Lompat ke isi

Hukum D-M dan M-D: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HaEr48 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
RaFaDa20631 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(13 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Hukum D-M''', singkatan dari "diterangkan-menerangkan", adalah aturan dalam [[tata bahasa]] [[bahasa Indonesia]] yang menyebutkan bahwa "baik dalam [[kata majemuk]] maupun dalam [[kalimat]], segala sesuatu yang menerangkan selalu terletak di belakang yang diterangkan." <ref name="sta" /> Istilah ini dicetuskan oleh [[Sutan Takdir Alisjahbana]] dalam bukunya ''Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia'' yang diterbitkan pertama kali pada tahun [[1949]]. Contoh penerapan hukum ini adalah pada [[kata]] "kapal terbang" dan kalimat "Ali makan." Dalam kata majemuk "kapal terbang", kata ''kapal'' diterangkan oleh kata ''terbang''. Demikian juga dalam kalimat "Ali makan," ''Ali'' diterangkan oleh ''makan''.
'''Hukum D-M''' dan '''M-D''' (singkatan dari "diterangkan-menerangkan" serta "menerangkan-diterangkan"), adalah aturan dalam [[tata bahasa]] [[Bahasa Indonesia|Indonesia]] yang menyebutkan bahwa "baik dalam [[kata majemuk]] maupun dalam [[kalimat]], segala sesuatu yang menerangkan terletak di belakang yang diterangkan." <ref name="sta" /> Istilah ini dicetuskan oleh [[Sutan Takdir Alisjahbana]] dalam bukunya ''Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia'' yang diterbitkan pertama kali pada tahun [[1936]]. Contoh penerapan hukum ini adalah pada [[kata]] "kapal terbang" dan kalimat "Ali makan." Dalam kata majemuk "kapal terbang", kata ''kapal'' diterangkan oleh kata ''terbang''. Demikian juga dalam kalimat "Ali makan," ''Ali'' diterangkan oleh ''makan''.


Alisjahbana menyebut bagian yang diterangkan sebagai ''pokok isi'' dan bagian yang menerangkan sebagai ''sebutan isi''.
Alisjahbana menyebut bagian yang diterangkan sebagai ''pokok isi'' dan bagian yang menerangkan sebagai ''sebutan isi''.

Hukum ini merupakan salah satu perbedaan antara [[bahasa Indonesia]] (juga bahasa-bahasa lain yang termasuk [[rumpun bahasa|rumpun]] [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]]) dengan [[bahasa]] yang tergolong dalam [[rumpun bahasa Indo-Eropa]], seperti [[bahasa Belanda]] dan [[bahasa Inggris]], yang menganut hukum M-D (menerangkan-diterangkan). Misalnya, ''schoolbuilding'' (Inggris) 'bangunan sekolah', ''gouverneurkantoor'' (Belanda) 'kantor gubernur'.<ref name="jusbadudu" />


== Pengecualian ==
== Pengecualian ==
Baris 10: Baris 12:
# [[Kata keterangan]]: ''sudah'', ''telah'', ''akan'', ''sesungguhnya'', ''sebenarnya'', dsb. Jenis ini dapat memiliki perbedaan makna jika susunannya berbeda, misalnya ''makan lagi'' dan ''lagi makan''.
# [[Kata keterangan]]: ''sudah'', ''telah'', ''akan'', ''sesungguhnya'', ''sebenarnya'', dsb. Jenis ini dapat memiliki perbedaan makna jika susunannya berbeda, misalnya ''makan lagi'' dan ''lagi makan''.
# Kata majemuk serapan dari bahasa asing seperti ''perdana menteri'', ''bumiputra'' dan ''mikrobiologi'' yang mengikut aturan bahasa asingnya.
# Kata majemuk serapan dari bahasa asing seperti ''perdana menteri'', ''bumiputra'' dan ''mikrobiologi'' yang mengikut aturan bahasa asingnya.

Hukum ini merupakan salah satu perbedaan antara [[bahasa Indonesia]] (juga bahasa-bahasa lain yang termasuk [[rumpun bahasa|rumpun]] [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]]) dengan [[bahasa]] yang tergolong dalam rumpun [[Rumpun bahasa Indo-Eropa|Indo-German]], seperti [[bahasa Belanda]] dan [[bahasa Inggris]], yang memiliki struktur M-D (menerangkan-diterangkan). Misalnya, ''schoolbuilding'' (Inggris) 'bangunan sekolah', ''gouverneurkantoor'' (Belanda) 'kantor gubernur'. <ref name="jusbadudu" />


== Catatan kaki ==
== Catatan kaki ==
Baris 26: Baris 26:
|url=http://rubrikbahasa.wordpress.com/2003/09/01/hukum-dm-dalam-bahasa-indonesia/}}</ref>
|url=http://rubrikbahasa.wordpress.com/2003/09/01/hukum-dm-dalam-bahasa-indonesia/}}</ref>
}}
}}

{{linguistik-stub}}


[[Kategori:Tata bahasa]]
[[Kategori:Tata bahasa]]


{{linguistik-stub}}

Revisi terkini sejak 16 November 2023 12.28

Hukum D-M dan M-D (singkatan dari "diterangkan-menerangkan" serta "menerangkan-diterangkan"), adalah aturan dalam tata bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa "baik dalam kata majemuk maupun dalam kalimat, segala sesuatu yang menerangkan terletak di belakang yang diterangkan." [1] Istilah ini dicetuskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1936. Contoh penerapan hukum ini adalah pada kata "kapal terbang" dan kalimat "Ali makan." Dalam kata majemuk "kapal terbang", kata kapal diterangkan oleh kata terbang. Demikian juga dalam kalimat "Ali makan," Ali diterangkan oleh makan.

Alisjahbana menyebut bagian yang diterangkan sebagai pokok isi dan bagian yang menerangkan sebagai sebutan isi.

Hukum ini merupakan salah satu perbedaan antara bahasa Indonesia (juga bahasa-bahasa lain yang termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yang tergolong dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, seperti bahasa Belanda dan bahasa Inggris, yang menganut hukum M-D (menerangkan-diterangkan). Misalnya, schoolbuilding (Inggris) 'bangunan sekolah', gouverneurkantoor (Belanda) 'kantor gubernur'.[2]

Pengecualian

[sunting | sunting sumber]

Menurutnya Alisjahbana, hukum D-M ini memiliki beberapa pengecualian berupa beberapa golongan kata, yang meskipun menerangkan sesuatu, senantiasa atau sering terletak di depan kata-kata yang diterangkannya, yaitu:

  1. Kata bilangan: seekor, setiap, segala, dsb.
  2. Kata depan: di, dari, kepada, dsb.
  3. Kata keterangan: sudah, telah, akan, sesungguhnya, sebenarnya, dsb. Jenis ini dapat memiliki perbedaan makna jika susunannya berbeda, misalnya makan lagi dan lagi makan.
  4. Kata majemuk serapan dari bahasa asing seperti perdana menteri, bumiputra dan mikrobiologi yang mengikut aturan bahasa asingnya.

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Alisjahbana, S. Takdir (1983). Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (Cetakan ke-44). Jakarta: Dian Rakyat. hlm. 73––75. 
  2. ^ Badudu, J.S. (Sep 2003). "Hukum DM dalam Bahasa Indonesia". Intisari.