Lompat ke isi

Geger Cilegon 1888: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Mengganti kategori yang dialihkan Perang melibatkan Indonesia menjadi Perang yang melibatkan Indonesia
k "VOC" menjadi "Belanda" karena VOC dibubarkan di tahun 1799.
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(32 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Pemberontakan Petani Banten 1888''' atau yang lebih dikenal dengan '''Geger Cilegon 1888''' adalah sebuah peristiwa [[pemberontakan]] tani terbesar yang terjadi pada tanggal [[9 Juli|09 Juli]] [[1888]] setelah pembubaran [[Kesultanan Banten]] 1813 oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] dan sebelum Pemberontakan Kaum Tani 1926 di [[Anyar, Serang|Anyer]] (yang diperuntukan untuk kemerdekaan).<ref>{{Cite web|date=2017-12-23|title=Kisah Pemberontakan Rakyat “Geger Cilegon 1888”|url=https://www.berdikarionline.com/geger-cilegon-1888/|website=Berdikari Online|language=id-ID|access-date=2022-09-07|archive-date=2022-09-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20220907190157/https://www.berdikarionline.com/geger-cilegon-1888/|dead-url=no}}</ref>
'''Geger Cilegon''' adalah peristiwa perlawanan bersenjata rakyat [[Banten]] terhadap kekuasaan pemerintah [[Hindia Belanda]] yang terjadi pada tanggal [[9 Juli]] [[1888]].

Geger Cilegon dipelopori oleh seorang tokoh agama yang bernama Haji Wasyid atau biasa disebut [[Ki Wasyid]]. Pemberontakan tersebut bermula dari kesewenang-wenangan pemerintahan hindia belanda yang mengokupasi [[Banten]] sebagai salah satu wilayah taklukan/jajahan.<ref>{{Cite news|date=2021-06-29|title=Geger Cilegon 1888: Latar Belakang dan Jalannya Perang|url=https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/29/110000579/geger-cilegon-1888-latar-belakang-dan-jalannya-perang|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2022-04-24|editor-last=Nailufar|editor-first=Nibras Nada|archive-date=2023-05-26|archive-url=https://web.archive.org/web/20230526032214/https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/29/110000579/geger-cilegon-1888-latar-belakang-dan-jalannya-perang|dead-url=no}}</ref>


== Latar belakang ==
== Latar belakang ==
Sebagai salah seorang [[Ustaz|agamawan]], Ki Wasyid sering memberikan [[fatwa]] dan mengingatkan warga [[Kota Cilegon|Cilegon]] saat itu bahwa “meminta selain kepada [[Allah]] termasuk [[syirik]].” Namun fatwanya kurang diindahkan. Karenanya pada suatu malam, Ki Wasyid dan muridnya menebang pohon yang disebut [[Penyembahan berhala|berhala]]. Inilah yang menyebabkan Ki Wasyid diseret ke pengadilan [[Kolonialisme|kolonial]] pada 1887.<ref>{{Cite web|title=Jurnal Geger Cilegon 1888 - UIN Banten|url=http://repository.uinbanten.ac.id/3652/6/BAB%25204.pdf&ved=2ahUKEwiGgafh7oL6AhVe1zgGHcNkBQIQFnoECDQQAQ&usg=AOvVaw2oICDmdGbndkXWdlq9A87-|website=repository.uinbanten.ac.id|access-date=2022-09-07}}{{Pranala mati|date=Januari 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
Perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan [[Kolonial Belanda|Belanda]] di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya [[Gunung Krakatau]] di [[Selat Sunda]] ([[23 Agustus]] [[1883]]) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan [[Anyer]], [[Merak, Sukamulya, Tangerang|Merak]], [[Caringin, Labuan, Pandeglang|Caringin]], Sirih, [[Pasauran]], Tajur, dan [[Carita, Carita, Pandeglang|Carita]]. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.


Saat itu, kondisi makin diperburuk akibat meletusnya [[Krakatau|Gunung Krakatau]] di [[Selat Sunda]] pada tanggal 23 Agustus 1883. Letusan tersebut menyebabkan gelombang laut yang meluluhlantakkan [[Anyar, Serang|Anyer]], [[Caringin, Labuan, Pandeglang|Caringin]], Sirih, [[Pasuruan, Penengahan, Lampung Selatan|Pasuruan]], [[Kaduhejo, Pandeglang|Tajur]], dan [[Carita, Carita, Pandeglang|Carita]]. Selain itu, ada bencana kelaparan, penyakit [[pes]], dan penyakit hewan ternak. Fenomena tersebut berlangsung selama 5 tahun. Peristiwa yang terjadi juga disebut-sebut sebagai salah satu pelatuk pada Ki Wasyid untuk melakukan perlawanan terhadap kependudukan ''[[Hindia Belanda|Belanda]]''.
Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).


Pemberontakan 1888 terjadi juga disebabkan oleh pejabat-pejabat pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan surat edaran kepada bawahannya untuk melarang pembacaan [[shalawat Nabi]] dan doa-doa lainnya dengan suara keras di [[masjid]]. Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara [[Masjid Agung Cilegon|masjid Cilegon]] dengan alasan telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu mengenyahkan kekuasaan [[Hindia Belanda|Belanda]] dari daerah itu.<ref>{{Cite web|date=2021-04-17|title=Pemburuan Terhadap Guru Agama|url=https://historia.id/agama/articles/pemburuan-terhadap-guru-agama-DbWKm|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2022-04-24|archive-date=2023-04-22|archive-url=https://web.archive.org/web/20230422182514/https://historia.id/agama/articles/pemburuan-terhadap-guru-agama-DbWKm|dead-url=no}}</ref>
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada [[Allah]] termasuk [[syirik]]. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan [[kolonial]] pada [[18 November]] [[1887]]. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 [[gulden]].<ref>Hamka, 1982:144</ref>


Di tengah peristiwa ini, kebijakan [[Hindia Belanda|Pemerintah Kolonial Belanda]] yang mewajibkan masyarakat membunuh [[kerbau]] karena takut tertular penyakit meresahkan warga. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke [[klenik]] ([[Takhayul|tahayul]]).
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkan [[menara]] [[musala]] di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan [[azan]] setiap waktu [[salat]] mengganggu ketenangan karena suaranya yang keras apalagi waktu azan [[Subuh|salat subuh]].


== Sejarah ==
Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang [[Shalawat|salawat]], tarhim dan [[azan]] dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem [[ekonomi]], [[politik]] dan [[budaya]] yang dipaksakan pemerintah kolonial [[Hindia Belanda|Belanda]] berbaur dengan penderitaan rakyat.
=== Dimulainya pemberontakan ===
Pemberontakan bermula pada tanggal 9 Juli 1888, dini hari. Pemberontak berjumlah 100 orang dan seluruhnya bergerak dari tempat Haji Ishak di [[Tamanbaru, Citangkil, Cilegon|Saneja]] untuk menyerang rumah residen Francois Dumas, selaku juru tulis di kantor asisten residen [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]]. Akan tetapi Dumas melarikan diri dan terpisah dari anak beserta istrinya. Dumas bersembunyi dirumah tetangganya yang berprofesi sebagai jaksa. Sedangkan anak beserta istrinya bersembunyi dirumah seorang [[Kolektor|ajun kolektor]].


Saat itu, para pemberontak bertitik temu di [[Jombang Wetan, Jombang, Cilegon|Pasar Jombang Wetan]], [[Kota Cilegon|Cilegon]]. Selaku pemimpin, [[Ki Wasyid]] membagi pasukan menjadi 3 kelompok. Pertama, pasukan dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang Jaro Kajuruan. Kedua, pasukan dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman. Ketiga, pasukan dipimpin oleh Haji Tb. Ismail. Fokus penyerangan saat itu adalah pembebasan tahanan politik, kepatihan, dan rumah [[Asisten Residen|asisten residen]] yang berletak di alun-alun Kota Cilegon.
Di dalam masyarakat kolonial, terdapat ketidak cocokan ekstrem antara aspek-aspek tertentu  dari praktik keagamaan tradisional dan lembaga-lembaga kolonial, yang menyebabkan kekhawatiran di kalangan pribumi dan merasa bahwa kebudayaan mereka sendiri akan mengalami kemunduran. Pembela-pembela tradisi ini menginginkan, dipulihkannya tatanan tradisional dan terus mengobarkan perlawanan terhadap kaum penjajah.


=== Puncak penyerangan ===
Perkembangan ini mengisyaratkan bahwa gerakan keagamaan berusaha menegakkan hak aspirasi politik. Hal ini disebabkan adanya suatu ketersingkiran politik, dan keinginan untuk kembali memperkuat tradisi tradisional. Dilihat dari sisi ini, gerakan kebangkitan agama di Banten dapat diidentifikasikan sebagai sebuah gerakan religio-politik, yang menanmpung berbagai kelompok sosial.
Saat itu, Haji Tb. Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang sedang bersembunyi dirumah seorang [[Tionghoa]] yang bernama Tan Heng Kok. Akhirnya Alfred Dumas terluka dan dilarikan ke kepatihan oleh ajun kolektor. Saat itu Dumas menjadi korban pertama di tangan pemberontakan pasukan Haji Tb. Ismail. Begitu juga anak laki-lakinya dan istrinya. Pembantu Dumas, Minah, dan anak bungsunya ditemukan ditengah [[sawah]] dalam keadaan luka parah.


Para pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Haji Usman menyerang Ulrich Bachet, kepala penjualan [[Garam laut|garam]]. Bachet akhirnya bersembunyi pada salah satu rumah penduduk yang berletak dibelakang rumahnya. Bachet sempat melepaskan tembakan dari [[bedil]] miliknya yang menewaskan 2 orang pemberontak. Namun, akhirnya Bachet dibunuh oleh pasukan Haji Usman.
Elite agama mendapatkan peran penting untuk memimpin gerakan pemberontakan 1888, kepribadian mereka yang kharismatik menjadikan mereka sebagai salah satu unsur penting dalam usaha membina pertumbuhan pergerakan. Salah satu kekuatan utama gerakan pemberontakan petani 1888 adalah elite agama, terletak pada fakta bahwa gerakan itu  menggunakan tarekat sufi (Qadiriyah) sebagai landasan organisasinya. Disiplin dari tarekat bukan hanya mempunyai sifat mengikat terhadap pengikutnya, akan tetapi juga menanamkan semangat revolusioner dalam diri mereka yang kemudian didakwahkan kepada masyarakat.


Sebagian pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim berhasil membebaskan 20 tahanan. Pembebasan tersebut berhasil membunuh seorang [[sipir]] yang bernama Mas Kramadimeja. Namun Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, [[Kawedanan|wedana]], dan kepala penjara berhasil melarikan diri menuju arah kepatihan. Hal ini menyebabkan para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim ini mengepung rumah kepatihan. Patih Raden Penna dicari oleh para pemberontak, namun ia tidak ada ditempat. Alhasil, Sadiman selaku pelayan di kepatihan pun meregang nyawa setelah dihabisi para [[Pemberontakan|pemberontak]].
Pada tahun 1872-1876 Haji Abdul Karim menyebarkan kegiatan tarekat Qadiriyah di Banten, dengan cara berkeliling ke pelosok-pelosok. Haji Abdul Karim dianggap sebagai Kyai terbesar di daerah Banten dan mendapat gelar Kyai Agung, di samping ada juga yang menganggapnya sebagai Wali Allah. Pada  tahun 1876, dia diangkat menjadi pengganti Syekh Chatib Sambas, pemimpin tertinggi tarekat Qadiriyah di Mekkah. Beliau saat berangkat ke Arab, mengatakan kepada murid-muridnya, bahwa  dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih berada di bawah kekuasaan asing.


Para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim akhirnya menggiring Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat menuju alun-alun [[Kota Cilegon]] untuk dieksekusi. Salah seorang mantan tahanan politik, Kasidin, meluapkan amarah dan dendamnya terhadap wedana Cilegon yang saat itu memenjarakannya. Beberapa dari pemberontak menekankan untuk jangan [[Pelecehan|menganiaya]] wedana Cilegon. Akan tetapi, Kasidin melompat ke arah muka Wedana Cilegon sambil berteriak: “Justru ini yang mesti didahulukan!”. “Maka ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,” kata [[Achmad Djajadiningrat]], seperti yang dikutip oleh ''Hendri F. Isnaeni, Jalannya Pemberontakan Petani Banten 1888, di Historia.id''.<ref>{{Cite web|date=2016-07-12|title=Jalannya Pemberontakan Petani Banten 1888|url=https://historia.id/politik/articles/jalannya-pemberontakan-petani-banten-1888-PKNwE|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2022-09-07|archive-date=2022-10-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20221001232735/https://historia.id/politik/articles/jalannya-pemberontakan-petani-banten-1888-PKNwE|dead-url=no}}</ref>
Pada tahun 1883, K.H. Tubagus Ismail pulang dari Mekkah. Sebagai keturunan Sultan Banten dia dianggap sebagai calon “Wali Allah”. Dengan kehadirannya ini maka dorongan untuk mendirikan kembali kesultanan Banten pun muncul kembali. Pada tahun 1884, berlangsung perundingan pertama yang membicarakan rencana kongkrit untuk mengadakan pemberontakan bersenjata. Perundingan itu terjadi di rumah Haji Wasid, yang dipimpin oleh K.H Tubagus Ismail.


Setelah menyerang Alfred Dumas, Ulrich Bachet, dan Gubbels. Kini para pemberontak menyerang Jacob Grondhout, [[Rekayasawan|insinyur]] [[Pengeboran lepas pantai|pengeboran]] pada departemen petambangan di Cilegon dan istrinya, Cecile Wijermans. Keduanya tewas dibunuh oleh para pemberontak. Mas Asidin ''(magang yang diperbantukan pada asisten wedana [[Bojonegara, Serang|Bojonegara]])'', Mas Jayaatmaja ''(mantri ulu atau pegawai pengairan distrik Cilegon)'', Jamil ''(kepala opas [[Asisten Residen|asisten residen]] [[Anyar, Serang|Anyer]])'', Jasim ''(pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon)'' juga turut dihabisi oleh para pemberontak.
Dalam satu pertemuan di rumah Haji Wasid di Beji diputuskan untuk mencari pengikut dikalangan para murid. 26 Pertemuan-pertemuan diadakan diberbagai tempat yang dihadiri oleh bagian terbesar pemimpin-pemimpin pemberontakan setempat. Guru-guru tarekat ditugaskan untuk menyebarkan gagasan itu dan mencari pengikut. Pejabat-pejabat Eropa merasa cemas melihat kegiatan yang sangat meningkat dalam kehidupan agama rakyat, akan tetapi mereka ditenangkan oleh pejabat-pejabat Banten yang tidak melihat hal-hal yang membahayakan dalam manifestasi-manifestasi keagamaan itu.


=== Pemberontakan berakhir dengan penumpasan ===
Pertemuan-pertemuan yang paling penting diantara anggota-anggota komplotan menggunakan kedok pesta rakyat, seperti pesta perkawinan atau pesta sunatan. Pertemuan-pertemuan yang lebih kecil menggunakan kedok pertemuan zikir. Mereka begitu pandai merahasiakan rencana-rencana komplotan mereka sehingga selama bertahun-tahun pemerintah kolonial tidak dapat menemukan fakta-fakta yang bisa dijadikan alas an untuk menangkap mereka.
Setelah Ki Wasyid dan kawan-kawan berhasil merebut [[Kota Cilegon]]. Kini para pemberontak bergegas menuju [[Kota Serang]] sebagai salah satu [[Daftar ibu kota provinsi di Indonesia|ibu kota residen]]. Ki Wasyid beranggapan bahwa keseluruhan wilayah sekitar Kota Cilegon mesti direbut. [[Ki Wasyid]] menekankan pada para pemberontak bahwa penyerangan ini tidak pandang bulu, baik [[Kolonialisme|kolonial]] maupun [[pribumi]] yang berpihak pada kolonial.


Sementara itu, [[Daftar Bupati Serang|Bupati Serang]], Kontrolir Serang, dan Letnan van ser Star membawa pasukan bersenjata api 28 buah. Mereka menuju Kota Cilegon untuk memulai pertempuran di daerah [[Toyomerto, Kramatwatu, Serang|Toyomerto]]. Pasukan tersebut berhasil memukul mundur para pemberontak dengan menewaskan 9 orang dari pihak pemberontak dan sebagian terluka.
Dalam empat bulan terakhir tahun 1887 kegiatan anggota-anggota komplotan sangat meningkat, mereka adakan pertemuan-pertemuan melakukan perjalanan dan mempropagandakan perjuangan mereka di satu pihak dan melatih murid-murid mereka dalam cara-cara bertempur di lain pihak. Menjelang waktu itu, semangat pemberontakan sudah mencekam anggota-anggota tarekat. Mereka sependapat bahwa gerakan mereka sudah mencapai banyak kemajuan, dan mereka memutuskan untuk memperluas persiapan-persiapan pemberontakan dan mengikutsertakan orang-orang di luar tarekat.


Hal ini mampu mematahkan moralitas juang para pemberontak. Peristiwa ini membuat setiap pasukan induk pemberontak tercerai-berai dan pemberontakan pun mulai surut. Sementara itu, Ki Wasyid dan para pasukannya melakukan long march menuju arah Banten Selatan. Tanggal 30 Juli 1888, [[Ekspedisi Kedua Belanda ke Nusantara|ekspedisi tentara kolonial]] mengakhiri perjalanan Ki Wasyid dan pasukannya ke daerah [[Sumur, Pandeglang|Sumur]].
Pada 29 September 1887, kiai-kiai Banten mengadakan pertemuan yang kedua dala tempo kurang dari sebulan di Beiji, sebagai tamu haji Wasid. Kali ini yang pertama dibicarakan adalah masalah mengumpulkan senjata. Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selam tiga bulan terakhir tahun 1887 dan pertengahan pertama tahun 1888, ditandai oleh faktor-faktor sebagai berikut :
# Pelatihan pencak dipergiat ;
# Pengumpulan dan pembuatan senjata ;
# Propaganda di luar Banten dilanjutkan.
Kegiatan-kegiatan lain diteruskan, seperti menghasut rakyat dengan jalan membakar semangat mereka dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan. Kegiatan-kegiatan gerakan benar-benar ditingkatkan, dan salah satu buktinya yang nyata adalah seringnya diadakan pertemuan oleh pemimpin-pemimpin pemberontak hampir setiap minggu. Haji Abdulsalam ditugaskan untuk menyediakan senjata-senjata gelap, ia dibantu oleh Haji Dulgani dan Haji Usman.


Para pemberontak tetap memberikan perlawanan terhadap tantara kolonial meskipun akhirnya mereka dilumpuhkan. Saat itu, kekuatan tantara kolonial terbilang kuat. Mulanya dipicu dari isu dikepungnya [[Kota Serang]] oleh 5.000 pemberontak. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial di [[Batavia]] mengirim 1 [[batalyon]] tantara yang diturunkan di Pelabuhan Karangantu.
Salah satu pertemuan penting sebelum pemberontakan, ialah pertemuan pada 12 Ruwah atau 22 April 1888, yang diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir jamuan, 300-an orang tamu berkumpul di masjid, dimana para kiai dan murid-murid mereka bersumpah :
# bahwa mereka akan ambil bagian dalam perang sabil;
# bahwa mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir;
# bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar.
Pada 15 Juni 1888, atau hari kelima bulan Syawal, beberapa pemimpin terkemuka bertemu di rumah Haji Wasid di Beji, diamana mereka membicarakan mengenai tanggal dimulainya penyerangan. Mereka mencapai kata sepakat bahwa pemberontakan akan dimulai pada 12 Juli. Akan tetapi setelah pertemuan 22 Juni 1888, tanggal pemberontakan diubah menjadi 9 Juli 1888. Hal ini dikarenakan Haji Wasid dan Haji Iskak menyerukan agar pemberontakan segera dilaksanakan, untuk mengantisipasi kemungkinan rencana mereka tercium pejabat-pejabat pemerintahan.<ref>{{Cite news|url=http://wawasansejarah.com/geger-cilegon-1888/|title=Geger Cilegon 1888 - Wawasan Sejarah|date=2016-02-19|newspaper=Wawasan Sejarah|language=en-US|access-date=2017-10-01}}</ref>


Akhirnya tentara tolonial membawa beberapa mayat yang diidentifikasikan sebagai [[Ki Wasyid]], Haji Tubagus Ismail, [[Haji (gelar)|Haji]] [[Abdulgani]], dan [[Haji (gelar)|Haji]] [[Usman Janatin|Usman]]. Sementara Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, melarikan diri hingga ke [[Makkah]], [[Arab Saudi]]. Dinyatakan, dalam perang sipil ini korban tewas berjumlah 17 orang.
== Perlawanan ==
Perlawanan besar pun dilakukan. Perlawanan ini dipimpin oleh [[Ki Tubagus Ismail]] dan KH. Wasyid dan melibatkan sejumlah [[ulama]] dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan [[Hindia Belanda|Belanda]]. Insiden ini dilakukan untuk menyerang orang-orang Belanda yang tinggal di [[Cilegon]].


Korban luka-luka yang disebabkan oleh pemberontak berjumlah 7 orang. Pemberontak yang tewas berjumlah 17 orang. Pemberontak yang terluka berjumlah 13 orang. Pemberontak yang diasingkan berjumlah 94 orang. Tempat pembuangan antara lain : [[Tondano (kota)|Tondano]], [[Kota Gorontalo|Gorontalo]], [[Kota Padang|Padang]], [[Kota Kupang|Kupang]], [[Selayar, Lingga|Selayar]], [[Kema, Minahasa Utara|Kema,]] [[Kota Padang Sidempuan|Padang Sidempuan]], [[Kabupaten Maros|Maros]], [[Kota Ternate|Ternate]], [[Kota Ambon|Ambon]], [[Muntok, Bangka Barat|Muntok]], [[Kota Payakumbuh|Payakumbuh]], [[Laut Banda]], [[Kabupaten Bantaeng|Bantaeng]], [[Kota Manado|Manado]], [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]], [[Kota Bengkulu|Bengkulu]], [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Saparua, Maluku Tengah|Saparua]], [[Kabupaten Pacitan|Pacitan]], dan [[Balangnipa, Sinjai Utara, Sinjai|Balangnipa]].
Pada hari Minggu tanggal 8 Juli, Cilegon menyaksikan sebuah arak-arakan berpakaian putih melalui jalan-jalannya. Arak-arakan itu dimulai dari rumah Haji Akhiya dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen. Para Kiai dan murid-murinya memakai pakaian putih dan sepotong kain putih diikat di kepala mereka. Kemudian, pada malam harinya barisan pejuang terus bertambah besar. Bersenjata golok dan tombak, dan dipimpin oleh Haji Wajid dan Haji Tubagus Ismail, yang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja, sasaran awal dari penyerangan.


=== Pemburuan terhadap guru agama ===
Di Desa Saneja itulah Haji Tubagus Usmail memimpin pasukannya pada Minggu malam untuk melakukan serangan pertama. Ia memimpin sejumlah besar partisan, terutama dari  Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber. Diperkuat dengan bala bantuan dari Saneja dan desa sekitarnya, kaum pemberontak bergerak menuju daerah tempat tinggal pejabat Cirebon. Rumah Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen, merupakan sasaran serangan yang pertama. Tidak diketahui apa karena memang rencana awal seperti itu atau hanya karena ada faktor lain, sehingga rumah Dumas menjadi sasaran awal penyerangan. Pada saat penyerangan ke rumah Dumas, Haji Tubagus Ismail membawa pasukan berjumlah sekitar 100 orang.
Selama hampir sebulan pada Juli 1888, [[Kota Cilegon|Cilegon]] dilanda [[Kerusuhan|huru-hara]]. Para [[Haji (gelar)|haji]], guru agama, dan [[petani]] menyerang pegawai pemerintah. Peristiwa itu disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten 1888. Korban tewas berjatuhan: 17 orang dari pemerintah, 30 orang dari pemberontak. Secara jumlah, korbannya sedikit. Tapi cukup membuat sibuk orang-orang [[Hindia Belanda|Belanda]].<ref>{{Cite web|date=2021-04-17|title=Pemburuan Terhadap Guru Agama|url=https://historia.id/agama/articles/pemburuan-terhadap-guru-agama-DbWKm|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2022-09-07|archive-date=2023-04-22|archive-url=https://web.archive.org/web/20230422182514/https://historia.id/agama/articles/pemburuan-terhadap-guru-agama-DbWKm|dead-url=no}}</ref>


[[Sejarawan]] [[Sartono Kartodirdjo]] menyebut pemberontakan itu menimbulkan dendam bagi orang-orang Belanda. “Hasrat berkobar untuk melakukan pembalasan seringkali dilampiaskan terhadap haji yang pertama-tama dijumpai Belanda,” catat Sartono dalam karya monumentalnya, Pemberontakan Petani Banten 1888.
Pemimpin utama operasi ini adalah Haji Wasid. Atas perintahnya, sebagian kaum pemberontak menyerbu penjara untuk membebaskan semua tahanan, sebagian lagi akan menyerang untuk membebaskan semua tahanan, sebagian lagi akan menyerang kepatihan, dan sebagian lainnya akan bergerak menuju rumah asisten residen. Sementara kaum pemberontak berkumpul, pejabat-pejabat pamong praja dan keluarganya berusaha menyelamatkan diri dalam suasanan ketakutan.


Haji, petani, dan guru agama seringkali membaur dalam identitas seseorang. Tapi ada kalanya pula identitas itu terbagi secara ketat. Tapi beberapa pegawai Belanda tak mau tahu. Mereka mengalami [[Trauma besar|trauma]] akibat huru-hara itu sehingga mengubah pandangan mereka terhadap semua guru agama dan haji selepas peristiwa itu.
Pada pagi hari yang sama, sebagian dari pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim bergerak menuju penjara, kaum pemberontak berhasil memasuki penjara dengan paksa, dan segera membebaskan semua tahanan. Mereka berhasil membebaskan 20 tahanan, yang kemudian langsung bergabung dengan kaum pemberontak. Kekerasan dan kekacauan berkecamuk sepanjang hari itu, Cilegon menjadi tempat pertumpahan darah antara orang-orang Islam dengan pejabat-pejabat pemerintahan kolonial pada waktu itu. Hampir semua pejabat terkemuka di Cilegon jatuh sebagai korban dari senjata kaum pemberontak. Di sini, kekuasaan asing benar-benar berhadapan dengan kekuatan pemberontak yang sudah terorganisir selama berbulan-bulan.


“Penumpasannya berupa pemburuan para guru agama dan ulama,” ''tulis Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda''. Tak jarang pula guru agama dan [[ulama]] itu diperas agar terhindar dari tuduhan palsu. “Di mana sang korban hanya bisa bebas dari tuduhan kalau sudah memberikan suatu bayaran tertentu,” lanjut Aqib.
Pada saat itu Jaksa dan ajun kolektor telah ditawan, pemberontak kemudian membawa mereka bersama dengan wedana dan kepala penjara, ke gardu Jombang Wetan yang merupakan markas Haji Wasid dan Haji Iskak. Wedana, jaksa, ajun kolektor dan kepala penjara kemudian dibawa ke alun-alun untuk dieksekusi. Puncaknya adalah pengejaran terhadap asisten residen Gubbels, yang baru saja kembali dari Anyer. Pengejaran terhadap Gubbels, berakhir setelah kaum pemberontak menyerbu ke rumahnya dan menyergapnya. Setelah Gubbels tewas mayatnya kemudian diseret ke luar rumah dan disambut dengan sorakan kemenangan. Di sini terlihat adanya kebencian rakyat yang sangat mendalam terhadap pamong praja. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.


Pemerintah kolonial bersikap keras terhadap ekspresi keagamaan guru dan ulama. Mereka menangkapi orang-orang yang diduga mempunyai potensi menggerakkan massa seperti di Cilegon. Orang-orang itu lalu dibuang atau diasingkan. Tak hanya pemerintah [[Kolonialisme|kolonial]], pegawai anak negeri dan sesama agamawan pun ikut memanfaatkan keresahan ini.
Peristiwa yang menjadi titik balik dari pemberontakan ini, yang menyebabkan jatuhnya mental psikis para pemberontak adalah peristiwa pertempuran Toyokerto. Petang hari tanggal 9 Juli, kaum pemberontak diliputi semangat yang tinggi setelah berhasil menumpas para pamong praja di Cilegon. Dengan kemenangan itu mereka merasa yakin bahwa tidak lama lagi mereka akan berada di Serang.


“Di sana-sini terlihat usaha menyalahgunakan suasana resah di kalangan pemerintah daerah, sesudah terjadinya huru-hara di Cilegon, yaitu untuk menyingkirkan oknum-oknum yang oleh satu dan lain sebab tidak mereka senangi,” ''ungkap [[Christiaan Snouck Hurgronje|Snouck Hurgronje]] dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda X''.
Pada pagi harinya, pejabat-pejabat Serang mulai menyadari ancaman tersebut, mereka memutuskan untuk megirim sepasukan tentara dengan 28 senjata api untuk memulihkan ketertiban di Cilegon. Bupati dan Kontrolir Serang juga pergi kesana, bersama dengan Letnan van der Star. Ketika Bupati beserta rombongannya melakukan perjalanan dari Serang, mereka tiba-tiba dihadang pemberontak yang berjumlah ratusan orang.


Snouck kala itu berada di [[Batavia]] dan membaca laporan-laporan dari pegawai pemerintah daerah setelah peristiwa Geger Cilegon 1888. Dia menemukan banyak penangkapan dan pembuangan terhadap guru agama di beberapa tempat di [[Jawa]]. Sebagian besar penangkapan dan pembuangan itu tak mempunyai dasar kuat.
Bupati berusaha membujuk mereka untuk membatalkan rencana mereka, akan tetapi usaha itu sia-sia. Bupati kemudian mengatakan jika mereka tidak bubar dan meletakkan senjata, maka tentara akan melepaskan tembakan. Namun peringatan tersebut tidak digubris, justru pemberontak melepaskan tembakan ke arah Bupati dan Kontrolir. Karena kondisi yang dirasa semakin tidak kondusif, maka tentara melepaskan tembakan ke pemberontak.


Di [[Kabupaten Ponorogo|Ponorogo]], misalnya, sebuah kota di [[Jawa Timur]] yang berjarak 786 kilometer jauhnya dari [[Kota Cilegon|Cilegon]], penangkapan tanpa alasan kuat menimpa Haji Rahwin. Dia seorang guru agama dan penyebar ajaran [[tarekat Naqsyabandiyah]].
Bentrokan tersebut menewaskan sembilan pemberontak dan melukai yang lainnya. Sisanya melarikan diri sambil berlindung di belakang pepohonan. Kaum pemberontak mengalami satu pukulan hebat ketika mereka menyadari bahwa, walaupun mereka yakin akan kekebalan terhadap peluru musuh, akan tetapi bentorakan dengan pemerintah berakhir dengan tewasnya sejumlah rekan seperjuangan mereka. Selain itu, mereka juga sangat terkejut ketika untuk pertama kalinya melihat senapan jenis baru, yakni senapan repetisi.


Sehari-hari Haji Rahwin mengajarkan [[zikir]] dan wirid kepada 130 muridnya. Tapi akibat peristiwa Geger Cilegon 1888, aktivitasnya mengundang kecurigaan. Apalagi mata-mata [[Hindia Belanda|Belanda]] melaporkan pintu [[masjid]] tempat Rahwin mengajar pernah tertutup. Dia pun ditangkap dan diperiksa dengan teliti atas perintah [[Daftar Bupati Ponorogo|bupati Ponorogo]].
Efeknya adalah suatu psikosis yang meluas di kalangan pemberontak, yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap kecewa. Sebagai akibatnya, mereka kehilangan semangat untuk meneruskan perjuangan guna mencapai tujuan utama pemberontakan. Sesungguhnya moril kaum pemberontak, dapat dikatakan sudah dipatahkan. Dengan tercerai-berainyanya pasukan induk mereka setelah bentrokan di Toyomerto itu, pemberontakan mulai surut.


Setelah membaca dan mempelajari berkas penangkapan Haji Rahwin, Snouck tak menemukan kesalahan ajaran dan tindakan Haji Rahwin. “Kecuali bahwa ia mengajar 130 orang murid tentang tarekat itu,” tulis Snouck.
Pada pagi hari itu juga, sepasukan tentara dari Batavia yang berkekuatan satu batalion, mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu yang sama, sebuah skuadron kavaleri juga dalam perjalanan menuju Serang. Untuk menumpas pemberontakan yang hampir padam itu, dikirimkan pasukan-pasukan ekspedisike berbagai penjuru. Mereka ditugaskan untuk menangkap dan mengambil tindakan terhadap kaum pemberontak.


Snouck juga menemukan indikasi keterlibatan [[kiai]] [[mazhab]] atau aliran lain yang mengompori penangkapan Haji Rahwin. Kiai-kiai itu antipati terhadap [[Sufisme|aliran mistik]] atau [[tarekat]] yang diajarkan Rahwin sehingga ikut memberikan keterangan palsu kepada pemerintah [[Kolonialisme|kolonial]]. “Mungkin boleh diduga, timbul kecemburuan atau kebencian terhadap Imam Rahwin dari 4 orang guru agama,” sebut Snouck.
Operasi menegakkan hukum benar-benar berjalan lancar setelah pasukan ekspedisi tiba di daerah itu. selama tiga minggu mereka sibuk melakukan pengejaran di bebagai distrik afdeling Cilegon. Baru pada minggu ketiga operasi pengejaran diperluas ke bagian barat Kabupaten Caringin dan Lebak.


Bergerak ke [[Jawa Tengah]] dan [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]], pemburuan terhadap guru agama kian masif. “Secara umum terlihat adanya perasaan takut terhadap haji yang sama sekali tidak beralasan. Guru-guru agama dan para [[santri]] yang paling tidak berbahaya pun lalu merasa selalu dibuntuti oleh pandangan mata kecurigaan,” terang Snouck.
Akibat dari operasi ini, kaum pemberontak terpaksa beralih ke strategi defensif. Rencana Haji Wasid untuk bertahan di daerah sekitar Beji dan Gunung Gede mendapat rintangan, karena ia sudah kehilangan basis utama operasinya. Satu-satunya jalan untuk meneruskan perjuangan selama munhkin dengan menggunakan taktik bermain sembunyi. Setelah pasukan pemerintah menyerang daerah yang  paling vital bagi kaum pemberontak, mereka tanpa henti  mengejar pemimpin-pemimpin pemberontak yang masih berkeliaran dengan anak buahnya yang tinggal sedikit jumlahnya.


Dalam pandangan Snouck, [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] menjadi wilayah paling menyedihkan dalam mengajukan orang-orang yang harus diasingkan. “Uraian tentang guru-guru yang namanya tercantum dalam daftar tak masuk akal dan ternyata memang belum pernah diperiksa kebenarannya,” ungkap Snouck.
Masalah paling penting yang harus dicari solusinya adalah bagaimana cara mereka dapat keluar dari keadaan pasif itu dan merebut kembali kondisi  inisiatif. Mereka menyadari bahwa mereka harus mencari markas baru, dikarenakan tinggal disemenanjung kecil Gunung Gede berarti dikepung oleh pasukan pemerintah yang  pasti akan menumpas mereka.


Daftar itu antara lain memuat 3 nama guru agama: Kiai Haji Krapyak, [[Abdul Jalil Syah dari Siak|Abdul Jalil]], dan Abdul Fatah. Menurut [[residen]] dan [[sultan]], ketiganya dianggap berbahaya. Krapyak dicurigai karena mengajarkan tarekat [[Tarekat Naqsyabandiyah|Naqsyabandiyah]] dan [[Tarekat Syattariyah|Syattariyah]]. Sedangkan Abdul Jalil dan Abdul Fatah lantaran “melakukan kewajiban ibadah dengan [[kesalehan]] yang mencolok dan sering meninggalkan tempat tinggalnya”.
Untuk mempersiapkan operasi militer terhadap sisa-sisa pemberontak, pejabat pemerintah dan militer mengadakanrapat di Labuan pada malam hari 27 Juli. Rapat memutuskan untuk mengirimkan sebuah pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kapten Veenhuyzen ke Ciseureuheun. Pasukan dibagi menjadi dua jalur, jalur darat dan laut untuk menghadang pemberontak.


Padahal dalam pandangan Snouck, ketiganya sama sekali tak berbahaya. Dia menyebut pengetahuan residen dan sultan tentang [[Islam]] sangat dangkal. Karena itu, Snouck menolak keras upaya penangkapan dan pemeriksaan 3 orang tersebut beserta murid-muridnya.
Pada saat penghadangan tersebut, Kapten Veenhuyzen sempat menawarkan kepada pemberontak agar menyarah, namun pemberontak menjawabnya dengan serentetan tembakan. Pasukan Veenhuyzen segera melancarkan serangan balasan, sehingga berkobarlah pertempuran kecil. Kaum pemberontak yang mempertahankan diri menyerang berulang-ulang, tetapi tampaknya situasi sudah tak memberi harapan. Mereka sudah nekat untuk bertempur hingga akhir.


Snouck melanjutkan, yang perlu dikhawatirkan dari ketiganya adalah ikatan mereka dengan murid-muridnya. “Maka seandainya ada guru dari [[tarekat]] ini yang ingin berbuat sesuatu yang membahayakan tatanan yang ada, dengan mudah ia akan terjamin mendapat sejumlah pengikut yang setia,” catat Snouck.
Pada pukul 10 pagi hari 30 Juli, pasukan itu meninggalkan Sumur dengan membawa kesebelas mayat pemberontak yang tewas. Kemudian di Cilegon, mayat-mayat itu diidentifikasikan sebagai pemberontak yang sedang dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah, termasuk Haji Wasid, Kiai Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dan Haji Usman. Dengan selesainya operasi militer itu, pemberontakan telah dapat ditumpas dalam waktu kurang dari satu bulan


Daripada menangkap dan membuang orang-orang tersebut, Snouck mengusulkan agar para pegawai pemerintah dan sultan mendalami pengetahuan mereka tentang ajaran [[Islam]]. Pendalaman pengetahuan ini penting untuk membuat keadaan lebih tenang dan mengubur salah paham.
Ki Wasyid yang selanjutnya pemimpin pemberontakan melakukan perang gerilya hingga ke [[Ujung Kulon]], sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke [[Banda, Maluku Tengah|Banda]], Haji Haris dibuang ke [[Bukittinggi]], Haji Arsyad Thawil dibuang ke [[Minahasa|Manado/Minahasa]], Haji Arsyad Qashir dibuang ke [[Kabupaten Buton|Buton]], Haji Ismail dibuang ke [[Flores (disambiguasi)|Flores]], dan banyak lagi yang dibuang ke [[Tondano]], [[Ternate]], [[Kupang]], [[Manado]], [[Ambon]], dan [[Saparua]]. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.<ref>{{Cite news|url=http://wawasansejarah.com/geger-cilegon-1888/|title=Geger Cilegon 1888 - Wawasan Sejarah|date=2016-02-19|newspaper=Wawasan Sejarah|language=en-US|access-date=2017-10-01}}</ref>


Snouck lebih suka penanganan orang-orang itu dengan memanggil dan mengadilinya. Bagi Snouck, penangkapan dan pengasingan orang tak bersalah akan merugikan pemerintah [[kolonialisme|kolonial]]. Keluarga dan murid-murid orang tersebut akan menyimpan dendam dan berpotensi menyerang pemerintah kolonial di kemudian hari.
== Pranala luar ==

* [http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=30392 Radar Banten - Tokoh Sentral Geger Cilegon]
Penentangan Snouck terhadap pemburuan guru agama berlangsung sampai masa kerjanya berakhir di [[Hindia Belanda]] pada [[1906]]. Selama itu, ratusan guru agama menjalani pemeriksaan. Sebagian kecil mereka bahkan sempat dibuang bertahun-tahun. Sampai orang melupakan nasib mereka.
* [http://kabar-banten.com/news/detail/777 Kabar Banten - Satu Abad Geger Cilegon]

Tapi Snouck masih berupaya membela mereka yang tak bersalah. “[[Christiaan Snouck Hurgronje|Snouck Hurgronje]] mengingatkan kembali nasib mereka yang terlupakan dalam buangannya itu,” sebut Aqib.


== Referensi ==
== Referensi ==
{{reflist}}
<references />{{Lembaran hitam Nusantara}}

== Pranala luar ==
{{Cite book|author=[[Sartono Kartodirdjo]]|title=Pemberontakan Petani Banten 1888|year=1984|publisher=Pustaka Jaya|url-status=live}}


[[Kategori:1888]]
[[Kategori:1888]]
[[Kategori:Sejarah Jawa]]
[[Kategori:Sejarah Banten]]
[[Kategori:Sejarah Banten]]
[[Kategori:Hindia Belanda]]
[[Kategori:Hindia Belanda]]
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
[[Kategori:Perang yang melibatkan Belanda]]
[[Kategori:Perang yang melibatkan Belanda]]
[[Kategori:Perang yang melibatkan Indonesia]]

Revisi terkini sejak 18 Juni 2024 10.55

Pemberontakan Petani Banten 1888 atau yang lebih dikenal dengan Geger Cilegon 1888 adalah sebuah peristiwa pemberontakan tani terbesar yang terjadi pada tanggal 09 Juli 1888 setelah pembubaran Kesultanan Banten 1813 oleh VOC dan sebelum Pemberontakan Kaum Tani 1926 di Anyer (yang diperuntukan untuk kemerdekaan).[1]

Geger Cilegon dipelopori oleh seorang tokoh agama yang bernama Haji Wasyid atau biasa disebut Ki Wasyid. Pemberontakan tersebut bermula dari kesewenang-wenangan pemerintahan hindia belanda yang mengokupasi Banten sebagai salah satu wilayah taklukan/jajahan.[2]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Sebagai salah seorang agamawan, Ki Wasyid sering memberikan fatwa dan mengingatkan warga Cilegon saat itu bahwa “meminta selain kepada Allah termasuk syirik.” Namun fatwanya kurang diindahkan. Karenanya pada suatu malam, Ki Wasyid dan muridnya menebang pohon yang disebut berhala. Inilah yang menyebabkan Ki Wasyid diseret ke pengadilan kolonial pada 1887.[3]

Saat itu, kondisi makin diperburuk akibat meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tanggal 23 Agustus 1883. Letusan tersebut menyebabkan gelombang laut yang meluluhlantakkan Anyer, Caringin, Sirih, Pasuruan, Tajur, dan Carita. Selain itu, ada bencana kelaparan, penyakit pes, dan penyakit hewan ternak. Fenomena tersebut berlangsung selama 5 tahun. Peristiwa yang terjadi juga disebut-sebut sebagai salah satu pelatuk pada Ki Wasyid untuk melakukan perlawanan terhadap kependudukan Belanda.

Pemberontakan 1888 terjadi juga disebabkan oleh pejabat-pejabat pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan surat edaran kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya dengan suara keras di masjid. Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon dengan alasan telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu.[4]

Di tengah peristiwa ini, kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang mewajibkan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit meresahkan warga. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).

Dimulainya pemberontakan

[sunting | sunting sumber]

Pemberontakan bermula pada tanggal 9 Juli 1888, dini hari. Pemberontak berjumlah 100 orang dan seluruhnya bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja untuk menyerang rumah residen Francois Dumas, selaku juru tulis di kantor asisten residen VOC. Akan tetapi Dumas melarikan diri dan terpisah dari anak beserta istrinya. Dumas bersembunyi dirumah tetangganya yang berprofesi sebagai jaksa. Sedangkan anak beserta istrinya bersembunyi dirumah seorang ajun kolektor.

Saat itu, para pemberontak bertitik temu di Pasar Jombang Wetan, Cilegon. Selaku pemimpin, Ki Wasyid membagi pasukan menjadi 3 kelompok. Pertama, pasukan dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang Jaro Kajuruan. Kedua, pasukan dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman. Ketiga, pasukan dipimpin oleh Haji Tb. Ismail. Fokus penyerangan saat itu adalah pembebasan tahanan politik, kepatihan, dan rumah asisten residen yang berletak di alun-alun Kota Cilegon.

Puncak penyerangan

[sunting | sunting sumber]

Saat itu, Haji Tb. Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang sedang bersembunyi dirumah seorang Tionghoa yang bernama Tan Heng Kok. Akhirnya Alfred Dumas terluka dan dilarikan ke kepatihan oleh ajun kolektor. Saat itu Dumas menjadi korban pertama di tangan pemberontakan pasukan Haji Tb. Ismail. Begitu juga anak laki-lakinya dan istrinya. Pembantu Dumas, Minah, dan anak bungsunya ditemukan ditengah sawah dalam keadaan luka parah.

Para pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Haji Usman menyerang Ulrich Bachet, kepala penjualan garam. Bachet akhirnya bersembunyi pada salah satu rumah penduduk yang berletak dibelakang rumahnya. Bachet sempat melepaskan tembakan dari bedil miliknya yang menewaskan 2 orang pemberontak. Namun, akhirnya Bachet dibunuh oleh pasukan Haji Usman.

Sebagian pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim berhasil membebaskan 20 tahanan. Pembebasan tersebut berhasil membunuh seorang sipir yang bernama Mas Kramadimeja. Namun Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana, dan kepala penjara berhasil melarikan diri menuju arah kepatihan. Hal ini menyebabkan para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim ini mengepung rumah kepatihan. Patih Raden Penna dicari oleh para pemberontak, namun ia tidak ada ditempat. Alhasil, Sadiman selaku pelayan di kepatihan pun meregang nyawa setelah dihabisi para pemberontak.

Para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim akhirnya menggiring Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat menuju alun-alun Kota Cilegon untuk dieksekusi. Salah seorang mantan tahanan politik, Kasidin, meluapkan amarah dan dendamnya terhadap wedana Cilegon yang saat itu memenjarakannya. Beberapa dari pemberontak menekankan untuk jangan menganiaya wedana Cilegon. Akan tetapi, Kasidin melompat ke arah muka Wedana Cilegon sambil berteriak: “Justru ini yang mesti didahulukan!”. “Maka ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,” kata Achmad Djajadiningrat, seperti yang dikutip oleh Hendri F. Isnaeni, Jalannya Pemberontakan Petani Banten 1888, di Historia.id.[5]

Setelah menyerang Alfred Dumas, Ulrich Bachet, dan Gubbels. Kini para pemberontak menyerang Jacob Grondhout, insinyur pengeboran pada departemen petambangan di Cilegon dan istrinya, Cecile Wijermans. Keduanya tewas dibunuh oleh para pemberontak. Mas Asidin (magang yang diperbantukan pada asisten wedana Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri ulu atau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten residen Anyer), Jasim (pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon) juga turut dihabisi oleh para pemberontak.

Pemberontakan berakhir dengan penumpasan

[sunting | sunting sumber]

Setelah Ki Wasyid dan kawan-kawan berhasil merebut Kota Cilegon. Kini para pemberontak bergegas menuju Kota Serang sebagai salah satu ibu kota residen. Ki Wasyid beranggapan bahwa keseluruhan wilayah sekitar Kota Cilegon mesti direbut. Ki Wasyid menekankan pada para pemberontak bahwa penyerangan ini tidak pandang bulu, baik kolonial maupun pribumi yang berpihak pada kolonial.

Sementara itu, Bupati Serang, Kontrolir Serang, dan Letnan van ser Star membawa pasukan bersenjata api 28 buah. Mereka menuju Kota Cilegon untuk memulai pertempuran di daerah Toyomerto. Pasukan tersebut berhasil memukul mundur para pemberontak dengan menewaskan 9 orang dari pihak pemberontak dan sebagian terluka.

Hal ini mampu mematahkan moralitas juang para pemberontak. Peristiwa ini membuat setiap pasukan induk pemberontak tercerai-berai dan pemberontakan pun mulai surut. Sementara itu, Ki Wasyid dan para pasukannya melakukan long march menuju arah Banten Selatan. Tanggal 30 Juli 1888, ekspedisi tentara kolonial mengakhiri perjalanan Ki Wasyid dan pasukannya ke daerah Sumur.

Para pemberontak tetap memberikan perlawanan terhadap tantara kolonial meskipun akhirnya mereka dilumpuhkan. Saat itu, kekuatan tantara kolonial terbilang kuat. Mulanya dipicu dari isu dikepungnya Kota Serang oleh 5.000 pemberontak. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial di Batavia mengirim 1 batalyon tantara yang diturunkan di Pelabuhan Karangantu.

Akhirnya tentara tolonial membawa beberapa mayat yang diidentifikasikan sebagai Ki Wasyid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Sementara Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, melarikan diri hingga ke Makkah, Arab Saudi. Dinyatakan, dalam perang sipil ini korban tewas berjumlah 17 orang.

Korban luka-luka yang disebabkan oleh pemberontak berjumlah 7 orang. Pemberontak yang tewas berjumlah 17 orang. Pemberontak yang terluka berjumlah 13 orang. Pemberontak yang diasingkan berjumlah 94 orang. Tempat pembuangan antara lain : Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Selayar, Kema, Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh, Laut Banda, Bantaeng, Manado, Bukittinggi, Bengkulu, Pariaman, Saparua, Pacitan, dan Balangnipa.

Pemburuan terhadap guru agama

[sunting | sunting sumber]

Selama hampir sebulan pada Juli 1888, Cilegon dilanda huru-hara. Para haji, guru agama, dan petani menyerang pegawai pemerintah. Peristiwa itu disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten 1888. Korban tewas berjatuhan: 17 orang dari pemerintah, 30 orang dari pemberontak. Secara jumlah, korbannya sedikit. Tapi cukup membuat sibuk orang-orang Belanda.[6]

Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebut pemberontakan itu menimbulkan dendam bagi orang-orang Belanda. “Hasrat berkobar untuk melakukan pembalasan seringkali dilampiaskan terhadap haji yang pertama-tama dijumpai Belanda,” catat Sartono dalam karya monumentalnya, Pemberontakan Petani Banten 1888.

Haji, petani, dan guru agama seringkali membaur dalam identitas seseorang. Tapi ada kalanya pula identitas itu terbagi secara ketat. Tapi beberapa pegawai Belanda tak mau tahu. Mereka mengalami trauma akibat huru-hara itu sehingga mengubah pandangan mereka terhadap semua guru agama dan haji selepas peristiwa itu.

“Penumpasannya berupa pemburuan para guru agama dan ulama,” tulis Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda. Tak jarang pula guru agama dan ulama itu diperas agar terhindar dari tuduhan palsu. “Di mana sang korban hanya bisa bebas dari tuduhan kalau sudah memberikan suatu bayaran tertentu,” lanjut Aqib.

Pemerintah kolonial bersikap keras terhadap ekspresi keagamaan guru dan ulama. Mereka menangkapi orang-orang yang diduga mempunyai potensi menggerakkan massa seperti di Cilegon. Orang-orang itu lalu dibuang atau diasingkan. Tak hanya pemerintah kolonial, pegawai anak negeri dan sesama agamawan pun ikut memanfaatkan keresahan ini.

“Di sana-sini terlihat usaha menyalahgunakan suasana resah di kalangan pemerintah daerah, sesudah terjadinya huru-hara di Cilegon, yaitu untuk menyingkirkan oknum-oknum yang oleh satu dan lain sebab tidak mereka senangi,” ungkap Snouck Hurgronje dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda X.

Snouck kala itu berada di Batavia dan membaca laporan-laporan dari pegawai pemerintah daerah setelah peristiwa Geger Cilegon 1888. Dia menemukan banyak penangkapan dan pembuangan terhadap guru agama di beberapa tempat di Jawa. Sebagian besar penangkapan dan pembuangan itu tak mempunyai dasar kuat.

Di Ponorogo, misalnya, sebuah kota di Jawa Timur yang berjarak 786 kilometer jauhnya dari Cilegon, penangkapan tanpa alasan kuat menimpa Haji Rahwin. Dia seorang guru agama dan penyebar ajaran tarekat Naqsyabandiyah.

Sehari-hari Haji Rahwin mengajarkan zikir dan wirid kepada 130 muridnya. Tapi akibat peristiwa Geger Cilegon 1888, aktivitasnya mengundang kecurigaan. Apalagi mata-mata Belanda melaporkan pintu masjid tempat Rahwin mengajar pernah tertutup. Dia pun ditangkap dan diperiksa dengan teliti atas perintah bupati Ponorogo.

Setelah membaca dan mempelajari berkas penangkapan Haji Rahwin, Snouck tak menemukan kesalahan ajaran dan tindakan Haji Rahwin. “Kecuali bahwa ia mengajar 130 orang murid tentang tarekat itu,” tulis Snouck.

Snouck juga menemukan indikasi keterlibatan kiai mazhab atau aliran lain yang mengompori penangkapan Haji Rahwin. Kiai-kiai itu antipati terhadap aliran mistik atau tarekat yang diajarkan Rahwin sehingga ikut memberikan keterangan palsu kepada pemerintah kolonial. “Mungkin boleh diduga, timbul kecemburuan atau kebencian terhadap Imam Rahwin dari 4 orang guru agama,” sebut Snouck.

Bergerak ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, pemburuan terhadap guru agama kian masif. “Secara umum terlihat adanya perasaan takut terhadap haji yang sama sekali tidak beralasan. Guru-guru agama dan para santri yang paling tidak berbahaya pun lalu merasa selalu dibuntuti oleh pandangan mata kecurigaan,” terang Snouck.

Dalam pandangan Snouck, Yogyakarta menjadi wilayah paling menyedihkan dalam mengajukan orang-orang yang harus diasingkan. “Uraian tentang guru-guru yang namanya tercantum dalam daftar tak masuk akal dan ternyata memang belum pernah diperiksa kebenarannya,” ungkap Snouck.

Daftar itu antara lain memuat 3 nama guru agama: Kiai Haji Krapyak, Abdul Jalil, dan Abdul Fatah. Menurut residen dan sultan, ketiganya dianggap berbahaya. Krapyak dicurigai karena mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah. Sedangkan Abdul Jalil dan Abdul Fatah lantaran “melakukan kewajiban ibadah dengan kesalehan yang mencolok dan sering meninggalkan tempat tinggalnya”.

Padahal dalam pandangan Snouck, ketiganya sama sekali tak berbahaya. Dia menyebut pengetahuan residen dan sultan tentang Islam sangat dangkal. Karena itu, Snouck menolak keras upaya penangkapan dan pemeriksaan 3 orang tersebut beserta murid-muridnya.

Snouck melanjutkan, yang perlu dikhawatirkan dari ketiganya adalah ikatan mereka dengan murid-muridnya. “Maka seandainya ada guru dari tarekat ini yang ingin berbuat sesuatu yang membahayakan tatanan yang ada, dengan mudah ia akan terjamin mendapat sejumlah pengikut yang setia,” catat Snouck.

Daripada menangkap dan membuang orang-orang tersebut, Snouck mengusulkan agar para pegawai pemerintah dan sultan mendalami pengetahuan mereka tentang ajaran Islam. Pendalaman pengetahuan ini penting untuk membuat keadaan lebih tenang dan mengubur salah paham.

Snouck lebih suka penanganan orang-orang itu dengan memanggil dan mengadilinya. Bagi Snouck, penangkapan dan pengasingan orang tak bersalah akan merugikan pemerintah kolonial. Keluarga dan murid-murid orang tersebut akan menyimpan dendam dan berpotensi menyerang pemerintah kolonial di kemudian hari.

Penentangan Snouck terhadap pemburuan guru agama berlangsung sampai masa kerjanya berakhir di Hindia Belanda pada 1906. Selama itu, ratusan guru agama menjalani pemeriksaan. Sebagian kecil mereka bahkan sempat dibuang bertahun-tahun. Sampai orang melupakan nasib mereka.

Tapi Snouck masih berupaya membela mereka yang tak bersalah. “Snouck Hurgronje mengingatkan kembali nasib mereka yang terlupakan dalam buangannya itu,” sebut Aqib.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Kisah Pemberontakan Rakyat "Geger Cilegon 1888"". Berdikari Online. 2017-12-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-07. Diakses tanggal 2022-09-07. 
  2. ^ Nailufar, Nibras Nada, ed. (2021-06-29). "Geger Cilegon 1888: Latar Belakang dan Jalannya Perang". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-26. Diakses tanggal 2022-04-24. 
  3. ^ "Jurnal Geger Cilegon 1888 - UIN Banten". repository.uinbanten.ac.id. Diakses tanggal 2022-09-07. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ "Pemburuan Terhadap Guru Agama". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2021-04-17. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-22. Diakses tanggal 2022-04-24. 
  5. ^ "Jalannya Pemberontakan Petani Banten 1888". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2016-07-12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-01. Diakses tanggal 2022-09-07. 
  6. ^ "Pemburuan Terhadap Guru Agama". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2021-04-17. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-22. Diakses tanggal 2022-09-07. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Sartono Kartodirdjo (1984). Pemberontakan Petani Banten 1888. Pustaka Jaya.