Lompat ke isi

Lamri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kesultanan Lamuri)
Lam Rèh

Lamri
800–1503
Ibu kotaLamreh
Agama
Hindu, Islam (abad ke-14/15)[1]
Sejarah 
• Didirikan
800
• Kemunculan Aceh
1503
Digantikan oleh
Aceh
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Lamri adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di daerah kabupaten Aceh Besar dengan pusatnya di Lam Reh, kecamatan Mesjid Raya. Kerajaan ini adalah kerajaan yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya Aceh Darussalam.

Sumber asing menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh yaitu "Lamri", "Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225) misalnya mengatakan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamri" di antara daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis Portugis Tomé Pires mencatat bahwa Lamri tunduk kepada raja Aceh.[2][3]

Batu nisan bermotif flora di Lam Reh

Secara umum, data tentang Lamri didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang keberadaan Lamri.

Data tentang lokasi Lamri juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa Lamri terletak di sudut sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamri merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires, letak Lamri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah Biheue. Artinya, wilayah Lamri meluas dari pantai hingga ke daerah pedalaman.[4][butuh sumber yang lebih baik]

Menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa Lamri berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa Lamri terletak di Aceh Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa Lamri terletak di dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kerajaan Lamri telah ada sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya, Lamri telah berdiri sejak sekitar tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M, Lamri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya.[5][butuh sumber yang lebih baik]

Komplek Makam Malik Syamsuddin di Lamreh

Menurut Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Lamri pernah diserang oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada akhirnya, Lamri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut mengindikasikan bahwa Lamri bukan kerajaan kecil karena terbukti sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti Kerajaan Chola.[6]

Batu nisan Syaikh Zainuddin di Lam Reh

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Lamri merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua rakyat di Lamri telah memeluk Islam. Menurut sebuah historiografi Hikayat Melayu, Lamiri (maksudnya adalah Lamri) merupakan daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.[butuh rujukan]

Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di Lamri adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat pemerintahan Lamri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara sungai. Sejak saat itu, Lamri dikenal dengan nama Kesultanan Makota Alam.[butuh rujukan]

Makam Sultan Muhammad Syah, sultan terakhir Lamri yang wafat pada tahun 908 H/1503 M

Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Lamri beserta dengan Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua Tamiang, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa Lamri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam.[7][butuh sumber yang lebih baik]

H.M Zainuddin dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara menyebutkan kurang lebih pada 400 Masehi, Sumatera Bagian Utara dinamai orang Arab dengan nama Rami (Ramni = terletak di kampung Pande sekarang), orang Tionghoa menyebut LamLi, Lan-wu-li, dan Nan-Poli. Yang sebenarnya adalah sebutan Aceh Lam Muri, dan dalam sejarah Melayu disebut Lambri (Lamiri). Sesudah kedatangan bangsa Portugis dan Italia biasanya mengatakan Achem, Achen, Acen. Sementara orang Arab menyebutkan Asyi, atau juga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis Perancis mengatakan : Atcheen, Acheen, Achin. Akhirnya orang Belanda menyebutkan: Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh sampai akhirnya menjadi Aceh. Orang Aceh sendiri mengatakan Atjeh. Begitupula nama daerah ini disebut dalam tarikh Melayu, undang-undang Melayu, di dalam surat Aceh lama (sarakata) dan pada mata uang Aceh.[8]

Perubahan nama dari Lamri menjadi Aceh belum dapat dipastikan bagaimana proses terjadinya. Dalam Tarikh Kedah (Marong Mahawangsa) tahun 1220 M (517 H), nama Aceh sudah disebutkan sebagai satu negeri di pesisir pulau Perca (Pulau Sumatera). Orang Portugis Barbosa (1516 M / 922 H) sebagai orang Eropa pertama yang menyebut nama Achem dan buku-buku Tionghoa (1618 M) menyebutkan Aceh dengan nama A-Tse.[9][10][11]

Struktur Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]
Benteng Kuta Lubok

Struktur pemerintahan Lamri tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena keduanya memiliki pola pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam dan konsep maritim (kelautan). Dalam struktur pemerintahan Lamri, sultan merupakan penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama (atau disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).[12]

Kehidupan Sosial Budaya

[sunting | sunting sumber]

Lamri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di Lamri di samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak. Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak perdagangan dari luar untuk datang ke Lamri dan wilayah Aceh secara keseluruhan.[13]

Silsilah Raja-raja

[sunting | sunting sumber]
Batu nisan kepala Malik Syamsuddin. Batu nisan jenis plak-pling merupakan ciri khas nisan dari Kerajaan Lamri

Dari lebih kurang 84 batu nisan yang tersebar di 17 komplek pemakaman, terdapat 28 batu nisan yang memiliki inskripsi. Dari ke-28 batu nisan tersebut diperoleh sebanyak 10 raja yang memerintah Lamri, 8 orang bergelar malik dan 2 orang bergelar sultan.[14]

  • Malik Syamsuddin (wafat 822 H/1419 M)
  • Malik 'Alawuddin (wafat 822 H/1419 M)
  • Muzhhiruddin. Diperkirakan seorang raja, tanggal wafat tidak diketahui.
  • Sultan Muhammad bin 'Alawuddin (wafat 834 H/1431 M)
  • Malik Nizar bin Zaid (wafat 837 H/1434 M)
  • Malik Zaid (bin Nizar?) (wafat 844 H/1441 M)
  • Malik Jawwaduddin (wafat 842 H/1439 M)
  • Malik Zainal 'Abidin (wafat 845 H/1442 M)
  • Malik Muhammad Syah (wafat 848 H/1444 M)
  • Sultan Muhammad Syah (wafat 908 H/1503 M)[15]

Di Lam Reh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat 1211), penguasa pertama di Indonesia yang diketahui menyandang gelar "sultan". Penemuan arkeologis pada tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam tertua di Asia Tenggara yaitu pada tahun 398 H/1007 M. Pada inskripsinya terbaca: Hazal qobri [...] tarikh yaumul Juma`ah atsani wa isryina mia Shofar tis`a wa tsalatsun wa tsamah […] minal Hijri.[16] Namun menurut pembacaan oleh peneliti sejarah Samudra Pasai, Teungku Taqiyuddin Muhammad, nisan tersebut berangka tahun 839 H/1437 M.[17][18]

Situs Kerajaan Lamri di kampung Lam Reh kecamatan Mesjid Raya saat ini terancam musnah dikarenakan adanya rencana pembangunan lapangan golf oleh investor.[19]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Putri, R. H. (2019-07-24). "Kisah Kerajaan Lamri di Aceh". Historia. Diakses tanggal 2020-10-06. 
  2. ^ Setyadi, Agus. "Lamri, Kerajaan Pertama di Aceh yang Beragama Hindu". detikcom. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  3. ^ Zuhdi, Susanto (1997-01-01). Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra :Kumpulan Makalah Diskusi. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  4. ^ tengkuputeh (2018-06-24). "SEJARAH KERAJAAN Lamri". Tengkuputeh (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-12. 
  5. ^ Hasyim. "Adakah Kerajaan Lamri?". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  6. ^ "Platform Media Berita Kolaboratif, Terkini Indonesia Hari Ini - kumparan.com". kumparan. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  7. ^ Hayati, Nurul. "Jejak Kerajaan Lamri di Lamreh Aceh Besar, Lintas Peradaban dari Prasejarah, Hindu, Hingga Islam". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  8. ^ BeritaSatu.com. "Jejak Kerajaan Hindu di Aceh". beritasatu.com. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  9. ^ "Penemuan Ratusan Makam Kuno Ungkap Jejak Kerajaan Lamri di Aceh - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  10. ^ Usman, Abdul Rani. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan Konflik. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-359-1. 
  11. ^ Riezal, Chaerol (4 Februari 2014). "Bunga Rampai Aceh: Dari Kerajaan Lamri ke Kerajaan Aceh Darussalam". Bunga Rampai Aceh. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  12. ^ Utomo, Bambang Budi. Pengaruh kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-422-2. 
  13. ^ MA, Prof Dr Amirul Hadi (2010). Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-773-1. 
  14. ^ "Nisan-nisan Kerajaan Lamri di Lamreh dan Kuta Leubok, Aceh Besar (1)". Diakses tanggal 2022-05-23. 
  15. ^ "Nisan-nisan Kerajaan Lamri di Lamreh dan Kuta Leubok, Aceh Besar (2)". Diakses tanggal 2022-05-23. 
  16. ^ Evidence of the Beginning of Islam in Sumatra: Study on the Acehnese Tombstone Diarsipkan 2013-12-28 di Wayback Machine. hal. 139
  17. ^ "Lamri dan Sekilas Usaha MAPESA untuk Menyelamatkannya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2012-12-26. 
  18. ^ "Universitas Syiah Kuala pamerkan prasasti kerajaan Islam Lamri". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-06. Diakses tanggal 2015-04-22. 
  19. ^ Situs Kerajaan Lamri Nyaris Musnah
  • Keat Gin Ooi, Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, 2004, ISBN 1-57607-770-5
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8Sejarah Melayu oleh Abdullah Munshi;
  • Hikayat Aceh;
  • Hikayat Merong Mahawangsa (Negeri Kedah);
  • De Hikajat Aceh oleh T. Iskandar;
  • Tarikh Aceh dan Nusantara oleh H.M. Zainuddin;

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]