Lompat ke isi

Pulau Bangka

Koordinat: 2°15′S 106°00′E / 2.250°S 106.000°E / -2.250; 106.000
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bangka
ڤولو بڠک
邦加島
Topografi Pulau Bangka
Geografi
LokasiAsia Tenggara
Koordinat2°15′S 106°00′E / 2.250°S 106.000°E / -2.250; 106.000
Luas11.694 km2
Peringkat luaske-68
Titik tertinggiGunung Maras (699 m)
Pemerintahan
NegaraIndonesia
Kabupaten/KotaPangkal Pinang, Bangka, Bangka Tengah, Bangka Selatan, Bangka Barat
Kota terbesarPangkal Pinang (236.267 jiwa)
Kependudukan
DemonimOrang Bangka
Penduduk1.188.075 jiwa (31 Desember 2023)
Kepadatan102 jiwa/km2
Kelompok etnikMelayu Bangka, Tionghoa Bangka, kebanyakan Hakka
Peta
Sungai Baturusa, sungai utama di Pulau Bangka.

Pulau Bangka,Jawi: ڤولو بڠكـ adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Sumatra, Indonesia dan termasuk dalam wilayah provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Populasinya pada 2004 berjumlah 789.809 jiwa. Luas pulau Bangka ialah 11.693.54 km².

Asal nama

[sunting | sunting sumber]

Bangka menurut bahasa sehari-hari masyarakat Bangka mengandung arti "sudah tua" atau "sangat tua", sehingga pulau Bangka dapat diartikan sebagai "pulau yang sudah tua". Bila merujuk pada kandungan bahan galian yang terdapat di daerah ini, pulau Bangka banyak mengandung bahan-bahan galian mineral yang tentunya terjadi dari proses alam yang berlaku berjuta-juta tahun. Salah satu contohnya adalah bahan galian timah, oleh karenanya masyarakat menyebutnya dengan sebutan Pulau Bangka.

Dalam Epos Ramayana disebutkan berbagai pulau di Nusantara seperti Yawadwipa, Suwarnadwipa dan Rupyakadipa. Yawadwipa merujuk kepada Pulau Jawa saat ini dengan tanahnya yang subur dengan komoditas utama berupa padi. Suwarnadwipa dengan komoditas utama barang tambang berupa Emas. Dan Rupyakadwipa (Pulau Perak) yang diduga adalah Pulau Bangka yang juga mempunyai banyak tambang.

Kata bangka dapat juga berasal dari kata wangka yang artinya timah. Karena di daerah ini ditemukan bahan galian timah, maka disebut Pulau Timah. Karena pergeseran atau bunyi bahasa yang berubah maka masyarakat lebih lekat memanggil pulau ini dengan kata Pulau Bangka atau pulau bertimah. Menurut cerita rakyat, Pulau Bangka tidak mempunyai penduduk asli, semua penduduk adalah pendatang dari suku yang diberi nama suku sekak. Masyarakatnya masih menganut animisme. Kemudian masuk bangsa melayu dari daratan malaka dengan membawa agama Islam yang kemudian berkembang sampai sekarang.

Kondisi geografis

[sunting | sunting sumber]

Letak Geografis

[sunting | sunting sumber]
Mentok dengan latar Bukit Menumbing
Batu Balei di dekat Muntok.

Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Selatan, berbatasan dengan Laut China Selatan di sebelah utara, Pulau Belitung di timur dan Laut Jawa di sebelah selatan yaitu 1°20’-3°7 Lintang Selatan dan 105° - 107° Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang ± 180 km. Pulau ini terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dan puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau. Rawa daratan pulau Bangka tidak begitu berbeda dengan rawa di pulau Sumatra, sedangkan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain adalah pantainya yang landai berpasir putih dengan dihiasi hamparan batu granit.

Kota terbesar di pulau ini adalah Kota Pangkal Pinang, juga merupakan ibu kota dan kota terbesar di provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kota Sungai Liat di Kabupaten Bangka adalah kota terbesar kedua. Mentok (sebelumnya Muntok) adalah pelabuhan utama di barat. Kota penting lainnya adalah Toboali di selatan; Koba, sebuah kota pertambangan timah yang penting, berada di bagian tengah pulau; dan Belinyu yang terkenal dengan hasil lautnya.

Iklim dan Cuaca

[sunting | sunting sumber]

Iklim Pulau Bangka adalah tropis Type A dan musin hujan terjadi pada bulan Juni – Desember. Rata-rata curah hujan dalam satu tahun = 220 hari atau 343,7 mm perbulan. Suhu udara rata-rata 26 °C – 28,1 °C dengan kelembaban udara sekitar 76-88.

Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di Kabupaten Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107,6 hingga 343,7 mm per bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun 1999 variasi curah hujan menjadi antara 70,10 hingga 384,50 mm per bulan. Dengan musim hujan rata-rata terjadi pada bulan Oktober sampai April. Musim penghujan dan kemarau di Kabupaten Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu muson barat dan muson tenggara. Angin muson barat yang basah pada bulan Nopember, Desember dan Januari banyak memengaruhi bagian utara Pulau Bangka. Sedangkan, angin muson tenggara yang datang dari laut Jawa memengaruhi cuaca di bagian selatan Pulau Bangka. Jumlah curah hujan, hari hujan, arah angin dan kecepatan angin rata-rata setiap bulannya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Demografi

[sunting | sunting sumber]

Kependudukan

[sunting | sunting sumber]

Hingga tahun 2003 jumlah penduduk di Kabupaten Bangka berjumlah 217.545 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 107.213 (49,28%) dan perempuan 110.337 jiwa (50,72%) dengan kepadatan rata-rata 74 jiwa/km2. Konsentrasi penduduk terpadat berada di wilayah kecamatan Sungailiat (379,13 jiwa/km2) yang juga merupakan ibu kota Kabupaten Bangka sedangkan yang terendah di Kecamatan Bakam (30,81 jiwa/km2).

Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan di Kabupaten Bangka Tahun 2003
Kecamatan LuasDaerah(km²) Laki-laki(jiwa) Perempuan
(jiwa)
Jumlah
(jiwa)
Kepadatan
(jiwa/km²)
Sungailiat 146,38 28.780 26.710 55.490 379,13
Bakam 488,10 7.117 7.921 15.038 30,81
Pemali 127,87 8.520 8.637 17.157 134,18
Merawang 164,40 12.017 12.967 24.984 151,97
PudingBesar 383,29 6.811 6.506 13.317 34,74
MendoBarat 570,46 14.575 18.958 33.533 58,78
Belinyu Diarsipkan 2005-01-26 di Wayback Machine. 546,50 19.678 19.003 38.681 70,78
RiauSilip 523,68 9.715 9.630 19.345 36,94
Jumlah 2.950,68 107.213 110.332 217.545 74

Sejak 1710, Pulau Bangka merupakan salah satu wilayah penghasil timah terbesar di dunia. Proses produksi timah saat ini dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. Sumber perekonomian masyarakat Pulau Bangka selain timah adalah dari sektor pertanian yaitu Lada, merica, karet, dan kelapa sawit juga dihasilkan di pulau Bangka Dan juga dari sektor laut yaitu ikan dan hasil laut lainnya yang banyak terdapat di laut bangka

Pulau Bangka merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang, karena runtuhnya kekuasaan Kesultanan Palembang kemudian wilayah Bangka diserahkan ke tangan Inggris pada 1812. Pada tahun 1814, oleh pemerintah Inggris pulau Bangka dibarter dengan Cochin di India yang tadinya milik Belanda. Pada masa perang dunia ke-2 pemerintah Jepang yang menjadi pemenang pada saat itu menguasai pulau Bangka dari tahun 1942 hingga 1945. Setelah Jepang pada tahun 1945 menyerah tanpa syarat pada Sekutu seperti halnya hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan, maka pulau Bangka setelah proklamasi kemerdekaan menjadi bagian dari Indonesia pada 1949. Pulau Bangka bersama dengan pulau Belitung pada awalnya merupakan bagian dari provinsi Sumatera Selatan hingga tahun 2000 setelah terjadi perubahan peta politik di Indonesia dan terjadi pergolakan pada tahun 1998 yang berujung jatuhnya kekuasaan rezim Suharto, atas desakan masyarakat di pulau Bangka dan Belitung kemudian pada tahun 2000 pulau Bangka dan pulau Belitung kemudian disahkan sebagai sebuah provinsi dan melepaskan diri dari Sumatera Selatan dan disahkan menjadi sebuah provinsi bernama Kepulauan Bangka Belitung.

Sriwijaya

[sunting | sunting sumber]

Catatan sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka semasa di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7 dan pulau Bangka termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu. Selain sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya, Pulau Bangka juga pernah menjadi wilayah kekausaan beberapa kerajaan besar dari pulau Jawa seperti kerajaan Majapahit ketika itu di bawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan pendampingnya mahapatih Gajah Mada dan kerajaan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.

Namun baik pada masa kerajaan Sriwijawa maupun kerajaan Majapahit ataupun Mataram pulau Bangka kurang mendapatkan perhatian, meskipun letaknya yang sangat strategis di tengah-tengah jalur pelayaran lalu lintas perdagangan internasional. Baru setelah perdagangan dari daratan Asia maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia pulau Bangka mulai menjadi perhatian, setelah ditemukannya rempah-rempah. Kurangnya perhatian terhadap pulau Bangka dan Belitung menyebabkan banyaknya bajak laut yang menjadikan pulau Bangka dan Belitung dijadikan sebagai tempat persembunyian Bajak laut yang berdampak pada penderitaan bagi penduduknya.

Kesultanan Johor

[sunting | sunting sumber]

Untuk mengatasi kekacauan dan keamanan pelayaran di sekitar selat Malaka, maka Sultan Johor dengan sekutunya Sutan dan Raja Alam Harimau Garang mengerahkan pasukan ke pulau ini. Setelah misi pembebasan pulau Bangka dan Pulau Belitung berhasil dengan baik, Sultan Johor dan sekutunya juga mengembangkan agama Islam di tempat kedudukannya masing-masing Kotawaringin dan Bangkakota. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, kemudian kembali pulau Bangka menjadi sarang kaum bajak laut.

Kesultanan Banten

[sunting | sunting sumber]

Karena merasa turut dirugikan dengan tidak amanya pelayaran di sekitar perairan Malaka terutama di sekitar Pulau Bangka dan Belitung, apalagi setelah dirampasnya kapal-kapal dari pedagang-pedagang dari Banten maka Sultan Banten mengirimkan Bupati Nusantara untuk membasmi bajak-bajak laut yang beroperasi di sekitar kedua pulau tersebut. Setelah kedua puleu tersebut berhasil dikuasai kemudian Bupati Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka dengan gelar Raja Muda. Diceritakan pula bahwa Panglima Banten, Ratu Bagus yang terpaksa mundur dari pertikaiannya dengan Sultan Palembang, menuju ke Bangka Kota dan wafat di sana.

Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan karena putrinya ini dikawinkan dengan Sultan Palembang, yaitu Sultan Abdurrahman maka dengan sendirinya pulau Bangka dan Belitung kembali menjadi kekuasaan kesultanan Palembang dari tahun(1659-1707).

Kesultanan Palembang

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1707, Sultan Abdurrahman meninggal.[1] Posisinya sebagai sultan digantikan oleh putranya Ratu Muhammad Mansyur (1707-1715).

Namun Ratu Anum Kamaruddin adik kandung Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Palembang, menggantikan abangnya (1715-1724), walaupun abangnya telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya Mahmud Badaruddin menyingkir ke Johor dan Siantan, sekalipun secara resmi sudah diangkat menjadi Sultan Palembang.

Tetapi pada tahun 1724 Mahmud Badaruddin dengan bantuan Angkatan Perang dari Sultan Johor merebut kembali Palembang dari pamannya.

Kekuasaan atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan oleh Mahmud Badaruddin kepada Wan Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari Siantan ke Bangka bersama dua orang adiknya Wan Abduljabar dan Wan Serin.

Penemuan timah dan VOC

[sunting | sunting sumber]

Sekitar tahun 1709 diketemukan timah, yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali oleh orang-orang Johor atas pengalaman mereka di Semenanjung Malaka. Dengan diketemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Tiongkok untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.

Pada tahun 1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusaha membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timah dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah monopoli, dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi:

  • Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni
  • Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.

Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan.

Selanjutnya tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D. Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan saksama tentang timah di Bangka.

Jajahan Inggris

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 18 September 1811, ditetapkan perjanjian bernama Perjanjian Tuntang yang menyerahkan kekuasaan Pulau Bangka dari Kesultanan Palembang yang dikuasai Belanda kepada Inggris.[2] Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, di mana pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang berikut daerah-daerah takluknya menjadi jajahan Inggris.

Raffles mengirimkan utusannya ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffles merasa tidak senang dengan penolakan Sultan dan tetap menuntut agar Loji Sungai Aur diserahkan, juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan Belitung.

Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik “Divide et Impera”nya. Gillespie mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II (tahun 1812).

Sebagai pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Betawi lewat Mentok oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama “Duke of Island” (20 Mei 1812).

Kembali menjadi jajahan Belanda

[sunting | sunting sumber]

Kemudian atas dasar Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali dari Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya.[3] Wilayah yang dikembalikan sesuai pada tahun 1803 sebelum Napoleon menyerbu Belanda di Eropa, termasuk beberapa daerah Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes (Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.

Kecurangan-kecurangan, pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Inggris (EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda, yang mulai menggali timah secara besar-besaran dan sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi. Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung terutama masyarakat kampung cit di Riausilip.

Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian untuk mengusir Belanda dari daerahnya, di bawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Tikal serta lainnya.

Kemudian istri Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di Palembang diperkenankan suaminya menetap di Bangka dimana disebutkan bahwa istri Mahmud Badaruddin ini adalah anak dari Wan Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra kedua dari Abdulhayat seorang kepercayaan Sultan Johor untuk pemerintahan di Siantan, Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Tiongkok bernama Lim Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke Johor dan mendapat perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala Negeri di Siantan.

Pulau Bangka menjadi bagian dari Hindia Belanda dan diadministrasi sebagai Karesidenan Bangka hingga kedatangan Jepang pada 1942. Pasca Perang Dunia II, dengan kekalahan Jepang, Belanda datang untuk mencoba menduduki kembali Indonesia. Selama Revolusi Nasional Indonesia, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta diasingkan di Bangka setelah Agresi Militer Belanda. Bangka menjadi bagian dari Indonesia merdeka pada tahun 1949. Pulau Bangka kemudian menjadi bagian dari provinsi Sumatera Selatan, dan diadministrasikan sebagai sebuah kabupaten, yaitu Kabupaten Bangka. Hingga pada tahun 2000, pulau Bangka bersama pulau tetangganya Belitung, menjadi provinsi baru yaitu Kepulauan Bangka Belitung. Dalam beberapa tahun terakhir, penambangan timah mengalami penurunan yang signifikan, meskipun penambangan ini masih menjadi bagian utama perekonomian pulau ini.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Swastiwi, A. W., Nugraha, S. A., dan Purnomo, H. (2017). Sobuwati, D., dan Nuraini, ed. Lintas Sejarah Perdagangan Timah di Bangka Belitung Abad 19 - 20 (PDF). Tanjungpinang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau. hlm. 64. ISBN 978-602-51182-1-0. 
  2. ^ Swastiwi, A. W., Nugraha, S. A., dan Purnomo, H. (2017). Sobuwati, D., dan Nuraini, ed. Lintas Sejarah Perdagangan Timah di Bangka Belitung Abad 19 - 20 (PDF). Tanjungpinang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau. hlm. 24. ISBN 978-602-51182-1-0. 
  3. ^ Abubakar, A., dkk. (2020). Sastrodinomo, Kasijanto, ed. ‘Oedjan Mas’ di Bumi Sriwijaya: Bank Indonesia dan ‘Heritage’ di Sumatra Selatan (PDF). Jakarta: Bank Indonesia Institute. hlm. 51. ISBN 978-623-90661-4-7.