Lompat ke isi

Tri tangtu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP08Stefanus (bicara | kontrib)
Tag: BP2014
Menambahkan aksara Sunda
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(30 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Tri tangtu''' adalah cara berpikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu berasal dari bahasa Sunda. Kata Tri atau Tilu yang artinya Tiga dan Tangtu yang artinya Pasti atau Tentu.<ref name=”Filsafat Sunda”>{{cite book|title=Estetika Paradoks|author=Jakob Sumardjo|year=2010|publisher=Sunan Ambu Press|location=Bandung|page=58|isbn=978-979-8967-27-6}}</ref> Masyarakat tradisional Sunda memaknai Tri tangtu sebagai falsafaf hidup yang berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni : Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Bima Karana.<ref name=”Filsafat Sunda”>{{cite book|title=Estetika Paradoks|author=Jakob Sumardjo|year=2010|publisher=Sunan Ambu Press|location=Bandung|page=369|isbn=978-979-8967-27-6}}</ref>
'''Tri Tangtu''' ([[Aksara Sunda Baku|aksara Sunda]]: ᮒᮢᮤ ᮒᮀᮒᮥ) adalah cara berpikir masyarakat tradisional [[Sunda]]. Tri tangtu berasal dari [[bahasa Sunda]], di mana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtu yang artinya pasti atau tentu.<ref name="Filsafat Sunda">{{cite book|title=Estetika Paradoks|author=Jakob Sumardjo|year=2010|publisher=Sunan Ambu Press|location=Bandung|page=58, 369|isbn=978-979-8967-27-6}}</ref> Masyarakat tradisional Sunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah hidup yang berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni; Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Bima Karana.<ref name="Filsafat Sunda"/> Cara berpikir dalam pola pembagian tiga adalah umum untuk masyarakat Indonesia,karena orang Indonesia hidup dalam pertanian ladang.<ref name="Budaya">{{cite book|title=Modern Miring|author=Aminudin TH. Siregar|year=2010|publisher=567 Bandung|location=Bandung|page=41|}}</ref> Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan bahwa orang Sunda tidak mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, antara lain ''Gusti Nu Murbeng Alam''.<ref name="Filsafat">{{cite book|title=Melintas Jurnal Filsafat dan Teologi|author=Thomas Maman Suharman|year=2005|publisher=75 Bandung|location=Bandung|page=41|issn=0852-0089}}</ref>

==referensi==
== Penerapan ==
Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal, antara lain:
* Senjata [[kujang]], yang mempunyai tiga fungsi sekaligus yakni; pukul, potong, dan tusuk
* Kujang sebagai pusaka, memiliki makna tritangtu:
** a. Buana luhur, buana panca tengah, buana handap (larang)
** b. Ratu, Rama, Resi
** c. hirup, rasa, adeg
** d. Gusti, manusa, alam
* Kampung Sunda, yakni pemilik, pelaksana, dan penjaga.
* [[Rumah adat Sunda]] yang terdiri dari ruang tengah, ruang belakang, dan ruang depan, dan strukturnya terdiri atas Suhunan (atap / buana luhur, imah (rumah) /buana tengah, dan ), kolong (ruang kosong di bawah rumah/buana handap)
* [[Boboko]] atau [[wadah nasi]] yang dibuat dari jalinan bambu yang memilki tiga bentuk yakni bundar, segi delapan, dan bujur sangkar.
* Aseupan, - segitiga dari atas ke bawah, dan seeng - segitiga dari bawah ke atas (hirup-hurip, hirup patunjang-tunjang)
* iket / totopong Sunda

=== Pemikiran ===
Tri tangtu juga diterapkan dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda, antara lain:
* [[Silih|Silih asah]], [[silih asuh]], [[silih asih]], dengan menggunakan silih wangi
* Tekad, ucap, lampah
* Naluri, nurani, nalar
* ''Leuweung larangan'', ''leuweung tutupan'', dan ''leuweung garapan''.<!--beri terjemahan-->
* Dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah
* Langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan tanaman dan manusia yang memungkinkan itu, dengan mengawinkan [[langit]] dan [[bumi]].

=== Geografis ===
Tri tangtu dalam wilayah geografis orang Sunda juga terdiri dari tiga aspek.
* '''[[Parahyangan|Alam Parahyangan]]''', di mana tempat tinggalnya [[Hyang]] atau Dewa yang dipercaya bagi orang Sunda, selain itu juga menunjukan keindahan alamnya.
* '''[[Pasundan|Bumi Pasundan]]''', di mana penduduk orang Sunda tinggal dengan bahasa, budaya dan adatnya yang biasa disebut sebagai ''Nyunda''.
* '''[[Tatar Sunda]]''', di mana bekas wilayah [[Kerajaan Sunda]] yang sekarang berada di Provinsi [[Jawa Barat]], [[Banten]], [[Jakarta]], dan bagian barat [[Jawa Tengah]].

== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist}}


[[Kategori:Budaya Sunda]]
==Penerapan Tri tangtu Pada Hasil Budaya Masyarakat Tradisional Sunda==
[[Kategori:Filsafat Sunda]]
*Senjata Kujang adalah entitas Tiga fungsi selaligus yakni
Pukul,Potong,dan Tusuk
*Kampung Sunda : Pemilik,Pelaksana dan Penjaga
*Rumah adat Sunda terdiri dari : Ruang Tengah,Ruang Belakang,dan Ruang Depan
*Boboko atau wadah nasi yang dibuat dari jalinan bambu memilki tiga bentuk yakni Bundar,Segi delapan dan Bujur sangkar
===Contoh Pemikiran Tri tangtu Dalam Masyarakat Tradisional Sunda===
*[[Silih asah]], [[silih asuh]], [[silih asih]]
*Tekad, Ucap, Lampah
*Naluri, Nurani, Nalar
*Leuweung larangan, Leuweung tutupan, dan Leuweung garapan.
*Dunia atas,dunia bawah dan dunia tengah
*Langit pemberi hujan,tanah yang menumnuhkan tanaman dan manusia yang memungkinkan itu, dengan mengawinkan Langit dan Bumi

Revisi terkini sejak 10 Agustus 2023 05.21

Tri Tangtu (aksara Sunda: ᮒᮢᮤ ᮒᮀᮒᮥ) adalah cara berpikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu berasal dari bahasa Sunda, di mana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtu yang artinya pasti atau tentu.[1] Masyarakat tradisional Sunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah hidup yang berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni; Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Bima Karana.[1] Cara berpikir dalam pola pembagian tiga adalah umum untuk masyarakat Indonesia,karena orang Indonesia hidup dalam pertanian ladang.[2] Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan bahwa orang Sunda tidak mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, antara lain Gusti Nu Murbeng Alam.[3]

Penerapan

[sunting | sunting sumber]

Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal, antara lain:

  • Senjata kujang, yang mempunyai tiga fungsi sekaligus yakni; pukul, potong, dan tusuk
  • Kujang sebagai pusaka, memiliki makna tritangtu:
    • a. Buana luhur, buana panca tengah, buana handap (larang)
    • b. Ratu, Rama, Resi
    • c. hirup, rasa, adeg
    • d. Gusti, manusa, alam
  • Kampung Sunda, yakni pemilik, pelaksana, dan penjaga.
  • Rumah adat Sunda yang terdiri dari ruang tengah, ruang belakang, dan ruang depan, dan strukturnya terdiri atas Suhunan (atap / buana luhur, imah (rumah) /buana tengah, dan ), kolong (ruang kosong di bawah rumah/buana handap)
  • Boboko atau wadah nasi yang dibuat dari jalinan bambu yang memilki tiga bentuk yakni bundar, segi delapan, dan bujur sangkar.
  • Aseupan, - segitiga dari atas ke bawah, dan seeng - segitiga dari bawah ke atas (hirup-hurip, hirup patunjang-tunjang)
  • iket / totopong Sunda

Pemikiran

[sunting | sunting sumber]

Tri tangtu juga diterapkan dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda, antara lain:

  • Silih asah, silih asuh, silih asih, dengan menggunakan silih wangi
  • Tekad, ucap, lampah
  • Naluri, nurani, nalar
  • Leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan.
  • Dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah
  • Langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan tanaman dan manusia yang memungkinkan itu, dengan mengawinkan langit dan bumi.

Geografis

[sunting | sunting sumber]

Tri tangtu dalam wilayah geografis orang Sunda juga terdiri dari tiga aspek.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Jakob Sumardjo (2010). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press. hlm. 58, 369. ISBN 978-979-8967-27-6. 
  2. ^ Aminudin TH. Siregar (2010). Modern Miring. Bandung: 567 Bandung. hlm. 41. 
  3. ^ Thomas Maman Suharman (2005). Melintas Jurnal Filsafat dan Teologi. Bandung: 75 Bandung. hlm. 41. ISSN 0852-0089.