Gereja Katolik dan hukuman mati: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wildcat (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi 'Ajaran-ajaran Yesus menitik-beratkan pada belas-kasih, rekonsiliasi dan penebusan dosa; tema yang berulang-ulang ini dalam pesan Injil digunakan oleh [[Gereja Katolik...'
 
Tag: Pengembalian manual
 
(27 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
Ajaran-ajaran [[Yesus]] menitik-beratkan pada belas-kasih, rekonsiliasi dan penebusan dosa; tema yang berulang-ulang ini dalam pesan Injil digunakan oleh [[Gereja Katolik Roma]] untuk menentang hukuman mati. Bapa-bapa Gereja seperti Klemens dari Roma dan Yustinus sang Martir menegaskan bahwa mengambil nyawa manusia adalah bertentangan dengan Injil dan mendorong umat Kristiani untuk tisak ikut-serta melaksanakan hukuman mati. Penentangan Gereja terhadap hukuman mati menurun saat Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi. [[Santo Agustinus]] menilai hukuman mati sebagai sebuah jalan untuk mencegah kejahatan dan melindungi pihak-pihak yang tidak bersalah. Di Abad Pertengahan, [[Thomas Aquinas]] menegaskan kembali sikap ini.
Ajaran-ajaran [[Yesus]] menitik-beratkan pada belas-kasih, [[rekonsiliasi]] dan penebusan dosa; tema yang berulang-ulang ini dalam pesan [[Injil]] digunakan oleh [[Gereja Katolik Roma]] untuk menentang [[hukuman mati]]. Para [[Bapa Gereja]] seperti [[Santo]] [[Paus Klemens I|Klemens dari Roma]] dan Santo [[Yustinus Martir]] menegaskan bahwa mengambil [[nyawa]] [[manusia]] adalah bertentangan dengan Injil dan mendorong umat [[Kristiani]] untuk tidak ikut-serta melaksanakan hukuman mati. [[Santo Agustinus]] menilai hukuman mati seharusnya hanya sebagai sebuah jalan untuk mencegah [[kejahatan]] dan melindungi pihak-pihak yang tidak bersalah.<ref name=Dulles>{{en}} {{cite web|first=Avery Cardinal|last=Dulles|title=Catholicism & Capital Punishment|url=http://www.firstthings.com/article/2001/04/catholicism-amp-capital-punishment|accessdate=2014-06-27|archive-date=2018-08-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20180802193425/https://www.firstthings.com/article/2001/04/catholicism-amp-capital-punishment|dead-url=no}}</ref> Pada [[Abad Pertengahan]], Santo [[Thomas Aquinas]] menegaskan kembali sikap ini.


==Thomas Aquinas==
== Thomas Aquinas ==
Berikut ini adalah rangkuman dari [[Summa Contra Gentiles]], Buku 3, Bab 146 [http://www.corpusthomisticum.org/scg3111.html#27017], yang ditulis oleh Aquinas sebelum [[Summa Theologica]]. Santo Thomas adalah seorang pendukung vokal dari hukuman mati. Ini adalah berdasarkan teori (yang ada di dalam Hukum Moral Alami), bahwa negara tidak hanya berhak, tapi juga merupakan tugasnya untuk melindungi warga negaranya dari para musuh negara, baik dari dalam maupun dari luar.
Berikut ini adalah rangkuman dari [[Summa Contra Gentiles]], Buku 3, Bab 146 [http://www.corpusthomisticum.org/scg3111.html#27017] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230801161314/http://www.corpusthomisticum.org/scg3111.html#27017 |date=2023-08-01 }}, yang ditulis oleh St Thomas Aquinas sebelum [[Summa Theologica]]. Santo Thomas adalah seorang pendukung vokal dari hukuman mati. Ini adalah berdasarkan teori (yang ada di dalam Hukum Moral Alami), bahwa negara tidak hanya berhak, tapi juga merupakan tugasnya untuk melindungi warga negaranya dari para musuh negara, baik dari dalam maupun dari luar.


Bagi mereka yang telah diangkat secara tepat, tidak ada dosa di dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut. Bagi mereka yang menolak untuk mematuhi hukum Tuhan, adalah benar bagi masyarakat untuk menghukum mereka dengan sanksi-sanksi sipil dan kriminal. Tidak ada orang yang berbuat dosa dalam bekerja demi keadilan, dalam ruang lingkup hukum. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat pada dasarnya bukanlah kejahatan. Kebaikan bersama di seluruh masyarakat adalah lebih penting dan lebih baik daripada kesejahteraan pribadi individu tertentu. ''"Kehidupan seorang yang berbahaya menjadi suatu hambatan untuk tercapainya kesejahteraan bersama yang adalah dasar dari kerukunan masyarakat manusiawi. Oleh karena itu, beberapa orang tertentu harus disingkirkan lewat kematian dari masyarakat manusia."'' Hal ini disamakan dengan tindakan dokter yang harus mengamputasi salah satu bagian tubuh yang sakit atau terkena kanker demi kebaikan diri seseorang.
Bagi mereka yang telah diangkat secara tepat, tidak ada dosa di dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut. Bagi mereka yang menolak untuk mematuhi hukum Tuhan, adalah benar bagi masyarakat untuk menghukum mereka dengan sanksi-sanksi sipil dan kriminal. Tidak ada orang yang berbuat dosa dalam bekerja demi keadilan, dalam ruang lingkup hukum. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat pada dasarnya bukanlah kejahatan. Kebaikan bersama di seluruh masyarakat adalah lebih penting dan lebih baik daripada kesejahteraan pribadi individu tertentu. ''"Kehidupan seorang yang berbahaya menjadi suatu hambatan untuk tercapainya kesejahteraan bersama yang adalah dasar dari kerukunan masyarakat manusiawi. Oleh karena itu, beberapa orang tertentu harus disingkirkan lewat kematian dari masyarakat manusia."'' Hal ini disamakan dengan tindakan dokter yang harus mengamputasi salah satu bagian tubuh yang sakit atau terkena kanker demi kebaikan diri seseorang.


Santo Thomas Aquinas mendasari pemikirannya ini pada:
Thomas Aquinas mendasari pemikirannya ini pada Kitab Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 5:6 : "Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi merusak seluruh adonan?" dan 5:13 : "Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.; Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 13:4 : "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat"; Surat Petrus yang Pertama 2: 13-14 : "Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik."
* Kitab [[Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus]] 5:6: "Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi merusak seluruh adonan?"
* dan 5:13: "Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.;
* [[Surat Paulus kepada Jemaat di Roma]] 13:4: "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat";
* [[Surat Petrus yang Pertama]] 2: 13-14: "Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik."


Ia percaya kalimat-kalimat ini membawahi teks dari [[Kitab Keluaran]] 20:13: "Jangan membunuh." Hal ini disebut lagi di dalam [[Injil Matius]] 5:21. Juga, bisa dihubungkan dengan kalimat di dalam [[Injil Matius]] 13:30: "Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai." Waktu menuai diinterpretasikan sebagai rujukan untuk hari kiamat. Hal ini dijelaskan dalam Matius 13: 38-40.


Aquinas sadar bahwa kalimat-kalimat ini bisa juga diartikan bahwa seharusnya tidak boleh ada hukuman mati apabila terdapat kemungkinan apa pun bahwa pihak tidak bersalah menjadi terkena dampaknya. Larangan "Jangan membunuh" dibawahi oleh [[Kitab Keluaran]] 22:18: "Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup." Argumen yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan seharusnya diberikan kesempatan hidup supaya mereka bisa menebus dosanya ditolak dan dianggap sebagai argumen yang tidak tepat. Apabila mereka tidak bertobat di hadapan maut, adalah tidak masuk akal untuk menganggap mereka akan bertobat sama sekali. ''"Berapa banyak orang yang kita perbolehkan untuk dibunuh ketika menunggu orang yang bersalah untuk bertobat?"'', ia bertanya secara retoris. Menggunakan hukuman mati untuk balas dendam adalah pelanggaran atas hukum moral alami.
<!--
Ia percaya bahwa kalimat-kalimat ini


[Banyak pihak percaya bahwa interpretasi yang tepat dari perintah Allah tersebut adalah "Jangan melakukan kejahatan pembunuhan." Interpretasi ini mendukung kepercayaan Aquinas bahwa hukuman mati adalah sebuah tindakan yang bisa diterima sebagaimana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang atas hal tersebut, seperti pemerintah, yang diangkat secara ilahi menurut kehendak Tuhan.]
the sword in vain: for he is God's minister, an avenger to execute wrath upon him that does evil"; [[I Peter]] 2, 13-14: "Be subjected therefore to every human creature for God's sake: whether to be on the king as excelling, or to governors as sent by him for the punishment of evildoers and for the praise of good." He believed these passages superseded the text of [[Book of Exodus|Exodus]] 20,13: "Thou shall not kill." This is mentioned again in [[Gospel of Matthew|Matthew]] 5,21. Also, it is argued that [[Gospel of Matthew|Matthew]] 13, 30: "Suffer both the weeds and the wheat to grow until the harvest." The harvest was interpreted as meaning the end of the world. This is explained by Matthew 13,38-40.


Di bawah [[Paus Yohanes Paulus II]], Gereja Katolik malah menganjurkan hukuman penjara daripada hukuman mati, walaupun hukuman mati tersebut masil diperbolehkan di beberapa kasus ekstrem.
Aquinas acknowledged these passages could also be interpreted as meaning there should be no use of the death penalty if there was a chance of injuring the innocent. The prohibition "Thou shall not kill", was superseded by [[Book of Exodus|Exodus]] 22,18: "Wrongdoers you shall not suffer to live." The argument that evildoers should be allowed to live in the hope that they might be redeemed was rejected by Aquinas as frivolous. If they would not repent in the face of death, it was unreasonable to assume they would ever repent. ''"How many people are we to allow to be murdered while waiting for the repentance of the wrongdoer?"'', he asked, rhetorically. Using the death penalty for revenge, or retribution is a violation of natural moral law.


=== Ajaran saat ini ===
[Many believe the correct interpretation of the commandment to be "Thou shalt not murder." This interpretation allows for Aquinas' belief that the death penalty is an acceptable practice as delivered by those in authority over such things, such as government, which is divinely appointed as to God's will.]


Paul J. Surlis menulis bahwa ajaran Gereja atas hukuman mati sedang dalam peralihan.<ref name=Surlis>{{en}} {{cite web |first=Paul J. |last=Suris |title=Church Teaching and the Death Penalty |url=http://www.vincenter.org/95/surlis.html |accessdate=2009-05-05 |archive-date=2009-06-29 |archive-url=https://web.archive.org/web/20090629182039/http://www.vincenter.org/95/surlis.html |dead-url=no }}</ref> [[Katekismus Gereja Katolik]] menyatakan bahwa hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah kejahatannya. Gereja mengajarkan bahwa hukuman mati diperbolehkan hanya apabila "identitas dan tanggung-jawab pihak yang bersalah telah dipastikan sepenuhnya" dan apabila hukuman mati tersebut adalah satu-satunya jalan untuk melindungi pihak-pihak lain dari kejahatan pihak yang bersalah ini.
Under [[Pope John Paul II]], the Catholic Church came to advocate incarceration, in lieu of the death penalty. It is still allowed for extreme cases.


Namun, apabila terdapat cara lain untuk melindungi masyarakat dari "penyerang yang tidak berperi-kemanusiaan", cara-cara ini lebih dipilih daripada hukuman mati karena cara-cara ini dianggap lebih menghormati harga diri seorang manusia dan selaras dengan tujuan kebaikan bersama.<sup>(2267)</sup>
===Current teaching===


Oleh karena masyarakat zaman sekarang memungkinkan adanya cara-cara yang efektif untuk mencegah kejahatan tanpa adanya eksekusi, Katekismus menyatakan bahwa "kasus dimana eksekusi pihak yang bersalah adalah suatu keharusan 'adalah sangat jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali.'<ref name="Cat2258">{{en}} {{cite web| author = Holy See| others = Paragraph number 2258–2330| title = Catechism of the Catholic Church| publisher = Libreria Editrice Vaticana| year = 1994| url = http://www.va/archive/catechism/p3s2c2a5.htm| accessdate = 27 December 2008| archive-date = 2007-09-28| archive-url = https://web.archive.org/web/20070928055736/http://www.va/archive/catechism/p3s2c2a5.htm| dead-url = yes}}</ref>
Paul J. Surlis writes that Church teaching on the death penalty has been in transition.<ref name=Surlis>{{cite web |first=Paul J. |last=Suris |title=Church Teaching and the Death Penalty |url=http://www.vincenter.org/95/surlis.html |accessdate=2009-05-05}}</ref> The Catechism of the Catholic Church states that the death penalty is permissible in cases of extreme gravity. The Church teaches that capital punishment is allowed if the "guilty party's identity and responsibility have been fully determined" and if the death penalty is the only way to defend others against the guilty party.


Perlu dicatat bahwa, dalam pembentukan negara [[Vatikan]] pada tahun 1929, hukuman mati tidak pernah dilakukan dalam negara tersebut, suatu hal yang sangat berbeda dengan praktik-praktik yang dilakukan di zaman [[Negara Gereja]] pada [[Abad Pertengahan]]. Hal ini sesuai dengan posisi gereja yang lebih condong ke paham ''abolisionis'' (penghapusan hukuman mati) saat ini. Terdapat sedikit kerancuan mengenai posisi resmi pembentukan negara [[Vatikan]] ini saat beberapa catatan menyatakan bahwa negara ini mengadopsi kode hukum Italia kuno yang tidak memiliki bentuk hukuman mati dan bukannya mengadopsi kode hukum yang diseukai oleh [[Benito Mussolini]] saat hukuman mati dimulai lagi oleh sang pemimpin [[Fasisme|Fasis]] tersebut. Saat ini hukuman mati secara resmi dihapuskan pada tahun 1969 oleh [[Paus Paulus VI]]. Peristiwa ini yang mengindikasikan posisi resmi Gereja dari tahun 1929 hingga tahun 1969 mirip dengan apa yang terjadi di [[Inggris]] mulai dari penghapusan hukuman mati untuk kasus pembunuhan pada tahun 1965 hingga ''abolisi'' sepenuhnya pada tahun 1998.
However, if there are other means available to defend people from the "unjust aggressor", these means are preferred to the death penalty because they are considered to be more respectful of the dignity of the person and in keeping with the common good.<ref name="Cat2258"/><sup>(2267)</sup>


Dalam [[ensiklik]]-nya [[Evangelium Vitae]] yang diterbitkan tahun 1995, [[Paus Yohanes Paulus II]] menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati ini dan menyatakan bahwa, dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati sangat jarang dapat didukung keberadaanya.<ref name=Surlis/>
Because today's society makes possible effective means for preventing crime without execution, the Catechism declares that "the cases in which execution of the offender is an absolute necessity 'are very rare, if practically nonexistent.{{'"}}<ref name="Cat2258">{{cite web | last =Paragraph number 2258&ndash;2330 | title =Catechism of the Catholic Church | publisher = Libreria Editrice Vaticana| year = 1994| url = http://www.va/archive/catechism/p3s2c2a5.htm|accessdate=27 December 2008}}</ref>


== Peristiwa ==
It is notable that, on the foundation of the Vatican State in 1929, capital punishment has never been in use in the state, in contradistinction with its acceptance in the medieval Papal States. This is in keeping with the more abolitionist position of the present Church. There is some confusion about the legal position on the formation of the state as some records have the state adopt an older Italian legal code which did not have capital punishment rather than use the legal code favoured by [[Benito Mussolini]] where capital punishment had been reinstated by the Fascist leader. If present, it was formally abolished in 1969 by [[Pope Paul VI]]. This would indicate a legal position from 1929 to 1969 similar to that of [[Great Britain]] from its abolition for murder in 1965 to its final abolition in 1998.
=== Mary Jane Fiesta Veloso ===
[[Uskup Agung]] [[Jakarta]] Mgr. [[Ignatius Suharyo]] pada tanggal [[28 April]] [[2015]] menuliskan surat kepada para [[pastor]] di [[Keuskupan Agung Jakarta]] yang menegaskan pernyataan [[Gereja Katolik]] untuk menolak hukuman mati selain dalam kasus-kasus keharusan yang mutlak, yaitu pada keadaan dimana tidak ada kemungkinan untuk melaksanakan hal lain demi membela masyarakat luas, dan supaya hukuman mati dihapuskan dari sistem [[hukum]] di [[Indonesia]]. Secara khusus Mgr. Suharyo menyatakan penolakannya atas [[pidana]] hukuman mati yang diterima oleh [[Mary Jane Veloso]] karena -menurutnya- tidak ada bukti untuk menuduh bahwa Mary Jane ber[[bohong]]; dimana Mary Jane menyatakan tidak tahu menahu mengenai koper yang dibawanya yang berisi sejumlah besar [[narkoba]]. Sementara [[Peninjauan Kembali]] atas kasusnya telah ditolak dan ia akan segera di[[eksekusi]] bersama para terpidana [[Bali Nine]].<ref>{{cite web |url=http://www.mirifica.net/2015/04/28/surat-uskup-agung-mgr-ignatius-suharyo-untuk-para-imam-di-kaj/ |title=Surat Uskup Agung Mgr. Ignatius Suharyo untuk para Imam di KAJ |author=I. Suharyo |date=28 April 2015 |publisher=Konferensi Waligereja Indonesia (diambil dari Mirifica News) |access-date=2015-04-29 |archive-date=2015-05-01 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150501153919/http://www.mirifica.net/2015/04/28/surat-uskup-agung-mgr-ignatius-suharyo-untuk-para-imam-di-kaj/ |dead-url=yes }}</ref>


== Referensi ==
In his encyclical [[Evangelium Vitae]] published in 1995, Pope [[John Paul II]] removed this public safety qualification and declared that, in today's modern society, capital punishment can scarcely ever be condoned.<ref name=Surlis/>
-->

==Referensi==
{{Reflist}}
{{Reflist}}


[[Kategori:Doktrin dan teologi Katolik]]
[[Kategori:Doktrin dan teologi Katolik]]

[[en:Catholic Church and capital punishment]]

Revisi terkini sejak 29 September 2023 10.31

Ajaran-ajaran Yesus menitik-beratkan pada belas-kasih, rekonsiliasi dan penebusan dosa; tema yang berulang-ulang ini dalam pesan Injil digunakan oleh Gereja Katolik Roma untuk menentang hukuman mati. Para Bapa Gereja seperti Santo Klemens dari Roma dan Santo Yustinus Martir menegaskan bahwa mengambil nyawa manusia adalah bertentangan dengan Injil dan mendorong umat Kristiani untuk tidak ikut-serta melaksanakan hukuman mati. Santo Agustinus menilai hukuman mati seharusnya hanya sebagai sebuah jalan untuk mencegah kejahatan dan melindungi pihak-pihak yang tidak bersalah.[1] Pada Abad Pertengahan, Santo Thomas Aquinas menegaskan kembali sikap ini.

Thomas Aquinas[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah rangkuman dari Summa Contra Gentiles, Buku 3, Bab 146 [1] Diarsipkan 2023-08-01 di Wayback Machine., yang ditulis oleh St Thomas Aquinas sebelum Summa Theologica. Santo Thomas adalah seorang pendukung vokal dari hukuman mati. Ini adalah berdasarkan teori (yang ada di dalam Hukum Moral Alami), bahwa negara tidak hanya berhak, tapi juga merupakan tugasnya untuk melindungi warga negaranya dari para musuh negara, baik dari dalam maupun dari luar.

Bagi mereka yang telah diangkat secara tepat, tidak ada dosa di dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut. Bagi mereka yang menolak untuk mematuhi hukum Tuhan, adalah benar bagi masyarakat untuk menghukum mereka dengan sanksi-sanksi sipil dan kriminal. Tidak ada orang yang berbuat dosa dalam bekerja demi keadilan, dalam ruang lingkup hukum. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat pada dasarnya bukanlah kejahatan. Kebaikan bersama di seluruh masyarakat adalah lebih penting dan lebih baik daripada kesejahteraan pribadi individu tertentu. "Kehidupan seorang yang berbahaya menjadi suatu hambatan untuk tercapainya kesejahteraan bersama yang adalah dasar dari kerukunan masyarakat manusiawi. Oleh karena itu, beberapa orang tertentu harus disingkirkan lewat kematian dari masyarakat manusia." Hal ini disamakan dengan tindakan dokter yang harus mengamputasi salah satu bagian tubuh yang sakit atau terkena kanker demi kebaikan diri seseorang.

Santo Thomas Aquinas mendasari pemikirannya ini pada:

  • Kitab Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 5:6: "Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi merusak seluruh adonan?"
  • dan 5:13: "Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.;
  • Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 13:4: "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat";
  • Surat Petrus yang Pertama 2: 13-14: "Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik."

Ia percaya kalimat-kalimat ini membawahi teks dari Kitab Keluaran 20:13: "Jangan membunuh." Hal ini disebut lagi di dalam Injil Matius 5:21. Juga, bisa dihubungkan dengan kalimat di dalam Injil Matius 13:30: "Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai." Waktu menuai diinterpretasikan sebagai rujukan untuk hari kiamat. Hal ini dijelaskan dalam Matius 13: 38-40.

Aquinas sadar bahwa kalimat-kalimat ini bisa juga diartikan bahwa seharusnya tidak boleh ada hukuman mati apabila terdapat kemungkinan apa pun bahwa pihak tidak bersalah menjadi terkena dampaknya. Larangan "Jangan membunuh" dibawahi oleh Kitab Keluaran 22:18: "Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup." Argumen yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan seharusnya diberikan kesempatan hidup supaya mereka bisa menebus dosanya ditolak dan dianggap sebagai argumen yang tidak tepat. Apabila mereka tidak bertobat di hadapan maut, adalah tidak masuk akal untuk menganggap mereka akan bertobat sama sekali. "Berapa banyak orang yang kita perbolehkan untuk dibunuh ketika menunggu orang yang bersalah untuk bertobat?", ia bertanya secara retoris. Menggunakan hukuman mati untuk balas dendam adalah pelanggaran atas hukum moral alami.

[Banyak pihak percaya bahwa interpretasi yang tepat dari perintah Allah tersebut adalah "Jangan melakukan kejahatan pembunuhan." Interpretasi ini mendukung kepercayaan Aquinas bahwa hukuman mati adalah sebuah tindakan yang bisa diterima sebagaimana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang atas hal tersebut, seperti pemerintah, yang diangkat secara ilahi menurut kehendak Tuhan.]

Di bawah Paus Yohanes Paulus II, Gereja Katolik malah menganjurkan hukuman penjara daripada hukuman mati, walaupun hukuman mati tersebut masil diperbolehkan di beberapa kasus ekstrem.

Ajaran saat ini[sunting | sunting sumber]

Paul J. Surlis menulis bahwa ajaran Gereja atas hukuman mati sedang dalam peralihan.[2] Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah kejahatannya. Gereja mengajarkan bahwa hukuman mati diperbolehkan hanya apabila "identitas dan tanggung-jawab pihak yang bersalah telah dipastikan sepenuhnya" dan apabila hukuman mati tersebut adalah satu-satunya jalan untuk melindungi pihak-pihak lain dari kejahatan pihak yang bersalah ini.

Namun, apabila terdapat cara lain untuk melindungi masyarakat dari "penyerang yang tidak berperi-kemanusiaan", cara-cara ini lebih dipilih daripada hukuman mati karena cara-cara ini dianggap lebih menghormati harga diri seorang manusia dan selaras dengan tujuan kebaikan bersama.(2267)

Oleh karena masyarakat zaman sekarang memungkinkan adanya cara-cara yang efektif untuk mencegah kejahatan tanpa adanya eksekusi, Katekismus menyatakan bahwa "kasus dimana eksekusi pihak yang bersalah adalah suatu keharusan 'adalah sangat jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali.'[3]

Perlu dicatat bahwa, dalam pembentukan negara Vatikan pada tahun 1929, hukuman mati tidak pernah dilakukan dalam negara tersebut, suatu hal yang sangat berbeda dengan praktik-praktik yang dilakukan di zaman Negara Gereja pada Abad Pertengahan. Hal ini sesuai dengan posisi gereja yang lebih condong ke paham abolisionis (penghapusan hukuman mati) saat ini. Terdapat sedikit kerancuan mengenai posisi resmi pembentukan negara Vatikan ini saat beberapa catatan menyatakan bahwa negara ini mengadopsi kode hukum Italia kuno yang tidak memiliki bentuk hukuman mati dan bukannya mengadopsi kode hukum yang diseukai oleh Benito Mussolini saat hukuman mati dimulai lagi oleh sang pemimpin Fasis tersebut. Saat ini hukuman mati secara resmi dihapuskan pada tahun 1969 oleh Paus Paulus VI. Peristiwa ini yang mengindikasikan posisi resmi Gereja dari tahun 1929 hingga tahun 1969 mirip dengan apa yang terjadi di Inggris mulai dari penghapusan hukuman mati untuk kasus pembunuhan pada tahun 1965 hingga abolisi sepenuhnya pada tahun 1998.

Dalam ensiklik-nya Evangelium Vitae yang diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati ini dan menyatakan bahwa, dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati sangat jarang dapat didukung keberadaanya.[2]

Peristiwa[sunting | sunting sumber]

Mary Jane Fiesta Veloso[sunting | sunting sumber]

Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo pada tanggal 28 April 2015 menuliskan surat kepada para pastor di Keuskupan Agung Jakarta yang menegaskan pernyataan Gereja Katolik untuk menolak hukuman mati selain dalam kasus-kasus keharusan yang mutlak, yaitu pada keadaan dimana tidak ada kemungkinan untuk melaksanakan hal lain demi membela masyarakat luas, dan supaya hukuman mati dihapuskan dari sistem hukum di Indonesia. Secara khusus Mgr. Suharyo menyatakan penolakannya atas pidana hukuman mati yang diterima oleh Mary Jane Veloso karena -menurutnya- tidak ada bukti untuk menuduh bahwa Mary Jane berbohong; dimana Mary Jane menyatakan tidak tahu menahu mengenai koper yang dibawanya yang berisi sejumlah besar narkoba. Sementara Peninjauan Kembali atas kasusnya telah ditolak dan ia akan segera dieksekusi bersama para terpidana Bali Nine.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) Dulles, Avery Cardinal. "Catholicism & Capital Punishment". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-02. Diakses tanggal 2014-06-27. 
  2. ^ a b (Inggris) Suris, Paul J. "Church Teaching and the Death Penalty". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-29. Diakses tanggal 2009-05-05. 
  3. ^ (Inggris) Holy See (1994). "Catechism of the Catholic Church". Paragraph number 2258–2330. Libreria Editrice Vaticana. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 27 December 2008. 
  4. ^ I. Suharyo (28 April 2015). "Surat Uskup Agung Mgr. Ignatius Suharyo untuk para Imam di KAJ". Konferensi Waligereja Indonesia (diambil dari Mirifica News). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-01. Diakses tanggal 2015-04-29.