Lompat ke isi

Kesultanan Serdang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(17 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 10: Baris 10:
| date_post =
| date_post =
| event_start = Pendirian
| event_start = Pendirian
| event_end = [[Revolusi Sosial Sumatera Timur]]
| event_end = [[Revolusi Sosial Sumatra Timur]]
| event_post =
| event_post =
| p1 = Kesultanan Deli
| p1 = Kesultanan Deli
| p2 =
| p2 =
| s1 = Negara Sumatera Timur
| s1 = Negara Sumatra Timur
| s2 = Provinsi Sumatera Utara
| s2 = Provinsi Sumatera Utara
| flag_p1 = Flag of the Sultanate of Deli.svg
| flag_p1 = Flag of the Sultanate of Deli.svg
Baris 24: Baris 24:
| royal_anthem =
| royal_anthem =
| image_map = Petasumateratimur.jpg
| image_map = Petasumateratimur.jpg
| image_map_caption = Wilayah Kesultanan Serdang pada 1930 (terletak di antara wilayah Kesultanan Deli)
| image_map_caption = Wilayah Kesultanan Serdang dan beberapa kerajaan Melayu di Sumatra Timur pada 1930
| capital = {{unbulleted list|[[Rantau Panjang, Pantai Labu, Deli Serdang|Rantau Panjang]]|[[Perbaungan, Serdang Bedagai|Perbaungan]]}}
| capital = {{unbulleted list|[[Rantau Panjang, Pantai Labu, Deli Serdang|Rantau Panjang]]|[[Perbaungan, Serdang Bedagai|Perbaungan]]}}
| common_languages = [[Bahasa Melayu|Melayu]]
| common_languages = [[Bahasa Melayu|Melayu]]
| government_type = [[Monarki]]
| government_type = [[Monarki]] [[Kesultanan]]
| title_leader = [[Sultan]]
| title_leader = [[Sultan]]
| leader1 = Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah
| leader1 = Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah
Baris 33: Baris 33:
| leader2 = Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah
| leader2 = Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah
| year_leader2 = 1881–1946
| year_leader2 = 1881–1946
| leader3 = Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II
| leader3 = [[Tengku Lukman Sinar|Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II]]
| year_leader3 = 2002–2011
| year_leader3 = 2002–2011
| leader4 = Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah
| leader4 = Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah
Baris 48: Baris 48:
}}
}}


'''Kesultanan Serdang''' (nama resminya '''Negeri Kesultanan Serdang Darul Arif''') adalah sebuah [[kesultanan]] yang berdiri pada tahun 1723 dan kemudian bergabung dengan [[Indonesia|Republik Indonesia]] tahun 1945.<ref name="sejarah"/> Kesultanan ini berpisah dari [[Kesultanan Deli|Deli]] dan menjadi subjek [[Federasi|federal]] baru Negara Kedatukan Sunggal setelah sengketa takhta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di [[Sumatra Timur]], Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan [[tembakau]], [[karet]], dan [[kelapa sawit]].
'''Kesultanan Serdang''' (nama resminya '''Negeri Kesultanan Serdang Darul Arif''') adalah sebuah [[kesultanan]] yang berdiri pada tahun 1723 dan kemudian bergabung dengan [[Indonesia|Republik Indonesia]] tahun 1945.<ref name="sejarah"/> Kesultanan ini berpisah dari [[Kesultanan Deli|Deli]] dan menjadi subjek [[Federasi|negara]] baru setelah Raja Urung Kedatukan Sunggal menobatkan raja pertama akibat sengketa takhta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di [[Sumatra Timur]], Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan [[tembakau]], [[karet]], dan [[kelapa sawit]].


Serdang ditaklukkan tentara [[Hindia Belanda]] pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam [[Revolusi Sosial Sumatra Timur]] tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik. Namun, berbeda dengan yang terjadi di beberapa kesultanan Sumatra Timur, karena Sultan dan pejabat kesultanan ketika itu merupakan pendukung Republik, maka tidak terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa di Serdang, dan istana Kesultanan Serdang tidak menjadi sasaran penjarahan massa.<ref name="sejarah">[https://www.youtube.com/watch?v=A_UbMGVeoqY Tengku Mira Sinar: Inilah Fakta Sejarah Kesultanan Serdang (Produksi Deli Geist TV, 2019)]</ref>
Serdang ditaklukkan tentara [[Hindia Belanda]] pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam [[Revolusi Sosial Sumatra Timur]] tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik. Namun, berbeda dengan yang terjadi di beberapa kesultanan Sumatra Timur, karena Sultan dan pejabat kesultanan ketika itu merupakan pendukung Republik, maka tidak terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa di Serdang, dan istana Kesultanan Serdang tidak menjadi sasaran penjarahan massa.<ref name="sejarah">[https://www.youtube.com/watch?v=A_UbMGVeoqY Tengku Mira Sinar: Inilah Fakta Sejarah Kesultanan Serdang (Produksi Deli Geist TV, 2019)]</ref>


Institusi Kesultanan Serdang masih berdiri sampai sekarang, serta masih melestarikan adat istiadatnya secara turun temurun, meski sudah tidak memiliki kekuasaan dalam politik dan pemerintahan. Namun, dalam hal-hal tertentu, pemerintah juga mengambil keputusan bersama dengan pihak kesultanan, khususnya mengenai masalah sosial dan kebudayaan. Bekas wilayah Kesultanan Serdang kini menjadi [[Kabupaten Serdang Bedagai]] dan sebagian [[Kabupaten Deli Serdang]], [[Provinsi Sumatra Utara]].
Institusi Kesultanan Serdang masih berdiri sampai sekarang, serta masih melestarikan adat istiadatnya secara turun temurun, meski sudah tidak memiliki kekuasaan dalam politik dan pemerintahan. Namun, dalam hal-hal tertentu, pemerintah juga mengambil keputusan bersama dengan pihak kesultanan, khususnya mengenai masalah sosial dan kebudayaan. Wilayah Kesultanan Serdang kini menjadi [[Kabupaten Serdang Bedagai]], [[Kota Tebing Tinggi]], serta sebagian [[Kabupaten Deli Serdang]], [[Provinsi Sumatera Utara]].


== Wilayah kekuasaan ==
== Wilayah kekuasaan ==
Baris 61: Baris 61:
=== Pendirian Kesultanan Deli ===
=== Pendirian Kesultanan Deli ===
Menurut riwayat, seorang [[Laksamana]] dari [[Sultan Iskandar Muda]] [[Kesultanan Aceh|Aceh]] bernama [[Gocah Pahlawan|Sri Paduka Gocah Pahlawan]], bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah [[Suku Karo]] yang sudah sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di [[Kesultanan Deli|Deli]] pada tahun [[1630]]. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.<ref name="melayu"/>
Menurut riwayat, seorang [[Laksamana]] dari [[Sultan Iskandar Muda]] [[Kesultanan Aceh|Aceh]] bernama [[Gocah Pahlawan|Sri Paduka Gocah Pahlawan]], bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah [[Suku Karo]] yang sudah sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di [[Kesultanan Deli|Deli]] pada tahun [[1630]]. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.<ref name="melayu"/>

Menurut naskah kuno di Minangkabau, Kitab Salisilah Rajo-Rajo di Minangkabau, Gocah Pahlawan ini nama kecilnya adalah Yamtuan Laut (Yamtuan Lawik) gelarnya Tuanku Sri Paduka Gocah - Pahlawan Laksamana [Khoja] Bintan. Ibu beliau bernama Putri Reno Awan Tasingik yang menikah dengan Paduka Sri Muhammad Deli Khan, Panglima Perang asal Aceh turunan dari Punjab, Hindustan <ref>Emral Djamal Dt Rajo Mudo, Zera Permana, Ghio Vani D Soares, Hendri Aldrat, Sutan Kurnia, Khudri. Kitab Salisilah Rajo-Rajo di Minangkabau. Yayasan Arsari Djojohadikusomo dan Salimbado. Jakarta. 2023 </ref>.


=== Kemelut di tubuh Kesultanan Deli ===
=== Kemelut di tubuh Kesultanan Deli ===
Baris 78: Baris 80:


=== Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia ===
=== Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia ===
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh [[Belanda]]. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan [[Belanda]] yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda dan selama tiga setengah tahun berada di bawah pendudukan Jepang, akhirnya, pasca [[Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia]], di bulan [[Desember]] [[1945]], Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah yang ketika itu sudah berusia lanjut mengirimkan telegram kepada pemerintah pusat Indonesia yang menyatakan bahwa Kesultanan Serdang bergabung dengan [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]].<ref name="sejarah"/><ref name="melayu"/>
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh [[Belanda]]. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan [[Belanda]] yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda dan selama tiga setengah tahun berada di bawah pendudukan Jepang, akhirnya, pasca [[Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia]], pada bulan [[Oktober]] [[1945]] putra mahkota Tengku Rajih Anwar dan Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah yang ketika itu sudah berusia lanjut menyatakan bahwa Kesultanan Serdang bergabung dengan [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]], disusul dengan mengirimkan telegram pernyataan bergabungnya Serdang kepada pemerintah pusat pada bulan [[Desember]] [[1945]].<ref name="sejarah"/><ref name="melayu"/>


== Struktur Pemerintahan ==
== Struktur Pemerintahan ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de Sultan van Serdang vermoedelijk Oost-Sumatra TMnr 10001871.jpg|jmpl|210px|ka|Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah (memerintah [[1881]]-[[1946]]).]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de Sultan van Serdang vermoedelijk Oost-Sumatra TMnr 10001871.jpg|jmpl|210px|ka|Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah (memerintah [[1881]]-[[1946]]).]]
[[Berkas:Sultan-Lukman.jpg|jmpl|210px|ka|Tuanku Luckman Sinar Bashar Shah II (memerintah [[2002]]-[[2011]]).]]
[[Berkas:Sultan-Lukman.jpg|jmpl|210px|ka|[[Tengku Lukman Sinar|Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II]] (memerintah [[2002]]-[[2011]]).]]
[[Berkas:Sultan Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah.jpg|jmpl|210px|ka|Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah (memerintah sejak tahun [[2011]]).]]
[[Berkas:Sultan Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah.jpg|jmpl|210px|ka|Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah (memerintah sejak tahun [[2011]]).]]
=== Raja Pertama ===
=== Raja Pertama ===
Struktur tertinggi di Kesultanan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:<ref name="melayu"/>
Struktur tertinggi di Kesultanan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:<ref name="melayu"/>
Baris 118: Baris 120:
=== Pemangku / Kepala Adat Kesultanan Serdang ===
=== Pemangku / Kepala Adat Kesultanan Serdang ===
* [[1960]]-[[2001]] Tuanku Abu Nawar Sharifullah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Pemangku Adat Kesultanan Serdang
* [[1960]]-[[2001]] Tuanku Abu Nawar Sharifullah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Pemangku Adat Kesultanan Serdang
* [[2002]]-[[2011]] Tuanku Luckman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Kepala Adat Kesultanan Serdang.
* [[2002]]-[[2011]] [[Tengku Lukman Sinar|Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II]] ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Kepala Adat Kesultanan Serdang
* [[2011]] Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Abunawar Shariful Alam, Kepala Adat Kesultanan Serdang
* [[2011]] Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Abunawar Shariful Alam, Kepala Adat Kesultanan Serdang


== Kehidupan Sosial-Budaya ==
== Kehidupan Sosial-Budaya ==
[[Berkas:Replika Istana Sultan Serdang.jpg|ka|jmpl|300px|Istana Kesultanan Serdang yang baru di [[Melati Kebun, Pegajahan, Serdang Bedagai]]. Pembangunan istana ini diprakarsai oleh Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II serta pemerintah [[Kabupaten Serdang Bedagai]], dan diresmikan pada [[7 Januari]] [[2012]].]]
[[Berkas:Replika Istana Sultan Serdang.jpg|ka|jmpl|300px|Istana Kesultanan Serdang yang baru di [[Melati Kebun, Pegajahan, Serdang Bedagai]]. Pembangunan replika istana ini diprakarsai oleh Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II serta pemerintah [[Kabupaten Serdang Bedagai]], dan diresmikan pada [[7 Januari]] [[2012]].]]
Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Shah.<ref name="melayu"/>
Berikut ini gambaran kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Shah.<ref name="melayu"/>


=== Catatan Utusan Kerajaan Inggris ===
=== Catatan Utusan Kerajaan Inggris ===
Baris 165: Baris 167:
[[Kategori:Kesultanan Serdang| ]]
[[Kategori:Kesultanan Serdang| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Serdang]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Serdang]]
[[Kategori:Kerajaan di Sumatra Utara|Serdang]]
[[Kategori:Kerajaan di Sumatera Utara|Serdang]]
[[Kategori:Kabupaten Deli Serdang]]
[[Kategori:Kabupaten Deli Serdang]]

Revisi terkini sejak 23 Oktober 2024 09.47

Negeri Kesultanan Serdang Darul Arif

ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ سردڠ
1723–Sekarang
Bendera Kesultanan Serdang
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Wilayah Kesultanan Serdang dan beberapa kerajaan Melayu di Sumatra Timur pada 1930
Wilayah Kesultanan Serdang dan beberapa kerajaan Melayu di Sumatra Timur pada 1930
Ibu kota
Bahasa yang umum digunakanMelayu
Agama
Islam (Resmi)
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1723–1782
Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah
• 1881–1946
Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah
• 2002–2011
Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II
• 2011–Sekarang
Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah
Sejarah 
• Pendirian
1723
1946 Sekarang
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Deli
Negara Sumatra Timur
Provinsi Sumatera Utara
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Serdang (nama resminya Negeri Kesultanan Serdang Darul Arif) adalah sebuah kesultanan yang berdiri pada tahun 1723 dan kemudian bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1945.[1] Kesultanan ini berpisah dari Deli dan menjadi subjek negara baru setelah Raja Urung Kedatukan Sunggal menobatkan raja pertama akibat sengketa takhta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di Sumatra Timur, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.

Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam Revolusi Sosial Sumatra Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik. Namun, berbeda dengan yang terjadi di beberapa kesultanan Sumatra Timur, karena Sultan dan pejabat kesultanan ketika itu merupakan pendukung Republik, maka tidak terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa di Serdang, dan istana Kesultanan Serdang tidak menjadi sasaran penjarahan massa.[1]

Institusi Kesultanan Serdang masih berdiri sampai sekarang, serta masih melestarikan adat istiadatnya secara turun temurun, meski sudah tidak memiliki kekuasaan dalam politik dan pemerintahan. Namun, dalam hal-hal tertentu, pemerintah juga mengambil keputusan bersama dengan pihak kesultanan, khususnya mengenai masalah sosial dan kebudayaan. Wilayah Kesultanan Serdang kini menjadi Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Tebing Tinggi, serta sebagian Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

Wilayah kekuasaan

[sunting | sunting sumber]

Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu, dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.[2]

Pendirian Kesultanan Deli

[sunting | sunting sumber]

Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Suku Karo yang sudah sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.[2]

Menurut naskah kuno di Minangkabau, Kitab Salisilah Rajo-Rajo di Minangkabau, Gocah Pahlawan ini nama kecilnya adalah Yamtuan Laut (Yamtuan Lawik) gelarnya Tuanku Sri Paduka Gocah - Pahlawan Laksamana [Khoja] Bintan. Ibu beliau bernama Putri Reno Awan Tasingik yang menikah dengan Paduka Sri Muhammad Deli Khan, Panglima Perang asal Aceh turunan dari Punjab, Hindustan [3].

Kemelut di tubuh Kesultanan Deli

[sunting | sunting sumber]

Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putra tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putra kedua, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih takhta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.[2]

Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putra garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka dua Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.[2]

Periode Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]
Istana Darul Arif di Kota Galuh, Perbaungan, Serdang Bedagai pada tahun 1930-an. Istana tersebut hancur pada saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947.[1]

Penggabungan dengan Perbaungan

[sunting | sunting sumber]

Pemerintahan Kesultanan Serdang berlangsung selama lebih dari dua abad, sejak tahun 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa lima orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Alma Shah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Alam Shah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Pada masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kesultanan Serdang dan Perbaungan. Dikisahkan, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.[2]

Putra Ainan Johan Alam Shah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut takhta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat), dan kemudian diberi gelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putra mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putra mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyar Shah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama, yaitu Tengku Besar.[2]

Sultan Thaf Sinar Basyar Shah

[sunting | sunting sumber]

Ketika Sultan Johan Alam Shah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basar Shah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putra, namun putranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putra tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.[2]

Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda dan selama tiga setengah tahun berada di bawah pendudukan Jepang, akhirnya, pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada bulan Oktober 1945 putra mahkota Tengku Rajih Anwar dan Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah yang ketika itu sudah berusia lanjut menyatakan bahwa Kesultanan Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, disusul dengan mengirimkan telegram pernyataan bergabungnya Serdang kepada pemerintah pusat pada bulan Desember 1945.[1][2]

Struktur Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]
Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah (memerintah 1881-1946).
Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II (memerintah 2002-2011).
Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah (memerintah sejak tahun 2011).

Raja Pertama

[sunting | sunting sumber]

Struktur tertinggi di Kesultanan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:[2]

  1. Sebagai Kepala Pemerintahan Kesultanan Serdang.
  2. Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
  3. Sebagai Kepala Adat Melayu

Lembaga Orang Besar Berempat

[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Alma Shah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:[2]

  1. Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
  2. Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
  3. Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
  4. Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia)

Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.

Sultan Ainan Johan Almashah memperkukuh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kukuhnya 4 kaki binatang dan asas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu, yaitu suami, istri, anak beru (menantu), dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.[2]

Jabatan Lainnya

[sunting | sunting sumber]

Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.[2]

Penguasa/Sultan

[sunting | sunting sumber]

Penguasa Kejuruan Junjungan (Ujong)

[sunting | sunting sumber]
  • 1723-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah bin Tuanku Panglima Paderap (Kejeruan Junjungan), Raja Kejuruan Junjungan Ke - I
  • 1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Umar (Al-Marhum Kacapuri), Raja Kejuruan Junjungan Ke - II

Sultan Serdang

[sunting | sunting sumber]
  • 1822-1851 Sultan Thaf Sinar Basyar Shah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah (Al-Marhum Besar), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang Ke- I
  • 1851-1881 Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah (Al-Marhum Kota Batu), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang Ke-II
  • 1881-1946 Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din (Al-Marhum Perbaungan), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang Ke-III

Kepala Rumah Tangga Kesultanan Serdang

[sunting | sunting sumber]
  • 1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang

Pemangku / Kepala Adat Kesultanan Serdang

[sunting | sunting sumber]
  • 1960-2001 Tuanku Abu Nawar Sharifullah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Pemangku Adat Kesultanan Serdang
  • 2002-2011 Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Kepala Adat Kesultanan Serdang
  • 2011 Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Abunawar Shariful Alam, Kepala Adat Kesultanan Serdang

Kehidupan Sosial-Budaya

[sunting | sunting sumber]
Istana Kesultanan Serdang yang baru di Melati Kebun, Pegajahan, Serdang Bedagai. Pembangunan replika istana ini diprakarsai oleh Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II serta pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, dan diresmikan pada 7 Januari 2012.

Berikut ini gambaran kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Shah.[2]

Catatan Utusan Kerajaan Inggris

[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang tahun 1823, ia mencatat:[2]

  1. Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
  2. Sultan Thaf Sinar Basyar Shah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
  3. Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatra (orang Alas) yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
  4. Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
  5. Cukai di Serdang cukup moderat.

Pepatah Melayu

[sunting | sunting sumber]

Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:[2]

  • secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang dalam diperlihara ikan;
  • genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
  • cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras maka pembangunan terlaksana);
  • hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).

Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Shah ini amat berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk Melayu (agama Islam). Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat pada tahun 1850, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan untuknya dengan gelar Marhom Besar.[2]

Lihat Pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Tengku Mira Sinar: Inilah Fakta Sejarah Kesultanan Serdang (Produksi Deli Geist TV, 2019)
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p "Sejarah Kerajaan Serdang di MelayuOnline.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-06-01. 
  3. ^ Emral Djamal Dt Rajo Mudo, Zera Permana, Ghio Vani D Soares, Hendri Aldrat, Sutan Kurnia, Khudri. Kitab Salisilah Rajo-Rajo di Minangkabau. Yayasan Arsari Djojohadikusomo dan Salimbado. Jakarta. 2023

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]