Suku Mee
Bunani Mee, Ekari | |
---|---|
Jumlah populasi | |
172.000[1] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Papua Tengah | |
Bahasa | |
Mee Indonesia Melayu Papua (lingua franca) | |
Agama | |
Kristen, agama tradisional, Islam[1] | |
Kelompok etnik terkait | |
Moni, Napan (Auye), Wolani |
Suku Mee, dikenal juga sebagai Bunani Mee atau Ekari, adalah sebuah Kelompok etnis yang mendiami kawasan pegunungan di Provinsi Papua Tengah, Indonesia. Suku ini mendiami wilayah pegunungan Kabupaten Nabire, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai, Paniai, dan pegunungan bagian barat Kabupaten Mimika yang termasuk kedalam wilayah adat Mee Pago.[2] Suku Mee mayoritas beragama Kristen, dan sebagian beragama Islam di pesisir Kabupaten Nabire.
Budaya
[sunting | sunting sumber]Rumah tradisional
[sunting | sunting sumber]Rumah tradisional suku Mee disebut Emawa/Yame Owa (rumah laki laki), Yagamo Owa (rumah perempuan), Yuwu Owa (rumah pesta adat), Daba Owa (rumah pondok beristirahat), Bedo Owa (kandang ayam), dan Ekina Owa (kandang babi).[3]
Signifikansi epidemiologis
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1970-an, investigasi dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia yang prihatin dengan tingginya angka orang Mee yang dirawat di rumah sakit karena luka bakar. Studi tersebut mengungkapkan banyak orang Mee menderita sistiserkosis yang disebabkan oleh cacing pita babi, Taenia solium, yang sebelumnya tidak ditemukan di Pulau Papua. Akibatnya, banyak yang menderita kejang saat berada di dekat api, melukai diri mereka sendiri dalam prosesnya. Babi yang terinfeksi cacing pita kemungkinan terbawa dari daerah lain (seperti Pulau Bali dengan kuliner daging mentah Lawar) di Indonesia yang endemik cacing pita.[4] Diperparah pula dengan tradisi orang Mee mengkonsumsi daging babi dengan cepat (tanpa diketahui tetangga) sehingga masih belum matang seluruhnya.[5] Walaupun berdasarkan analisa genetika dari sampel Taenia solium dari Pulau Papua dan Pulau Bali, sampel cacing Papua lebih dekat dengan garis turunan cacing pita lain asal Asia dibanding dengan sampel cacing Bali dan wilayah lain di Indonesia, yang menandakan garis keturunan cacing pita paling tua berasal dari Papua dan tidak berasal dari introduksi modern dari populasi cacing pita asal Bali.[4]
Representasi di media
[sunting | sunting sumber]- National Geographic menayangkan film Tribal Odyssey: The Chief Who Talks to God: The Mee, Papua pada tahun 2005 sebagai bagian dari seri Tribal Odyssey.[6]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b "Mee in Indonesia". Joshua Project. Diakses tanggal 2014-09-18.
- ^ Carmel Budiardjo & Soei Liong Liem (1988). West Papua: The Obliteration Of A People. TAPOL. ISBN 0-9506-7515-6.
- ^ Travel, Viral Food (2021-05-17). "Rumah Adat Papua, Ada 3 Jenis selain Honai". kumparan. Diakses tanggal 2024-07-24.
- ^ a b Yanagida, Tetsuya; Swastika, Kadek; Dharmawan, Nyoman Sadra; Sako, Yasuhito; Wandra, Toni; Ito, Akira; Okamoto, Munehiro (2021). "Origin of the pork tapeworm Taenia solium in Bali and Papua, Indonesia". Parasitology International. Elsevier BV. 83: 102285. doi:10.1016/j.parint.2021.102285. ISSN 1383-5769.
- ^ "How the West (Papua) Was Won." Cultural Survival. N.p., Dec. 1987. Web. 12 Apr. 2017.
- ^ "Tribal Odyssey". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-03. Diakses tanggal 2012-03-01.