Lompat ke isi

Guci, Bumijawa, Tegal: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ariebcahguci (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Wadaihangit (bicara | kontrib)
via https://fist.toolforge.org/wd4wp/melengkapi gambar di infobox #WPWP
 
(20 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{cleanup rewrite}}
{{desa
{{desa
|peta=
|peta=
Baris 6: Baris 7:
|nama dati2=Tegal
|nama dati2=Tegal
|kecamatan=Bumijawa
|kecamatan=Bumijawa
|kode pos =52466
|kode pos=52466
|luas=
|luas=... km³
|penduduk=
|penduduk=... jiwa
|kepadatan=
|kepadatan=... jiwa/km²
|foto=Tegal Guci.jpg}}
|kepala desa= Basuki Rachmat Amd.
'''Guci''' adalah [[desa]] di kecamatan [[Bumijawa, Tegal|Bumijawa]], Kabupaten [[Kabupaten Tegal|Tegal]], [[Jawa Tengah]], [[Indonesia]].
}}
'''Guci''' merupakan salah satu [[desa]] yang berada di kecamatan [[Bumijawa, Tegal|Bumijawa]], Kabupaten [[Kabupaten Tegal|Tegal]], provinsi [[Jawa Tengah]], [[Indonesia]]
=== Obyek Wisata Guci ===
Merupakan obyek wisata air terjun, pemandian air panas, taman di kaki [[gunung Slamet]]. ± 27km ke arah selatan Slawi tepatnya di Kecamatan Bumijawa.Terdapat juga kebun strawberry yang bisa kita petik langsung,penginapan juga mulai banyak bermunculan sejak 5 tahun terakhir.


=== Sejarah [[Guci, Bumijawa, Tegal|Desa Guci]] ===
== Sejarah ==
{{referensi|Bagian}}


Pada zaman dulu sekitar tahun [[1767]] tersebutlah seorang bangsawan dari Keraton Demak Bintoro. Bernama Raden ARYO WIRYO merasa jenuh dengan keadaan, dengan kehidupan keraton yang seringkali terjadi konflik perang saudara dan persaingan perebutan tahta di antara sesama saudara dalam lingkup keraton, keadaan itu membuat R.Aryo Wiryo merasa jenuh dan berniat meninggalkan keraton.
Pada zaman dulu sekitar tahun 1767 tersebutlah seorang bangsawan dari [[Kesultanan Demak]], bernama Raden Aryo Wiryo yang merasa jenuh dengan keadaan, kehidupan keraton yang sering kali terjadi konflik perang saudara dan persaingan perebutan tahta di antara sesama saudara dalam lingkup keraton. Keadaan itu membuat Raden Aryo Wiryo merasa jenuh dan berniat meninggalkan keraton.


Sehingga pada suatu saat beliau berangkat meninggalkan keraton dengan mengajak istrinya yang kemudian dikenal dengan Ny.Tumbu, selang beberapa tahun kemudian beliau sempat mengabdi di Kraton Mataram pada zaman kejayaan Sultan Agung Hanyorokusumo kemudian beliau sempat pula ditugaskan oleh Sultan Agung untuk berangkat ke [[Cirebon]] pada masa itu.
Akhirnya dia berangkat meninggalkan keraton dengan mengajak istrinya yang kemudian dikenal dengan Nyai Tumbu, selang beberapa tahun kemudian dia sempat mengabdi di [[Kesultanan Mataram]] pada zaman kejayaan Sultan Agung Hanyorokusumo kemudian dia sempat pula ditugaskan oleh Sultan Agung untuk berangkat ke [[Kota Cirebon|Cirebon]] pada masa itu.


Kemudian beliau kembali mengembara dengan sehingga pada suatu saat menginjakkan kaki dilereng [[Gunung Slamet]] sebelah utara dan beliau menetap didaerah tersebut yang kemudian adalah sebagai orang pertama yang membuka lahan perkampungan ditempat itu sampai banyak orang berdatangan kedaerah itu untuk berguru kepada R.Aryo Wiryo dan akhirnya menetap didaerah tersebut sehingga kemudian R.Aryo Wiryo memeberi nama tempat itu “ Kampung Keputihan , (daerah yang masih asli tak terjamah peradaban agama selain Islam).
Kemudian dia kembali mengembara hingga sampai di lereng [[Gunung Slamet]] sebelah utara dan dia menetap di daerah tersebut . Dia orang pertama yang membuka lahan perkampungan di tempat itu sampai banyak orang berdatangan ke daerah itu untuk berguru kepada Raden Aryo Wiryo dan akhirnya menetap di daerah tersebut. Oleh karenanya Raden Aryo Wiryo memeberi nama tempat itu “Kampung Keputihan“, (daerah yang masih asli tak terjamah peradaban agama selain Islam).


Suatu saat datanglah pengembara dari Pesantren Gunungjati yakni santri Syech Syarif Hidayatulloh. Sunan Gunungjati bernama Kayi Elang Sutajaya bermaksud menyebarkan agama [[Islam]] dan kemudian R.Aryo Wiryo dan pengikutnya berkenan mendalami ajaran agama islam untuk lebih memantapkan keimanan para pengikutnya.
Suatu saat datanglah pengembara dari Pesantren Gunung Jati yang merupakan santri [[Sunan Gunung Jati]]. Sunan Gunungjati bernama Kyai Elang Sutajaya bermaksud menyebarkan agama [[Islam]] dan kemudian Raden Aryo Wiryo dan pengikutnya berkenan mendalami ajaran agama islam untuk lebih memantapkan keimanan para pengikutnya.


Pada saat itu kampung keputihan sedang dilanda wabah PAGEBLUG seperti banyak tanah longsor dan penyakit gatal – gatal (gudigen, bahasa setempat)sehinggan Kyai Elang Sutajaya mengajak R.Aryo Wiryo dan warganya untuk munajat kepada Alllah SWT dengan Ritual yang sekarang dikenal dengan RUWAT BUMI dengan menyembelih kambing Kendit dan menyajikan hasil bumi seperti Pala Pendem dan syur mayur yang akan disedekahkan kepada fakir miskin dan acara ritual tersebut terjadi pada bulan Asyuro atau bualan Mukharom dan turun temurun sampai sekarang.
Pada saat itu kampung keputihan sedang dilanda wabah '''pageblug''' seperti banyak tanah longsor dan penyakit gatal – gatal (gudigen, bahasa setempat)sehingga Kyai Elang Sutajaya mengajak Raden Aryo Wiryo dan warganya untuk berdoa kepada Alllah SWT dengan ritual yang sekarang dikenal sebagai '''ruwat bumi''' dengan menyembelih kambing Kendit dan menyajikan hasil bumi seperti Pala Pendem dan sayur mayur yang akan disedekahkan kepada fakir miskin. Acara ritual tersebut terjadi pada bulan Asyuro atau bulan Mukharom dan turun temurun sampai sekarang.


Pada saat munajat atau dalam adapt sekarang adalah tasyakuran Tahlilan dan Manaqib kala itu kanjeng Sunan Gunungjati berkenan hadir secara ghoib dan memeberikan sebuah GUCI Sakti yang sudah diasama dengan do’a kanjeng Sunan agar supaya penduduk Kampung Keputihan yang terjangkit wabah gatal segera meminum air guci tersebut dan pojok – pojok Kampung Keputihan agar di percikkan air Guci tersebut untuk menghilangkan kerusakan akibat bencana alam sehingga pada saat R.Aryo Wiryo berkeliling bersama Kyai Elang Sutajaya beliau menemukan sumber mata air panas dibawah sebuah [[Gua]] yang sekarang terkenal dengan nama PANCURAN 13.
Pada saat berdoa dengan tasyakuran Tahlilan dan Manaqib kala itu, Kanjeng Sunan Gunung Jati berkenan hadir secara ghoib dan memeberikan sebuah guci sakti yang sudah diisi dengan do’a Kanjeng Sunan agar penduduk Kampung Keputihan yang terjangkit wabah gatal segera meminum air guci tersebut dan pojok – pojok Kampung Keputihan agar dipercikkan air guci tersebut untuk menghilangkan kerusakan akibat bencana alam. Sehingga pada saat Radenn Aryo Wiryo berkeliling bersama Kyai Elang Sutajaya dia menemukan sumber mata air panas dibawah sebuah [[Gua]] yang sekarang terkenal dengan nama '''Pancuran 13'''.


Adapun Guci Sakti tersebut ditempatkan disebuah dukuh tempat R.Aryo Wiryo biasa semedi, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Telaga Ada di dukuh Engang [[Guci, Bumijawa, Tegal|Desa Guci]], sehingga karena kekeramatan guci tersebut maka Kampung Keputihan dapat pulih kembali, bebas dari Pageblug. Untuk mengabadikan peristiwa tersebut maka Kampung Keputihan diubah namanya menajadi Desa Guci. Adapun Guci Sakti tersebut sekarang ada di Museum Nasional setelah pada zaman Adipati Cokroningrat dari Brebes memindahkannya dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes kala itu, sebab Desa Guci zaman dahulu adalah bagian dari Kabupaten [[Brebes]].
Adapun guci sakti tersebut ditempatkan di sebuah dukuh tempat Raden Aryo Wiryo biasa semadi, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Telaga Ada di Dukuh Engang Desa Guci, sehingga karena kekeramatan guci tersebut maka Kampung Keputihan dapat pulih kembali, bebas dari pageblug. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Kampung Keputihan diubah namanya menajadi Desa Guci. Adapun guci sakti tersebut sekarang ada di [[Museum Nasional]] karena pada zaman Adipati Cokroningrat dari Brebes memindahkannya dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes yang kala itu Desa Guci adalah bagian dari [[Kabupaten Brebes]].


Untuk lebih membaur dengan warga, R. Aryo Wiryo menggunakan nama samaran yaitu Kyai Ageng Klitik atau untuk lebih akrab dengan sebutan Kyai Klitik sampai sekarang penyamaran tersebut mengandung maksud sebab keturunan darah biru atau bangsawan dari kraton banyak yang diburu penjajah [[Belanda]] dan tentunya untuk lebih merakyat dan tidak ada perbedaan golongan dengan orang kebanyakan. Beliau menggunakan nama samaran tersebut sampai sekarang tidak diketahui maksud dan asal muasal makna yang sesungguhnya, beliau juga menemukan Tuk atau mata air panas lain yang sekarang terkenal dengan PEMANDIAN KESEPUHAN dan PENGASIHAN yang berkasiat untuk sababiyah berbagai penyakit kulit dan tulang dan sarana mengabulkan khajat tertentu bagi yang meyakininya. Konon kabarnya Pemandian tersebut adalah tempat untuk penjamasan atau memandikan Keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi Sepuh sehingga tempat itu dinamakan Kesepuah dan tempat untuk memandikan pusaka – pusaka lain yang berpamor welas asih, sehingga tempat tersebut dinamakan Pengasihan. Tempat tersebut sekarang dipergunakan untuk pemandian umum yang didatangi pengunjung dari berbagai tempat.
Untuk lebih membaur dengan warga, Raden Aryo Wiryo menggunakan nama samaran yaitu Kyai Ageng Klitik atau untuk lebih akrab dengan sebutan Kyai Klitik. Selain itu penyamaran tersebut juga mengandung maksud lain, sebab keturunan darah biru atau bangsawan dari keraton banyak yang diburu penjajah [[Belanda]]. Sampai sekarang tidak diketahui maksud dan asal muasal makna yang sesungguhnya, dia juga menemukan tuk atau mata air panas lain yang sekarang terkenal dengan '''Pemandian Kasepuhan''' dan '''Pemandian Pengasihan''' yang berkasiat untuk sababiyah berbagai penyakit kulit dan tulang dan sarana mengabulkan khajat tertentu bagi yang meyakininya. Konon kabarnya Pemandian tersebut adalah tempat untuk penjamasan atau memandikan keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi sepuh sehingga tempat itu dinamakan Kasepuhan dan tempat untuk memandikan pusaka – pusaka lain yang berpamor welas asih, sehingga tempat tersebut dinamakan Pengasihan. Tempat tersebut sekarang dipergunakan untuk pemandian umum yang didatangi pengunjung dari berbagai tempat.


Setelah Desa Guci semakin ramai maka datanglah seorang pengembara bernama Mbah SEGEONG dan bertapa di dalam Gua, yang sekarang terkenal dengan Gua SEGEONG terletak di sebelah selatan Pos I retribusi sekitar 350 m jaraknya. Pada saat Kyai Elang Sutajaya siar agama islam beliau sering melakukan semedi diatas sebuah bukit dan disekitar tempat itu banyak terdapat hewan badak ( warak, dalam bahasa jawa ) dan hewan – hewan tersebut bertempat didaerah itu maka Kyai Elang Sutajaya menyebutnya dengan Kandang Warak yang sekarang nama tersebut digunakan
Setelah Desa Guci semakin ramai maka datanglah seorang pengembara bernama Mbah Segeong dan bertapa di dalam Gua, yang sekarang terkenal dengan Gua Segeong terletak di sebelah selatan Pos I Retribusi sekitar 350 m jaraknya. Pada saat Kyai Elang Sutajaya mensyiarkan agama islam dia sering melakukan semadi di atas sebuah bukit. Di sekitar tempat itu banyak terdapat hewan badak (warak, dalam bahasa Jawa), maka Kyai Elang Sutajaya menyebutnya dengan Kandang Warak yang sekarang nama tersebut digunakan sebagai nama sebuah dukuh di sebelah timur Desa Guci yaitu Dukuh Pekandangan.
sebagai nama sebuah dukuh disebelah timur Desa Guci yaitu dukuh Pekandangan.


Data ini bersumber dari [[Babad Tanah Jawi|Babad Tanah Jawa]] dan penuturan leluhur dari keturunan [[Raden Patah]].
Adapun sejarah Desa Guci menjadi Obyek [[Wisata]] adalah bermula setelah ditemukannya sumber tersebut dan diteliti tidak mengandung racun maka pada tahun [[1974]] pemandian umum dibuka untuk dikunjungi dengan fasilitas yang masih alami dan belum dibuat seperti sekarang ini, [[wisatawan]] masih mandidibawah gua sumber mata air panas dan konon tempat itu juga merupakan daerah kekuasaan dayang [[Ratu Laut Selatan|Nyai Roro Kidul]] yang bertugas diwilayah sungai sebelah utara gunung slamet atau lebih dikenal Kali Gung, sejarah mengatakan dinamakan Kali Gung sebab bersinggungan dengan mata air yang Agung yakni aliran mata air panas yang melimpah sepanjang tahun, Dayang Nyai roro Kidul bernama Nyai Rantensari yang berwujud sesungguhnya adalah [[Naga]] dan di Pancuran 13
tersebut dibuat Patung Naga untuk mengingatkan akan daya mistis yang ada dikawasan Obyek yang inti di [[Guci Indah|OW Guci]].


== Pariwisata ==
Dikawasan tersebut juga terdapat Pohon Beringin dan Pohon Karet yang sudah ratusan tahun yang konon ditanam oleh keturunan Kyai Klitik yang bernama Eyang Sudi Reja dan Mbah Abdurahim pada tahun [[1918]]. Dengan maksud agar dearah tersebut kuat dan tidak longsor dan rindang. Sampai sekarang Desa Guci]dan Dukuh Pekandangan Desa Rembul merupakan desa yang ketempatan Obyak Wisata yang masih menyimapan misteri kegaibanya sebab merupakan poeninggalan para wali terdahulu penyebar agama islam, dan masih banyak tempat – tempat yang menyimpan sejarah seperti petilasan Kyai Mustofa dan makamnya di Pekaringan berjarak 5 KM dari [[Guci, Bumijawa, Tegal|Desa Guci]], Kayi Mustofa adalah seorang ulama keturunan kanjeng Sunan Gunungjati yang siar Islam kemudian bertapa di Desa Guci pada zaman cucu Kyai Klitik.
=== Guci Indah ===

{{main|Guci Indah}}
Ulama inilah yang memberi nama air terjun disebelah atas Pemandian Pancuran 13 yaitu Curug Serwiti sebab banyak muncul burung serwiti dan diatas curug itu ada lagi sebuah curug yang indah bernama Curug Jedor yang tidak pernah diketahui asal muasal nama tersebut.
Kawasan Guci Indah merupakan objek wisata [[air terjun]], pemandian air panas, dan taman di kaki [[Gunung Slamet]]. Jaraknya sekitar ± 27 km ke arah selatan dari [[Slawi, Tegal|Slawi]]. Terdapat kebun stroberi yang bisa dipetik langsung, juga terdapat banyak penginapan yang bermunculan sejak 5 tahun terakhir.

Demikian sejarah singkat Desa dan [[Guci Indah|Obyek Wisata GUCI]] yang dimiliki oleh dua kecamatan yaitu Kecamatan Bumijawa dan Kecamatan Bojong. Data ini bersumber dari penuturan Leluhur dan Babad tanah jawa dari keturunan Raden Fatah.


== Referensi ==
== Referensi ==
[http://maulanabustanul.blogspot.com/2009/12/ow-pemandian-air-panas-guci.html|Guci]
{{Bumijawa, Tegal}}
{{Bumijawa, Tegal}}
{{kelurahan-stub}}


{{Authority control}}
[[jv:Guci, Bumijawa, Tegal]]

[[map-bms:Guci, Bumijawa, Tegal]]

{{Kelurahan-stub}}

Revisi terkini sejak 11 Agustus 2024 06.42

Guci
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenTegal
KecamatanBumijawa
Kode pos
52466
Kode Kemendagri33.28.02.2001 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km³
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Guci adalah desa di kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada zaman dulu sekitar tahun 1767 tersebutlah seorang bangsawan dari Kesultanan Demak, bernama Raden Aryo Wiryo yang merasa jenuh dengan keadaan, kehidupan keraton yang sering kali terjadi konflik perang saudara dan persaingan perebutan tahta di antara sesama saudara dalam lingkup keraton. Keadaan itu membuat Raden Aryo Wiryo merasa jenuh dan berniat meninggalkan keraton.

Akhirnya dia berangkat meninggalkan keraton dengan mengajak istrinya yang kemudian dikenal dengan Nyai Tumbu, selang beberapa tahun kemudian dia sempat mengabdi di Kesultanan Mataram pada zaman kejayaan Sultan Agung Hanyorokusumo kemudian dia sempat pula ditugaskan oleh Sultan Agung untuk berangkat ke Cirebon pada masa itu.

Kemudian dia kembali mengembara hingga sampai di lereng Gunung Slamet sebelah utara dan dia menetap di daerah tersebut . Dia orang pertama yang membuka lahan perkampungan di tempat itu sampai banyak orang berdatangan ke daerah itu untuk berguru kepada Raden Aryo Wiryo dan akhirnya menetap di daerah tersebut. Oleh karenanya Raden Aryo Wiryo memeberi nama tempat itu “Kampung Keputihan“, (daerah yang masih asli tak terjamah peradaban agama selain Islam).

Suatu saat datanglah pengembara dari Pesantren Gunung Jati yang merupakan santri Sunan Gunung Jati. Sunan Gunungjati bernama Kyai Elang Sutajaya bermaksud menyebarkan agama Islam dan kemudian Raden Aryo Wiryo dan pengikutnya berkenan mendalami ajaran agama islam untuk lebih memantapkan keimanan para pengikutnya.

Pada saat itu kampung keputihan sedang dilanda wabah pageblug seperti banyak tanah longsor dan penyakit gatal – gatal (gudigen, bahasa setempat)sehingga Kyai Elang Sutajaya mengajak Raden Aryo Wiryo dan warganya untuk berdoa kepada Alllah SWT dengan ritual yang sekarang dikenal sebagai ruwat bumi dengan menyembelih kambing Kendit dan menyajikan hasil bumi seperti Pala Pendem dan sayur mayur yang akan disedekahkan kepada fakir miskin. Acara ritual tersebut terjadi pada bulan Asyuro atau bulan Mukharom dan turun temurun sampai sekarang.

Pada saat berdoa dengan tasyakuran Tahlilan dan Manaqib kala itu, Kanjeng Sunan Gunung Jati berkenan hadir secara ghoib dan memeberikan sebuah guci sakti yang sudah diisi dengan do’a Kanjeng Sunan agar penduduk Kampung Keputihan yang terjangkit wabah gatal segera meminum air guci tersebut dan pojok – pojok Kampung Keputihan agar dipercikkan air guci tersebut untuk menghilangkan kerusakan akibat bencana alam. Sehingga pada saat Radenn Aryo Wiryo berkeliling bersama Kyai Elang Sutajaya dia menemukan sumber mata air panas dibawah sebuah Gua yang sekarang terkenal dengan nama Pancuran 13.

Adapun guci sakti tersebut ditempatkan di sebuah dukuh tempat Raden Aryo Wiryo biasa semadi, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Telaga Ada di Dukuh Engang Desa Guci, sehingga karena kekeramatan guci tersebut maka Kampung Keputihan dapat pulih kembali, bebas dari pageblug. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Kampung Keputihan diubah namanya menajadi Desa Guci. Adapun guci sakti tersebut sekarang ada di Museum Nasional karena pada zaman Adipati Cokroningrat dari Brebes memindahkannya dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes yang kala itu Desa Guci adalah bagian dari Kabupaten Brebes.

Untuk lebih membaur dengan warga, Raden Aryo Wiryo menggunakan nama samaran yaitu Kyai Ageng Klitik atau untuk lebih akrab dengan sebutan Kyai Klitik. Selain itu penyamaran tersebut juga mengandung maksud lain, sebab keturunan darah biru atau bangsawan dari keraton banyak yang diburu penjajah Belanda. Sampai sekarang tidak diketahui maksud dan asal muasal makna yang sesungguhnya, dia juga menemukan tuk atau mata air panas lain yang sekarang terkenal dengan Pemandian Kasepuhan dan Pemandian Pengasihan yang berkasiat untuk sababiyah berbagai penyakit kulit dan tulang dan sarana mengabulkan khajat tertentu bagi yang meyakininya. Konon kabarnya Pemandian tersebut adalah tempat untuk penjamasan atau memandikan keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi sepuh sehingga tempat itu dinamakan Kasepuhan dan tempat untuk memandikan pusaka – pusaka lain yang berpamor welas asih, sehingga tempat tersebut dinamakan Pengasihan. Tempat tersebut sekarang dipergunakan untuk pemandian umum yang didatangi pengunjung dari berbagai tempat.

Setelah Desa Guci semakin ramai maka datanglah seorang pengembara bernama Mbah Segeong dan bertapa di dalam Gua, yang sekarang terkenal dengan Gua Segeong terletak di sebelah selatan Pos I Retribusi sekitar 350 m jaraknya. Pada saat Kyai Elang Sutajaya mensyiarkan agama islam dia sering melakukan semadi di atas sebuah bukit. Di sekitar tempat itu banyak terdapat hewan badak (warak, dalam bahasa Jawa), maka Kyai Elang Sutajaya menyebutnya dengan Kandang Warak yang sekarang nama tersebut digunakan sebagai nama sebuah dukuh di sebelah timur Desa Guci yaitu Dukuh Pekandangan.

Data ini bersumber dari Babad Tanah Jawa dan penuturan leluhur dari keturunan Raden Patah.

Pariwisata

[sunting | sunting sumber]

Guci Indah

[sunting | sunting sumber]

Kawasan Guci Indah merupakan objek wisata air terjun, pemandian air panas, dan taman di kaki Gunung Slamet. Jaraknya sekitar ± 27 km ke arah selatan dari Slawi. Terdapat kebun stroberi yang bisa dipetik langsung, juga terdapat banyak penginapan yang bermunculan sejak 5 tahun terakhir.

Referensi

[sunting | sunting sumber]