Mitigasi bencana: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k menambah teks dan referensi
Dpratiwi (bicara | kontrib)
Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan.
(7 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''MItigasi bencana''' adalah segala upaya untuk mengurangi risiko [[Puisi esai|bencana]]. Program mitigasi bencana dapat dilakukan melalui pembangunan secara fisik maupun peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.{{Sfn|Hermon|2012|p=23}} Mitigasi bencana merupakan bentuk pengurangan kerugian yang lebih besar akibat bencana yang sulit dideteksi kemunculannya secara tepat. Selain itu, mitigasi bencana juga dilakukan untuk menghindari maupun mencegah keberadaan bencana. Program mitigasi bencana dapat diterapkan pada [[ilmu alam]] maupun [[ilmu sosial]].{{Sfn|Sumantri, dkk.|2019|p=23}} Mitigasi bencana tidak dapat menghilangkan dampak buruk dari bencana secara keseluruhan, tetapi dapat menguranginya. Pengurangan bencana memanfaatkan strategi dan tindakan dalam bidang [[Teknik|rekayasa]] dan konstruksi tahan bahaya. Selain itu, mitigasi bencana dilakukan dengan membuat kebijakan [[lingkungan]] dan kebijaan sosial serta membentuk kesadaran publik akan dampak buruk bencana.<ref>{{Cite book|last=International Labour Organization|first=|date=2020|url=https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_743520.pdf|title=Manajemen Konflik dan Bencana: Mengeksplorasi Kerja Sama antara Organisasi Pengusaha dan Pekerja|location=978-92-2-032198-0|publisher=International Labour Organization|isbn=978-92-2-032198-0|pages=19|url-status=live}}</ref> Mitigasi bencana diawali dengan kajian risiko untuk mengetahui tingkat bahaya, kerentanan, dan kapasitas suatu wilayah dalam menerima bencana. Kajian risiko memperhatikan kondisi fisik dan kondisi wilayah.<ref>{{Cite book|last=Sandhyavitri, dkk.|first=|date=2015|url=https://www.researchgate.net/profile/Ari_Sandhyavitri2/publication/322399818_Mitigasi_Bencana_Banjir_dan_Kebakaran/links/5d7234d7a6fdcc9961b2161b/Mitigasi-Bencana-Banjir-dan-Kebakaran.pdf|title=Mitigasi Bencana Banjir dan Kebakaran|location=Pekanbaru|publisher=UR Press|isbn=978-979-792-656-4|pages=11|url-status=live}}</ref>
{{Sedang ditulis}}'''MItigasi bencana''' adalah segala upaya untuk mengurangi risiko [[Puisi esai|bencana]]. Program mitigasi bencana dapat dilakukan melalui embangunan fisik maupun peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.<ref>{{Cite book|last=Hermon|first=Dedi|date=2012|url=http://repository.unp.ac.id/1231/1/DEDI%20HERMON%204.pdf|title=Mitigasi Bencana Hidrometeorologi: Banjir, Longsor, Ekologi, Degradasi Wlan, Puting Beliung, Kekeringan|location=Padang|publisher=UNP Press|isbn=978-602-8819-52-7|pages=23|url-status=live}}</ref>


== Konsep dasar ==
== Konsep dasar ==


=== Analisis risiko ===
=== Analisis risiko ===
Analisis risiko merupakan kegiatan untuk memperkirakan banyaknya risiko bahaya yang dapat ditimbulkan oleh individu, populasi, properti, atau lingkungan. Bahasan utama dalam analisis risiko meliputi ruang lingkup bahaya, identifikasi bahaya, evaluasi kerentanan risiko, identifikasi konsekuensi dan jumlah risiko yang timbul. Penaksiran risiko sangat ditentukan oleh faktor bahaya dan kerentanan. Bahaya memungkinkan terjadinya kerugian secara kebendaan dan kejiwaan, sedangkan kerentanan merupakan tingkatan dari bahaya yang timbul. Risiko dianalisis sebagai produk dari kemungkinan terjadinya bahaya dan tingkat pengulangan bahaya.{{Sfn|Kumalawati dan Angriani|2018|p=6}}
Analisis risiko merupakan kegiatan untuk memperkirakan banyaknya risiko bahaya yang dapat ditimbulkan oleh [[individu]], [[Penduduk|populasi]], properti, atau lingkungan. Bahasan utama dalam analisis risiko meliputi ruang lingkup bahaya, identifikasi bahaya, evaluasi kerentanan risiko, identifikasi konsekuensi dan jumlah risiko yang timbul. Penaksiran risiko sangat ditentukan oleh faktor bahaya dan kerentanan. Bahaya memungkinkan terjadinya kerugian secara kebendaan dan kejiwaan, sedangkan kerentanan merupakan tingkatan dari bahaya yang timbul. Risiko dianalisis sebagai produk dari kemungkinan terjadinya bahaya dan tingkat pengulangan bahaya.{{Sfn|Kumalawati dan Angriani|2018|p=6}}

Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam analisis risiko bencana yaitu:<ref>{{Cite book|last=Amri, dkk.|first=|date=2016|url=http://inarisk.bnpb.go.id/pdf/Buku%20RBI_Final_low.pdf|title=Risiko Bencana Indonesia|location=Jakarta Timur|publisher=Badan Nasional Penanggulangan Bencana|isbn=|pages=34|url-status=live}}</ref>

# Mengutamakan penggunaan data dan hasil perekaman kejadian yang diperoleh secara resmi dari [[lembaga]] yang berwenang;
# Menyatukan analisis kemungkinan kejadian ancaman dari para ahli dengan disertai [[kearifan lokal]] masyarakat;
# Proses analisis meliputi perhitungan potensi jumlah jiwa, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan yang terkena bencana;
# Menggunakan hasil kajian risiko sebagai bahan untuk membuat kebijakan umum dalam rangka pengurangan risiko bencana.


=== Mitigasi ===
=== Mitigasi ===
Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi risiko dari sesuatu. Strategi yang digunakan untuk mengurangai risiko ada empat yaitu menghindari risiko, mengurangi risiko, pengalihan risiko, dan penyimpanan risiko. Risiko dapat dihindari dengan mengubah bahaya yang dapat timbul menjadi sesuatu yang berguna. Pengalihan risiko dilakukan dengan mengatasi kerentanan terhadap kerusakan dan gangguan. Pengalihan risiko dilakukan dengan memastikan pengubahan bahaya yang berpengaruh secara keuangan terhadap individu dan masyarakat. Sedangkan penyimpanan risiko merupakan usaha untuk menyiapkan keuangan untuk mengganti kerugian akibat adanya bahaya yang akan terjadi.{{Sfn|Kumalawati dan Angriani|2018|p=7}}
Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi risiko dari sesuatu. Strategi yang digunakan untuk mengurangai risiko ada empat yaitu menghindari risiko, mengurangi risiko, pengalihan risiko, dan penyimpanan risiko. Risiko dapat dihindari dengan mengubah bahaya yang dapat timbul menjadi sesuatu yang berguna. Pengalihan risiko dilakukan dengan mengatasi kerentanan terhadap kerusakan dan gangguan. Pengalihan risiko dilakukan dengan memastikan pengubahan bahaya yang berpengaruh secara keuangan terhadap individu dan [[masyarakat]]. Sedangkan penyimpanan risiko merupakan usaha untuk menyiapkan keuangan untuk mengganti kerugian akibat adanya bahaya yang akan terjadi.{{Sfn|Kumalawati dan Angriani|2018|p=7}}

Mitigasi dapat dibedakan menjadi mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural. Miitgasi struktural adalah upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang timbul dengan cara melakukan pembangunan secara fisik. Pembangunan berkaitan dengan teknik konstruksi [[Infrastruktur|infrastuktur]] yang memiliki daya tahan dalam memberikan perlindungan terhadap bahaya. Adapun mitigasi nonstruktural merupakan upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang yang timbul dengan cara pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan pembuatan kebijakan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya, serta mengembangkan [[pengetahuan]] akan bahaya. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dengan menggunakan metode partisipasi masyarakat dalam pencegahan kerusakan, gangguan dan bahaya.{{Sfn|Kumalawati dan Angriani|2018|p=7}}


== Pelaksanaan ==
Mitigasi dapat dibedakan menjadi mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural. Miitgasi struktural adalah upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang timbul dengan cara melakukan pembangunan secara fisik. Pembangunan berkaitan dengan teknik konstruksi infrastuktur yang memiliki daya tahan dalam memberikan perlindungan terhadap bahaya. Adapun mitigasi nonstruktural merupakan upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang yang timbul dengan cara pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan pembuatan kebijakan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya, serta mengembangkan pengetahuan akan bahaya. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dengan menggunakan metode partisipasi masyarakat dalam pencegahan kerusakan, gangguan dan bahaya.{{Sfn|Kumalawati dan Angriani|2018|p=7}}
Mitigasi bencana dapat dilakukan sebelum dan sesudah bencana terjadi. Bentuk mitigasi sebelum terjadinya bencana yaitu pencegahan, sedangkan setelah bencana berupa penanggulangan. Pengurangan risiko bencana melalui mitigasi bencana dilakukan secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan membentuk [[sistem]] yang menyeluruh.<ref>{{Cite book|last=Darmawan, dkk.|first=|date=|url=https://www.researchgate.net/profile/Ericka_Darmawan/publication/338094733_Buku_Panduan_Perkuliahan_Mitigasi_Bencana/links/5f8bca46458515b7cf881ae6/Buku-Panduan-Perkuliahan-Mitigasi-Bencana.pdf|title=Buku Panduan Perkuliahan Mitigasi Bencana Di Magelang|location=Pontianak|publisher=CV. Pustaka One Indonesia|isbn=978-623-201-591-3|pages=|url-status=live}}</ref>


== Jenis-jenis ==
== Jenis-jenis ==
Baris 16: Baris 26:


==== Identifikasi kerawanan banjir ====
==== Identifikasi kerawanan banjir ====
Identifikasi kerawanan banjir dipilah antara identifikasi daerah rawan terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok air banjir atau potensi air banjir. Hal ini penting untuk difahami agar memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis sehingga diperoleh teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Untuk membantu identifikasi banjir digunakan formula banjir dalam buku Sidik Cepat Degradasi Sub DAS (Paimin, et al., 2006) seperti disajikan dalam Lampiran 1.A. Dalam formula banjir tersebut dipilah antara faktor (parameter) alami (sulit dikelola), dan faktor manajemen (mudah dikelola). Setiap parameter diberi bobot yang berbeda, sesuai dengan pertimbangan perannya dalam proses banjir, kemudian diklasifikasi dalam 5 (lima) kategori dengan diberi skor 1 – 5.{{Sfn|Paimin,, Sukresno, dan Pramono|2009|p=5}}
Identifikasi kerawanan [[banjir]] merupakan kegiatan identifikasi daerah yang rawan terkena banjir. Selain iut, identifikasi kerawanan banjir juga dilakukan di daerah pemasok air banjir atau daerah yang memiliki potensi air banjir. Tujuan identifikasi kerawanan banjir ialah memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis. Dari identifikasi kerawanan banjir, kemudian diperoleh teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Kemudahan identifikasi banjir diperoleh melalui penggunaan formula banjir. Dalam formula banjir, faktor-faktor penyebab banjir dibedakan menjadi faktor alami dan faktor manajemen. Faktor alami sangat sulit dikelola sedangkan faktor manajemen sangata mudah dikelola. Setiap faktor diberikan bobot dengan nilai yang berbeda dan dikategorikan sesuai tingkat perannya dalam proses banjir.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=5}}


Tingkat kerawanan daerah yang terkena banjir (kebanjiran) diidentifikasi dari karakter wilayahnya seperti bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, meandering, pebendungan alami, dan adanya bangunan pengendali banjir. Bentuk lahan (landform) dari sistem lahan seperti dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai, dan rawa-rawa merupakan daerah yang rentan terkena banjir karena merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng <2%. Data bentuk lahan dapat diperoleh pada peta sistem lahan dari RePPProT (Regional Physical Planning Program for Transmigration). Di lapangan, ciri-ciri daerah yang rentan kebanjiran adalah adanya bangunan tanggul di kiri-kanan sungai sebagai manifestasi bentuk manajemen pengurangan banjir. Keberadaan meandering atau sungai yang berkelok-kelok atau bentuk seperti tapal kuda berpotensi untuk menghambat kecepatan aliran sungai sehingga mengidentifikasikan daerah rentan kebanjiran. Tingkat meandering diukur dengan nilai sinusitas (P) yakni nisbah panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus dalam satuan peta.{{Sfn|Paimin,, Sukresno, dan Pramono|2009|p=5}}
Identifikasi tingkat kerawanan daerah yang terkena banji didasarkan pada karakter wilayahnya. Karakter yang umumnya diidentifikasi yaitu bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, lika-liku sungai, pebendungan alami, dan bangunan pengendali banjir. Beberapa bentuk lahan dari sistem lahan merupakan daerah yang rentan terkena banjir. Dataran [[aluvial]], lembah aluvial, kelokan sungai, dan rawa-rawa merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng <2% sehingga mudah terkena banjir. Data bentuk lahan dapat diperoleh pada peta sistem lahan dari RePPProT (Regional Physical Planning Program for Transmigration). Ciri-ciri daerah yang rentan kebanjiran adalah adanya bangunan tanggul di sisi kiri dan kanan sungai. Bangunan ini digunakan sebagai bentuk manajemen pengurangan banjir. Penghambatan kecepatan aliran sungai dapat terjadi pada sungai yang berkelok-kelok atau bentuk seperti tapal kuda. Kedua daerah ini merupakan daerah yang rentan terkena banjir. Tingkat kelokan sungai diukur dengan nilai sinusitas. Nilai diperoleh melalui perbandingan panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus dalam satuan peta.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=5}}


Pada daerah pertemuan dua sungai bisa terjadi pertemuan aliran arus air yang mengakibatkan adanya perlambatan atau penahanan aliran air sehingga elevasi air pada daerah pertemuan tersebut bertambah melebihi tanggul palung sungainya sehingga menggenangi daerah sekitar. Apabila sungai kecil bertemu dengan sungai yang lebih besar sering terjadi penahanan aliran air oleh aliran air sungai besar atau bahkan aliran air sungai besar masuk ke dalam sungai yang lebih kecil (back water) sehingga daya tampung palung sungai kecil tidak muat dan mengakibatkan banjir di sekitarnya. Proses banjir juga terjadi pada daerah muara sungai akibat aliran balik oleh adanya penahanan aliran air sungai dari air laut pasang. Demikian juga pada tempat penyempitan palung sungai, adanya aliran air yang terhambat menjadikan daerah hulu titik tersebut rawan kebanjiran.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=5-6}}
Pertemuan aliran arus air dapat terjadi pada daerah pertemuan dua sungai. Pertemuan ini memperlambat atau menahan aliran air sehingga elevasi air pada daerah pertemuan tersebut bertambah. Pertambahan air yang melebihi tanggul palung sungainya menyebabkan air menggenangi daerah sekitar. Penahanan air lebih sering terjadi akibat pertemuan sungai kecil dengan sungai yang lebih besar. Kondisi yang mendukung penahanan air adalah aliran air sungai besar masuk ke dalam sungai yang lebih kecil. Sedikitnya daya tampung palung sungai kecil mengakibatkan air meluap dan terjadi banjir di sekitarnya. Proses banjir juga terjadi pada daerah muara sungai. Penyebab banjir di [[muara sungai]] diakibatkan oleh adanya aliran balik yang disebabkan oleh adanya penahanan aliran air sungai dari air laut pasang. Adanya aliran air yang terhambat menjadikan daerah hulu titik tersebut rawan kebanjiran.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=5-6}}


Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan (sebagai masukan sistem DAS) dan karakteristik daerah tangkapan air (catchment area). Tingkat ancaman hujan terhadap besarnya banjir tergantung dari hujan harian maksimum yang merata terjadi pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan kerakteristik daerah tangkapan air dipilah antara parameter penyusun alami (relatif sulit dikelola) dan penyusun manajemen (mudah dikelola). Parameter atau faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air (DTA) adalah bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase, dan lereng ratarata DAS; sedangkan faktor manajemen adalah penggunaan/penutupan lahan. Kondisi hutan merupakan salah satu unsur dari manajemen penutupan lahan yang berpengaruh terhadap banjir. Banjir besar terjadi apabila air hujan cukup tinggi dan jatuh tersebar merata di seluruh daerah tangkapan air, kemudian berubah menjadi limpasan permukaan yang terkumpul secara cepat pada suatu titik keluaran (outlet). Faktor alami daerah tangkapan air merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan limpasan permukaan dari seluruh daerah tangkapapan air untuk bisa terkumpul secara bersama-sama di titik keluaran. Kategori parameter dan skor dalam Lampiran 1.A (skor 1 - 5) merupakan cerminan dari tingkat kecepatan limpasan permukaan tersebut bisa terkumpul (terakumulasi) secara kualitatif. Teknik identifikasi tingkat kerawanan banjir DAS secara skematis diuraikan pada Gambar 1. Kerawanan banjir dibedakan antara daerah rawan terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok air banjir (DTA), sehingga identifikasi dimulai dari daerah yang rawan kebanjiran, baru kemudian pada daerah tangkapan air pemasok air banjirnya.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=6}}
Identifikasi jumlah pasokan air banjir diidentifikasi dari jumlah [[Presipitasi (meteorologi)|curah hujan]]. Curah hujan menjadi masukan sistem daerah aliran sungai dan karakteristik daerah tangkapan air. Banjir yang terjadi akibat tingkat curah hujan diukur melalui jumlah hujan harian maksimum yang terjadi secara merata pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan karakteristik daerah tangkapan air dibedakan berdasarkan faktor alami yang sulit dikelola dan faktor manajemen yang mudah dikelola. Faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air yaitu bentuk daerah aliran sungai, gradien sungai, kerapatan drainase, dan lereng rata-rata pada daerah aliran sungai. Faktor manajemen berupa penggunaan atau penutupan lahan yang dipengaruhi oleh kondisi hutan. Curah hujan yang sangat deras dan tersebar merata ke seluruh daerah tangkapan air menyebabkanterjadinya banjir besar. Banjir ini kemudian berubah menjadi [[limpasan permukaan]] yang terkumpul secara cepat pada suatu titik keluaran.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=6}}


==== Teknik pengendalian banjir ====
==== Teknik pengendalian banjir ====
Teknik pengendalian banjir harus dilakukan secara komprehensip pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir. Prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air yang lewat tidak melimpah keluar dari palung sungai. Seperti pada Lampiran 1.A, manajemen yang bisa dilakukan adalah dengan membuat tanggul sungai yang memadai serta membuat waduk atau tandon air untuk mengurangi banjir puncak. Untuk memenuhi kapasitas tampung palung sungai, upaya lain yang bisa dilakukan seperti menambah saluran pembuangan air dengan saluran sudetan (banjir kanal atau floodway). Disamping itu, pengetatan larangan penggunaan lahan di bantaran sungai untuk bangunan, apalagi di badan sungai juga diperlukan, serta larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran drainase. Berdasarkan KepPres No. 32/1990 dan PP No. 47/1997, sempadan sungai yang harus merupakan kawasan lindung adalah lebar minimum dari bibir kiri-kanan sungai ke arah darat yang berada : - di luar pemukiman : 100 m - anak sungai : 50 m - daerah pemukiman : 10 – 15 m - bertanggul (dari tepi luar tanggul) : 5 m {{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=19}}
Teknik pengendalian banjir dilakukan secara menyeluruh pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir. Pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air tidak keluar dari palung sungai. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan membuat tanggul sungai yang memadai serta membuat [[waduk]] atau tandon air untuk mengurangi banjir puncak. Pemenuhan kapasitas tampung palung sungai dilakukan dengan menambah saluran pembuangan air dengan saluran banjir kanal. Selain itu, larangan penggunaan lahan untuk bangunan diperketat di bantaran dan badan sungai. Larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran drainase juga diberlakukan. {{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=19}}


Teknik pengendalian banjir di daerah kebanjiran umumnya dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum beserta institusi vertikalnya. Sedangkan teknik pengendalian banjir di daerah tangkapan air bertumpu pada prinsip penurunan koefisien limpasan (C) melalui teknik konservasi tanah dan air, yakni : (1) upaya meningkatkan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah, (2) dan mengendalikan limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Bentuk teknik yang diaplikasikan dapat berupa teknik sipil, vegetatif, kimiawi, maupun kombinasi dari ketiganya, sesuai dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak (site) setempat. Semua upaya tersebut sangat terkait dengan kemampuan tanah/lahan dalam mengendalikan air hujan untuk bisa masuk ke dalam bumi, termasuk vegetasi/hutan yang ada di atasnya. Jenis tanaman hutan yang sama dimana yang satu tumbuh di atas lapisan tanah tebal dan satunya lagi di atas lapisan tanah tipis, akan memiliki dampak yang berbeda dalam mengendalikan limpasan air permukaan atau banjir.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=19}}
Teknik pengendalian banjir di daerah tangkapan air menggunakan prinsip penurunan koefisien limpasan. Pengendalian banjir memanfaatkan teknik [[konservasi tanah]] dan air. Diadakan peningkatan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan pendalian limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Teknik yang digunakan dapat berbentu teknik sipil, teknik vegetasi, teknik kimia, maupun perpaduan ketiganya. Pemilihan teknik disesuaikan dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak setempat.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=19}}


==== Teknik peringatan dini bencana banjir ====
==== Teknik peringatan dini bencana banjir ====
Peringatan dini bencana banjir dapat dilakukan secara berurutan mulai dari hulu hingga hilir. Seperti yang terjadi di Besuki, Jawa Timur, banjir dimulai dari daerah tangkapan air < 5.000 ha dan secara berturut-turut membanjiri daerahdaerah di hilirnya. Apabila sejak dari hulu sudah ada peringatan maka daerah ilir akan lebih siap menghadapi sehingga kerugian dapat dikurangi. Pada daerah hulu peringatan dini dapat dilakukan dengan cara : a. Menempatkan pengukur hujan di hulu serta menyiapkan akses komunikasi ke wilayah di hilirnya, seperti kentongan. Apabila dalam sehari besarnya curah hujan sudah mencapai 100 mm dan masih terlihat hujan turun cukup lama dan mungkin deras (terutama malam hari) maka masyarakat sekitar daerah rawan banjir harus sudah sia mengungsi atau pindah ke tempat yang lebih tinggi. Informasi ini harus dikirimkan ke daerah rawan kebanjiran di hilirnya. b. Identifikasi jenis material yg terbawa arus banjir. Jika banyak material non tanah terangkut aliran maka cenderung akan terjadi banjir besar. Banyaknya material non tanah (ranting dan batang pohon) yang terangkut dapat menunjukkan besarnya kekuatan air yang mengangkutnya. Dengan demikian bila material yang terangkut tersebut banyak, maka volume air yang membawanya juga banyak sehingga dapat diprediksi akan adanya banjir besar. c. Melihat dan mengamati kondisi awan dan lamanya hujan. Bila terlihat awan yang sangat tebal dan hujan yang terus-menerus, terutama jika beberapa hari terjadi turun hujan berurutan.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=23}}
Peringatan dini bencana banjir dilakukan mulai dari [[Hulu sungai|hulu]] hingga ke hilir secara berurutan. Tujuan peringatan dini bencana banjir adalah untuk mempersiapkan penanggulangan banjir sehingga kerugian dapat dikurangi. Peringatan dini pada daerah hulu dilakukan dengan menempatkan pengukur hujan di hulu serta menyiapkan akses komunikasi ke wilayah di hilirnya. Masyarakat harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi jika curah hujan sudah mencapai 100&nbsp;mm dalam sehari dan masih deras. Informasi ini harus dikirimkan ke daerah rawan kebanjiran di hilirnya. Selain itu, peringatan dini juga dapat diberikan dengan mengidentifikasi jenis material yg terbawa arus banjir. Peringatan dini diberikan ketika banyak material nontanah yang terbawa oleh aliran air. Material nontanah ini berupa ranting dan batang pohon. Jumlah material nontanah merupakan ukuran bagi kekuatan air yang mengangkutnya. Semakin banyak material non tanah yang terbawa oleh aliran air, maka semakin besar peluang terjadi banjir. Peringatan dini juga dapat diberikan jika awan terlihat sangat tebal dan hujan terjadi secara terus-menerus.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=23}}


Peringatan dini di hulu tersebut secara berurutan di teruskan ke hilir secara sistematis. Di daerah yang lebih ke hilir, peringatan dini dapat lebih disempurnakan dengan tambahan sesuai dengan perkembangan teknologi setempat antara lain: a. Penggunaan sistem telemetri (pengamatan jarak jauh dan tepat sungai secara sistematis dan berurutan sesuai dengan pola sungai dari daerah hulu sampai hilir. Peralatan lapangan tersebut terhubung secara langsung via satelit dengan stasiun monitoring banjir di kantor. Dengan demikian kejadian yang ada di lapangan pada waktu yang bersamaan dapat langsung diketahui oleh stasiun pengendali (kantor) untuk kemudian diinformasikan ke bagian hilir yang rawan kebanjiran. b. Komunikasi via telepon (radio komunikasi). Petugas-petugas pengamat di lapangan dengan segera menginformasikan kejadian di lapangan via radio komunikasi maupun telepon kepada posko-posko banjir yang sudah ditunjuk. c. Akses telepon dan SMS setiap warga ke Posko Pengendalian Banjir secara baik dan lancar.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=23-24}}
Peringatan dini di daerah hilir lebih diduukung dengan perkembangan teknologi setempat. Pemberian peringatan dini menggunakan sistem telemetri. Pengamatan jarak jauh disesuaikan dengan pola sungai dari daerah hulu sampai hilir. Peralatan telemetri memanfaatkan [[Pencitraan satelit|citra satelit]] yang terhubung dengan stasiun monitoring banjir. Setiap kejadian yang terjadi di lokasi bencana akan disampaikan oleh stasiun pengendali sebagai informasi bagi bagian hilir yang rawan kebanjiran. Komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan telepon atau radio komunikasi. Pengiriman informasi juga dapat melalui [[layanan pesan singkat]].{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=23-24}}


=== Mitigasi bencana tanah longsor ===
=== Mitigasi bencana tanah longsor ===


==== Identifikasi kerawanan tanah longsor ====
==== Identifikasi kerawanan tanah longsor ====
Tanah longsor (landslide) adalah bentuk erosi (pemindahan massa ttanah) yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat secara tiba-tiba dalam volume yang besar (sekaligus). Tanah longsor terjadi jika dipenuhi 3 keadaan, yaitu: (1) lereng cukup curam, (2) terdapat bidang peluncur yang kedap air dibawah permukaan tanah, dan (3) terdapat cukup air dalam tanah di atas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air. Untuk mengidentifikasi daerah yang rentan tanah longsor digunakan formula kerentanan tanah longsor (Paimin et.al., 2006), seperti pada Lampiran 2.A. Faktor alami penyusun formula tersebut adalah : (1) hujan harian kumulatif 3 hari berurutan, (2) lereng lahan, (3) geologi/batuan, (4) keberadaan sesar/patahan/gawir, (5) kedalaman tanah sampai lapisan kedap; sedangkan faktor manajemen meliputi : (1) penggunaan lahan, (2) infrastruktur, dan (3) kepadatan pemukiman. Masing-masing parameter diberi bobot serta diklasikasikan dalam 5 (lima) bersaran dengan kategori nilai dan skor seperti pada Lampiran 2.A. Jumlah hasil kali bobot dan skor dibagi 100 merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kerentanan/kerawanan unit peta/lahan terhadap tanah longsor, dengan diklasifikasi seperti pada banjir (BAB II.A).{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=14}}
[[Tanah longsor]] merupakan pemindahan massa tanah secara tiba-tiba dalam volume yang besar. Tanah longsor dapat terjadi jika terdapat lereng yang cukup curam, bidang peluncur yang kedap air di bawah permukaan tanah, dan tanah jenuh air. Identifikasi kerentanan bencana tanah longsor dilakukan dengan formula kerentanan tanah longsor. Faktor alami penyusun formulanya yaitu jumlah hujan harian selama 3 hari berturut-turut, keadaan lereng lahan, geologi, keberadaan patahan bumi dan kedalaman tanah sampai lapisan kedap. Sedangkan faktor manajemen meliputi penggunaan lahan, infrastruktur, dan kepadatan pemukiman.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=14}}


==== Teknik pengendalian tanah longsor ====
==== Teknik pengendalian tanah longsor ====
Pengendalian tanah longsor dilakukan dengan mengurangi jumlah air yang masuk ke dalam tanah. [[Air tanah]] dapat menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah dan menyebabkan longsor. Tindakan mitigasi tanah longsor juga mencegah penurunan permukaan tanah akibat erosi permukaan.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=21}}
Berdasarkan pengalaman lapangan, proses tanah longsor bisa dipilah dalam tiga tingkatan yakni: (1) massa tanah sebagian terbesar telah meluncur ke bawah (longsor), (2) massa tanah bergeser sehingga menimbulkan rekahan/retak (rayapan), dan (3) massa tanah belum bergerak tetapi memiliki potensi longsor tinggi (potensial longsor). Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada daerah longsor maupun rawan longsor adalah sebagai berikut: - Slope reshaping lereng terjal (pembentukan lereng lahan menjadi lebih landai) pada daerah yang potensial longsor. - Penguatan lereng terjal dengan bronjong kawat pada kaki lereng. - Penutupan rekahan/retakan tanah dengan segera karena pada musim penghujan rekahan bisa diisi oleh air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga menjenuhi tanah di atas lapisan kedap. - Bangunan rumah dari konstruksi kayu (semi permanen) lebih tahan terhadap retakan tanah dibanding dengan bangunan pasangan batu/bata pada lahan yang masih akan bergerak. Teknik pengendalian tanah longsor metode vegetatif harus dipilahkan antara bagian kaki, bagian tengah, dan bagian atas lereng. Stabilisasi tanah diutamakan pada kaki lereng, baik dengan tanaman (vegetatif) maupun bangunan. Persyaratan vegetasi untuk pengendalian tanah longsor antara lain: jenis tanaman memiliki sifat perakaran dalam (mencapai batuan), perakaran rapat dan mengikat agregat tanah, dan bobot biomassanya ringan. Pada lahan yang rawan longsor, kerapatan tanaman beda antara bagian kaki lereng (paling rapat = standar kerapatan tanaman), tengah (agak jarang = ½ standar) dan atas (jarang = ¼ standar). Kerapatan yang jarang diisi dengan tanaman rumput dan atau tanaman penutup tanah (cover crop) dengan drainase baik, seperti pola agroforestry. Pada bagian tengah dan atas lereng diupayakan perbaikan sistim drainase (internal dan eksternal) yang baik sehingga air yang masuk ke dalam tanah tidak terlalu besar, agar tingkat kejenuhan air pada tanah yang berada di atas lapisan kedap (bidang gelincir) bisa dikurangi bebannya. Upaya pengendalian tanah longsor metode teknik sipil antara lain berupa pengurugan/penutupan rekahan, reshaping lereng, bronjong kawat, perbaikan drainase, baik drainase permukaan seperti saluran pembuangan air (waterway) maupun drainase bawah tanah. Untuk mengurangi aliran air (drainase) bawah tanah dilakukan dengan cara mengalirkan air secara horizontal melalui terowongan air seperti paritan (trench) dan sulingan (pipa perforasi). Arahan teknik pengendalian tanah longsor dalam berbagai tingkatan kelongsoran dan penggunaan lahan dapat diringkas dalam matrik Tabel 2.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=20}}

Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah yang bisa menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah, sedangkan pada pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energi pengikisan dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat diminimalkan Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan (rill and interrill erosion). Pengendalian erosi permukaan mengupayakan agar air hujan dimasukkan ke dalam tanah sebanyak mungkin, sebaliknya pengendalian tanah longsor dilakukan dengan memperkecil air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga tidak menjenuhi lapisan tanah yang berada di atas batuan kedap air.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=21}}


==== Peirngatan dini tanah longsor ====
==== Peirngatan dini tanah longsor ====
Teknik peringatan dini dalam memitigasi tanah longsor secara umum dapat diketahui sebagai berikut (disesuaikan dengan jenis potensi tanah longsor yang ada): a. Adanya retakan-retakan tanah pada lahan (pertanian, hutan, kebun, pemukiman) dan atau jalan yang cenderung semakin besar, dengan mudah bisa dilihat secara visual. b. Adanya penggelembungan/amblesan pada jalan aspal - terlihat secara visual. c. Pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila curah hujan kumulatif secara berurutan selama 2 hari elebihi 200 mm sedangkan hari ke-3 masih nampak telihat akan terjadi hujan maka masyarakat harus waspada. d. Adanya rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah (sebelumnya belum pernah terjadi renbesan) atau aliran rembesannya (debit) lebih besar dari sebelumnya. e. Adanya pohon yang posisinya condong kearah bawah bukit. f. Adanya perubahan muka air sumur (pada musim kemarau air sumur kering, pada musim penghujan air sumur penuh). g. Adanya perubahan penutupan lahan (dari hutan ke non-hutan) pada lahan berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang. h. Adanya pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan lapisan tanah dalam.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=24}}
Teknik peringatan dini dalam mitigasi tanah longsor disesuaikan dengan jenis potensi tanah longsor. Potensi ini diamati melalui retakan-retakan tanah pada lahan [[pertanian]], hutan, [[kebun]], pemukiman serta jalan yang cenderung semakin besar. Pengamatan juga dilakukan pada penggelembungan jalan aspal. Peringatan dini dipersiapkan dengan pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila selama 2 hari curah hujan rata-rata melebihi 200&nbsp;mm dan masih berlanjut maka peringatan dini harus disampaikan kepada masyarakat. Peringatan dini juga harus diberikan ketika ada rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Selain itu, peringatan dini dilakukan jika aliran rembesan lebih besar dari sebelumnya. Peringatan dini juga diberikan ketika ada pohon yang posisinya condong ke arah bawah bukit dan adanya perubahan muka air sumur serta adanya perubahan penutupan lahan dari hutan ke non-hutan pada lahan berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang. Pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan lapisan tanah dalam juga menjadi saah satu alasan diadakannya peringatan dini tanah longsor.{{Sfn|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009|p=24}}

=== Mitigasi bencana gempa bumi ===


=== Mitigasi bencana tsunami ===
=== Mitigasi bencana tsunami ===


==== Mitigasi bencana tsunami struktural ====
==== Mitigasi bencana tsunami struktural ====
Upaya struktural dalam menangani masalah bencana tsunami adalah upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai. Mengingat tsunami menjalar secara frontal dengan arah tegak lurus terhadap bidang subduksi, sedangkan secara garis besar teluk-teluk dan pelabuhan-pelabuhan yang potensial terhadap bahaya tsunami (yaitu yang mengandung langsung ke zona subduksi) dapat ditetapkan, dan trayek penjalaran tsunami ke teluk-teluk atau pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat diperkirakan.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=27-28}} Berdasarkan pemahaman atas mekanisme terjadinya tsunami, karakteristik gelombang tsunami, inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur bangunan, maka upaya struktural tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Alami, seperti penanaman green belt (huran pantai atau mangrove), di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang. 2. Buatan, a) pembangunan breakwater, seawall, pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan tsunami, b) memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana, dengan mengembangkan beberapa insentif, antara lain: • Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik bangunan tahan tsunami, Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah kepadatan permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang dapat dipergunakan untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain, dan menata kembali pemukiman yang ada yang mengacu kepada konsep kawasan pemukiman yang akrab bencana.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=28}}
Mitigasi bencana tsunami struktural merupakan upaya menangani masalah bencana [[tsunami]] dengan meredam atau mengurangi [[energi gelombang]] tsunami yang menjalar ke kawasan pantai. Penjalaran tsunami dapat diketahui karena arah peyebaran yang tegak lurus. Selain itu, penjalaran tsunami juga daoat diketahui melalui keterangan umum tentang teluk-teluk dan pelabuhan-pelabuhan.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=27-28}} Mitigasi bencana tsunami struktural dapat dianalisa melalui karakteristik gelombang tsunami, inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur bangunan. Pelaksanaan mitigasi bencana tsunami struktural dilakukan secara alami maupun buatan. Penanganan secara alami dilakukan dengan menanaman hutan pantai atau mangrove di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang. Penanganan secara buatan dilakukan dengan membangun pemecah gelombang dan tanggul laut. [[Pemecah gelombang]] dibangun sejajar dengan garis pantai. Selain itu, mitigasi bencana tsunami struktural dilakukan dengan memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan memanfaatkan teknik bangunan tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana. Penguatan bangunan dilakukan dengan memperkuat bahan bangunan permukiman sesuai teknik bangunan tahan tsunami. Penguatan bangunan juga dilakukan dengan mengurangi kepadatan penduduk pada daerah rentan tsunami. Pada daerah padat penduduk disediakan lahan untuk ruang publik yang dapat digunakan untuk evakuasi dan mobilitas masyarakat. Pengurangan dilakukan dengan memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain dan menata ulang pemukiman sesuai dengan konsep kawasan pemukiman yang akrab bencana.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=28}}


==== Mitigasi bencana tsunami nonstruktural ====
==== Mitigasi bencana tsunami nonstruktural ====
Mitigasi bencana tsunami nonstruktural dimulai dengan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bencana alam. Selanjutnya ditentukan kebijakan tentang tata guna lahan, tata ruang, dan zonasi kawasan pantai yang aman dari bencana. Selain itu, dibentuk kebijakan tentang standarisasi bentuk bangunan pemukiman dan infrastruktur sarana dan prasarana. Mitigasi bencana tsunami nonstruktural juga dilakukan dengan membuat mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal dan pembuatan peta potensi bencana tsunami dan peta tingkat ketahanan tsunami.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=29}} Peta tingkat ketahanan tsunami dirancang dengan memperhatikan ketahanan bangunan permukiman terhadap bencana tsunami serta mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana. Selain itu, diperlukan ruang [[fasilitas umum]] untuk keperluan [[Evakuasi darurat|evakuasi]]. Peta tingkat ketahanan tsunami juga harus memperhatikan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hasil laut dan budidaya kawasan pantai. Sebelum pembuatan peta ketahanan tsunami, harus dibentuk kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai. Selain itu, diadakan pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami serta penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami. Setelah itu, dilakukan pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=29-30}}
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural tersebut meliputi antara lain : 1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam, 2. kebijakan tentang tata guna lahan / tata ruang/ zonasi kawasan pantai yang aman bencana, 3. kebijakan tentang standarisasi bangunan (pemukiman maupun bangunan lainnya) serta infrastruktur sarana dan prasarana, 4. mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal, 5. pembuatan Peta Potensi Bencana Tsunami, Peta Tingkat.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=29}}

Kerentanan dan Peta Tingkat Ketahanan, seingga dapat didesain komplek pemukiman “akrab bencana” yang memperhatikan beberapa aspek : a. bangunan permukiman tahan terhadap bencana tsunami, b. mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana, c. ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi, dan d. aspek sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar kegiatan perekonomiannya tergantung pada hasil dan budidaya kawasan pantai. 6. kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai, 7. pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami, 8. penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami, dan 9. pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=29-30}}


=== Mitigasi bencana erosi pantai ===
=== Mitigasi bencana erosi pantai ===
Upaya mitigasi bencana erosi memerlukan biaya yang cukup besar, baik dalam proses pembangunan maupun dalam operasional serta pemeliharaannya. Untuk itu pelibatan masyarakat serta dunia usaha yang mengelola kawasan pantai untuk ikut serta dalam upaya mitigasi bencana erosi, khususnya dalam operasional dan pemeliharaan, sangat diperlukan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa untuk menjaga kontinuitas aktivitas kawasan pantai diperlukan suatu proses yang seimbang disepanjang garis pantai. Di lain pihak aktivitas tersebut dapat juga mengakibatkan ketidakseimbangan pada proses pantai.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=19}}

==== Mitigasi bencana erosi pantai struktural ====
==== Mitigasi bencana erosi pantai struktural ====
Upaya struktural dalam menangani masalah bencana erosi adalah upaya teknis yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan proses transpor sedimen di sepanjang garis pantai melalui upaya antara mengurangi/menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen. Upaya mitigasi struktural tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : 1. Secara alami, seperti penanaman green belt (hutan pantai atau mangrove), penguatan gumuk pasir dengan vegetasi dan lain-lain. 2. Secara buatan, seperti pembangunan dinding penahan gelombang, pembangunan groin dan lain-lain. Upaya struktural mitigasi dengan cara buatan tersebut perlu direncanakan secara cermat karena dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pola dan karakteristik gelombang yang dalam jangka panjang mungkin dapat mengakibatkan terjadinya erosi di tempat lain.
Mitigasi bencana erosi pantai secara struktural bertujuan untuk menjaga keseimbangan proses perpindahan [[Sedimentasi|sedimen]] di sepanjang garis pantai. Perpindahan ini diseimbangkan dengan menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen. Secara alami, mitigasi bencana erosi pantai dilakukan dengan penanaman mangrove dan penguatan gumuk pasir dengan vegetasi. Sedangkan secara buatan, mitigasi bencana erosi pantai dilakukan pembangunan dinding penahan gelombang dan pembangunan groin. Mitigasi bencana erosi pantai direncanakan secara cermat untuk mencegah perubahan pola dan karakteristik gelombang yang dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya erosi di tempat lain.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=19-20}}


==== Mitigasi bencana erosi pantai nonstruktural ====
==== Mitigasi bencana erosi pantai nonstruktural ====
Upaya mitigasi bencana erosi nonstruktural diawali dengan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bencana alam. Setelah itu, diadakan pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai,. Selanjutnya dilakukan penyusunan sempadan garis pantai serta pengembangan sistem peringatan dini bencana erosi pantai.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=20}} Sistem peringatan dini bencana erosi menggambarkan terjadinya erosi pantai yang terjadi akibat gesekan antara gelombang dengan daratan di sepanjang garis pantai. Informasi penting dalam sistem peringatan dini tersebut adalah lokasi terjadinya erosi serta tingkat erosinya. Informasi lain yang cukup penting yaitu faktor utama penyebab erosi, kondisi [[topografi]] dan [[geologi]], serta aktivitas manusia yang meningkatkan terjadinya erosi pantai.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=20-21}}
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Upaya mitigasi bencana erosi non struktural adalah sebagai berikut : 1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam, 2. pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai, 3. penyusunan sempadan garis pantai, . pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Erosi Pantai.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=20}}


=== Mitigasi bencana kekeringan ===
Sistem peringatan dini bencana erosi merupakan suatu informasi yang menggambarkan terjadinya erosi pantai yang disebabkan oleh interaksi antara gelombang dengan daratan di sepanjang garis pantai. Beberapa informasi penting dalam sistem peringatan dini tersebut adalah lokasi terjadinya erosi serta tingkat erosinya, faktor dominan penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi, serta aktivitas manusia yang mempercepat terjadinya erosi pantai.{{Sfn|Direktorat Jenderal Pesisir|2005|p=20-21}}
Mitigasi bencana kekeringan dimulai dengan membuat kebijakan yang berarah kepada penyelamatan hutan. Dalam sektor hutan, pembakaran harus dihentikan terutama dalam pembukaan lahan. Selain itu, pembukaan lahan hutan untuk permukiman dan pertanian juga dibatasi. Lahan terbuka yang tidak digunakan harus diberi kebijakan [[reboisasi]] secara berkesinambungan. Pembakaran tidak boleh dilakukan di lahan rawa dan [[gambut]]. Daerah aliran sungai harus memiliki kawasan hutan minimal 40% dari keseluruhan luas kawasan. Selain itu, [[sumber daya air]] harus dipertahankan dengan menghentikan sistem pertanian yang berlangsung terus-menerus.{{Sfn|Hermon|2012|p=236}}


=== Mitigasi bencana badai ===
== Disiplin ilmiah terkait ==


=== Geodesi ===
=== Mitigasi bencana paras muka air laut ===
[[Geodesi]] merupakan cabang ilmu alam yang mempelajari tentang peranan bumi dalam penyajian data serta informasi spasial terkait dalam mitigasi bencana.{{Sfn|Sumantri, dkk.|2019|p=23}} Geodesi mempelajari bentuk dan ukuran bumi dengan menggunakan pengukuran-pengukuran pada permukaan bumi dari [[pesawat udara]] dan [[satelit]]. Selain itu, geodesi juga mempelajari planet-planet dan satelitnya, serta perubahan-perubahannya. Posisi dan kecepatan perpindahan objek pada permukaan bumi, orbit dan planet-planet ditentukan dalam suatu sistem referensi tertentu. Geodesi dimanfaatkan untuk berbagai teori ilmiah dan rekayasa yang menggunakan [[matematika]], [[fisika]], [[astronomi]], dan [[ilmu komputer]].{{Sfn|Sumantri, dkk.|2019|p=23-24}}


== Pemanfaatan ==
=== Mitigasi bencana kekeringan ===

=== Perencanaan dan penyelenggaraan kepariwisataan ===
[[Perencanaan tata ruang|Penataan ruang]] diperlukan pada kawasan [[Pariwisata|wisata]] yang terletak di kawasan yang rawan bencana alam. Kawasan wisata harus dilengkapi dengan jalur-jalur evakuasi. Dalam keadaan normal, jalur evakuasi dapat dimanfaatkan sebagai [[ruang publik]] dengan berbagai fungsi yang dapat diakses secara terbuka. Perlengkapan lain yang harus disiapkan yaitu pos penjagaan yang mengawasi dan memberikan informasi keamanan secara komunikatif.<ref>{{Cite book|last=Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung|first=|date=|url=https://www.lppm.itb.ac.id/wp-content/uploads/sites/55/2017/10/Buku_I.pdf|title=Mengelola Risiko Bencana di Negara Maritim Indonesia: Buku 1|location=Bandung|publisher=Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Teknologi Bandung|isbn=979-1344-77-9|pages=116|oclc=880122366|url-status=live}}</ref>


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 81: Baris 88:
== Daftar pustaka ==
== Daftar pustaka ==


# {{cite book|last=Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil|first=|date=|year=2005|url=|title=Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan|isbn=979-3556-18-8|edition=2|pages=|ref={{sfnref|Direktorat Jenderal Pesisir|2005}}|url-status=live}}
# {{cite book|last=Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil|first=|date=|year=2005|url=https://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/Dit%20P4K-PRL/Publikasi/Pedoman%20MItigasi%20Bencana%20Alam%20di%20Wilayah%20Pesisir%20dan%20Pulau-Pulau%20Kecil.pdf|title=Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan|isbn=979-3556-18-8|edition=2|pages=|ref={{sfnref|Direktorat Jenderal Pesisir|2005}}|url-status=live}}
#{{cite book|last=Hermon|first=Dedi|date=|year=2012|url=http://repository.unp.ac.id/1231/1/DEDI%20HERMON%204.pdf|title=Mitigasi Bencana Hidrometeorologi: Banjir, Lonsor, Ekologi, Degradasi Lahan, Puting Beliung, Kekeringan|location=Padang|publisher=UNP Press|isbn=978-602-8819-52-7|pages=|ref={{sfnref|Hermon|2012}}|url-status=live}}
# {{cite book|last=Kumalawati, R., dan Angraini, P.|first=|date=|year=2018|url=http://eprints.ulm.ac.id/5948/1/BUKU_MITIGASI_BENCANA.pdf|title=Mitigasi Bencana: Studi Kasus Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah|location=Yogyakarta|publisher=Penerbit Ombak|isbn=|pages=|ref={{sfnref|Kumalawati dan Angraini|2018}}|url-status=live}}
# {{cite book|last=Kumalawati, R., dan Angraini, P.|first=|date=|year=2018|url=http://eprints.ulm.ac.id/5948/1/BUKU_MITIGASI_BENCANA.pdf|title=Mitigasi Bencana: Studi Kasus Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah|location=Yogyakarta|publisher=Penerbit Ombak|isbn=|pages=|ref={{sfnref|Kumalawati dan Angraini|2018}}|url-status=live}}
# {{cite book|last=Paimin, Sukresno, dan Pramono, I. B.|first=|date=|year=2009|url=|title=Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor|location=Balikpapan|publisher=Tropenbos International Indonesia Programme|isbn=978-979-3145-46-4|pages=|ref={{sfnref|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009}}|url-status=live}}
# {{cite book|last=Paimin, Sukresno, dan Pramono, I. B.|first=|date=|year=2009|url=https://www.forda-mof.org/files/Teknik_Mitigasi_Banjir_dan_Tanah_Longsor2.pdf|title=Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor|location=Balikpapan|publisher=Tropenbos International Indonesia Programme|isbn=978-979-3145-46-4|pages=|ref={{sfnref|Paimin, Sukresno, dan Pramono|2009}}|url-status=live}}
#{{cite book|last=Sumantri, dkk.|first=|date=|year=2019|url=http://opac.lib.idu.ac.id/unhan-ebook/assets/uploads/files/1d0d3-buku-ajar-gis-isbn.pdf|title=Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) Kerentanan Bencana|location=Jakarta|publisher=CV. Makmur Cahaya Ilmu|isbn=978-602-53845-8-5|pages=|ref={{sfnref|Sumantri, dkk.|2019}}|url-status=live|access-date=2020-12-11|archive-date=2022-03-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20220303084443/http://opac.lib.idu.ac.id/unhan-ebook/assets/uploads/files/1d0d3-buku-ajar-gis-isbn.pdf|dead-url=yes}}
#
#

{{Authority control}}


[[Kategori:Geografi]]
[[Kategori:Geografi]]

Revisi per 11 Desember 2023 04.37

MItigasi bencana adalah segala upaya untuk mengurangi risiko bencana. Program mitigasi bencana dapat dilakukan melalui pembangunan secara fisik maupun peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.[1] Mitigasi bencana merupakan bentuk pengurangan kerugian yang lebih besar akibat bencana yang sulit dideteksi kemunculannya secara tepat. Selain itu, mitigasi bencana juga dilakukan untuk menghindari maupun mencegah keberadaan bencana. Program mitigasi bencana dapat diterapkan pada ilmu alam maupun ilmu sosial.[2] Mitigasi bencana tidak dapat menghilangkan dampak buruk dari bencana secara keseluruhan, tetapi dapat menguranginya. Pengurangan bencana memanfaatkan strategi dan tindakan dalam bidang rekayasa dan konstruksi tahan bahaya. Selain itu, mitigasi bencana dilakukan dengan membuat kebijakan lingkungan dan kebijaan sosial serta membentuk kesadaran publik akan dampak buruk bencana.[3] Mitigasi bencana diawali dengan kajian risiko untuk mengetahui tingkat bahaya, kerentanan, dan kapasitas suatu wilayah dalam menerima bencana. Kajian risiko memperhatikan kondisi fisik dan kondisi wilayah.[4]

Konsep dasar

Analisis risiko

Analisis risiko merupakan kegiatan untuk memperkirakan banyaknya risiko bahaya yang dapat ditimbulkan oleh individu, populasi, properti, atau lingkungan. Bahasan utama dalam analisis risiko meliputi ruang lingkup bahaya, identifikasi bahaya, evaluasi kerentanan risiko, identifikasi konsekuensi dan jumlah risiko yang timbul. Penaksiran risiko sangat ditentukan oleh faktor bahaya dan kerentanan. Bahaya memungkinkan terjadinya kerugian secara kebendaan dan kejiwaan, sedangkan kerentanan merupakan tingkatan dari bahaya yang timbul. Risiko dianalisis sebagai produk dari kemungkinan terjadinya bahaya dan tingkat pengulangan bahaya.[5]

Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam analisis risiko bencana yaitu:[6]

  1. Mengutamakan penggunaan data dan hasil perekaman kejadian yang diperoleh secara resmi dari lembaga yang berwenang;
  2. Menyatukan analisis kemungkinan kejadian ancaman dari para ahli dengan disertai kearifan lokal masyarakat;
  3. Proses analisis meliputi perhitungan potensi jumlah jiwa, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan yang terkena bencana;
  4. Menggunakan hasil kajian risiko sebagai bahan untuk membuat kebijakan umum dalam rangka pengurangan risiko bencana.

Mitigasi

Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi risiko dari sesuatu. Strategi yang digunakan untuk mengurangai risiko ada empat yaitu menghindari risiko, mengurangi risiko, pengalihan risiko, dan penyimpanan risiko. Risiko dapat dihindari dengan mengubah bahaya yang dapat timbul menjadi sesuatu yang berguna. Pengalihan risiko dilakukan dengan mengatasi kerentanan terhadap kerusakan dan gangguan. Pengalihan risiko dilakukan dengan memastikan pengubahan bahaya yang berpengaruh secara keuangan terhadap individu dan masyarakat. Sedangkan penyimpanan risiko merupakan usaha untuk menyiapkan keuangan untuk mengganti kerugian akibat adanya bahaya yang akan terjadi.[7]

Mitigasi dapat dibedakan menjadi mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural. Miitgasi struktural adalah upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang timbul dengan cara melakukan pembangunan secara fisik. Pembangunan berkaitan dengan teknik konstruksi infrastuktur yang memiliki daya tahan dalam memberikan perlindungan terhadap bahaya. Adapun mitigasi nonstruktural merupakan upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang yang timbul dengan cara pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan pembuatan kebijakan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya, serta mengembangkan pengetahuan akan bahaya. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dengan menggunakan metode partisipasi masyarakat dalam pencegahan kerusakan, gangguan dan bahaya.[7]

Pelaksanaan

Mitigasi bencana dapat dilakukan sebelum dan sesudah bencana terjadi. Bentuk mitigasi sebelum terjadinya bencana yaitu pencegahan, sedangkan setelah bencana berupa penanggulangan. Pengurangan risiko bencana melalui mitigasi bencana dilakukan secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan membentuk sistem yang menyeluruh.[8]

Jenis-jenis

Mitigasi bencana banjir

Identifikasi kerawanan banjir

Identifikasi kerawanan banjir merupakan kegiatan identifikasi daerah yang rawan terkena banjir. Selain iut, identifikasi kerawanan banjir juga dilakukan di daerah pemasok air banjir atau daerah yang memiliki potensi air banjir. Tujuan identifikasi kerawanan banjir ialah memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis. Dari identifikasi kerawanan banjir, kemudian diperoleh teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Kemudahan identifikasi banjir diperoleh melalui penggunaan formula banjir. Dalam formula banjir, faktor-faktor penyebab banjir dibedakan menjadi faktor alami dan faktor manajemen. Faktor alami sangat sulit dikelola sedangkan faktor manajemen sangata mudah dikelola. Setiap faktor diberikan bobot dengan nilai yang berbeda dan dikategorikan sesuai tingkat perannya dalam proses banjir.[9]

Identifikasi tingkat kerawanan daerah yang terkena banji didasarkan pada karakter wilayahnya. Karakter yang umumnya diidentifikasi yaitu bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, lika-liku sungai, pebendungan alami, dan bangunan pengendali banjir. Beberapa bentuk lahan dari sistem lahan merupakan daerah yang rentan terkena banjir. Dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai, dan rawa-rawa merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng <2% sehingga mudah terkena banjir. Data bentuk lahan dapat diperoleh pada peta sistem lahan dari RePPProT (Regional Physical Planning Program for Transmigration). Ciri-ciri daerah yang rentan kebanjiran adalah adanya bangunan tanggul di sisi kiri dan kanan sungai. Bangunan ini digunakan sebagai bentuk manajemen pengurangan banjir. Penghambatan kecepatan aliran sungai dapat terjadi pada sungai yang berkelok-kelok atau bentuk seperti tapal kuda. Kedua daerah ini merupakan daerah yang rentan terkena banjir. Tingkat kelokan sungai diukur dengan nilai sinusitas. Nilai diperoleh melalui perbandingan panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus dalam satuan peta.[9]

Pertemuan aliran arus air dapat terjadi pada daerah pertemuan dua sungai. Pertemuan ini memperlambat atau menahan aliran air sehingga elevasi air pada daerah pertemuan tersebut bertambah. Pertambahan air yang melebihi tanggul palung sungainya menyebabkan air menggenangi daerah sekitar. Penahanan air lebih sering terjadi akibat pertemuan sungai kecil dengan sungai yang lebih besar. Kondisi yang mendukung penahanan air adalah aliran air sungai besar masuk ke dalam sungai yang lebih kecil. Sedikitnya daya tampung palung sungai kecil mengakibatkan air meluap dan terjadi banjir di sekitarnya. Proses banjir juga terjadi pada daerah muara sungai. Penyebab banjir di muara sungai diakibatkan oleh adanya aliran balik yang disebabkan oleh adanya penahanan aliran air sungai dari air laut pasang. Adanya aliran air yang terhambat menjadikan daerah hulu titik tersebut rawan kebanjiran.[10]

Identifikasi jumlah pasokan air banjir diidentifikasi dari jumlah curah hujan. Curah hujan menjadi masukan sistem daerah aliran sungai dan karakteristik daerah tangkapan air. Banjir yang terjadi akibat tingkat curah hujan diukur melalui jumlah hujan harian maksimum yang terjadi secara merata pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan karakteristik daerah tangkapan air dibedakan berdasarkan faktor alami yang sulit dikelola dan faktor manajemen yang mudah dikelola. Faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air yaitu bentuk daerah aliran sungai, gradien sungai, kerapatan drainase, dan lereng rata-rata pada daerah aliran sungai. Faktor manajemen berupa penggunaan atau penutupan lahan yang dipengaruhi oleh kondisi hutan. Curah hujan yang sangat deras dan tersebar merata ke seluruh daerah tangkapan air menyebabkanterjadinya banjir besar. Banjir ini kemudian berubah menjadi limpasan permukaan yang terkumpul secara cepat pada suatu titik keluaran.[11]

Teknik pengendalian banjir

Teknik pengendalian banjir dilakukan secara menyeluruh pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir. Pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air tidak keluar dari palung sungai. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan membuat tanggul sungai yang memadai serta membuat waduk atau tandon air untuk mengurangi banjir puncak. Pemenuhan kapasitas tampung palung sungai dilakukan dengan menambah saluran pembuangan air dengan saluran banjir kanal. Selain itu, larangan penggunaan lahan untuk bangunan diperketat di bantaran dan badan sungai. Larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran drainase juga diberlakukan. [12]

Teknik pengendalian banjir di daerah tangkapan air menggunakan prinsip penurunan koefisien limpasan. Pengendalian banjir memanfaatkan teknik konservasi tanah dan air. Diadakan peningkatan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan pendalian limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Teknik yang digunakan dapat berbentu teknik sipil, teknik vegetasi, teknik kimia, maupun perpaduan ketiganya. Pemilihan teknik disesuaikan dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak setempat.[12]

Teknik peringatan dini bencana banjir

Peringatan dini bencana banjir dilakukan mulai dari hulu hingga ke hilir secara berurutan. Tujuan peringatan dini bencana banjir adalah untuk mempersiapkan penanggulangan banjir sehingga kerugian dapat dikurangi. Peringatan dini pada daerah hulu dilakukan dengan menempatkan pengukur hujan di hulu serta menyiapkan akses komunikasi ke wilayah di hilirnya. Masyarakat harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi jika curah hujan sudah mencapai 100 mm dalam sehari dan masih deras. Informasi ini harus dikirimkan ke daerah rawan kebanjiran di hilirnya. Selain itu, peringatan dini juga dapat diberikan dengan mengidentifikasi jenis material yg terbawa arus banjir. Peringatan dini diberikan ketika banyak material nontanah yang terbawa oleh aliran air. Material nontanah ini berupa ranting dan batang pohon. Jumlah material nontanah merupakan ukuran bagi kekuatan air yang mengangkutnya. Semakin banyak material non tanah yang terbawa oleh aliran air, maka semakin besar peluang terjadi banjir. Peringatan dini juga dapat diberikan jika awan terlihat sangat tebal dan hujan terjadi secara terus-menerus.[13]

Peringatan dini di daerah hilir lebih diduukung dengan perkembangan teknologi setempat. Pemberian peringatan dini menggunakan sistem telemetri. Pengamatan jarak jauh disesuaikan dengan pola sungai dari daerah hulu sampai hilir. Peralatan telemetri memanfaatkan citra satelit yang terhubung dengan stasiun monitoring banjir. Setiap kejadian yang terjadi di lokasi bencana akan disampaikan oleh stasiun pengendali sebagai informasi bagi bagian hilir yang rawan kebanjiran. Komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan telepon atau radio komunikasi. Pengiriman informasi juga dapat melalui layanan pesan singkat.[14]

Mitigasi bencana tanah longsor

Identifikasi kerawanan tanah longsor

Tanah longsor merupakan pemindahan massa tanah secara tiba-tiba dalam volume yang besar. Tanah longsor dapat terjadi jika terdapat lereng yang cukup curam, bidang peluncur yang kedap air di bawah permukaan tanah, dan tanah jenuh air. Identifikasi kerentanan bencana tanah longsor dilakukan dengan formula kerentanan tanah longsor. Faktor alami penyusun formulanya yaitu jumlah hujan harian selama 3 hari berturut-turut, keadaan lereng lahan, geologi, keberadaan patahan bumi dan kedalaman tanah sampai lapisan kedap. Sedangkan faktor manajemen meliputi penggunaan lahan, infrastruktur, dan kepadatan pemukiman.[15]

Teknik pengendalian tanah longsor

Pengendalian tanah longsor dilakukan dengan mengurangi jumlah air yang masuk ke dalam tanah. Air tanah dapat menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah dan menyebabkan longsor. Tindakan mitigasi tanah longsor juga mencegah penurunan permukaan tanah akibat erosi permukaan.[16]

Peirngatan dini tanah longsor

Teknik peringatan dini dalam mitigasi tanah longsor disesuaikan dengan jenis potensi tanah longsor. Potensi ini diamati melalui retakan-retakan tanah pada lahan pertanian, hutan, kebun, pemukiman serta jalan yang cenderung semakin besar. Pengamatan juga dilakukan pada penggelembungan jalan aspal. Peringatan dini dipersiapkan dengan pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila selama 2 hari curah hujan rata-rata melebihi 200 mm dan masih berlanjut maka peringatan dini harus disampaikan kepada masyarakat. Peringatan dini juga harus diberikan ketika ada rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Selain itu, peringatan dini dilakukan jika aliran rembesan lebih besar dari sebelumnya. Peringatan dini juga diberikan ketika ada pohon yang posisinya condong ke arah bawah bukit dan adanya perubahan muka air sumur serta adanya perubahan penutupan lahan dari hutan ke non-hutan pada lahan berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang. Pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan lapisan tanah dalam juga menjadi saah satu alasan diadakannya peringatan dini tanah longsor.[17]

Mitigasi bencana tsunami

Mitigasi bencana tsunami struktural

Mitigasi bencana tsunami struktural merupakan upaya menangani masalah bencana tsunami dengan meredam atau mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai. Penjalaran tsunami dapat diketahui karena arah peyebaran yang tegak lurus. Selain itu, penjalaran tsunami juga daoat diketahui melalui keterangan umum tentang teluk-teluk dan pelabuhan-pelabuhan.[18] Mitigasi bencana tsunami struktural dapat dianalisa melalui karakteristik gelombang tsunami, inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur bangunan. Pelaksanaan mitigasi bencana tsunami struktural dilakukan secara alami maupun buatan. Penanganan secara alami dilakukan dengan menanaman hutan pantai atau mangrove di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang. Penanganan secara buatan dilakukan dengan membangun pemecah gelombang dan tanggul laut. Pemecah gelombang dibangun sejajar dengan garis pantai. Selain itu, mitigasi bencana tsunami struktural dilakukan dengan memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan memanfaatkan teknik bangunan tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana. Penguatan bangunan dilakukan dengan memperkuat bahan bangunan permukiman sesuai teknik bangunan tahan tsunami. Penguatan bangunan juga dilakukan dengan mengurangi kepadatan penduduk pada daerah rentan tsunami. Pada daerah padat penduduk disediakan lahan untuk ruang publik yang dapat digunakan untuk evakuasi dan mobilitas masyarakat. Pengurangan dilakukan dengan memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain dan menata ulang pemukiman sesuai dengan konsep kawasan pemukiman yang akrab bencana.[19]

Mitigasi bencana tsunami nonstruktural

Mitigasi bencana tsunami nonstruktural dimulai dengan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bencana alam. Selanjutnya ditentukan kebijakan tentang tata guna lahan, tata ruang, dan zonasi kawasan pantai yang aman dari bencana. Selain itu, dibentuk kebijakan tentang standarisasi bentuk bangunan pemukiman dan infrastruktur sarana dan prasarana. Mitigasi bencana tsunami nonstruktural juga dilakukan dengan membuat mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal dan pembuatan peta potensi bencana tsunami dan peta tingkat ketahanan tsunami.[20] Peta tingkat ketahanan tsunami dirancang dengan memperhatikan ketahanan bangunan permukiman terhadap bencana tsunami serta mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana. Selain itu, diperlukan ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi. Peta tingkat ketahanan tsunami juga harus memperhatikan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hasil laut dan budidaya kawasan pantai. Sebelum pembuatan peta ketahanan tsunami, harus dibentuk kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai. Selain itu, diadakan pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami serta penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami. Setelah itu, dilakukan pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami.[21]

Mitigasi bencana erosi pantai

Mitigasi bencana erosi pantai struktural

Mitigasi bencana erosi pantai secara struktural bertujuan untuk menjaga keseimbangan proses perpindahan sedimen di sepanjang garis pantai. Perpindahan ini diseimbangkan dengan menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen. Secara alami, mitigasi bencana erosi pantai dilakukan dengan penanaman mangrove dan penguatan gumuk pasir dengan vegetasi. Sedangkan secara buatan, mitigasi bencana erosi pantai dilakukan pembangunan dinding penahan gelombang dan pembangunan groin. Mitigasi bencana erosi pantai direncanakan secara cermat untuk mencegah perubahan pola dan karakteristik gelombang yang dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya erosi di tempat lain.[22]

Mitigasi bencana erosi pantai nonstruktural

Upaya mitigasi bencana erosi nonstruktural diawali dengan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bencana alam. Setelah itu, diadakan pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai,. Selanjutnya dilakukan penyusunan sempadan garis pantai serta pengembangan sistem peringatan dini bencana erosi pantai.[23] Sistem peringatan dini bencana erosi menggambarkan terjadinya erosi pantai yang terjadi akibat gesekan antara gelombang dengan daratan di sepanjang garis pantai. Informasi penting dalam sistem peringatan dini tersebut adalah lokasi terjadinya erosi serta tingkat erosinya. Informasi lain yang cukup penting yaitu faktor utama penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi, serta aktivitas manusia yang meningkatkan terjadinya erosi pantai.[24]

Mitigasi bencana kekeringan

Mitigasi bencana kekeringan dimulai dengan membuat kebijakan yang berarah kepada penyelamatan hutan. Dalam sektor hutan, pembakaran harus dihentikan terutama dalam pembukaan lahan. Selain itu, pembukaan lahan hutan untuk permukiman dan pertanian juga dibatasi. Lahan terbuka yang tidak digunakan harus diberi kebijakan reboisasi secara berkesinambungan. Pembakaran tidak boleh dilakukan di lahan rawa dan gambut. Daerah aliran sungai harus memiliki kawasan hutan minimal 40% dari keseluruhan luas kawasan. Selain itu, sumber daya air harus dipertahankan dengan menghentikan sistem pertanian yang berlangsung terus-menerus.[25]

Disiplin ilmiah terkait

Geodesi

Geodesi merupakan cabang ilmu alam yang mempelajari tentang peranan bumi dalam penyajian data serta informasi spasial terkait dalam mitigasi bencana.[2] Geodesi mempelajari bentuk dan ukuran bumi dengan menggunakan pengukuran-pengukuran pada permukaan bumi dari pesawat udara dan satelit. Selain itu, geodesi juga mempelajari planet-planet dan satelitnya, serta perubahan-perubahannya. Posisi dan kecepatan perpindahan objek pada permukaan bumi, orbit dan planet-planet ditentukan dalam suatu sistem referensi tertentu. Geodesi dimanfaatkan untuk berbagai teori ilmiah dan rekayasa yang menggunakan matematika, fisika, astronomi, dan ilmu komputer.[26]

Pemanfaatan

Perencanaan dan penyelenggaraan kepariwisataan

Penataan ruang diperlukan pada kawasan wisata yang terletak di kawasan yang rawan bencana alam. Kawasan wisata harus dilengkapi dengan jalur-jalur evakuasi. Dalam keadaan normal, jalur evakuasi dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik dengan berbagai fungsi yang dapat diakses secara terbuka. Perlengkapan lain yang harus disiapkan yaitu pos penjagaan yang mengawasi dan memberikan informasi keamanan secara komunikatif.[27]

Referensi

  1. ^ Hermon 2012, hlm. 23.
  2. ^ a b Sumantri, dkk. 2019, hlm. 23.
  3. ^ International Labour Organization (2020). Manajemen Konflik dan Bencana: Mengeksplorasi Kerja Sama antara Organisasi Pengusaha dan Pekerja (PDF). 978-92-2-032198-0: International Labour Organization. hlm. 19. ISBN 978-92-2-032198-0. 
  4. ^ Sandhyavitri, dkk. (2015). Mitigasi Bencana Banjir dan Kebakaran (PDF). Pekanbaru: UR Press. hlm. 11. ISBN 978-979-792-656-4. 
  5. ^ Kumalawati dan Angriani 2018, hlm. 6.
  6. ^ Amri, dkk. (2016). Risiko Bencana Indonesia (PDF). Jakarta Timur: Badan Nasional Penanggulangan Bencana. hlm. 34. 
  7. ^ a b Kumalawati dan Angriani 2018, hlm. 7.
  8. ^ Darmawan, dkk. Buku Panduan Perkuliahan Mitigasi Bencana Di Magelang (PDF). Pontianak: CV. Pustaka One Indonesia. ISBN 978-623-201-591-3. 
  9. ^ a b Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 5.
  10. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 5-6.
  11. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 6.
  12. ^ a b Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 19.
  13. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 23.
  14. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 23-24.
  15. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 14.
  16. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 21.
  17. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 24.
  18. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 27-28.
  19. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 28.
  20. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 29.
  21. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 29-30.
  22. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 19-20.
  23. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 20.
  24. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 20-21.
  25. ^ Hermon 2012, hlm. 236.
  26. ^ Sumantri, dkk. 2019, hlm. 23-24.
  27. ^ Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung. Mengelola Risiko Bencana di Negara Maritim Indonesia: Buku 1 (PDF). Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Teknologi Bandung. hlm. 116. ISBN 979-1344-77-9. OCLC 880122366. 

Daftar pustaka

  1. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2005). Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PDF) (edisi ke-2). Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. ISBN 979-3556-18-8. 
  2. Hermon, Dedi (2012). Mitigasi Bencana Hidrometeorologi: Banjir, Lonsor, Ekologi, Degradasi Lahan, Puting Beliung, Kekeringan (PDF). Padang: UNP Press. ISBN 978-602-8819-52-7. 
  3. Kumalawati, R., dan Angraini, P. (2018). Mitigasi Bencana: Studi Kasus Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (PDF). Yogyakarta: Penerbit Ombak. 
  4. Paimin, Sukresno, dan Pramono, I. B. (2009). Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor (PDF). Balikpapan: Tropenbos International Indonesia Programme. ISBN 978-979-3145-46-4. 
  5. Sumantri, dkk. (2019). Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) Kerentanan Bencana (PDF). Jakarta: CV. Makmur Cahaya Ilmu. ISBN 978-602-53845-8-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-03-03. Diakses tanggal 2020-12-11.