Lompat ke isi

Akonipuk: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Envapid (bicara | kontrib)
tambah foto lebih besar
 
(18 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Papuan Mummy.jpg|jmpl|Mumi dari Wim Motok Mabel, panglima perang dari Kampung Jiwika, Distrik Kurulu, diawetkan sekitar 300 tahun yang lalu.]]
'''''Akonipuk''''' adalah tradisi masyarakat [[Papua]], baik orang Papua yang ada di [[Indonesia]] ataupun yang ada di [[Papua Nugini]]. Untuk yang berada di Indonesia, ''akonipuk'' biasanya dilakukan oleh [[Suku Dani]] yang mendiami kawasan [[Lembah Baliem]]. Dalam [[Bahasa Hubula]] sebenarnya ''akonipuk'' adalah [[mumifikasi]] (sederhanya bisa disebut [[mumi]] saja), atau proses mengeringkan jasad [[manusia]] yang telah meninggal. Namun yang membedakan mumifikasi di Papua dengan mumifikasi dari belahan dunia lainnya adalah prosesnya yang menggunakan teknik pengasapan, sementara mumifikasi pada umumnya - salah satunya seperti di [[Mesir Kuno|Mesir]] - lebih banyak menggunakan [[balsem]].<ref name=":0">Direktorat Jenderal Kebudayaan, ''Buku Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018,'' (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2018) hal. 336-337</ref><ref name=":2">{{Cite web|url=https://nationalgeographic.grid.id/read/13306968/menelusuri-pembuatan-mumi-di-papua-nugini|title=Menelusuri Pembuatan Mumi di Papua Nugini - Semua Halaman - Nationalgeographic.grid.id|website=nationalgeographic.grid.id|language=id|access-date=2019-03-21}}</ref><ref name=":1">{{Cite web|url=https://www.dw.com/id/mumi-di-suku-dani-papua/g-37882563|title=Mumi di Suku Dani Papua {{!}} DW {{!}} 10.03.2017|last=Welle (www.dw.com)|first=Deutsche|website=DW.COM|language=id-ID|access-date=2019-03-21}}</ref>

'''Akonipuk''' adalah tradisi pengawetan jenazah oleh masyarakat [[suku Hubula|suku Hubula atau Dani]]. Dalam [[bahasa Hubula]], akonipuk berarti [[mumifikasi]] (sederhanya bisa disebut [[mumi]] saja), atau proses mengeringkan jasad [[manusia]] yang telah meninggal. Namun yang membedakan mumifikasi di Papua dengan mumifikasi dari belahan dunia lainnya adalah prosesnya yang menggunakan teknik pengasapan, sementara mumifikasi pada umumnya - salah satunya seperti di [[Mesir Kuno|Mesir]] - lebih banyak menggunakan [[balsem]].<ref name=":0">Direktorat Jenderal Kebudayaan, ''Buku Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018,'' (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2018) hal. 336-337</ref><ref name=":2">{{Cite web|url=https://nationalgeographic.grid.id/read/13306968/menelusuri-pembuatan-mumi-di-papua-nugini|title=Menelusuri Pembuatan Mumi di Papua Nugini - Semua Halaman - Nationalgeographic.grid.id|website=nationalgeographic.grid.id|language=id|access-date=2019-03-21|archive-date=2019-03-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20190321040444/https://nationalgeographic.grid.id/read/13306968/menelusuri-pembuatan-mumi-di-papua-nugini|dead-url=yes}}</ref><ref name=":1">{{Cite web|url=https://www.dw.com/id/mumi-di-suku-dani-papua/g-37882563|title=Mumi di Suku Dani Papua {{!}} DW {{!}} 10.03.2017|last=Welle (www.dw.com)|first=Deutsche|website=DW.COM|language=id-ID|access-date=2019-03-21}}</ref>

Di Indonesia, tradisi mumi terdapat di berbagai wilayah, yakni [[Mumi Kaki More]] di NTT dan tradisi [[mumi papua]] oleh selain suku Dani (Hubula) dengan ''akonipuk'', suku Yali di Kurima, [[Kabupaten Yahukimo]], dan [[suku Mek]] di [[Kabupaten Pegunungan Bintang]], [[Papua Pegunungan]], juga [[suku Mee]] di [[Kabupaten Dogiyai]] dan [[suku Migani]] (Moni) di [[Kabupaten Intan Jaya]] di [[Papua Tengah]].


== Nilai-Nilai ==
== Nilai-Nilai ==
Seperti halnya tradisi dan adat istiadat lainnya, ''akonipuk'' juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat [[Suku Dani]] dan [[Suku Hubula]] di [[Lembah Baliem]], [[Papua]]. Nilai-nilai yang terkadung dalam ''akonipuk'' yang paling utama adalah [[spiritualitas]] dan [[religiusitas]], hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat yang masih menganut ajaran [[animisme]].<ref name=":0" />
Seperti halnya tradisi dan adat istiadat lainnya, akonipuk juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat [[suku Dani]] (disebut juga suku Hubula) di [[Lembah Baliem]], [[Papua Pegunungan]]. Nilai-nilai yang terkadung dalam akonipuk yang paling utama adalah [[spiritualitas]] dan [[religiusitas]], hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat yang masih menganut ajaran [[animisme]].<ref name=":0" />


Selain nilai religius, ''akonipuk'' juga memiliki nilai [[sejarah]], hal ini berkaitan dengan sosok yang dijadikan mumi. Bagi masyarakat suku-suku yang ada di Lembah Baliem, mereka yang pantas untuk dimumifikasi adalah para tokoh, seperti [[Kepala suku|kepala suku]], [[Panglima perang|panglima perang]], [[Pemimpin spiritual|pemimpin spiritual]] dan orang-orang yang dianggap penting lainnya oleh komunitas.<ref name=":0" /><ref name=":1" /> Bahkan karena sangat berpengaruh tokoh-tokoh yang dimumifikasi dianggap sebagai penguasa Lembah Baliem oleh masyarakat setempat, setiap suku memiliki tokohnya masing-masing yang dijadikan ''akonipuk.''<ref name=":0" /><ref name=":1" />
Selain nilai religius, akonipuk juga memiliki nilai [[sejarah]], hal ini berkaitan dengan sosok yang dijadikan mumi. Bagi masyarakat suku-suku yang ada di Lembah Baliem, mereka yang pantas untuk dimumifikasi adalah para tokoh, seperti [[kepala suku]], [[panglima perang]], [[pemimpin spiritual]] dan orang-orang yang dianggap penting lainnya oleh komunitas.<ref name=":0" /><ref name=":1" /> Bahkan karena sangat berpengaruh tokoh-tokoh yang dimumifikasi dianggap sebagai penguasa Lembah Baliem oleh masyarakat setempat, setiap suku memiliki tokohnya masing-masing yang dijadikan akonipuk.<ref name=":0" /><ref name=":1" />


Lalu juga ada nilai-nilai [[sosial]] yang terkandung dalam ''akonipuk,'' yakni untuk menjaga hubungan antar-suku di Lembah Baliem. Hal ini dikarenakan pada semasa hidupnya, kebanyakan dari para tokoh-tokoh yang dijadikan ''akonipuk'' memiliki hubungan atau relasi yang baik dengan tokoh lainnya, sehingga hal ini dapat menjadi perekat bagi setiap suku untuk tetap berdampingan meski sang tokoh telah wafat. Oleh karena itu, biasanya saat proses ''akonimpuk'' dilaksanakan, yang hadir bukan saja hanya dari satu suku tetapi juga perwakilan dari suku-suku lainnya.<ref name=":0" />
Lalu juga ada nilai-nilai [[sosial]] yang terkandung dalam akonipuk'','' yakni untuk menjaga hubungan antar-suku di Lembah Baliem. Hal ini dikarenakan pada semasa hidupnya, kebanyakan dari para tokoh-tokoh yang dijadikan akonipuk memiliki hubungan atau relasi yang baik dengan tokoh lainnya, sehingga hal ini dapat menjadi perekat bagi setiap suku untuk tetap berdampingan meski sang tokoh telah wafat. Oleh karena itu, biasanya saat proses akonipuk dilaksanakan, yang hadir bukan saja hanya dari satu suku tetapi juga perwakilan dari suku-suku lainnya.<ref name=":0" />


Tujuan lainnya dari ''akonipuk'' adalah untuk menjaga "keabadian" sang tokoh, atau dalam hal ini secara fisik sang tokoh tidak hilang karena ia meninggal. Keberadaan mumi-mumi ''akonipuk'' juga dipercaya oleh masyarakat Lembah Baliem dapat menjaga desa dan keharmonisan alam.<ref name=":0" /><ref name=":2" />
Tujuan lainnya dari akonipuk adalah untuk menjaga "keabadian" sang tokoh, atau dalam hal ini secara fisik sang tokoh tidak hilang karena ia meninggal. Keberadaan mumi-mumi akonipuk juga dipercaya oleh masyarakat Lembah Baliem dapat menjaga desa dan keharmonisan alam.<ref name=":0" /><ref name=":2" />


=== Proses ''Akonipuk'' ===
=== Proses Akonipuk ===
[[Berkas:Mumi Papua.jpg|jmpl|Mumi dari Wim Motok Mabel.]]
Karena ''akonipuk'' memiliki banyak nilai-nilai yang penting bagi masyarakat di [[Lembah Baliem]], maka prosesnya pun dilakukan dengan sakral dan tidak sembarangan. Alat dan bahan yang digunakan dalam proses pengawetan biasanya antara lain; ''sage'' ([[tombak]] berukuran kecil), [[Pisau tulang|pisau tulang]], dan [[Kayu akasia|kayu akasia]]. Setelah semua alat dan bahan terkumpul, proses ''akonipuk'' pun siap dilakukan.<ref name=":0" />
Karena akonipuk memiliki banyak nilai-nilai yang penting bagi masyarakat di [[Lembah Baliem]], maka prosesnya pun dilakukan dengan sakral dan tidak sembarangan. Alat dan bahan yang digunakan dalam proses pengawetan biasanya antara lain; ''sage'' ([[tombak]] berukuran kecil), [[pisau tulang]], dan [[akasia|kayu akasia]]. Setelah semua alat dan bahan terkumpul, proses akonipuk pun siap dilakukan.<ref name=":0" />


Proses ''akonipuk'' harus dilakukan oleh [[Pria|pria dewasa]], sementara [[wanita]] dan [[anak-anak]] tidak diperbolehkan masuk ke tempat prosesi. Jenazah tokoh yang akan di ''akonipuk'' kemudian dibawa ke dalam [[Honai|honai laki-laki]], lalu diikat ke kayu dalam posisi berjongkok, hal ini guna memudahkan proses keluarnya cairan dari dalam tubuh jenazah. Selanjutnya, setelah diikat ke kayu dalam posisi berjongkok, jenazah akan diletakan diatas bara api dan masuk dalam proses pengasapan. Prosesi ''akonipuk'' ini sendiri bisa memakan waktu hingga tiga bulan hingga jenazah benar-benar kering, dan selama prosesi semua pria yang terlibat didalamnya tidak boleh mencuci diri atau mandi.<ref name=":0" /><ref name=":2" />
Proses akonipuk harus dilakukan oleh [[Pria|pria dewasa]], sementara [[wanita]] dan [[anak-anak]] tidak diperbolehkan masuk ke tempat prosesi. Jenazah tokoh yang akan di akonipuk kemudian dibawa ke dalam [[Rumah Honai|honai laki-laki]], lalu diikat ke kayu dalam posisi berjongkok, hal ini guna memudahkan proses keluarnya cairan dari dalam tubuh jenazah. Selanjutnya, setelah diikat ke kayu dalam posisi berjongkok, jenazah akan diletakan diatas bara api dan masuk dalam proses pengasapan. Prosesi akonipuk ini sendiri bisa memakan waktu tiga bulan (sampai 200 hari setelah upacara ''ap ako'', upacara meninggalnya seseorang yang akan diawetkan) hingga jenazah benar-benar kering, dan selama prosesi semua pria yang terlibat didalamnya tidak boleh mencuci diri atau mandi.<ref name=":0" /><ref name=":2" />


Setelah prosesi selesai, mumi yang telah kering kemudian biasanya dibawa ke sebuah tempat yang tinggi dan menghadap ke pemukiman,<ref name=":2" /> atau biasanya juga disimpan dalam honai namun masih harus sering dikeluarkan untuk dijemur dan diolesi dengan [[Minyakl babi|minyakl babi]] setiap dua atau tiga hari sekali setiap pagi.<ref name=":0" /><ref name=":2" />
Setelah prosesi selesai, mumi yang telah kering kemudian biasanya dibawa ke sebuah tempat yang tinggi dan menghadap ke pemukiman,<ref name=":2" /> atau biasanya juga disimpan dalam honai namun masih harus sering dikeluarkan untuk dijemur dan diolesi dengan minyak babi setiap dua atau tiga hari sekali setiap pagi.<ref name=":0" /><ref name=":2" />


== Referensi ==
== Referensi ==
{{Reflist}}


[[Kategori:Budaya Papua]]
[[Kategori:Budaya Papua Pegunungan]]
[[Kategori:Tradisi Papua]]
[[Kategori:Tradisi Papua]]
[[Kategori:Warisan budaya takbenda Indonesia]]

Revisi terkini sejak 16 Juni 2024 13.31

Mumi dari Wim Motok Mabel, panglima perang dari Kampung Jiwika, Distrik Kurulu, diawetkan sekitar 300 tahun yang lalu.

Akonipuk adalah tradisi pengawetan jenazah oleh masyarakat suku Hubula atau Dani. Dalam bahasa Hubula, akonipuk berarti mumifikasi (sederhanya bisa disebut mumi saja), atau proses mengeringkan jasad manusia yang telah meninggal. Namun yang membedakan mumifikasi di Papua dengan mumifikasi dari belahan dunia lainnya adalah prosesnya yang menggunakan teknik pengasapan, sementara mumifikasi pada umumnya - salah satunya seperti di Mesir - lebih banyak menggunakan balsem.[1][2][3]

Di Indonesia, tradisi mumi terdapat di berbagai wilayah, yakni Mumi Kaki More di NTT dan tradisi mumi papua oleh selain suku Dani (Hubula) dengan akonipuk, suku Yali di Kurima, Kabupaten Yahukimo, dan suku Mek di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, juga suku Mee di Kabupaten Dogiyai dan suku Migani (Moni) di Kabupaten Intan Jaya di Papua Tengah.

Nilai-Nilai

[sunting | sunting sumber]

Seperti halnya tradisi dan adat istiadat lainnya, akonipuk juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat suku Dani (disebut juga suku Hubula) di Lembah Baliem, Papua Pegunungan. Nilai-nilai yang terkadung dalam akonipuk yang paling utama adalah spiritualitas dan religiusitas, hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat yang masih menganut ajaran animisme.[1]

Selain nilai religius, akonipuk juga memiliki nilai sejarah, hal ini berkaitan dengan sosok yang dijadikan mumi. Bagi masyarakat suku-suku yang ada di Lembah Baliem, mereka yang pantas untuk dimumifikasi adalah para tokoh, seperti kepala suku, panglima perang, pemimpin spiritual dan orang-orang yang dianggap penting lainnya oleh komunitas.[1][3] Bahkan karena sangat berpengaruh tokoh-tokoh yang dimumifikasi dianggap sebagai penguasa Lembah Baliem oleh masyarakat setempat, setiap suku memiliki tokohnya masing-masing yang dijadikan akonipuk.[1][3]

Lalu juga ada nilai-nilai sosial yang terkandung dalam akonipuk, yakni untuk menjaga hubungan antar-suku di Lembah Baliem. Hal ini dikarenakan pada semasa hidupnya, kebanyakan dari para tokoh-tokoh yang dijadikan akonipuk memiliki hubungan atau relasi yang baik dengan tokoh lainnya, sehingga hal ini dapat menjadi perekat bagi setiap suku untuk tetap berdampingan meski sang tokoh telah wafat. Oleh karena itu, biasanya saat proses akonipuk dilaksanakan, yang hadir bukan saja hanya dari satu suku tetapi juga perwakilan dari suku-suku lainnya.[1]

Tujuan lainnya dari akonipuk adalah untuk menjaga "keabadian" sang tokoh, atau dalam hal ini secara fisik sang tokoh tidak hilang karena ia meninggal. Keberadaan mumi-mumi akonipuk juga dipercaya oleh masyarakat Lembah Baliem dapat menjaga desa dan keharmonisan alam.[1][2]

Proses Akonipuk

[sunting | sunting sumber]
Mumi dari Wim Motok Mabel.

Karena akonipuk memiliki banyak nilai-nilai yang penting bagi masyarakat di Lembah Baliem, maka prosesnya pun dilakukan dengan sakral dan tidak sembarangan. Alat dan bahan yang digunakan dalam proses pengawetan biasanya antara lain; sage (tombak berukuran kecil), pisau tulang, dan kayu akasia. Setelah semua alat dan bahan terkumpul, proses akonipuk pun siap dilakukan.[1]

Proses akonipuk harus dilakukan oleh pria dewasa, sementara wanita dan anak-anak tidak diperbolehkan masuk ke tempat prosesi. Jenazah tokoh yang akan di akonipuk kemudian dibawa ke dalam honai laki-laki, lalu diikat ke kayu dalam posisi berjongkok, hal ini guna memudahkan proses keluarnya cairan dari dalam tubuh jenazah. Selanjutnya, setelah diikat ke kayu dalam posisi berjongkok, jenazah akan diletakan diatas bara api dan masuk dalam proses pengasapan. Prosesi akonipuk ini sendiri bisa memakan waktu tiga bulan (sampai 200 hari setelah upacara ap ako, upacara meninggalnya seseorang yang akan diawetkan) hingga jenazah benar-benar kering, dan selama prosesi semua pria yang terlibat didalamnya tidak boleh mencuci diri atau mandi.[1][2]

Setelah prosesi selesai, mumi yang telah kering kemudian biasanya dibawa ke sebuah tempat yang tinggi dan menghadap ke pemukiman,[2] atau biasanya juga disimpan dalam honai namun masih harus sering dikeluarkan untuk dijemur dan diolesi dengan minyak babi setiap dua atau tiga hari sekali setiap pagi.[1][2]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i Direktorat Jenderal Kebudayaan, Buku Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2018) hal. 336-337
  2. ^ a b c d e "Menelusuri Pembuatan Mumi di Papua Nugini - Semua Halaman - Nationalgeographic.grid.id". nationalgeographic.grid.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-21. Diakses tanggal 2019-03-21. 
  3. ^ a b c Welle (www.dw.com), Deutsche. "Mumi di Suku Dani Papua | DW | 10.03.2017". DW.COM. Diakses tanggal 2019-03-21.