Lompat ke isi

Tony Wen: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
5HTcite (bicara | kontrib)
k Peristiwa Surabaya: kawan2nya → kawan-kawannya
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
(30 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{tanpa_referensi|date=15 Juli 2013}}
{{Tone|date=Desember 2021}}
{{Chinese|t=温敬多||p=Wēn Jìng Duō |h = Vûn Kin-tô | ind = Boen Kin To}}
'''Tony Wen''' (lahir di [[Sungailiat]], [[Bangka Belitung]], [[1911]] - meninggal di [[Jakarta]], [[30 Mei]] [[1962]]) adalah pejuang [[Indonesia]] keturunan [[Tionghoa]].
'''Tony Wen''' ({{lahirmati|[[Sungailiat]], [[Bangka Belitung]]|26|04|1911|[[Jakarta]]|30|05|1963}}) adalah pejuang [[Indonesia]] keturunan [[Tionghoa]]. Tony Wen merupakan sosok nasional yang sangat digemari ramai. Perawakannya gagah, tampan, penampilannya rapih, tata bahasanya ramah dan teratur mencerminkan latar orang terpelajar ditambah dengan kumis ala [[Errol Flynn]], bintang film [[Hollywood]] yang tenar, dan senyum murah yang menggiurkan. Ia dikenal terutama saat membantu keuangan Indonesia pada era awal kemerdekaan dengan menyelundupkan candu ke Singapura. Tony Wen atau Boen Kin To, lahir di Sungailiat, Bangka, pada 1911 dari keluarga yang berada. Ayahnya adalah seorang kepala parit ''Bangka Biliton Tin Maatschappij''.<ref name=":0">{{Cite web|url=http://indochinatown.com/obituari/menelusuri-kisah-tony-wen-pejuang-peranakan-tionghoa-asal-bangka/4251|title=Menelusuri Kisah Tony Wen, Pejuang Peranakan Tionghoa Asal Bangka|website=Indochinatown.com|language=en|access-date=2018-12-08|archive-date=2018-12-09|archive-url=https://web.archive.org/web/20181209123603/http://indochinatown.com/obituari/menelusuri-kisah-tony-wen-pejuang-peranakan-tionghoa-asal-bangka/4251|dead-url=yes}}</ref>


== Riwayat Singkat ==
== Pendidikan dan Pekerjaan ==
[[File:Tony Wen Home in Sungailiat.jpg|thumb|right|Bekas rumah Tony Wen di Sungailiat, Bangka.]]
Tony Wen atau Boen Kin To, lahir di Sungailiat, Bangka, pada 1911 dari keluarga yang berada. Ayahnya seorang kepala parit Bangka Biliton Tin Maatschapij. Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Sungailiat, dia meneruskan studinya di Singapore, kemudian di U Ciang University, Shanghai dan Liang Nam University, Canton. Setelah kembali ke Jakarta ia menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa (T.H.H.K.).
Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Sungailiat, dia kemudian meneruskan studinya di [[Singapura]], lalu U Ciang University, [[Shanghai]] hingga Liang Nam University, [[Kanton|Canton]]. Setelah kembali ke [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta (Batavia)]], ia menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa (T.H.H.K.). Ia juga seorang pemainan sepak bola nasional yang sangat handal, gesit, dan cergas dalam pertandingan. Sebelum [[Perang Dunia II]] meletus, ia menjadi pemain sepak bola terkenal kesebelasan [[UMS 1905|UMS (Union Makes Strength)]].<ref name=":0" /><ref name=":1">{{Cite news|url=http://bangka.tribunnews.com/2016/08/18/menyibak-kisah-tony-wen-pejuang-kemerdekaan-keturunan-tionghoa-asal-pulau-bangka|title=Menyibak Kisah Tony Wen, Pejuang Kemerdekaan Keturunan Tionghoa Asal Pulau Bangka|date=2016-08-18|work=[[Tribunnews|Tribunnews.com]]|language=id|access-date=2018-12-08|first=Iwan|last=Satriawan}}</ref> “Ia adalah idola remaja sebelum Perang Dunia II karena bintang sepakbola. Ia anggota perkumpulan sepakbola keturunan Tionghoa (Tiong Hoa Oen Tong Hwee) (UMS) di Petak Sin Kian, Jakarta […] ia guru pada sekolah Tionghoa THHK di Jalan Patekoan,” tulis Yunus Yahya dalam buku ''Catatan seorang WNI: Kenangan, Renungan & Harapan'' (1989:8).<ref name=":2">{{Cite web|url=https://tirto.id/tony-wen-pesepakbola-yang-menyelundupkan-candu-demi-republik-c5HU|title=Tony Wen: Pesepakbola yang Menyelundupkan Candu demi Republik|website=tirto.id|language=id|access-date=2018-12-08}}</ref>


=== Masa Organisasi (Pra-Kemerdekaan dan Revolusi Fisik) ===
Kembali kepada cerita Tony Wen, disamping kegemarannya dengan dunia olahraga, dimana ianya banyak mengambil peran dalam berbagai organisasi yang berhubungan, ia juga seorang pemainan sepak bola nasional yang sangat handal. Gesit dan cergas dalam pertandingan.Sebelum Perang Dunia II , ia menjadi pemain sepak bola terkenal kesebelasan UMS (Union Makes Strength). Pada masa pendudukan Jepang ia bekerja sebagai jurubahasa di kantor urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) salah satu bagian pusat intelijen Jepang (Sambu Beppan). Setelah Jepang menyerah ia menghilang dari Jakarta dan menetap di Solo memimpin Barisan Pemberontak Tionghoa.
Disamping kegemarannya dengan dunia olahraga, ia banyak mengambil peran dalam berbagai organisasi yang terkait. Pada [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|masa pendudukan Jepang]], ia bekerja sebagai juru bahasa di kantor urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) yang merupakan salah satu bagian pusat intelijen [[Jepang]] (Sambu Beppan).<ref name=":0" /><ref name=":1" /><ref name=":2" /> Menurut Yong Mun Cheong dalam ''The Indonesian Revolution and the Singapore Connection, 1945-1949'' (2003:130), pada era itu ia bergiat dalam Perserikatan Rakjat dan Boeroeh Tionghoa di Surakarta sebagai manajer bagian olahraga. Setelah Jepang kalah, ia menjadi wakil presiden dalam serikat tersebut.<ref name=":2" /><ref name=":3">{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/54078950|title=The Indonesian revolution and the Singapore connection, 1945-1949|last=Cheong.|first=Yong, Mun|date=2003|publisher=Singapore University Press|isbn=9971692767|location=Singapore|oclc=54078950}}</ref>


Ia kemudian menjadi pembantu R.P. Suroso membentuk kantor urusan minoritas di Departemen Dalam Negeri. Pada akhir masa perjuangan fisik Tony Wen menjadi pembantu Mukarto, kepala Opium en Zoutregie dan ia sering mondar-mandir ke Singapura untuk menukar candu dengan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik.
Setelah Jepang menyerah, ia menghilang dari Jakarta dan menetap di [[Kota Surakarta|Solo]] memimpin Barisan Pemberontak Tionghoa. Kemudian, Ia menjadi pembantu R.P. Suroso dalam membentuk kantor urusan minoritas di [[Kementerian Dalam Negeri|Departemen Dalam Negeri]]. Pada akhir masa perjuangan fisik, Tony Wen menjadi pembantu Mukarto, kepala ''Opium en Zoutregie'', dan ia sering bolak-balik ke Singapura untuk menukar [[candu]] dengan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik.


Perawakannya gagah ganteng penampilannya rapih, tata bahasanya ramah dan teratur mencerminkan latar orang terpelajar, ditambah dengan kumis ala Errol Flynn bintang film Hollywood tenar, dan senyum murah yang menggiurkan, Tony Wen berupa sosok nasional yang sangat digemari ramai. Ia banyak menyibukkan diri dalam menggalang masyarakat Tionghoa menunjang kegiatan revolusi dibawah bendera nasionalis bimbingan Bung Karno. Ketika Presiden Soekarno dan para pemimpin lainnya dibuang ke Pulau Bangka, ia yang menyediakan seluruh keperluan para pemimpin tersebut. Pada tahun 1950-an ia diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia dan pengurus PSSI. Pada 1952 ia masuk menjadi anggota PNI. Sejak Agustus 1954 sampai Maret 1956, ia diangkat menjadi anggota DPR mewakili PNI dan duduk di Kabinet Interim Demokrasi dan pada tahun 1955 pernah duduk di Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Tony Wen telah memperjelas dukungannya kepada Republik, setidaknya sejak April 1946. Ia banyak menyibukkan diri dalam menggalang masyarakat Tionghoa menunjang kegiatan revolusi dibawah bendera nasionalis bimbingan [[Soekarno|Bung Karno]]. Ketika Presiden Soekarno dan para pemimpin lainnya dibuang ke [[Pulau Bangka]], ia menyediakan seluruh keperluan para pemimpin tersebut. “Ia terang-terangan menjawab keragu-raguan masyarakat Tionghoa dengan menyatakan berkiblat ke Republik yang baru,” tulis mantan menteri [[Oei Tjoe Tat]] dalam ''Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno'' (1992:52). “Ia menyatakan tekadnya untuk lebih memperhatikan kepentingan rakyat kecil, khususnya kaum buruh.”<ref name=":2" />


Pada masa revolusi, Tony Wen dikenal sebagai pemimpin dari Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) di Solo. Di sisi lain, sepengakuan mantan Wakil Presiden [[Adam Malik]] dalam ''Mengabdi Republik Volume 2'' (1978:5), Tony juga menjadi penyerang tengah kesebelasan PSIS (Solo) yang kala itu cukup ternama. Tak cukup di situ, Tony Wen sebagai pedagang juga turut menyediakan logistik bagi tentara Indonesia yang saat itu morat-marit.<ref name=":3" />
Tony Wen meninggal dunia karena sakit pada 30 Mei 1963 dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta. Banyak sekali sanak saudara dan temen seperjuangan datang memberi penghormatan terakhir.


=== Kisah Penyelundupan Candu ===
Pada masa itu, Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan memiliki kondisi ekonomi yang buruk apalagi ditambah dengan adanya blokade oleh Belanda dari segala penjuru membuat Indonesia semakin kesulitan melakukan perdagangan dengan negara lain untuk mengisi kas negara. Di sinilah Tony Wen berperan besar dalam membantu mengisi kas negara.


Kurangnya kas negara untuk biaya operasional pemerintahan menyebabkan [[Daftar Menteri Keuangan Indonesia|Menteri Keuangan]] [[Alexander Andries Maramis|A.A. Maramis]] menyarankan menjual candu ke luar negeri. Dengan keahlian Tony Wen di Solo yang menyuplai logistik dan senjata untuk pejuang di sana,ia dipercaya untuk menjual candu-candu mentah dari pabrik candu di [[Salemba]]. Mukarto Notowidagdo ditunjuk sebagai koordinator tim sementara Tony Wen menjadi pelaksana. Ia kemudian menghubungi temannya di [[Singapura]] yang memiliki jaringan distribusi candu dan operasi itu pun dilaksanakan.
== Peristiwa Surabaya ==
Keterangan dari Henry Boen, keponakan Tony Wen dan lihat (Siauw Giok Tjhan , 1981) , (Leo Suryadinata ,1981) , etc
Apakah Almarhum Tony Wen menjadi salah satu pemrakarsa merobek bagian biru dari bendera Holland, dan mengibarkannya kembali sebagai Merah Putih tidak ditulis dalam buku ini. Tentunya akan baik sekali kalau kita dapat mendengar/membaca keseluruhan peristiwa ini. Sebenarnya peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato (Oranye) itu terjadi tanggal 19 September 1945.


Soal penyelundupan ke Singapura itu dicatat oleh Sam Setyautama dalam ''Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia'' (2008:24). Pada 1948, Tony bersama Soebeni Sosrosepoetro, Karkono Partokusumo ([[Kamadjaja]]), dan dibantu Lie Kwet Tjien menyelundupkan candu ke Singapura untuk dibelikan senjata bagi Republik Indonesia. Dengan naik perahu, Tony Wen membawa setengah ton candu dari [[Pantai Popoh]] di [[Kabupaten Kediri|Kediri]] dan melintasi pantai selatan Jawa ke [[Selat Lombok]] untuk menghindari patroli [[Belanda]] dalam perjalanannya ke Singapura. Operasi lanjutan ini kemudian dilaksanakan oleh [[John Lie|Laksamana John Lie]] dengan menggunakan pesawat amphibi Catalina. Dengan pesawat ini, Indonesia berhasil melakukan pengiriman sebanyak dua kali dan membawa 4 ton candu ke Singapura. Akan tetapi, operasi ini akhirnya diketahui oleh [[Belanda]] sehingga Tony Wen ditangkap oleh polisi [[Britania Raya|Inggris]] di Singapura.<ref name=":2" /><ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/53361234|title=Peranakan idealis : dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya|last=Yunus.|first=Yahya,|date=2002|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|isbn=979902384X|edition=Cet. 1|location=Jakarta|oclc=53361234}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/312440590|title=Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia = [Yinni Hua zu ming ren ji]|last=1938-|first=Setyautama, Sam,|date=2008|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Chen Xingchu Foundation|isbn=9789799101259|edition=Cet. 1|location=Jakarta|oclc=312440590}}</ref>
Ternyata memang banyak sekali keturunan Tionghoa yang punya kontribusi dalam sejarah termasuk perkembangan budaya dan
ekonomi di Indonesia. Saya katakan ternyata karena lewat buku ini saya membaca (data + tulisan) banyak nama keturunan Tionghoa yang tidak familiar banyak jasa, paling tidak berjuang ber-sama2 bangsa Indonesia di Indonesia.


=== Mengikuti Brigade Internasional ===
Sebagai tambahan: Bung Tomo yang disebut sebagai pahlawan karena peristiwa di Surabaya ini adalah Pemimpin Besar BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) yang melalui radio melakukan pidato yang ber-kobar untuk membakar semangat para pemuda di Surabaya dan sekitarnya. Namun sayangnya pidato2 Bung Tomo tersebut tidak bebas dari sikap rasialisnya yg anti-Tionghoa. Tema2 anti Tionghoa dlm pidatonya sudah tentu menumbuhkan sentimen anti Tionghoa di kalangan masyarakat Jawa Timur.
Tony juga tergabung dalam ''International Volunteers Brigade'' (IVB) alias Brigade Internasional, kesatuan tentara yang terdiri dari orang-orang (keturunan) berbagai macam bangsa Asia (Tiongkok, Filipina, Malaysia, India, dan Pakistan). Menurut ''Arsip Kementerian Pertahanan nomor 1735: Laporan harian Kementerian Pertahanan Bagian V Kepada Menteri Muda Pertahanan tanggal 30 Oktober 1947,'' pada IVB ada orang-orang dari [[Filipina]] yang dipimpin Ir. Estrada, orang-orang [[India]] yang dipimpin Abdulmadjid Khan serta orang-orang [[Federasi Malaya|Malaya]] yang dipimpin Adnan.<ref name=":2" />


Dalam arsip yang sama dituliskan, Brigade yang sekretariatnya berada di Jalan Poncowinatan 50, [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] ini terdiri atas bagian ketentaraan, ekonomi, sosial dan penerangan meskipun tidak seluruhnya aktif di front pertempuran. Dari golongan tadi, orang-orang India-lah yang tergolong aktif bertempur. “Yang sudah turut berperang di medan [[Gombong, Kebumen|Gombong]] semua orang-orang India, sedang pasukan Tionghoa di bawah Tony Wen sampai sekarang (20 Oktober 1947) hanya menjalankan latihan belaka,” tulis laporan Kementerian Pertahanan Bagian V itu.<ref name=":2" />
Untuk menanggulanginya, Go Gien Tjwan sebagai jurubicara Angkatan Muda Tionghoa (AMT) mengucapkan pidato yang menekankan bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda. Ia juga menyatakan bahwa etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak menginginkan kembalinya penjajahan Belanda.


=== Masa Setelah Kemerdekaan ===
Siaw Giok Tjhan bersama kawan2nya pergi menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya terhadap etnis Tionghoa, namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar entis Tionghoa pro-Belanda. Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo dan sejumlah tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Soemarsono dan Soedisman di Nangkajajar, sebuah kota kecil yang terletak antara Surabaya dan Malang. Di dalam pertemuan tersebut berhasil disepakati bahwa para pemuda Tionghoa akan bergabung dengan BPRI dan Pesindo.
Pada tahun 1950-an ia diangkat menjadi anggota [[Komite Olimpiade Indonesia]] dan pengurus [[Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia|PSSI]]. Pada tahun 1952, ia masuk menjadi anggota [[Partai Nasional Indonesia|PNI]]. Sejak Agustus 1954 sampai Maret 1956, ia diangkat menjadi anggota DPR ([[konstituante]]) mewakili [[Partai Nasional Indonesia|PNI]] untuk daerah pemilihan [[Sumatera Selatan|Sumatra bagian Selatan]]. Ia pernah menjabat di Kabinet Interim Demokrasi dan pada tahun 1955 pernah masuk di Kabinet [[Ali Sastroamidjojo]]. Tony juga masih bergelut dalam dunia olahraga. Ia juga bergiat di cabang [[bola basket]]. Tony menjadi salah satu pendiri Persatuan Basketball Seluruh Indonesia ([[Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia|Perbasi]]) pada 23 Oktober 1951 dan Ialah ketua pertama Perbasi.<ref name=":2" /><ref>{{Cite web|url=http://www.konstituante.net/en/profile/PNI_tony_wen|title=Tony Wen - PNI (Partai Nasional Indonesia) - Member Profiles|website=Konstituante.Net|access-date=2018-12-08}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=SuVdCwAAQBAJ&dq=Tony+Wen&hl=id&source=gbs_navlinks_s|title=MENJADI PEMAIN BOLA BASKET HEBAT|last=Werdihartohadi|first=Fekum Ariesbowo|publisher=Be Champion|isbn=9786028884037|language=id}}</ref>


=== Wafat ===
Tony Wen meninggal dunia karena sakit pada 30 Mei 1963 dan dimakamkan di [[Menteng, Jakarta Pusat|Menteng Pulo]], Jakarta. Banyak sekali sanak saudara dan temen seperjuangan datang memberi penghormatan terakhir.<ref name=":2" />


== Peristiwa Surabaya ==
{{Indo-bio-stub}}
{{rapikan}}
Keterangan dari Henry Boen, keponakan Tony Wen (Siauw Giok Tjhan, 1981), ([[Leo Suryadinata]],1981), etc
Apakah Almarhum Tony Wen menjadi salah satu pemrakarsa merobek bagian biru dari bendera Belanda, dan mengibarkannya kembali sebagai Merah Putih tidak ditulis dalam buku ini. Tentunya akan baik sekali kalau kita dapat mendengar/membaca keseluruhan peristiwa ini. Sebenarnya peristiwa perobekan bendera di [[Hotel Majapahit|Hotel Yamato (Oranye)]] itu terjadi tanggal 19 September 1945.


Untuk menanggulanginya, Go Gien Tjwan sebagai jurubicara Angkatan Muda Tionghoa (AMT) mengucapkan pidato yang menekankan bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda. Ia juga menyatakan bahwa etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak menginginkan kembalinya penjajahan Belanda.

[[Siauw Giok Tjhan|Siaw Giok Tjhan]] bersama kawan-kawannya pergi menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya terhadap etnis Tionghoa, namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar entis Tionghoa pro-Belanda. Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo dan sejumlah tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Soemarsono dan Soedisman di Nangkajajar, sebuah kota kecil yang terletak antara Surabaya dan Malang. Di dalam pertemuan tersebut berhasil disepakati bahwa para pemuda Tionghoa akan bergabung dengan BPRI dan Pesindo.

== Referensi ==
<references />

{{Authority control}}{{URUTANBAKU:Wen, Tony}}
[[Kategori:Pemain sepak bola Indonesia]]
[[Kategori:Tionghoa-Indonesia]]
[[Kategori:Marga Wen]]
[[Kategori:Tokoh Kepulauan Bangka Belitung]]
[[Kategori:Tokoh Kepulauan Bangka Belitung]]
[[Kategori:Tokoh dari Bangka]]
[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]
[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]
[[Kategori:Marga Wen]]
[[Kategori:Politikus Indonesia]]
[[Kategori:Tionghoa-Indonesia]]
[[Kategori:Politikus Partai Nasional Indonesia]]
[[Kategori:Kelahiran 1911]]
[[Kategori:Anggota Konstituante Republik Indonesia]]
[[Kategori:Kematian 1962]]

Revisi per 9 Juli 2024 12.45

Tony Wen
Hanzi tradisional: 温敬多
Nama Indonesia
Indonesia: Boen Kin To

Tony Wen (26 April 1911 – 30 Mei 1963) adalah pejuang Indonesia keturunan Tionghoa. Tony Wen merupakan sosok nasional yang sangat digemari ramai. Perawakannya gagah, tampan, penampilannya rapih, tata bahasanya ramah dan teratur mencerminkan latar orang terpelajar ditambah dengan kumis ala Errol Flynn, bintang film Hollywood yang tenar, dan senyum murah yang menggiurkan. Ia dikenal terutama saat membantu keuangan Indonesia pada era awal kemerdekaan dengan menyelundupkan candu ke Singapura. Tony Wen atau Boen Kin To, lahir di Sungailiat, Bangka, pada 1911 dari keluarga yang berada. Ayahnya adalah seorang kepala parit Bangka Biliton Tin Maatschappij.[1]

Pendidikan dan Pekerjaan

Bekas rumah Tony Wen di Sungailiat, Bangka.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Sungailiat, dia kemudian meneruskan studinya di Singapura, lalu U Ciang University, Shanghai hingga Liang Nam University, Canton. Setelah kembali ke Jakarta (Batavia), ia menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa (T.H.H.K.). Ia juga seorang pemainan sepak bola nasional yang sangat handal, gesit, dan cergas dalam pertandingan. Sebelum Perang Dunia II meletus, ia menjadi pemain sepak bola terkenal kesebelasan UMS (Union Makes Strength).[1][2] “Ia adalah idola remaja sebelum Perang Dunia II karena bintang sepakbola. Ia anggota perkumpulan sepakbola keturunan Tionghoa (Tiong Hoa Oen Tong Hwee) (UMS) di Petak Sin Kian, Jakarta […] ia guru pada sekolah Tionghoa THHK di Jalan Patekoan,” tulis Yunus Yahya dalam buku Catatan seorang WNI: Kenangan, Renungan & Harapan (1989:8).[3]

Masa Organisasi (Pra-Kemerdekaan dan Revolusi Fisik)

Disamping kegemarannya dengan dunia olahraga, ia banyak mengambil peran dalam berbagai organisasi yang terkait. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja sebagai juru bahasa di kantor urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) yang merupakan salah satu bagian pusat intelijen Jepang (Sambu Beppan).[1][2][3] Menurut Yong Mun Cheong dalam The Indonesian Revolution and the Singapore Connection, 1945-1949 (2003:130), pada era itu ia bergiat dalam Perserikatan Rakjat dan Boeroeh Tionghoa di Surakarta sebagai manajer bagian olahraga. Setelah Jepang kalah, ia menjadi wakil presiden dalam serikat tersebut.[3][4]

Setelah Jepang menyerah, ia menghilang dari Jakarta dan menetap di Solo memimpin Barisan Pemberontak Tionghoa. Kemudian, Ia menjadi pembantu R.P. Suroso dalam membentuk kantor urusan minoritas di Departemen Dalam Negeri. Pada akhir masa perjuangan fisik, Tony Wen menjadi pembantu Mukarto, kepala Opium en Zoutregie, dan ia sering bolak-balik ke Singapura untuk menukar candu dengan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik.

Tony Wen telah memperjelas dukungannya kepada Republik, setidaknya sejak April 1946. Ia banyak menyibukkan diri dalam menggalang masyarakat Tionghoa menunjang kegiatan revolusi dibawah bendera nasionalis bimbingan Bung Karno. Ketika Presiden Soekarno dan para pemimpin lainnya dibuang ke Pulau Bangka, ia menyediakan seluruh keperluan para pemimpin tersebut. “Ia terang-terangan menjawab keragu-raguan masyarakat Tionghoa dengan menyatakan berkiblat ke Republik yang baru,” tulis mantan menteri Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1992:52). “Ia menyatakan tekadnya untuk lebih memperhatikan kepentingan rakyat kecil, khususnya kaum buruh.”[3]

Pada masa revolusi, Tony Wen dikenal sebagai pemimpin dari Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) di Solo. Di sisi lain, sepengakuan mantan Wakil Presiden Adam Malik dalam Mengabdi Republik Volume 2 (1978:5), Tony juga menjadi penyerang tengah kesebelasan PSIS (Solo) yang kala itu cukup ternama. Tak cukup di situ, Tony Wen sebagai pedagang juga turut menyediakan logistik bagi tentara Indonesia yang saat itu morat-marit.[4]

Kisah Penyelundupan Candu

Pada masa itu, Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan memiliki kondisi ekonomi yang buruk apalagi ditambah dengan adanya blokade oleh Belanda dari segala penjuru membuat Indonesia semakin kesulitan melakukan perdagangan dengan negara lain untuk mengisi kas negara. Di sinilah Tony Wen berperan besar dalam membantu mengisi kas negara.

Kurangnya kas negara untuk biaya operasional pemerintahan menyebabkan Menteri Keuangan A.A. Maramis menyarankan menjual candu ke luar negeri. Dengan keahlian Tony Wen di Solo yang menyuplai logistik dan senjata untuk pejuang di sana,ia dipercaya untuk menjual candu-candu mentah dari pabrik candu di Salemba. Mukarto Notowidagdo ditunjuk sebagai koordinator tim sementara Tony Wen menjadi pelaksana. Ia kemudian menghubungi temannya di Singapura yang memiliki jaringan distribusi candu dan operasi itu pun dilaksanakan.

Soal penyelundupan ke Singapura itu dicatat oleh Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008:24). Pada 1948, Tony bersama Soebeni Sosrosepoetro, Karkono Partokusumo (Kamadjaja), dan dibantu Lie Kwet Tjien menyelundupkan candu ke Singapura untuk dibelikan senjata bagi Republik Indonesia. Dengan naik perahu, Tony Wen membawa setengah ton candu dari Pantai Popoh di Kediri dan melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok untuk menghindari patroli Belanda dalam perjalanannya ke Singapura. Operasi lanjutan ini kemudian dilaksanakan oleh Laksamana John Lie dengan menggunakan pesawat amphibi Catalina. Dengan pesawat ini, Indonesia berhasil melakukan pengiriman sebanyak dua kali dan membawa 4 ton candu ke Singapura. Akan tetapi, operasi ini akhirnya diketahui oleh Belanda sehingga Tony Wen ditangkap oleh polisi Inggris di Singapura.[3][5][6]

Mengikuti Brigade Internasional

Tony juga tergabung dalam International Volunteers Brigade (IVB) alias Brigade Internasional, kesatuan tentara yang terdiri dari orang-orang (keturunan) berbagai macam bangsa Asia (Tiongkok, Filipina, Malaysia, India, dan Pakistan). Menurut Arsip Kementerian Pertahanan nomor 1735: Laporan harian Kementerian Pertahanan Bagian V Kepada Menteri Muda Pertahanan tanggal 30 Oktober 1947, pada IVB ada orang-orang dari Filipina yang dipimpin Ir. Estrada, orang-orang India yang dipimpin Abdulmadjid Khan serta orang-orang Malaya yang dipimpin Adnan.[3]

Dalam arsip yang sama dituliskan, Brigade yang sekretariatnya berada di Jalan Poncowinatan 50, Yogyakarta ini terdiri atas bagian ketentaraan, ekonomi, sosial dan penerangan meskipun tidak seluruhnya aktif di front pertempuran. Dari golongan tadi, orang-orang India-lah yang tergolong aktif bertempur. “Yang sudah turut berperang di medan Gombong semua orang-orang India, sedang pasukan Tionghoa di bawah Tony Wen sampai sekarang (20 Oktober 1947) hanya menjalankan latihan belaka,” tulis laporan Kementerian Pertahanan Bagian V itu.[3]

Masa Setelah Kemerdekaan

Pada tahun 1950-an ia diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia dan pengurus PSSI. Pada tahun 1952, ia masuk menjadi anggota PNI. Sejak Agustus 1954 sampai Maret 1956, ia diangkat menjadi anggota DPR (konstituante) mewakili PNI untuk daerah pemilihan Sumatra bagian Selatan. Ia pernah menjabat di Kabinet Interim Demokrasi dan pada tahun 1955 pernah masuk di Kabinet Ali Sastroamidjojo. Tony juga masih bergelut dalam dunia olahraga. Ia juga bergiat di cabang bola basket. Tony menjadi salah satu pendiri Persatuan Basketball Seluruh Indonesia (Perbasi) pada 23 Oktober 1951 dan Ialah ketua pertama Perbasi.[3][7][8]

Wafat

Tony Wen meninggal dunia karena sakit pada 30 Mei 1963 dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta. Banyak sekali sanak saudara dan temen seperjuangan datang memberi penghormatan terakhir.[3]

Peristiwa Surabaya

Keterangan dari Henry Boen, keponakan Tony Wen (Siauw Giok Tjhan, 1981), (Leo Suryadinata,1981), etc Apakah Almarhum Tony Wen menjadi salah satu pemrakarsa merobek bagian biru dari bendera Belanda, dan mengibarkannya kembali sebagai Merah Putih tidak ditulis dalam buku ini. Tentunya akan baik sekali kalau kita dapat mendengar/membaca keseluruhan peristiwa ini. Sebenarnya peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato (Oranye) itu terjadi tanggal 19 September 1945.

Untuk menanggulanginya, Go Gien Tjwan sebagai jurubicara Angkatan Muda Tionghoa (AMT) mengucapkan pidato yang menekankan bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda. Ia juga menyatakan bahwa etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak menginginkan kembalinya penjajahan Belanda.

Siaw Giok Tjhan bersama kawan-kawannya pergi menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya terhadap etnis Tionghoa, namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar entis Tionghoa pro-Belanda. Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo dan sejumlah tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Soemarsono dan Soedisman di Nangkajajar, sebuah kota kecil yang terletak antara Surabaya dan Malang. Di dalam pertemuan tersebut berhasil disepakati bahwa para pemuda Tionghoa akan bergabung dengan BPRI dan Pesindo.

Referensi

  1. ^ a b c "Menelusuri Kisah Tony Wen, Pejuang Peranakan Tionghoa Asal Bangka". Indochinatown.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-09. Diakses tanggal 2018-12-08. 
  2. ^ a b Satriawan, Iwan (2016-08-18). "Menyibak Kisah Tony Wen, Pejuang Kemerdekaan Keturunan Tionghoa Asal Pulau Bangka". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2018-12-08. 
  3. ^ a b c d e f g h i "Tony Wen: Pesepakbola yang Menyelundupkan Candu demi Republik". tirto.id. Diakses tanggal 2018-12-08. 
  4. ^ a b Cheong., Yong, Mun (2003). The Indonesian revolution and the Singapore connection, 1945-1949. Singapore: Singapore University Press. ISBN 9971692767. OCLC 54078950. 
  5. ^ Yunus., Yahya, (2002). Peranakan idealis : dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979902384X. OCLC 53361234. 
  6. ^ 1938-, Setyautama, Sam, (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia = [Yinni Hua zu ming ren ji] (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Chen Xingchu Foundation. ISBN 9789799101259. OCLC 312440590. 
  7. ^ "Tony Wen - PNI (Partai Nasional Indonesia) - Member Profiles". Konstituante.Net. Diakses tanggal 2018-12-08. 
  8. ^ Werdihartohadi, Fekum Ariesbowo. MENJADI PEMAIN BOLA BASKET HEBAT. Be Champion. ISBN 9786028884037.