Sureq Galigo: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k Cerita |
||
(27 revisi perantara oleh 22 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{refimprove|date=Mei 2019}} |
{{refimprove|date=Mei 2019}} |
||
[[Berkas:Galigo.jpg|ka|jmpl|225px|[[Manuskrip]] ''Sureq Galigo'' dari [[abad ke-19]]]] |
[[Berkas:Galigo.jpg|ka|jmpl|225px|[[Manuskrip]] ''Sureq Galigo'' dari [[abad ke-19]].]] |
||
'''Sureq Galigo''', atau '''Galigo''', atau disebut juga '''La Galigo''' adalah sebuah [[epik]] [[mitos penciptaan]] dari [[peradaban]] [[Bugis]] di [[Sulawesi Selatan]] (sekarang bagian dari [[Republik Indonesia]]) yang ditulis |
'''Sureq Galigo''', '''I La Galigo''', atau '''Galigo''', atau disebut juga '''La Galigo''' adalah sebuah [[epik]] [[mitos penciptaan]] dari [[peradaban]] [[Bugis]] di [[Sulawesi Selatan]] (sekarang bagian dari [[Republik Indonesia]]) yang ditulis oleh [[Colliq Pujie]] pada abad ke-19 dalam bentuk [[puisi]] [[bahasa Bugis]] kuno, ditulis dalam [[aksara]] [[Lontara]] Bugis kuno.<ref name="Arnold 2004">{{Cite news|url=http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?res=9407E6DC1638F934A35757C0A9629C8B63&sec=&spon=&pagewanted=all|title=Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation Myth|accessdate=2008-09-04|work = The New York Times|date=2004-04-07|author=Wayne Arnold}}</ref> Puisi ini terdiri dalam [[sajak bersuku lima]] dan selain menceritakan kisah asal usul [[manusia]], juga berfungsi sebagai [[almanak]] praktis sehari-hari.<ref name="Arnold 2004" /><ref name="Shaw 2005">{{Cite news|url=http://www.nysun.com/arts/micromanaging-indonesia/17074/|title=Micromanaging Indonesia|accessdate=2008-08-19|publisher=The New York Sun|date=2005-07-15|author=Helen Shaw|archive-date=2011-06-11|archive-url=https://web.archive.org/web/20110611153909/http://www.nysun.com/arts/micromanaging-indonesia/17074/|dead-url=yes}}</ref> |
||
Epik ini dalam masyarakat Bugis |
Epik ini berkembang dalam masyarakat Bugis sebagai [[tradisi lisan]] dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada [[abad ke-18]], di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat [[serangga]], [[iklim]] atau [[perusakan]].<ref name="Arnold 2004" /> Akibatnya, tidak ada versi ''Galigo'' yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 [[halaman]] atau 300.000 baris [[teks]], membuatnya menjadi salah satu karya [[sastra]] terbesar.<ref name="Rothstein 2005">{{Cite news|url=http://theater2.nytimes.com/2005/07/15/theater/reviews/15gali.html|title=A Sacred Epic and Its Gods, All Struggling to Survive|accessdate=2008-08-19|work = The New York Times|date=2005-07-15|author=Edward Rothstein}}</ref> |
||
== Latar belakang dan usaha pelestarian == |
== Latar belakang dan usaha pelestarian == |
||
Epik ini berisi cerita yang berlatar belakang kerajaan Luwu pada abad ke-15.<ref name=":0">{{Cite book|last=Liebner|first=Horst H.|date=2003|title=La Galigo: Menelusuri jejak warisan sastra dunia|chapter=Berlayar ke tompoq tikkaq: sebuah episode La Galigo|url-status=live}}</ref>{{Rp|32}} Namun isinya sendiri mencerminkan ciri-ciri penulisan pada abad kemudian, misalnya dengan adanya penyebutan istilah Peringgi (''Frank'' atau orang Eropa), yang merupakan penyebutan orang Portugis dalam bahasa Bugis.<ref name=":0" />{{Rp|26}} Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam [[bahasa Bugis]]. Epik ini mengisahkan tentang [[Sawerigading]], seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. |
|||
La Galigo bukanlah teks [[sejarah]] karena isinya penuh dengan [[mitos]] dan peristiwa-peristiwa luar biasa. |
La Galigo bukanlah teks [[sejarah]] karena isinya penuh dengan [[mitos]] dan peristiwa-peristiwa luar biasa.<ref>{{Cite web|title=“I La Galigo” South Sulawesi’s Mythological Epic Poem|url=https://nowjakarta.co.id/i-la-galigo-south-sulawesi-s-mythological-epic-poem|website=NOW JAKARTA {{!}} “I La Galigo” South Sulawesi’s Mythological Epic Poem|language=en|access-date=2022-06-04}}</ref> Dari perbandingan hasil ekskavasi arkeologis, laporan-laporan historis, perbandingan perlengkapan berhias dan barang-barang lain, naskah La Galigo mencerminkan kebudayaan Bugis abad ke-19.<ref name=":0" />{{Rp|33}} |
||
Versi bahasa Bugis asli ''Galigo'' sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.<ref name="Rothstein 2005" /> Sejauh ini ''Galigo'' hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari ''Galigo'' yang telah diterjemahkan ke dalam [[bahasa Indonesia]], dan tidak ada versi lengkapnya dalam [[bahasa Inggris]] yang tersedia.<ref name="Arnold 2004" /> Sebagian manuskrip |
Versi bahasa Bugis asli ''Galigo'' sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.<ref name="Rothstein 2005" /> Sejauh ini ''Galigo'' hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari ''Galigo'' yang telah diterjemahkan ke dalam [[bahasa Indonesia]], dan tidak ada versi lengkapnya dalam [[bahasa Inggris]] yang tersedia.<ref name="Arnold 2004" /> Sebagian manuskrip''' La Galigo''' dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di [[Eropa]], terutama di [[Perpustakaan]] ''[[Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde]] [[Leiden]]'' di [[Belanda]]. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di [[Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara]], dan jumlah muka surat yang tersimpan di [[Eropa]] dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.{{citation needed}} |
||
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam [[pertunjukan]] [[teater]] ''[[I La Galigo (pentas seni)|I La Galigo]]'' oleh [[Robert Wilson (sutradara)|Robert Wilson]], [[sutradara]] asal [[Amerika Serikat]], yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun [[2004]]. |
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam [[pertunjukan]] [[teater]] ''[[I La Galigo (pentas seni)|I La Galigo]]'' oleh [[Robert Wilson (sutradara)|Robert Wilson]], [[sutradara]] asal [[Amerika Serikat]], yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun [[2004]]. |
||
== Isi hikayat La Galigo == |
== Isi hikayat La Galigo == |
||
[[File:La Galigo old manuscript of Bugis in Indonesia.jpg|thumb|Koleksi La Galigo di [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia]], Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta]] |
|||
Epik ini dimulai dengan [[penciptaan dunia]]. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada [[Sulawesi Selatan]]), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di [[Ussu, Malili, Luwu Timur|Ussu']], sebuah daerah di [[Tanah Luwu|Luwu']], sekarang wilayah [[Luwu Timur]] dan terletak di [[Teluk Bone]]. |
Epik ini dimulai dengan kisah [[penciptaan dunia]]. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada [[Sulawesi Selatan]]), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di [[Ussu, Malili, Luwu Timur|Ussu']], sebuah daerah di [[Tanah Luwu|Luwu']], sekarang wilayah [[Luwu Timur]] dan terletak di [[Teluk Bone]]. |
||
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam |
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalanannya ke Kerajaan [[Tiongkok]], ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk tokoh pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu [[We Cudai]]. |
||
[[Sawerigading]] digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate ([[Ternate]] di [[Maluku]]), Gima (diduga [[Bima]] atau [[Sumbawa]]), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, [[Jawa Timur]] dan [[Jawa Tengah|Tengah]]), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan [[Sunda]] Timur dan [[Sunda]] Barat) dan [[Melaka]]. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu. |
[[Sawerigading]] digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate ([[Ternate]] di [[Maluku]]), Gima (diduga [[Bima]] atau [[Sumbawa]]), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, [[Jawa Timur]] dan [[Jawa Tengah|Tengah]]), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan [[Sunda]] Timur dan [[Sunda]] Barat) dan [[Melaka]]. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu. |
||
Baris 25: | Baris 26: | ||
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'. |
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'. |
||
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang [[Bugis]] bermukim di pesisir pantai [[Sulawesi]]. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai |
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang [[Bugis]] bermukim di pesisir pantai [[Sulawesi]]. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai di mana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (''Baruga'') yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan [[Bugis]] ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem [[barter]], diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.{{citation needed}} |
||
== La Galigo di [[Sulawesi Tengah]] == |
== La Galigo di [[Sulawesi Tengah]] == |
||
Nama [[Sawerigading]] [[I La Galigo]] cukup terkenal di [[Sulawesi Tengah]]. Hal ini membuktikan bahwa |
Nama [[Sawerigading]] [[I La Galigo]] cukup terkenal di [[Sulawesi Tengah]]. Hal ini membuktikan bahwa kawasan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba [[Bugis]] yaitu Luwu'.<ref>{{Cite web|title=La Galigo di Sulawesi Tengah|url=https://perpustakaan.tanahimpian.web.id/2012/11/la-galigo-di-sulawesi-tengah.html|access-date=2022-05-25}}</ref> |
||
[[Sawerigading]] dan anaknya [[I La Galigo]] bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat [[Sulawesi]]. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan [[Loli]] di [[Teluk Palu]] menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri). |
[[Sawerigading]] dan anaknya [[I La Galigo]] bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat [[Sulawesi]]. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan [[Loli]] di [[Teluk Palu]] menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri). |
||
Baris 39: | Baris 40: | ||
== La Galigo di [[Sulawesi Tenggara]] == |
== La Galigo di [[Sulawesi Tenggara]] == |
||
Ratu [[Wolio]] pertama di [[Butung]] ([[Butuni]] atau [[Buton]]) di gelar Wakaka, |
Ratu [[Wolio]] pertama di [[Butung]] ([[Butuni]] atau [[Buton]]) di gelar Wakaka, di mana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu [[Wolio]] adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke [[Wolio]] melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar ''Halmahera'' dan berlabuh di [[Teluk Malaoge]] di [[Lasalimu]]. |
||
Di [[Pulau Muna]] yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari [[Jawa]], kemungkinan dari [[Majapahit]]. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu. |
Di [[Pulau Muna]] yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari [[Jawa]], kemungkinan dari [[Majapahit]]. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu. |
||
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di [[Sulawesi Tenggara]] adalah mirip dengan nama-nama di [[Tompoktikka]], seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah [[Wolio]](La Galigo: Setia Bonga).{{citation needed}} |
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di [[Sulawesi Tenggara]] adalah mirip dengan nama-nama di [[Tompoktikka]], seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah [[Wolio]] (La Galigo: Setia Bonga).{{citation needed}} |
||
== La Galigo di [[Gorontalo]] == |
== La Galigo di [[Gorontalo]] == |
||
Baris 51: | Baris 52: | ||
== La Galigo di [[Malaysia]] dan [[Riau]] == |
== La Galigo di [[Malaysia]] dan [[Riau]] == |
||
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan [[Bugis]] dan [[Makasar]] di [[Malaysia]]. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang [[Bugis]] yang bermigrasi ke [[Malaysia]]. Terdapat juga |
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan [[Bugis]] dan [[Makasar]] di [[Malaysia]]. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang [[Bugis]] yang bermigrasi ke [[Malaysia]]. Terdapat juga unsur [[Melayu]] dan [[Bangsa Arab|Arab]] diserap sama.{{citation needed}} |
||
Pada [[abad ke-15]], [[Melaka]] di bawah pemerintahan [[Sultan Mansur Syah]] diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari [[Makassar]]. Semerluki yang disebut ini kemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', |
Pada [[abad ke-15]], [[Melaka]] di bawah pemerintahan [[Sultan Mansur Syah]] diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari [[Makassar]]. Semerluki yang disebut ini kemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', di mana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan ia berniat untuk menyerang [[Melaka]], [[Banda]] dan [[Manggarai]].{{citation needed}} |
||
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, [[Belanda]] memaksa pemerintah [[ |
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, [[Belanda]] memaksa pemerintah [[Gowa]] untuk mengaku kalah dengan menandatangani [[Perjanjian Bungaya]]. Dalam perjuangan ini,Gowa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh [[Belanda]] dan sekutunya [[Arung Palakka|La Tenritta' Arung Palakka]] dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang [[Bugis]] dan [[Makassar]] bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang [[Bugis]] tiba di [[Selangor]] di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang [[Bugis]] menetap di [[Kedah]]. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di [[Johor]]. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke [[Johor]]. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai [[bajak laut|pemimpin bajak laut]] oleh [[Belanda]].{{citation needed}} |
||
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting |
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting di mana mereka bermukim di [[Kuala Selangor]] dan [[Klang]] keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. [[Daeng Marewah]] menjadi [[Yang Dipertuan Muda]] [[Kesultanan Lingga|Riau]], Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri [[Johor]], [[Kedah]] dan [[Selangor]] dan juga ayanhanda dari [[Daeng Kemboja|Opu Daeng Kemboja]] ([[Yang Dipertuan Muda]] [[Kesultanan Lingga|Riau ke-3]]), [[Opu Daeng Manambung]] (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), [[Opu Daeng Cella']] (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).{{citation needed}} |
||
Pada [[abad ke-19]], sebuah teks [[Melayu]] yaitu [[Tuhfat al-Nafis]] mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam [[Tuhfat al-Nafis]] seperti permulaan cerita adalah berasal dari Balqis/[[Ratu Syeba]] dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau [[Sulawesi]] dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.{{citation needed}} |
Pada [[abad ke-19]], sebuah teks [[Melayu]] yaitu [[Tuhfat al-Nafis]] mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam [[Tuhfat al-Nafis]] seperti permulaan cerita adalah berasal dari Balqis/[[Ratu Syeba]] dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau [[Sulawesi]] dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.{{citation needed}} |
||
Baris 64: | Baris 65: | ||
''La Galigo'' sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh [[sutradara]] [[Robert Wilson]] setelah diadaptasi oleh [[Rhoda Grauer]]. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun [[2004]] di [[Asia]], [[Eropa]], [[Australia]] dan [[Amerika Serikat]]. |
''La Galigo'' sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh [[sutradara]] [[Robert Wilson]] setelah diadaptasi oleh [[Rhoda Grauer]]. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun [[2004]] di [[Asia]], [[Eropa]], [[Australia]] dan [[Amerika Serikat]]. |
||
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tetapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang [[narator]] dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif [[efek cahaya]] untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh [[ansambel panggung]].<ref name="Shaw 2005" /> Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional [[Sulawesi]], namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh [[komponis]] [[Jawa]] [[Rahayu Supanggah]] setelah riset yang intensif di [[Sulawesi Selatan]].<ref name="Rothstein 2005" /><ref name="Bianpoen 2004">{{Cite news|url=http://old.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20040404.B01|title=Supanggah sets the tone in 'I La Galigo'|accessdate=2008-09-26|publisher=The Jakarta Post|date=2004-04-04|author=Carla Bianpoen}}</ref> |
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tetapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang [[narator]] dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif [[efek cahaya]] untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh [[ansambel panggung]].<ref name="Shaw 2005" /> Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional [[Sulawesi]], namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh [[komponis]] [[Jawa]] [[Rahayu Supanggah]] setelah riset yang intensif di [[Sulawesi Selatan]].<ref name="Rothstein 2005" /><ref name="Bianpoen 2004">{{Cite news|url=http://old.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20040404.B01|title=Supanggah sets the tone in 'I La Galigo'|accessdate=2008-09-26|publisher=The Jakarta Post|date=2004-04-04|author=Carla Bianpoen}}{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> |
||
Untuk menciptakan [[ekspresi]] [[drama]]tis yang lebih baik, [[instrumen Jawa]] dan [[instrumen Bali|Bali]] lainnya ditambahkan ke dalam lima [[instrumen Sulawesi]] tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 [[instrumen]] yang dimainkan oleh 12 [[musisi]].<ref name="Bianpoen 2004" /> Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 [[pemusik]] dan [[penari]] yang semuanya datang secara ekslusif dari [[Indonesia]] dan sebagian besar dari [[Sulawesi]], serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional ''[[bissu]]'' ([[pendeta]] [[non gender]]) [[Bugis]], yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, [[Puang Matoa Saidi]] yang menceritakan sebagian dari cerita.<ref name="Arnold 2004" /><ref name="Rothstein 2005" /> |
Untuk menciptakan [[ekspresi]] [[drama]]tis yang lebih baik, [[instrumen Jawa]] dan [[instrumen Bali|Bali]] lainnya ditambahkan ke dalam lima [[instrumen Sulawesi]] tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 [[instrumen]] yang dimainkan oleh 12 [[musisi]].<ref name="Bianpoen 2004" /> Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 [[pemusik]] dan [[penari]] yang semuanya datang secara ekslusif dari [[Indonesia]] dan sebagian besar dari [[Sulawesi]], serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional ''[[bissu]]'' ([[pendeta]] [[non gender]]) [[Bugis]], yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, [[Puang Matoa Saidi]] yang menceritakan sebagian dari cerita.<ref name="Arnold 2004" /><ref name="Rothstein 2005" /> |
||
Baris 97: | Baris 98: | ||
[[Kategori:Sastra Sulawesi]] |
[[Kategori:Sastra Sulawesi]] |
||
[[Kategori:Cerita rakyat |
[[Kategori:Cerita rakyat Sulawesi Selatan]] |
||
[[Kategori:Bugis]] |
[[Kategori:Bugis]] |
||
[[Kategori:Mitologi Bugis]] |
|||
[[Kategori:Sastra Bugis]] |
Revisi terkini sejak 19 Agustus 2024 05.49
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Mei 2019) |
Sureq Galigo, I La Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis oleh Colliq Pujie pada abad ke-19 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam aksara Lontara Bugis kuno.[1] Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.[1][2]
Epik ini berkembang dalam masyarakat Bugis sebagai tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan.[1] Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.[3]
Latar belakang dan usaha pelestarian
[sunting | sunting sumber]Epik ini berisi cerita yang berlatar belakang kerajaan Luwu pada abad ke-15.[4] Namun isinya sendiri mencerminkan ciri-ciri penulisan pada abad kemudian, misalnya dengan adanya penyebutan istilah Peringgi (Frank atau orang Eropa), yang merupakan penyebutan orang Portugis dalam bahasa Bugis.[4] Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa.[5] Dari perbandingan hasil ekskavasi arkeologis, laporan-laporan historis, perbandingan perlengkapan berhias dan barang-barang lain, naskah La Galigo mencerminkan kebudayaan Bugis abad ke-19.[4]
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.[3] Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia.[1] Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.[butuh rujukan]
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.
Isi hikayat La Galigo
[sunting | sunting sumber]Epik ini dimulai dengan kisah penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalanannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk tokoh pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai di mana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.[butuh rujukan]
La Galigo di Sulawesi Tengah
[sunting | sunting sumber]Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawasan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu'.[6]
Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.[butuh rujukan]
La Galigo di Sulawesi Tenggara
[sunting | sunting sumber]Ratu Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar Wakaka, di mana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio (La Galigo: Setia Bonga).[butuh rujukan]
La Galigo di Gorontalo
[sunting | sunting sumber]Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.[butuh rujukan]
La Galigo di Malaysia dan Riau
[sunting | sunting sumber]Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unsur Melayu dan Arab diserap sama.[butuh rujukan]
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini kemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', di mana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan ia berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.[butuh rujukan]
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Gowa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Gowa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.[butuh rujukan]
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting di mana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Marewah menjadi Yang Dipertuan Muda Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda dari Opu Daeng Kemboja (Yang Dipertuan Muda Riau ke-3), Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).[butuh rujukan]
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Balqis/Ratu Syeba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.[butuh rujukan]
La Galigo dalam seni pentas
[sunting | sunting sumber]La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tetapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel panggung.[2] Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan.[3][7]
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi.[7] Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.[1][3]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e Wayne Arnold (2004-04-07). "Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation Myth". The New York Times. Diakses tanggal 2008-09-04.
- ^ a b Helen Shaw (2005-07-15). "Micromanaging Indonesia". The New York Sun. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-11. Diakses tanggal 2008-08-19.
- ^ a b c d Edward Rothstein (2005-07-15). "A Sacred Epic and Its Gods, All Struggling to Survive". The New York Times. Diakses tanggal 2008-08-19.
- ^ a b c Liebner, Horst H. (2003). "Berlayar ke tompoq tikkaq: sebuah episode La Galigo". La Galigo: Menelusuri jejak warisan sastra dunia.
- ^ ""I La Galigo" South Sulawesi's Mythological Epic Poem". NOW JAKARTA | “I La Galigo” South Sulawesi’s Mythological Epic Poem (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-06-04.
- ^ "La Galigo di Sulawesi Tengah". Diakses tanggal 2022-05-25.
- ^ a b Carla Bianpoen (2004-04-04). "Supanggah sets the tone in 'I La Galigo'". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2008-09-26.[pranala nonaktif permanen]
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and its diffusion oleh Andi Zainal Abidin
- "La Galigo, Bukan Epos Biasa" Blog Bolehtau.com
Pustaka
[sunting | sunting sumber]- Andi Zainal Abidin and C. C. Macknight (1974). "The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and Its Diffusion". Indonesia. 17 (April): 161–169. doi:10.2307/3350778.