Di dalam rumah terdapat ruang tamu berukuran kira-kira 2 x 2,5 meter, kamar tidur berserta kasurnya, ruang makan, dan dapur yang mengarah ke beranda belakang.[30]

Arsitektur

Pada umumnya arsitektur Rumah Masyarakat Betawi tidak memiliki gaya bangunan yang khas. Cara membuat bangunannya pun hampir mirip dengan daerah-daerah lain di Nusantara: Ada yang menyerupai gaya bangunan Jawa, Sunda, Melayu bahkan bangunan Eropa namun dalam bentuk yang sederhana. Yang membuat rumah tradisional Betawi berbeda dengan daerah-daerah yang disebutkan tadi adalah detail dan peristilahannya.[31] Pendapat bahwa arsitektur rumah Betawi tidak memiliki ciri khasnya sendiri diperkuat oleh pernyataan Budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Menurutnya, dalam penelitian-penelitian yang dilakukannya ia masih harus meraba-raba dan membandingkannya dengan berbagai arsitektur rumah daerah lain.[32]

Bentuk

Berkas:Rumah Kebaya.jpg
Replika Rumah Kebaya di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah

Secara umum rumah Betawi memiliki keunikan tersendiri. Rumah-rumah Betawi dibangun dengan pondasi yang kokoh yang menggambarkan kekokohan semangat orang-orang Betawi. Lalu ada pendoponya sebagai ruang keluarga yang luas yang dilengkapi meja dan kursi untuk menerima tamu, juga kamar tamu. Filosofi pendopo adalah keramahan orang Betawi yang siap menerima tamu. Kereligiusan Orang Betawi juga terlihat dari keberadaan kamar tamu. Jika tidak ada tamu maka kamar berubah fungsi sebagai ruang untuk sholat. Keunikan lainnya, biasanya Rumah Betawi memiliki ruang khusus keluarga (pangkeling) yang berfungsi sebagai ruang berkumpul keluarga di malam hari.Ciri khas unik lainnya adalah dapur atau srondoyan yang letaknya di belakang rumah dam menyatu dengan ruang makan.[33]

Rumah Orang Betawi Pesisir jika dilihat sepintas bentuknya mirip dengan Rumah Gudang pada Masyarakat Betawi Tengah. Bangunannya berbentuk segi empat.[17] Sedangkan Rumah Panggung Betawi Ora umumnya berbentuk Rumah Bapang atau Rumah Kebaya, juga mirip dengan rumah-rumah milik orang Betawi Darat. Tetapi terdapat perbedaan, Rumah Bapang atau Kebaya pada masyarakat Betawi Tengah umumnya bermassa tunggal. Sedangkan rumah Betawi Ora merupakan kumpulan dari tiga massa bangunan.[34]

Secara umum terdapat tiga potongan bentuk arsitektur rumah tradisional Betawi: Potongan Gudang, Joglo dan Potongan Bapang. Potongan Gudang berbentuk empat persegi panjang yang memanjang dari depan ke belakang. Potongan Joglo berdenah bujur sangkar. Bagian bujur sangkar dimaksud adalah yang garis panjangnya terdapat pada kanan dan kiri ruang depan. Bagian atap di ruang depan merupakan terusan dari atap Joglo. Artinya, bagian utama bangunan beratap potongan Joglo tersebut dengan bagian depan yang atapnya merupakan sambungan dari bagian utama itulah yang menimbulkan denah berbentuk bujur sangkar. Yang terakhir adalah Potongan Bapang atau disebut juga potongan Kabaya yang mirip dengan Potongan Gudang.[35]

Orientasi

Hunian Betawi di pesisir tidak tampak adanya pola yang seragam dalam mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu. Berbeda misalnya dengan rumah tradisional Bali yang memiliki konsep sanga mandala dalam tata peletakannya dan berorientasi arah mata angin.[36] Namun demikian, pada umumnya rumah panggung Betawi (pesisir) didirikan menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai. Rumah-rumah biasanya dibangun berkelompok.[37] Hal berbeda pada rumah Betawi Ora yang mengikuti arah mata angin. Biasanya rumah mereka menghadap ke utara dan selatan. Posisinya umumnya mengikuti lahan pertanian mereka.

Alasan orientasi itu sendiri mengikuti ungkapan Betawi (Ora): ‘emak di wetan, bapak di kulon, gak boleh diinjek. Artinya, ibu berada di timur dan bapak berada di barat, untuk menghormati mereka maka tidak boleh membuat bangunan yang menghadap ke dua arah tersebut.[38] Hal berbeda juga ditemui pada pola pemukimannya. Rumah orang Betawi Ora tidak berkelompok, melainkan menyebar.[39]

Sebagai pembanding, orientasi Rumah Darat di Betawi Tengah ada yang terpengaruh budaya Tionghoa. Orientasi disesuaikan dengan posisi naga besar dan pergerakannya.[38] Misal. jika naga posisinya sedang berada di timur, maka rumah pantang menghadap ke timur dan begitu seterusnya. Namun, jika pemilik rumah tetap ingin menghadap ke timur, maka mereka harus mengunggu sampai si naga pindah ke arah lainnya. Menurut kepercayaan mereka, naga akan berpindah tempat setiap 3 bulan sekali. Jika pantangan tidak diindahkan, maka pemilik rumah akan mendapat kecelakaan atau hartanya akan habis ditelan Naga Besar tadi.[40]

Pada awalnya Masyarakat Melayu Betawi adalah komunitas masyarakat sungai (river basin). Mereka tinggal berkelompok di sepanjang aliran sungai (DAS). Pintu depan rumah mereka menghadap ke arah sungai. Namun setelah masuk ke wilayah pedalaman, arah hadap rumah Betawi menjadi tidak teratur seperti rumah di Jawa yang berjajar menghadap jalan atau rumah-rumah Betawi Darat di tengah kota.[41]

Panggung

Masyarakat Betawi di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Bentuk rumah panggung mengikuti pola hidup mereka sebagai nelayan. Dalam sejarahnya sebagian ibu kota Jakarta memang dibangun di atas daerah rawa-rawa. Dengan demikian bentuk rumah panggung merupakan konsep yang dinilai paling aman.[42]

Tiang panggung pada rumah Betawi di Pesisir lebih tinggi daripada di Betawi Pinggiran dan Ora. Hal demikian mengikuti kondisi geografis di mana rumah berdiri. Panggung pada rumah betawi di pesisir memang didesain khusus untuk menghindari banjir atau genangan air[b] ketika air laut pasang. Tinggi tiang panggung bervariasi. Jika didirikan di area pantai yang landai, tinggi tiang-tiangnya bisa mencapai 2 - 3 meter.[43] Namun jika agak menjauh dari pantai maka tinggi tiangnya jauh lebih rendah, yakni 1-2 meter[44]. Salah satu dari sedikit yang tersisa adalah Rumah si Pitung.[45] Total ada 40 tiang penyangga pada rumah yang sering disebut juga sebagai Rumah Tinggi Marunda itu. Masing-masing tingginya mencapai 1,5 m.[46] Hunian berkolong tinggi pada masyarakat Betawi Pesisir bertujuan untuk mengatasi air laut yang pasang[47], sehingga air laut tidak sampai menjangkau lantai rumah.[17] Kolong panggung rumah di Marunda biasanya tidak dimanfaatkan, hal ini karena kolong selalu digenangi air laut. Rumah tipe panggung memiliki keuntungan ekologis. Tanah di kolong bangunan bisa berfungsi sebagai resapan air. Jika pasang atau banjir datang, air yang menggenang akan terserap ke dalam tanah. Dengan demikian tempat tinggal keluarga tetap aman dan para anggota keluarga masih bisa menjalankan aktivitas mereka seperti biasa.[42]

Panggung rumah pada Betawi Pinggir tiangnya pendek, yakni hanya setinggi 20-30 cm. Hal ini karena sebelumnya mereka tinggal di sepanjang aliran sungai sebelum akhirnya menyebar ke tempat sekarang. Rumah panggung pendek masih bisa ditemui di Pondok Rangon, Kranggan, dan Tipar. Rumah panggung pada Betawi Pinggir merupakan peralihan dari menggunakan panggung ke tanpa panggung. Rumah panggung yang tersisa di sana hanyalah dalam rangka mempertahankan sisa-sisa kebudayaan rumah sungai.[3]

Rumah Betawi Panggung di Bekasi berdiri di tepian sungai, hal ini karena memang pada awalnya mereka hidup di tepi sungai. Seperti halnya di Pondok Rangon, Kranggan, dan Tipar, mulanya rumah masyarakat bekasi berkonsep rumah panggung yang bercirikan arsitektur Melayu. Pada atapnya terdapat lembayung. Ciri tersebut masih terlihat di daerah Cikedokan,[48]

Rumah Panggung Betawi Ora di Tangerang Selatan agak lebih tinggi daripada Betawi Pinggir. Jarak antara lantai dan tanah setinggi kurang lebih 50 -70 cm. Manfaat panggung tidak seperti pada rumah Betawi Pesisir. Panggung dibuat hanyalah untuk menghindari rayap dan lembab. Hal ini mengingat lantai rumah yang terbuat dari kayu menjadi terawat.[49]

Sangat mungkin rumah Panggung orang Betawi Pesisir dipengaruhi oleh arsitektur bangunan penduduk asal Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi yang memang banyak berdatangan ke atau bermukim di Marunda.[50] Contoh nyata adalah Rumah si Pitung yang pemilknya nyata-nyata berasal dari Suku Bugis.[25] Rumah tersebut berbentuk Perahu Pinisi (Kapal layar tradisional berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar). Banyak orang Bugis yang sengaja didatangkan oleh Kolonial Belanda ke Batavia untuk kemudian menetap di sana. Sekitar tahun 1620 sampai 1800 orang-orang Bugis tersebut menempati Kampung Bugis di utara Bacherachtgracht dan di Patuakan, yang letaknya di sekitar Jalan Tubagus Angke sekarang.[51]

Rumah panggung Betawi Pinggir di Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Pesisir Marunda. Boleh dikatakan Rumah si Pitung adalah prototipe rumah panggung Betawi Melayu (Bekasi) yang tersisa. Masyarakat Melayu Betawi merupakan masyarakat rawa sehingga konsep huniannya berpanggung. Namun, tidak semua rumah orang Betawi Melayu berpanggung. Karena mereka tinggal dan hidup di lingkungan yang beragam, dari pesisir hingga ke pedalaman. Artinya, orang Betawi Melayu juga mengenal Rumah Darat. Jadi pola arsitektur rumah Betawi Melayu bervariasi dari yang berprofesi sebagai nelayan di pesisir (berpanggung) sampai ke pedalaman yang bekerja sebagai petani (non panggung).[52]

Namun berbeda dengan Rumah di Pesisir yang berpanggung karena faktor banjir atau air pasang saja, pada Rumah Panggung di Bekasi selain menghindari banjir, konsep panggung dipilih karena faktor keamanan. Hal ini mengingat Bekasi dahulu masih hutan dan masih banyak dihuni binatang-binatang berbahaya.[53] Peninggian lantai rumah pada rumah panggung Betawi dimaksud juga untuk mengaplikasikan Balaksuji (konstruksi tangga) yang memiliki nilai filosofis penting bagi orang Betawi. Konstruksi tangga jarang ditemui pada rumah-rumah Betawi yang tidak berpanggung[54]

Atap

Atap rumah Masyarakat Betawi Pesisir ada yang berbentuk Rumah Bapang, Rumah Joglo, dan lain sebagainya.[55] Sedangkan pada Rumah Betawi Ora yang masih ada sekarang ini menggunakan atap Bapang atau atap Rumah Kebaya.[56] Namun menurut Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, pilihan pola atap tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur rumah-rumah Orang Betawi.[57]Terdapat tiga jenis rumah Betawi dataran berdasarkan bentuk atap yang digunakan:[58][35].

Atap Rumah Gudang. Pada Rumah Gudang bentuk atapnya ada yang pelana dan ada yang perisai yang tersusun dari kerangka kuda-kuda. Jika berbentuk perisai, ditambah sebuah elemen struktur yang disebut jure. Struktur kuda-kuda Rumah Gudang agak kompleks. Hal ini karena sudah menggunakan batang tekan miring sebanyak dua buah yang saling bertemu pada sebuah batang tarik tegak atau disebut dengan ander.

Atap Rumah Bapang. Atau disebut juga Rumah Kebaya. Atapnya berbentuk pelana, namun berbeda dengan Rumah Gudang. Atap Rumah Bapang tidak merupakan pelana yang penuh sampai ke tepi. Sebagian atap Rumah Bapang terbentuk oleh atap pelana yang ditekuk, biasa disebut sorondoy[c], sedangkan atap pelananya berada ditengah-tengah ruang. Ada juga Rumah Kebaya yang bentuk atapnya perisai landai yang diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai lagi terutama di bagian teras. Variasi lainnya, atap berbentuk pelana tapi limpasan air berada di bagian samping.

Logo Pemkot Tangerang Selatan yang menampilkan Blandongan, bangunan ciri khas Betawi di sana.

Atap Rumah Joglo. Pada Rumah Joglo atapnya menjorok ke atas dan tumpul seperti Rumah Joglo di Jawa. Umumnya. Rumah Joglo dimiliki oleh golongan bangsawan atau priyayi. Tetapi terdapat perbedaan dalam sistem konstruksi atapnya. Jika Rumah Joglo di Jawa menggunakan soko guru, maka Rumah Joglo di Betawi menggunakan struktur kuda kuda biasa, tidak memakai tiang-tiang penopang struktur atap sebagai unsur utama dalam pembagian ruang.[55][59][60]

Pada rumah masyarakat Betawi Ora di Tangerang Selatan terdapat sebuah bangunan tambahan yang disebut blandongan. Bangunan ini terletak di depan rumah yang merupakan area public. Blandongan sendiri memiliki atap pelana seperti halnya Rumah Gudang atau mirip dengan atap Rumah Kebaya. Bangunan blandongan ini menjadi logo Kota Tangerang Selatan[d] sebagai upaya melestarikan ciri khas rumah Betawi Tangerang Selatan.[61]

Pondasi

Sistem pondasi rumah-rumah di Marunda menggunakan sistem telapak umpak. Pondasi model ini tidak memerlukan pengurukan tanah yang begitu lebar, sehingga tidak merusak habitasi tanah dan rumput sekitar perumahan seperti pada pondasi batu kali. Material utama untuk pondasi sebagian besar adalah kayu. Hal ini karena kayu dianggap lebih ringan daripada beton sehingga mampu meminimalisir beban tekan yang diletakkan di atas tanah. Penyambungan kayu-kayu pondasi menggunakan sistem patis. Kayu-kayu disambungkan dengan besi tumpul sebagai pengikat kayu, bukan dengan paku. Secara umum, sistem patis hampir sama dengan sistem knockdown (bongkar pasang).[62]

Pada rumah Betawi Ora, struktur rangka dan balok dibuat dengan teknik sambungan tanpa paku. Balok-balok disambung menggunakan pasak. Kolom diletakkan di atas umpak batu sebagai penyalur beban utama. Hubungan antara kolom dan balok yang terletak di bagian paling tengah mendapat perkuatan yang lebih dibandingkan dengan bagian yang lain. Di bagian tersebut kolom-kolom diikat oleh dua buah balok. Balok-balok diperkuat lagi dengan siku penopang. Siku ini disebut oleh masyarakat setempat dengan tangan-tangan. Tangan-tangan berfungsi juga sebagai elemen dekoratif. Sistem seperti ini sekilas mirip dengan konstruksi tou kung dalam arsitektur rumah orang Tionghoa.[63]

Balaksuji

Balaksuji Rumah si Pitung Marunda

Rumah Orang Betawi mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan rumah-rumah tradisional lainnya. Salah satu yang dimaksud adalah keberadaan tangga di depan rumah. Orang Betawi menyebut tangganya sebagai Balaksuji. Balaksuji bagi Orang Bertawi bukan hanya sekedar instrumen untuk naik dan masuk ke dalam rumah. Elemen ini berfungsi juga sebagai sarana untuk menolak bencana (bala) dan media penyucian diri sebelum masuk ke dalam rumah. Jadi sebelum menaiki tangga (Balaksuji) seseorang harus membasuh kakinya terlebih dahulu. Hal demikian dilakukan agar saat sudah di dalam rumah, dia berada dalam keadaan bersih dan suci.[64][65] Balaksuji secara kiasan memiliki arti kawasan penyejuk.[66]

Pada zaman dulu masyarakat Betawi membangun sumur di depan rumah untuk membasuh kaki sebelum menaiki tangga dan memasuki rumah. Saat ini pada rumah-rumah modern Betawi Balaksuji tidak dipakai lagi, karena dianggap terlalu merepotkan. Namun di beberapa kampung, Balaksuji ini masih dipertahankan di beberapa masjid berasitektur Betawi. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah dan merupakan tangga menuju ke mimbar.[67][68][69] Dalam prinsip kepercayaan Masyarakat Betawi segala sesuatu yang kotor tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah. Kotoran-kotoran harus dibuang terlebih dahulu di luar rumah. Tidak heran jika sumur rumah Betawi berada di luar, termasuk kamar mandi dan jamban.[70]

Jumlah anak tangga pada Balaksuji bervariasi, semakin tinggi rumah panggungnya berarti semakin banyak pula anak tangganya. Balaksuji pada Rumah Betawi Udik biasanya berjumlah tiga atau empat anak tangga. Hal ini karena rumah-rumah di sana umumnya berada jauh dari sungai sehingga biasanya tidak menggunakan kolong yang biasa digunakan tipe rumah panggung. Pada Rumah Betawi pesisir, Rumah si Pitung contohnya, anak tangganya berjumlah 15.[30] Saat sekarang sudah sulit menemui rumah Betawi yang memakai Balaksuji.

Zoning

Pada umumnya terdapat tiga zoning atau pembagian ruang pada rumah tradisional Orang Betawi. Zoning dimaksud terdiri dari area atau ruang publik (ruang untuk menerima tamu atau disebut juga area amben), area pribadi, dan bagian service. Area publik merupakan ruang tanpa dinding, sedangkan ruang tengah yang didalamnya terdapat kamar disebut juga sebagai area pangkeng. Yang terakhir adalah ruang paling belakang atau service yang terdiri dari dapur dan kamar mandi. Ruangan ini disebut juga dengan srondoyan. Rumah panggung tersebut memiliki banyak jendela. Hal ini untuk mengoptimalkan pencahayaan dan pengudaraan secara alami. Selain itu, zoning diatur sedemikian rupa agar setiap ruang dapat bersinggungan langsung dengan sisi luar rumah. Pembagian area ini mengikuti kebiasaan masyarakat Betawi yang memang gemar melakukan hajatan. Maka haruslah ada pembagian secara tegas mana ruangan untuk publik (umum) dan mana ruangan yang sifatnya privat (pribadi). Dimensi ruang yang luas didesain sedemikian rupa untuk menampung orang dalam jumlah yang besar (misal ketika ada hajatan).[71]

Ruang tidur pada rumah Betawi disebut dengan Pangkeng. Pada zaman sebelum Belanda menjajah, Pangkeng tidak memiliki sekat. Barulah setelah mendapat pengaruh Belanda kamar rumah-rumah orang Betawi dibangun sekat-sekat. Dinding yang membatasi Pangkeng dengan Amben disebut dengan Grade. Grade terdiri dari dua buah jendela dan pintu.[66]

Bentuk rumah asli Marunda Pulo (Betawi Pesisir). Terdiri dari bangunan utama yang posisinya di depan dan bangunan tambahan berada di belakang. Bangunan utama diperuntukkan sebagai tempat istirahat, makan, dan menerirna tamu. Untuk bangunan tambahan berfungsi sebagai dapur, kamar mandi, dan tempat menyimpan peralatan untuk menangkap ikan.[72]

Rumah Betawi Ora merupakan kumpulan tiga massa bangunan yang memiliki fungsinya masing-masing. Seperti kebanyakan Rumah Betawi umumnya Rumah Betawi Ora terbagi menjadi zona: publik, private, dan service. Massa yang paling depan disebut blandongan (kadang disebut paseban). Blandongan adalah bangunan tanpa dinding yang hanya terdiri dari struktur kolom dan balok yang menopang atap di atasnya. Bangunan ini besarnya hampir sama dengan bangunan rumah utama. Lantainya berupa tanah merah yang dipadatkan. Ketika hari panas, si empunya rumah menyiramnya dengan tujuan mengurangi debu di atas tanah.

Sebagai ruang Publik, blandongan difungsikan sebagai tempat menyelenggarakan hajatan si empunya rumah. Blandongan bisa juga menjadi tempat bermain bagi anak, tempat mereka belajar, bersantai, dan beristirahat. Tempat ini juga dipakai bagi orang dewasa beristirahat setelah bekerja. Oleh karena itu biasanya ditaruh bale-bale bambu di dalam bangunan tersebut. Blandongan juga bisa digunakan untuk mengumpulkan hasil panen. Kendi air minum juga ada di sana untuk melepas dahaga atau membersihkan diri.

Di belakang blandongan terdapat massa kedua, bangunan utama yang disebut rumah yang juga disebut zona private. Masuk ke dalam rumah, terdapat empat ruangan. Ruang terbesar adalah ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang bersama, sedangkan ruang terkecil adalah yang disebut pendaringan atau pangkeng. Ruang yang terletak di bagian kiri dan kanan adalah kamar (zona private). Namun salah satunya bisa berubah fungsi tatkala musim panen. Jika lumbung tidak mampu menampung hasil panen, maka kamar bisa difungsikan sebagai tempat sementara untuk menyimpan padi.

Terdapat pembatas antara blandongan dengan halaman rumah. Hal tersebut dilakukan dengan membuat pasangan rolaag di sekelilingnya, di garis batas jatuhnya cucuran atap. Ada juga dengan teknik meninggikan tanahnya, sehingga memiliki ketinggian yang berbeda dengan halaman di samping dan di depannya. Massa yang terakhir adalah dapur yang terletak persis di belakang rumah. Bagian ini disebut juga sebagai zona service. Besarnya hampir ama dengan blandongan.[73]

Zoning pada Rumah Tradisional Bekasi disebut atau mengikuti Azas Tritangtu (ruang public, private, dan service) dalam masyarakat Sunda. Secara hirarkis ruang-ruang dibagi menjadi ruang publik di depan, menuju ke dalam ruang yang bersifat privat dan terakhir di belakang ruang service.[74]

Beranda

Beranda Rumah si Pitung Marunda

Beranda atau serambi juga adalah ciri khas dari rumah panggung di Marunda. Ruangan ini merupakan perwujudan karakter Orang Betawi yang memang berbudaya terbuka. Orang Betawi menggunakannya sebagai tempat bersosialisasi dengan para tetangga.[75] Hal tersebut menggambarkan bahwa orang Betawi memiliki konsep kekeluargaan, keterbukaan, keramahan serta hubungan sesama warga yang harmonis.[76] Ruangan terbuka ini bisa sebagai tampias air hujan dan saringan terhadap radiasi panas matahari. Biasanya terdapat juga bale-bale di beranda yang digunakan Masyarakat Betawi untuk beristirahat siang atau sekedar bersantai.[75] Karakteristik teras rumah orang betawi pada umumnya lebar. Dahulu biasanya mereka memiliki banyak anak (keluarga besar), juga memiliki kecenderungan tinggal saling berdekatan dengan saudara mereka. Teras yang luas dibutuhkan untuk tempat berkumpul (biasanya pada sore hari) atau bisa juga sebagai tempat untuk arisan keluarga.[77]

Beranda pada Rumah Betawi Ora terletak di bagian paling depan rumah. Lebarnya kira-kira 2,5 meter. Ketika masih berbentuk rumah panggung (tinggi 50 -70 cm), teras digunakan sebagai tempat beristirahat bagi kaum pria saat malam hari. Antara teras dengan ruang bagian dalam dipisahkan oleh dinding terbuat dari kayu nangka, yang terdiri dari papan yang disusun tegak dengan teknik lambisering.[78]

Pembuatan

Material

Material bangunan Rumah Betawi Pesisir utamanya terdiri dari kayu, bambu, dan genteng merah. Kayu yang digunakan bermacam-macam. Untuk tiang rumah bisa menggunakan kayu besi atau kayu jati. Kenapa dipilih kayu besi atau jati hal ini karena kayu jenis itu paling kuat untuk menahan beban berat. Kayu ini juga dikenal anti-serangga pemakan kayu dan terkenal kuat untuk menahan pengaruh air asin (air laut).[72] Umumnya kayu nangka oleh orang Betawi juga kerap dijadikan pilihan utama selain jati. Hal ini karena kekuatan kayu tersebut hampir sebanding dengan kayu jati. Itulah makanya orang Betawi sering menanam pohon nangka di halaman rumahnya. Selain buhnya untuk dimakan, kayunya pun bisa dimanfaatkan. Hanya tidak semua struktur rumah boleh menggunakan bahan kayu nangka, khususnya struktur drampol atau trampa[79].

Rangka rumah Betawi Pesisir memakai kayu jati atau kayu meranti. Kayu duren dipakai untuk membuat lantai rumah, sedangkan kayu rasamala dan kayu kecapi dipasang untuk tiang-tiang panggung. Untuk bangunan utama dipakailah kayu, sedangkan bangunan tambahan memakai bambu. Bambu juga digunakan untuk membuat langit-langit rumah. Sedangkan genteng merah disusun atau dipasang sebagai atap rumah.

Tidak semua bahan-bahan utama tersebut diperoleh dengan cara membeli. Ada juga yang menggunakan bahan bekas atau berasal dari rumah kerabat yang ditinggalkan. Dalam Budaya Betawi ada tradisi saling bantu-membantu ketika membangun rumah. Bantuan tidak hanya berupa uang, bisa juga berupa material yang dibutuhkan. Bahkan ada juga yang memberikan pohon yang tumbuh di pekarangan untuk dijadikan, misalnya, tiang atau papan.[80]

Seperti halnya rumah Betawi Pesisir, hunian pada Betawi Ora secara umum memanfaatkan material alam yang ada di sekeliling lingkungan mereka. Struktur utama menggunakan konstruksi kayu. Kayu nangka untuk kolom, balok, dan konstruksi atap. Kayu nangka yang dimanfaatkan mereka sebagai struktur utama adalah bagian lingkar terdalam. Bagian ini adalah bagian tertua dari keseluruhan kaya dan yang paling keras. Dinding sisi samping dan belakang pada sebagian rumah Betawi Ora ada yang sudah menggunakan batu bata kira-kira semeter. Sedangkan sisanya ditutup bilik bambu. Seluruh bagian dinding depan rumah mereka merupakan papan terbuat dari kayu nangka yang disusun tegak berjejer.[81]

Orang Betawi Ora memiliki kepercayaan untuk tidak menggunakan kayu dari pohon yang daunnya gugur dengan sendirinya. Misalnya pohon petai cina yang daunnya mudah rontok ketika tertiup angin. Alasannya, jika memilih pohon tersebut, dikhawatirkan si pemilik rumah akan lemah menyerupai daun tersebut. Maka dipilihlah kayu nangka yang daunnya tidak mudah rontok. Terlepas dari kepercayaan tersebut, pohon dengan daun yang mudah gugur biasanya tergolong tanaman yang kayunya memiliki kekuatan lebih rendah daripada tanaman yang berdaun tebal, lebih lembek dan mudah lapuk.[butuh rujukan]

Kayu nangka tidak dipakai mereka untuk bagian-bagian yang berada di bagian bawah rumah atau dekat dengan tanah. Menurut mereka kayu nangka pantang untuk dilangkahi apalagi diinjak – injak. Terlepas dari pendapat tersebut, kayu nangka memang tahan terhadap rayap, karena kayu ini mengeluarkan getah dan bau yang tidak disukai rayap. Namun kayu ini punya kelemahan, yakni tidak tahan terhadap lembab dan air. Jika kayu nangka digunakan sebagai bahan baku yang bersentuhan langsung  dengan permukaan tanah, maka kayu tersebut akan  lembab dan basah sehingga mudah lapuk.[butuh rujukan]

Selain kayu, Komunitas Betawi Ora juga memanfaatkan bambu sebagai bahan material rumahnya. Dinding rumah dan lantai mereka menggunakan bambu yang dianyam. Sementara itu sebagai reng pada bagian atap, bambu utuh yang digunakan. Model anyaman bambu pada dinding dibentuk menjadi bilah-bilah panjang yang kemudian dianyam saling silang membentuk lembaran. Anyaman tersebut meski rapat namun masih menyisakan celah kecil yang berfungsi mirip dengan ventilasi udara. Anyaman bambu pada lantai polanya mirip dengan anyaman di dinding. Namun demi alasan kekuatan, mengingat lantai menahan beban berat pada penghuni rumah, maka seringkali digunakan bambu utuh yang dipipihkan lalu diikat satu sama lain sehingga hingga membentuk bentangan yang ditopang balok-balok kayu di bawahnya.[butuh rujukan]

Proses Pembangunan

Pembuatan Rumah Betawi Panggung diawali dengan penentuan lokasi. Lokasi paling ideal adalah berdekatan dan membelakangi air yang mengalir. Setelah lokasi telah ditetapkan proses pembangunan dimulai. Awalnya tanah dikeraskan terlebih dahulu menggunakan pecahan. Kemudian tanah diratakan (didatarkan) agar umpak (pondasi rumah) mampu mencengkeram tanah dengan seimbang.[72]

Setelah urusan tanah siap, kini saatnya membuat rangka. Rangka rumah terdiri dari 20 tiang panggung. Tiang-tiang ini sekaligus menjadi tiang rangka utama rumah dengan formasi 4x5. Rangka tidak dibuat di atas tanah di mana rumah hendak dibangun. Rangka rumah lalu dipindahkan dan didudukkan di atas umpak yang tadi telah dipersiapkan. Biasanya di sela-sela rangka rumah digelar tikar untuk acara selamatan.[butuh rujukan]

Tahap selanjutnya adalah memasang landasan lantai rumah, yang terbuat dari bambu yang dijajarkan. Setelah lantai selesai lalu berlanjut membuat dinding rumah. Dinding rumah terbuat dari papan yang dijajarkan. Pemasangan papan dilakukan tanpa jarak dengan menggunakan paku. Setelah selesai kini waktunya membuat langit-langit rumah. Langit-langit terbuat dari anyaman bambu (bilik). Setelah siap semua, kemudian dipasanglah genteng merah untuk atap rumahnya.[butuh rujukan]

Setelah bagian-bagian penting dibuat dan dipasang, lalu saatnya membuat ruangan. Setiap ruangan merupakan bagian yang dibatasi oleh empat buah tiang utama. Dengan formasi tiang 4x5m, berarti terdapat empat ruang yang berderetan. Pintu dipasang agak ke samping kiri atau kanan agar angin tidak berhembus langsung ke dalam seluruh ruangan. Hal ini juga dilakukan dalam rangka melindungi tempat tidur dan dapur dari penglihatan orang.[butuh rujukan]

Kini waktunya membuat bangunan tambahan. Bangunan ini dibangun menempel dan sama tinggi dengan bangunan utama. Didirikan di atas 12 umpak dengan pondasi 3x4 m. Bambu yang digunakan sebagai tiang adalah bambu betung (bambu yang besar dan kuat). Bangunan tambahan ini berdinding bilik seperti bangunan utama. Sedangkan lantainya terbuat dari jaro-jaro atau bilah-bilah bambu yang dipasang agak renggang. Atap bangunan tambahan merupakan genteng merah yang disusun sedemikian rupa. Setelah itu lalu dibangunlah jamban (WC). Tidak begitu besar, hanya 1x1 m dan dibangun tanpa atap. Jamban didirikan di atas air dan dihubungkan dengan bagian belakang rumah melalui titian (seperti jembatan untuk menyeberang) yang bisa terbuat dari bambu ataupun kayu.[butuh rujukan]

Orang Betawi terkenal dengan budaya gotong royongnya[82], begitu juga dengan Betawi Ora. Bahan baku kayu dikumpulkan dengan cara bergotong royong:  Mulai dari pencarian, penebangan, hingga proses pengangkutan kayu ke lokasi rumah yang hendak dibangun. Si pemilik rumah biasanya sekedar menyiapkan air minum dan makanan berupa ubi rebus untuk sekedar pengganti lelah.[83]

Selain kayu, Orang Betawi Ora memanfaatkan bambu sebagai material, khususnya untuk dinding dan lantai. Mereka tidak sembarang mimilih bambu. Bambu merupakan tanaman yang dapat menyimpan air di dalam ruas-ruasnya, yang menjadikan tanaman sejenis perdu ini rentan lapuk. Maka harus dipilih bambu yang kuat dan awet. Mereka mempunyai trik tersendiri. Untuk mendapatkan bambu yang kuat dan tahan lama, Orang Betawi Ora tidak sembarang waktu menebangnya. Mereka memakai perhitungan kalender untuk menentukan kapan bambu-bambu tidak berada dalam kondisi terlalu basah maupun terlalu kering. Agar bertambah kuat dan awet, mereka melakukan pengawetan alami. Caranya, setelah ditebang, bambu didirikan tegak untuk kemudian didiamkan beberapa waktu sebelum digunakan. Metode tersebut juga sekaligus agar bambu tidak mudah lapuk dan dimakan rayap.[butuh rujukan]

Ketika awal membangun rumah, yang mereka dirikan terlebih dahulu adalah dua kolom utama (tiang). Di kolom itulah akan diletakkan pintu utama. Dua tiang tersebut harus berdiri tegak dan kokoh. Makna filosofisnya adalah agar si pemilik rumah juga kuat ketika nanti menghuni rumahnya. Secara keilmuan, memang posisi kedua tiang tersebut vital. Hal ini mengingat posisinya berada di tengah dan menjadi acuan atau patokan untuk bidang-bidang lain yang akan dibangun nanti. Seperti halnya Rumah Betawi Pesisir, rumah Betawi Ora dibangun dengan sistem knock down. Maka dibutuhkan keakuratan ketika memasang sambungan-sambungan setiap bagian. Nantinya ketika keseluruhan rangka bangunan tergabung menjadi satu maka konstruksi akan menjadi kokoh. Keuntungan sistem rangka seperti ini, ketika bangunan akan diperbaiki, rangka tinggal diangkat dan dipindahkan saja tanpa terlebih dahulu dilepas satu persatu.[84]

Pantangan & Aturan

Sebagai masyarakat yang merupakan hasil percampuran dari berbagai multietnis, banyak kepercayaan yang terbawa hingga saat ini dalam budaya orang Betawi. Salah satunya adalah pantangan dan aturan ketika mendirikan rumah.[85] Pada prinsipnya kedua hal tersebut dimaksudkan agar si penghuni rumah terhindar dari musibah dalam hidupnya. Jika tidak melanggar berarti mereka akan mendapatkan keselamatan atau mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya ketika menghuni tempat tinggalnya itu.[55][86] Pantangan dan aturan dalam budaya Betawi terkait material, tanah dimana rumah akan didirikan, posisi bangunan, dan aturan-aturan pendirian rumah.[55]

Kayu Nangka. Dalam hal material bangunan, kayu nangka pantang menjadi bagian bawah kusen pintu. Jika demikian berarti kayu nangka akan selalu dilangkahi orang. Dalam kepercayaan Masyarakat Betawi, jika ada yang melangkahi kayu nangka maka dia dikhawatirkan akan terkena penyakit kuning.[87]

Tanah Keramat. Orang Betawi pantang mendirikan rumah di atas tanah yang dikeramatkan, misalnya, tanah bekas kuburan.[butuh rujukan]

Posisi Rumah. Jika ada Orang Betawi mau mendirikan rumah, hendaknya rumah itu berada di sebelah kiri rumah orang tua atau mertua. Jika posisinya berada di sebelah kanan, maka keluarga sang anak akan sakit-sakitan atau bahkan jadi susah rezekinya.[butuh rujukan]

Atap. Larangan keras lainnya adalah soal atap rumah. Ada pantangan untuk membuat atap rumah yang bahannya mengandung unsur tanah. Bagi Orang Betawi, tanah itu seharusnya berada di bawah. Kalau ada orang Betawi yang melanggarnya, berarti sama saja ia terkubur di dalam tanah.[55]

Kayu Cempaka. Kusen pintu bagian atas pada rumah-rumah Betawi berbahan kayu cempaka. Secara harafiah kayu cempaka memang berbau harum, jadi sekaligus bermanfaat juga sebagai pengharum ruangan alami. Secara filosofis, keharuman kayu cempaka akan membuat penghuni rumah selalu dalam keadaan baik, sehat, dan disenangi tetangga-tetangganya[88].

Kayu Asem. Berbeda dengan kayu Cempaka, meski sering ditemukan di kebun-kebun orang Betawi, kayu dari pohon asem pantang untuk dipakai. Menurut kepercayaan orang Betawi, kayu asem bisa meruntuhkan wibawa si empunya rumah. Selain itu jika dimanfaatkan, dikhawatirkan akan menganggu hubungan dengan para tetangga[89].

Uang Logam.


Bubur.

Garam Bata. Dipercaya orang Betawi mampu mengusir roh-roh jahat. Maka pada saat meratakan tanah yang akan dibangun rumah, masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satunya lagi diletakkan di tengah-tengah. Ritual ini dimaksud agar si pemilik rumah tidak diganggu roh-roh jahat[90].

Galeri

Rumah si Pitung atau Rumah Tinggi Marunda

Rumah Panggung Betawi Kampung Marunda Pulo

Catatan

Catatan kaki
  1. ^ Asal kata Betawi diperdebatkan dalam Kongres Budaya Betawi tahun 2011. Sebagian peserta menyatakan kata Betawi berasal dari nama pohon ketepeng yang batang kayunya dimanfaatkan untuk gagang golok, senjata tradisional orang Betawi (Kusumawardhani (2012), hlm. 36)
  2. ^ Pesisir Jakarta merupakan daerah yang rentan banjir. Genangan air di sana berasal dari air pasang, dan luapan hujan yang berasal dari muara sungai di sekitarnya. Bahkan meski musim kemarau tiba, daerah tersebut tetap saja digenangi rembesan air laut yang berasal dari bawah permukaan tanah. Dengan kata lain banjir atau genangan air bisa berasal dari arah depan (banjir rob/air pasang laut), sekitar (muara sungai) dan bawah (intrusi air laut) (Listiyanti (2011), hlm. xii)
  3. ^ Sorondoy adalah atap sambungan untuk menutupi daerah depan dan belakang bangunan, sehingga atap utama hanya menutupi ruang bagian tengah saja. Bentuknya sendiri mengikuti bentuk pelana atap utama hanya saja dengan sudut kemiringan yang berbeda dan biasanya lebih landai (Kusumawardhani (2012), hlm. 66)
  4. ^ Tangerang Selatan berdiri sebagai kota mandiri pada tanggal 26 November 2008. Pada tanggal 27 September 2010 logo yang mengambil tema bangunan blandangan itu diresmikan. Blandangan dipilih karena merupakan bangunan ciri khas Betawi Tangerang Selatan. (Kusumawardhani (2012), hlm. 2-3)
Referensi
  1. ^ Swadarma (2014), hlm. 42 : “Rumah Betawi berbentuk panggung ini biasanya berada di pesisir, rawa atau daerah aliran sungai ...".
  2. ^ Sarjono (2006), hlm. 24 : “Secara umum, bentuk panggung dibuat dengan mengangkat lantai rumah dari tanah ...".
  3. ^ a b Swadarma (2014), hlm. 15 :"Jadi sudah jelas bahwa variasi rumah etnik Betawi menyesuaikan dengan sebaran komunitas Betawi beserta kondisi alam lingkungannya ...".
  4. ^ a b c Kusumawardhani (2012), hlm. 54 : “Sebagian besar orang kemudian mengenali rumah Betawi sebagai ‘rumah darat’ karena bentuk ini yang sering dimunculkan dalam kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah DKI Jakarta ...".
  5. ^ a b Kusumawardhani (2012), hlm. 79-80 : “Hanya tinggal satu rumah saja yang sebagian ruangnya masih berupa panggung yaitu rumah Haji Sarpin (alm), ayah dari H. Marja yang terletak di Kampung Jati ...".
  6. ^ a b Salim (2015), hlm. 397 : “Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si Pitung di Marunda. Atap berbentuk bapang, joglo, dan sebagainya ...".
  7. ^ a b Abdullah (2002), hlm. 6 :" Salah satu yang masih tersisa dari rumah jenis ini adalah sebuah rumah di kawasan Marunda, yang dikenal dengan nama rumah si Pitung ...".
  8. ^ a b Kusumawardhani (2012), hlm. 9 : “Melalui kejelasan sejarah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk dapat melestarikan kebudayaan serta arsitektur rumah Betawi Ora yang sekarang ini terancam punah ...".
  9. ^ Nur (2016), hlm. 16 : “Rumah Tradisional Masyarakat Bekasi atau Melayu Betawi dapat dikatakan hampir menuju kepunahan ...".
  10. ^ Leo, dkk (2019), hlm. 10 : “Kata Betawi berasal dari kata Batavia, yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda ...".
  11. ^ Swadarma (2014), hlm. 9 : “Kawasan ini kemudian menjadi daerah kekuasaan Tarumanegara dan Pakuan yang berlatar belakang Sunda hingga abad ke-16. Oleh karena itu, wajar bila awalnya etnik Sunda telah mendominasi kawasan Betawi ...".
  12. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 2 : “Luasnya wilayah sebaran etnis Betawi ini kemudian secara geografis dibagi lagi berdasarkan wilayah tempat mereka bermukim, yaitu Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik atau disebut juga sebagai Betawi Ora ...".
  13. ^ Swadarma (2014), hlm. 10-15 : “Sejak awal terbentuknya kota Jakarta, daerah pesisir adalah tempat bermula suku ini berasal ...".
  14. ^ a b Rizal, JJ (9 November 2017). "Reklamasi dan Kiamat Situs Sejarah-Budaya Jakarta". tirto. Diakses tanggal 25 April 2019. 
  15. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 54 : “Saidi mengutarakan tentang masyarakat Betawi yang mengenal bentuk rumah panggung dikarenakan dahulunya mereka tergolong masyarakat rawa ...".
  16. ^ "Anjungan DKI Jakarta". tamanmini. Diakses tanggal 27 April 2019. 
  17. ^ a b c Badriyah, Laela (14 Februari 2019). "Apa Nama Tipe Rumah Si Doel dalam Tradisi Betawi?". medcom. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  18. ^ Suswandari (2017), hlm. 91 : “Bentuk tradisional Betawi ada tiga macam. 1 Rumah tipe Gudang...".
  19. ^ Nur (2016), hlm. 16 : “Seandainya adapun, jumlahnya tidak terlalu banyak, dapat dijumpai di wilayah-wilayah tertentu di Bekasi, diantaranya Babelan, Kaliabang, Tarumajaya, Bantar Gebang, Pondok gede, Tambun, Cibitung, Lemahabang, cikarang dan Sukatani ...".
  20. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 64 : “Rumah Betawi Pesisir adalah rumah yang umumnya terdapat di pesisir pantai Jakarta ...".
  21. ^ Swadarma (2014), hlm. 12 :"Rumah si Pitung di Marunda. Prototip rumah Betawi panggung di daerah pesisir ...".
  22. ^ a b "Rumah Si Pitung/Langgar Tinggi". kemdikbud. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  23. ^ Anom, dkk (1996), hlm. 75. :" Rumah SI Pitung sering disebut Rumah Tinggi Marunda diperkirakan dibangun pada abad ke-20. Dahulu rumah ini milik H. Syaifuddin, seorang pengusaha Sero ...".
  24. ^ Ramadhan, Ardito (12 Mei 2018). "Mempelajari Sejarah Rumah Si Pitung, Rumah yang Tak Pernah Dihuni Si Pitung..." kompasonline. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  25. ^ a b Silalahi, Laurel Benny Saron (14 Maret 2016). "Kisah Rumah Pitung di Marunda". merdekaonline. Diakses tanggal 16 April 2019. 
  26. ^ Anom, dkk (1996), hlm. 75. :" Rumah Si Pitung telah dipugar pada tahun 1972 oleh Pemerintah DK.I Jakarta ...".
  27. ^ Puspasari, Desi (8 Des 2012). "Dikejar Kompeni Belanda, Si Pitung Ngumpet di Rumah Ini". detik. Diakses tanggal 16 April 2019. 
  28. ^ "Nasib Rumah Si Pitung dan Renovasi Setengah Hati". republikaonline. 5 Desember 2011. Diakses tanggal 16 April 2019. 
  29. ^ Hatta, Raden Trimutia (30 Januari 2013). "FOTO: Lebih Dekat dengan Rumah Si Pitung". liputan6online. Diakses tanggal 16 April 2019. 
  30. ^ a b Abdila, Reynas (31 Juli 2015). "Si Pitung, Legenda Betawi dan Kisah Rumah Terakhir di Marunda". tribunnews. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  31. ^ Ruchiat, dkk (2003), hlm. 108 : “Masyarakat Betawi pada umumnya tidak memiliki gaya bangunan yang khas ...".
  32. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 55 : “Bagaimana bentuk sesungguhnya dari arsitektur rumah Betawi masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut ...".
  33. ^ Suswandari (2016), hlm. 46 : “Keunikan rumah adat Betawi antara lain: Memiliki pondasi yang kokoh dibuat dari batu alam ...".
  34. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 80 : “Secara fisik, rumah Betawi Ora di wilayah Tangerang Selatan yang saya temui, umumnya berbentuk rumah bapang atau rumah kebaya ...".
  35. ^ a b Ruchiat, dkk (2003), hlm. 109-113 : “Yang dimaksud dengan arsitektur di sini, ialah gaya bangunan sebagai salah satu bentuk hasil kebudayaan suatu masyarakat yang dipergunakan untuk berlindung dari pengaruh cuaca atau lingkungan hidupnya ...".
  36. ^ Moechtar, dkk (2012), hlm. 141 : “Rumah tradisional Betawi dapat dikatakan tidak memiliki arah mata angin maupun orientasi tertentu dalam peletakannya ...".
  37. ^ Salim (2015), hlm. 398 : “Di daerah pesisir kelompok-kelompok rumah umumnya menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai namun tidak tampak perencanaan tertentu atau keseragaman dalam mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu ...".
  38. ^ a b Kusumawardhani (2012), hlm. 94 : “Selain mengikuti posisi lahan pertanian mereka, rumah Betawi Ora juga mengikuti arah mata angin sebagai orientasinya ...".
  39. ^ Kusumawardhani (2014), hlm. 95 : “Antara tiap rumah tidak membentuk pola tertentu, melainkan menyebar ...".
  40. ^ "Bikin Rume". jakartaonline. 1 Januari 2017. Diakses tanggal 25 April 2019. 
  41. ^ Nur (2016), hlm. 18 : “Masyarakat Melayu Betawi (Bekasi) pada awalnya adalah masyarakat sungai. Mereka tinggal secara berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan tertentu ...".
  42. ^ a b Habitat for Humanity Indonesia (2016), hlm. 9 : “Tipe Panggung merupakan rumah adat Betawi yang terletak di daerah pesisir pantai ...".
  43. ^ Listiyanti (2011), hlm. 72 :"Rumah Tipe A masih terlihat kepanggungannya. Rumah ini terdapat di area pinggir pantai yang landai. Sehingga rumah tipe ini memerlukan tiang penopang yang lebih tinggi sekitar 2 - 3 meter ...".
  44. ^ Listiyanti (2011), hlm. 72 :"Rumah ini terdapat di area pinggir pantai yang landai ...".
  45. ^ Abdullah (2002), hlm. 6 : “Salah satu yang masih tersisa dari rumah jenis ini adalah sebuah rumah di kawasan Marunda, yang dikenal dengan nama rumah si Pitung ...".
  46. ^ Anom (1996), hlm. 75 : “Rumah Si Pitung ini menghadap ke laut utara. Rumah tersebut merupakan rumah panggung yang ditopang oleh 40 buah tiang berbentuk bulat dan persegi panjang tingginya kira-kira 1,5 m ...".
  47. ^ Swadarma (2014), hlm. 15 :"Rumah Betawi pesisir umumnya berkolong tinggi untuk menghindari air laut pasang ...".
  48. ^ Nur (2016), hlm. 17 : “Rumah adat panggung berdiri di tepi-tepi sungai karena pada awalnya kehidupan berada di tepi sungai ...".
  49. ^ Swadarma (2014), hlm. 85 : “Aslinya ia merupakan rumah panggung dengan jarak antara lantai dan tanah setinggi kurang lebih 50 -70 cm ...".
  50. ^ Swadarma (2014), hlm. 12 :"Bentuk kolong bisa jadi merupakan pengaruh arsitektur bangunan dari penduduk yang berasal dari Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi yang memang banyak berdatangan ke kawasan ini ...".
  51. ^ Abdullah (2014), hlm. 6 :" Pengaruh Bugis pada bangunan yang terletak di pesisir Jakarta ini dikarenakan pada masa kekuasaan kolonial Belanda, banyak didatangkan orang-orang dari Bugis yang kemudian menetap dan bermukim di Batavia ...".
  52. ^ Nur (2016), hlm. 17-18 : “Rumah panggung tradisional masyarakat Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Marunda. tak jauh dari Cilincing, Jakarta Utara, terdapat sebuah rumah panggung yang bersejarah ...".
  53. ^ Nur (2016), hlm. 20 : “Alasannya, biasanya adalah faktor keamanan hutan dan lingkungan yang dahulu masih banyak dihuni oleh binatang pengganggu, membuat kearifan masyarakat tradisional mengakalinya dengan bentuk rumah panggung ...".
  54. ^ Swadarma (2014), hlm. 66 : “Balaksuji adalah konstruksi tangga pada rumah Betawi ...".
  55. ^ a b c d e "Rumah Betawi". ensiklopediajakartaonline. Diakses tanggal 16 April 2019. 
  56. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 85 : “Tetapi sebagian besar dari rumah Betawi Ora yang masih ada sekarang ini menggunakan atap bapang atau atap kebaya ...".
  57. ^ Listiyanti (2011), hlm. 68 :"Menurut Ridwan Saidi, pilihan pola atap tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur tradisional Betawi ...".
  58. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 65 : “Dari buku yang dikeluarkan oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta tahun 1991 tentang rumah Betawi, diketahui bahwa rumah Betawi daerah dataran dalam terbagi lagi menjadi 3 berdasarkan bentuk atap yang digunakan ...".
  59. ^ Abdullah (2002), hlm. 3. :" Rumah Joglo ini memiliki atap yang menjorok ke atas dan tumpul seperti Rumah Joglo di Jawa, namun Rumah Joglo Betawi tidak menggunakan tiang-tiang penopang struktur atap sebagai unsur utama dalam pembagian ruang ...".
  60. ^ Fenny Leo, dkk (2019), hlm. 11. :" Pada rumah Joglo dari atap disusun oleh sistem struktur kudakuda...".
  61. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 3, 5 : “Di dalamnya terdapat gambar bangunan, yang dijelaskan sebagai ilustrasi dari bagian rumah Betawi di Tangerang Selatan yang disebut dengan blandongan ...".
  62. ^ Listiyanti (2011), hlm. 69 :"Sistem Patis merupakan sistem penyambungan kayu pada rumah panggung Marunda. Sistem ini tidak menggunakan paku melainkan sebatang besi tumpul sebagai pengikat kayu. Secara umum, sistem ini hampir sama dengan sistem Knock Down ...".
  63. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 84 : “Struktur rangka dan balok yang terdapat pada bangunan blandongan dibuat dengan teknik sambungan tanpa paku dengan menggunakan pasak ...".
  64. ^ Wijayanti, dkk (2019), hlm. 52. :" Balaksuji sendiri memiliki filosofi sebagai rumah tangga, dan juga sebagai sarana untuk menolak bencana dan menyucikan diri sebelum memasuki rumah ...".
  65. ^ Swadarma (2014), hlm. 66 : “Pada rumah Betawi panggung siapapun yang memasuki rumah harus melalui tangga terlebih dahulu ...".
  66. ^ a b "Rumah Panggung Betawi". kemdikbud. Diakses tanggal 18 April 2019. 
  67. ^ Haryanti, Rosiana (11 Juli 2018). "Arsitektur Rumah Betawi, Sarat Nilai Filosofis". kompasonline. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  68. ^ Listiyanti (2011), hlm. 70. :" Namun seiring dengan perkembangan zaman, tangga balak suji ini sudah tidak ditemukan lagi karena dianggap terlalu merepotkan, ujar bapak Sadiat, salah seorang warga Marunda ...".
  69. ^ Swadarma (2014), hlm. 66 : “Balaksuji saat ini sudah sangat jarang ditemukan di rumah-rumah Betawi tradisional dan banyak dialihkan sebagai tangga pada masjid ...".
  70. ^ Marzuqi, Abdillah M. (6 Agustus 2017). "Mengenal Rumah Asli Suku Betawi". mediaindonesiaonline. Diakses tanggal 12 April 2019. 
  71. ^ Listiyanti (2011), hlm. 67 : "Menurut Ridwan Saidi, pada dasarnya terdapat tiga zoning pada rumah tradisional Betawi. ...".
  72. ^ a b c "Panggung, Rumah". Provinsi DKI Jakarta. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  73. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 80-84 : “Yang paling jelas terlihat adalah, rumah bapang atau kebaya Betawi Tengah, umumnya bermassa tunggal sedangkan rumah “Betawi Ora” merupakan kumpulan dari tiga massa bangunan ...".
  74. ^ Nur (2016), hlm. 20 : “Bagian-bagian Rumah Tradisional Bekasi atau Melayu Betawi berdasarkan Azas Tritangtu ...".
  75. ^ a b Listiyanti (2011), hlm. 67-68. :" Dimana keberadaan beranda menjadi karakter dari arsitektur tropis. Beranda merupakan ruang terbuka yang berfungsi sebagai tampias air hujan dan filter terhadap radiasi panas matahari ...".
  76. ^ Tanjung (2018), hlm. 11. :" di bagian teras ini suku Betawi menerima tamu sekaligus bersantai ...".
  77. ^ Adi (2010), hlm. 31 : “Terasnya juga sudah tidak ada lagi yang lebar, padahal teras orang Betawi tempo dulu lebar-lebar ...".
  78. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 86 : “Rumah terdiri dari beberapa ruang, sebagai ruang penerima adalah teras, yang terdapat di sepanjang muka rumah tepat berhadapan dengan blandongan ...".
  79. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Sebenarnya struktur dan kekuatan kayu yang berasal dari pohon nangka hampir sebanding dengan pohon jati sehingga pohon nangka kerap dijadikan pilihan utama sebagai material pembuatan rumah ...".
  80. ^ Suwardi Alamsyah P. (2009), hlm. 16. :" Mungkin ada yang memberikan pohon yang ada di kebunnya yang akan dijadikan bahan bangunan, baik tiang atau papan serta keperluan lainnya ...".
  81. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 76 : “Rumah Betawi Ora umumnya menggunakan material alam yang terdapat di sekeliling mereka. Struktur utama menggunakan konstruksi kayu, umumnya memakai kayu nangka untuk kolom, balok, dan konstruksi atapnya ...".
  82. ^ Anggraeni, dkk (2019), hlm. 101 : “Masyarakat Betawi berpegang teguh pada kearifan nilai gotong royong dalam menjalankan berbagai kegiatan kemasyarakatan ...".
  83. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 77 : “Untuk memperoleh kayu sebagai bahan baku material, biasanya masyarakat bergotong royong untuk mengumpulkan bahan baku tersebut ...".
  84. ^ Kusumawardhani (2012), hlm. 78 : “Sebagai tanaman perdu, bambu terkenal dapat menyimpan air di dalam ruas – ruasnya, sehingga memiliki kandungan air yang cukup tinggi dan menjadikan material alami ini lebih mudah lapuk ...".
  85. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Sebagai masyarakat yang dibentuk oleh multietnis, banyak kepercayaan-kepercayaan yang terbawa hingga sekarang ...".
  86. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Pada prinsipnya larangan serta aturan tersebut ditujukan agar penghuni yang kelak menempati rumah yang sedang dibangun terhindar dari musibah dalam hidupnya ...".
  87. ^ BP Budpar (2002), hlm. 10. :" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning...".
  88. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Kayu cempaka merupakan salah satu kayu yang berbau harum ...".
  89. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Pohon asem sering ditemukan berada di kebun-kebun warga Betawi., tetapi bila diperhatikan ternyata pohon asem hampir tidak pernah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah ...".
  90. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Pada saat meratakan tanah di lokasi rumah akan dibangun, biasanya masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satu garam bata lagi di tengah-tengah ...".

Daftar pustaka

Buku

  • BP Budpar, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2002). Arsitektur Tradisional Betawi - Sumbawa - Palembang - Minahasa - Dani (PDF) (edisi ke-1). Jakarta: Seksi Publikasi Subdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Tradisi dan Kepercayaan Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. 
  • Tanjung, Anita Chairul (2018). Pesona Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 
  • Saidi, Ridwan (2002). Jakarta Dari Majakatera Hingga VOC. Jakarta: Yayasan Renaissance. ISBN 978-602-51335-3-4. 
  • Supriatna, Nana (2006). Sejarah Untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas Program Bahasa. Jakarta: Grafindo Media Pratama. 
  • Swadarma, Doni; Aryanto, Yunus (2014). Rumah Etnik Betawi. Jakarta: Griya Kreasi. ISBN 978-979-661-212-3. 
  • Anom, I.G.N; Sugiyanti, Sri; Hasibuan, Hadniwati; Dewi, Puspa; Ernawati; Sumono, Hardini; Supriyatun, Rini; lsmijono (1996). Hasil pemugaran Dan temuan benda cagar budaya Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Sardjono, Agung Budi (2006). Aneka Desain Rumah Bertingkat. Griya Kreasi. ISBN 9792636080. 
  • Suswandari (2017). Kearifan Lokal Etnik Betawi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-229-753-6. 
  • Ruchiat, Rachmat; Wibisono, Singgih; Syamsudin, Rachmat (2003). Ikhtisar Kesenian Betawi (edisi ke-2). Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta. ISBN 979-95292-2-0. 

Jurnal Ilmiah

Lainnya

Habitat for Humanity Indonesia (2016). "Rumah Tipe Panggung" (PDF). habitatindonesia. Diakses tanggal 30 April 2019. 

Bacaan Lanjutan