Lompat ke isi

Ugamo Malim: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
NunoLuminari (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Kris Simbolon (bicara | kontrib)
→‎Referensi: will be enriched and refined later
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
 
(35 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Tanpa referensi}}
{{Tone}}
{{Aliran kepercayaan di Indonesia}}
{{Aliran kepercayaan di Indonesia}}
'''Ugamo Malim''' ({{lang-id|'''Kepercayaan Malim'''}}) adalah sebuah [[Agama asli Nusantara|agama tradisional]] yang berasal dari masyarakat [[Suku Batak|Batak]]. Para penghayat aliran kepercayaan ini disebut sebagai seorang '''Parmalim'''. Parmalim sebagian besar tersebar di [[Sumatera Utara]], terutama di kawasan sekeliling [[Danau Toba]], seperti [[Kabupaten Samosir|Samosir]], [[Kabupaten Tapanuli Utara|Tapanuli Utara]], [[Kabupaten Toba|Toba]], [[Kabupaten Humbang Hasundutan|Humbang Hasundutan]], dan [[Kabupaten Simalungun|Simalungun]]. Parmalim juga menyebar di daerah dengan populasi Batak lainnya, seperti di [[Kabupaten Tapanuli Tengah|Tapanuli Tengah]], [[Kabupaten Tapanuli Selatan|Tapanuli Selatan]], [[Kabupaten Dairi|Dairi]], dan [[Kabupaten Pakpak Bharat|Pakpak Bharat]]. Parmalim meyakini satu [[Tuhan]] sebagai pencipta [[alam semesta]], disebut sebagai Mulajadi Nabolon (bahasa Indonesia: Sang Awal Penjadi Yang Agung).
'''Parmalim''' atau '''par ugamo malim''' adalah warga penganut atau penghayat sistem religius ("agama") [[Batak]] asli "ugamo malim", yang tersebar di daerah sekitar Danau Toba & Pulau Samosir di Sumatra Utara. Meyakini Tuhan, yaitu [[Mulajadi na Bolon|Mulajadi Nabolon]]. Ugamo malim ini telah lebih dahulu dianut oleh masyarakat [[Batak]] jauh sebelum masuknya agama-agama [[Islam]], [[Kristen Protestan|Kristen]], dan [[Katolik]]. Berupa bentuk religiusitas spiritual yang melekat dalam ritual kehidupan masyarakatnya, tanpa label "agama".


Ugamo Malim merupakan kelanjutan sistem religi kuno yang telah lebih dahulu dianut oleh masyarakat [[Suku Batak|Batak]] jauh sebelum masuknya agama [[Protestanisme|Kristen Protestan]], [[Islam]], dan [[Katolik|Kristen Katolik]]. Sistem religi kuno tersebut melekat dalam tata kehidupan masyarakatnya tanpa label "agama" layaknya [[Agama terorganisir|agama-agama terorganisasi]] lainnya di dunia.
Munculnya proses revitalisai Ugamo Malim, di masa kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII tidak terlepas dari konteks sosial, ekonomi, dan politik yang sedang bergejolak serta masuknya pengaruh agama dari luar pada saat itu yang kemudian menjadikan pelembagaan kembali agama ini sebagai respon atas fenomena tersebut.


Munculnya proses revitalisasi Ugamo Malim pada masa kepemimpinan [[Si Singamangaraja XII]] tidak terlepas dari konteks sosial, ekonomi, dan politik yang sedang bergejolak pada masa itu. Melihat besarnya pengaruh agama dan budaya lain yang mengguncang, Si Singamangaraja XII mengambil langkah menyelamatkan sistem religi Batak dengan cara mengembangkannya dan memberi nama Ugamo Malim.<ref>{{Cite web|last=Ogest|first=Michael|title=Mengenal Ugamo Malim, 'Agama Pertama' Masyarakat Suku Batak|url=https://www.detik.com/sumut/budaya/d-6757853/mengenal-ugamo-malim-agama-pertama-masyarakat-suku-batak|website=detiksumut|language=id-ID|access-date=2024-01-13}}</ref>
'''Ugamo Malim''' adalah agama asli lokal di kalangan masyarakat Batak. Umumnya, penganut Ugamo Malim adalah masyarakat [[Batak (Indonesia)|Batak]] yang berdomisili di [[Kabupaten Toba]], [[Kabupaten Samosir]], [[Tapanuli Utara]], juga di sebagian daerah lain seperti [[Kabupaten Simalungun]], [[Kabupaten Dairi]], [[Pakpak Bharat]], & [[Kabupaten Tapanuli Tengah]]. Dewasa ini Parmalim juga menyebar di berbagai daerah di Indonesia sejalan dengan penyebaran warga Parmalim itu sendiri merantau dari daerah asalnya.


== Pengertian ==
== Pengertian ==
'''Ugamo Malim''' adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap Pencipta alam semesta Tuhan Yang Maha Esa, Mulajadi Nabolon, yang merupakan kelanjutan dari perkembangan simultan sistem religius ke-Tuhanan yang dianut suku Batak sejak dahulu kala. Orang Batak memahami dan memaknai religiusitas dengan memperlakukan alam sebagai tumpuan hidup dan merupakan anugrah Mulajadi Nabolon yang harus dijaga, baik sebagai sumber kehidupan (keberadaan dirinya) maupun sebagai sumber penghidupan (keberlangsungan dan kepemilikan hidupnya). Spiritualitas memelihara alam ciptaaan Mulajadi Nabolon, dipadukan dengan rasa syukur dan berserah diri pada kuasa Sang Pencipta dipelihara dengan rirual-ritual yang diselaraskan dengan kronologi KEHIDUPAN dan PENGHIDUPAN. Beberapa ritual tersebut dilaksanakan dalam bentuk upacara persembahan kepada sang Pencipta. Aktivitas mempersiapkan perlengkapan upacara dan perlengkapan “Pelean” (persembahan), dilakukan dengan sangat hati-hati menurut tata laksana dan aturan ketentuan yang telah menjadi “Patik” dalam upacara terkait. Kegiatan menata persiapan upacara dan terutama menata “Pelean” persembahan dinamakan “mang-UGAMO-hon”. Selaras dengan itu orang-orang yang senantiasa melaksanakan ritual persembahan, mendapat julukan “par-UGAMO” atau “parugama” dalam bahasa Batak lama. Sebutan “parugamo” itu kembali populer di Toba, ketika pengaruh “religiusitas – asing” sudah marak di tanah Batak, menjadi entitas dan identitas orang yang eksis dengan sistem keyakinan religiusitas asli Batak. '''Ugamo''' artinya keberaturan, penataan dengan benar. Orang sering juga menyebut atau menuliskannya [[Agama Malim]].


=== ''Ugamo Malim'' ===
Dalam bahasa Batak, orang yang menganut dan mengikuti serta menghayati ajaran Ugamo Malim disebut '''par-Ugamo Malim''', dan disingkatkan menjadi '''Parmalim'''. Namun dalam sebutan populer saat ini, kata Parmalim sering digunakan (pihak eksternal) juga untuk lembaga kepercayaan UGAMO MALIM itu sendiri. Sekumpulan orang dalam melaksanakan satu kegiatan dan satu tujuan dalam bahasa Batak disebut Punguan. '''Punguan Parmalim''' dapat diartikan sebagai perkumpulan penganut Ugamo Malim dan wadah maupun sarana tempat perkumpulan Parmalim melakukan ritual kepercayaanya. Punguan Parmalim (inganan parpunguan) sebagai identitas tempat ibadah dan lembaga perkumpulan parmalim. Lazim digunakan sejak awal berdirinya '''Bale Pasogit Partonggoan''' di Hutatinggi Laguboti, yang diamanahkan Raja Sisingamangaraja – Raja Nasiakbagi – Patuan Raja Malim kepada muridnya Raja Mulia Naipospos.
Masyarakat Batak memaknai religiusitas dengan memperlakukan alam sebagai tumpuan hidup dan anugrah Mulajadi Nabolon yang harus dijaga, baik sebagai sumber kehidupan bagi keberadaan dirinya maupun sebagai sumber penghidupan bagi keberlangsungan hidupnya. Spiritualitas memelihara alam ciptaaan dipadukan dengan rasa syukur dan berserah diri pada Mulajadi Nabaolon dan dipelihara dengan ritual-ritual yang diselaraskan dengan kronologi kehidupan dan penghidupan.


Di antara ritual tersebut adalah upacara persembahan ([[Bahasa Batak Toba|bahasa Batak]]: ''pelean'') kepada Mulajdi Nabolon. Aktivitas mempersiapkan perlengkapan ritual ini dilakukan dengan sangat teliti seturut tata laksana dan ketentuan yang disebut sebagai "''patik''".
Ringkasnya dapat diterangkan: ''Ugamo Malim'' adalah ajararan kepercayaan, ''Parmalim'' adalah orang penghayatnya, ''Bale Pasogit'' Parmalim adalah Pusat peribadatan Ugamo Malim. Sedangkan '''''Punguan Parmalim''''' memiliki dua maksud yang sangat berbeda yaitu; 1). Tempat perhimpunan/perkumpulan beribadah, unit warga parmalim bernaung dalam satu tempat peribadatan/ '''Bale Parsantian''' yang dipimpin seorang '''Ulu Punguan'''. Ulu Punguan menjalankan tugas dan fungsi yang didelegasikan Ihutan Parmalim dari Bale Pasogit Parmalim. Ulu Punguan mewakili Ihutan Parmalim memimpin peribadatan dalam lingkup Punguan Parmalim yang dipimpinnya. Dan 2) Organisasi Punguan Parmalim sebagai wadah penghayat Ugamo Malim (parmalim) untuk urusan non religiusitas (internal), dan dalam hubungan administratif Ugamo Malim dengan pemerintah dan masyarakat (eksternal).


Kegiatan menata persiapan ritual dan ''pelean'' disebut dengan “''mang-ugamo-hon''” (bahasa Indonesia: meng-agama-kan). "''Ugamo''" artinya keberaturan atau penataan dengan benar.
== Sejarahnya ==
Semasa eksistensi Dinasti Sisingamangaraja, Bale Pasogit Pamujian ada di Bakkara, tetapi selama masa perang saat “penjajah” membumi-hanguskan Bakkara juga termasuk Bale Pasogit Sisingamangaraja ikut di bakar. Tatkala pengaruh asing melanda tanah Batak, menimbulkan berbagai guncangan sporadis pada tatanan kehidupan masyarakatnya sebagai akibat penjajahan Belanda dan aktivitas [[Penyebaran agama Kristen|penyebaran agama kristen]], Raja Sisingamangaraja mengamanatkan kepada muridnya untuk mendirikan Bale Pasogit kelak, sebagai wadah tempat “Pamujian Nabolon” menghimpun kelak orang-orang yang setia dengan keyakinan terhadap [[Mulajadi na Bolon|Mulajadi Nabolon]]. (Amanat tersebut kembali diingatkan setelah peristiwa 17 Juni 1907, oleh sosok yang menamakan diri Nasiakbagi seraya menunjuk tempat “kedudukan” dan gambar rupa Bale Pasogit yang akan didirikan kelak oleh Raja Mulia.)


=== ''Parmalim'' ===
Terkait amanah mendirikan Bale Pasogit, Raja Mulia melapor dan menyampaikan maksudnya kepada pemerintah Belanda melalui Kantor Demang di Balige sekitar tahun 1913. Pemerintah Belanda mengadakan penyelidikan atas kegiatan penyebaran ajaran Ugamo Malim selama beberapa tahun, barulah tahun 1921 Belanda mengizinkan Raja Mulia mendirikan Bale Pasogit di Hutatinggi Laguboti melalui Surat Contoleur van Toba Nomor 1494/13 '''''tanggal 25 Juni 1921'''''. Bermula dari sini, Ugamo Malim secara terbuka melaksanakan upacara ritual, pengembangan ajaran secara terpusat di Hutatinggi dibawah pimpinan Raja Mulia Naipospos.
Orang-orang yang senantiasa melaksanakan upacara ritual disebut sebagai “''parugamo''” atau “''parugama''”. Sebutan “''parugamo''” kembali populer di [[Tapanuli|Tanah Batak]] ketika agama lain menjadi tumbuh di tanah Batak dan menjadi identitas yang eksis dengan sistem keyakinan religiusitas asli Batak. Dalam bahasa Batak, orang yang mengikuti serta menghayati ajaran Ugamo Malim disebut "''parugamo malim''", disingkat '''Parmalim'''.

=== ''Punguan parmalim'' ===
Dalam bahasa Batak, sekumpulan orang yang melaksanakan satu kegiatan dengan satu tujuan disebut sebagai "''punguan''". Perkumpulan penganut Ugamo Malim disebut pula sebagai "''punguan parmalim''".

Perkumpulan yang dimaksud dapat berupa:

* Tempat beribadah satu unit ''parmalim'' yang dipimpin oleh seorang ''ulu punguan'' pada ''bale parsantian''. Seorang ulu punguan ini menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh seorang ''ihutan malim'' dari ''Bale Pasogit Partonggoan'' (pusat peribadatan ''parmalim'' di [[Laguboti, Toba|Huta Tinggi, Laguboti, Toba]]).
* Organisasi penghayat Ugamo Malim untuk urusan non-religiusitas dan administratif.

== Sejarah ==
Pada masa dinasti Sisingamangaraja, terdapat Bale Pasogit Pamujian di [[Lembah Bakkara|Bakkara]]. Tempat ini merupakan pusat peribadatan dan spritualitas masyarakat Batak pada masa itu.{{Butuh rujukan}}Tetapi, selama berlangsungnya Perang Toba yang membumihanguskan Bakkara, Bale Pasogit Pamujian tersebut juga ikut dibakar. Karena masuknya pengaruh asing dan tiimbulnya guncangan pada tatanan kehidupan masyarakat sebagai akibat penjajahan Belanda dan aktivitas [[Sejarah masuknya Kekristenan ke suku Batak|penyebaran agama Kristen]], Sisingamangaraja XII mengamanatkan kepada muridnya untuk mendirikan sebuah "''bale pasogit'' " kelak sebagai wadah tempat "''pamujian nabolon''” (bahasa Indonesia: pemujaan terhadap Yang Agung) yang menghimpun orang-orang yang setia dengan keyakinan terhadap Mulajadi Nabolon.{{Butuh rujukan}}Setelah tewasnya Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907, amanat tersebut kembali diingatkan oleh sosok yang menamakan diri sebagai Nasiakbagi. Ia juga menunjuk tempat kedudukan dan rupa ''bale pasogit'' yang kelak akan didirikan oleh Raja Mulia.

Terkait amanah mendirikan ''bale pasogit'', Raja Mulia melapor dan menyampaikan maksudnya kepada pemerintah Belanda melalui Kantor Demang di [[Balige, Toba|Balige]] pada sekitar tahun 1913. Pemerintah Belanda mengadakan penyelidikan atas kegiatan penyebaran ajaran Ugamo Malim selama beberapa tahun. Pada tahun 1921, Belanda mengizinkan Raja Mulia mendirikan ''bale pasogit'' di [[Laguboti, Toba|Hutatinggi, Laguboti]] melalui Surat Controleur van Toba Nomor 1494/13 per tanggal 25 Juni 1921. Sejak saat itu, Ugamo Malim secara terbuka melaksanakan upacara ritual dan pengembangan ajaran secara terpusat di Hutatinggi, Toba di bawah pimpinan Raja Mulia Naipospos.


== Kepemimpinan ==
== Kepemimpinan ==
''Raja Si Singamangaraja'' sebagai ''Malim'' dan ''Imam'' bagi orang Batak, mengajarkan dan menegakkan titah menyembah dan memuja Sang Pencipta, Tuhan Mulajadi Nabolon, dalam ajarannya, ia menamakan diri Raja Nasiakbagi-Patuan Raja Malim. Hal ini seturut dengan pahit getirnya hidup beliau selama menegakkan Ugamo Malim sebagai perintah Tuhan. Dan agar kelak pengikutnya mengenang dan meneladani pengorbanan dan penderitaan menjalankan Ugamo Malim.Raja Mulia Naipospos merupakan salah satu muridnya.
Raja Si Singamangaraja sebagai ''malim'' (bahasa Indonesia: imam) bagi masyarakat Batak, mengajarkan dan menegakkan titah menyembah dan memuja Mulajadi Nabolon sebagai Tuhan Pencipta. Sisingamangaraja menenamakan dirinya sebagai Raja Nasiakbagi Patuan Raja Malim. Raja Mulia Naipospos merupakan salah satu muridnya.


=== ''Raja Mulia Naipospos'' ===
=== Raja Mulia Naipospos ===
Raja Nasiakbagi menunjuk dan mengamanahkan kepada muridnya Raja Mulia Naipospos untuk memimpin pengikutnya dan menyebarkan Ugamo Malim disebut '''Ihutan Bolon Par-Malim''' disebut juga Induk bolon (Pemimpin Besar), setelah diangkat dan ditabalkan oleh sang malim Raja Nasiakbagi sebagai generasi I pemimpin Parmalim.
Raja Nasiakbagi menunjuk dan mengamanahkan kepada muridnya, Raja Mulia Naipospos, untuk memimpin pengikutnya dan menyebarkan Ugamo Malim. Raja Mulia Naipospos disebut sebagai ''Ihutan Bolon Parmalim'' (bahasa Indonesia: pemimpin besar ''parmalim''). Ia menjadi generasi pertama pemimpin ''parmalim''.


=== ''Raja Ungkap Naipospos'' ===
=== Raja Ungkap Naipospos ===
Selanjutanya putera tunggal dari Raja Mulia Naipospos yang bernama Raja Ungkap Naipospos, meneruskan kepemimpinan pada tahun 1956 sebagai Ihutan Parmalim generasi ke II. Pada masa sebelumnya, tahun 1939 beliau telah mendirikan Parmalim School bertempat di Bale Pasogit Parmalim dan mendapat dukungan penuh dari Raja Mulia. Di sekolah ini anak-anak Parmalim dari semua pelosok bisa sekolah, agar tidak ketinggalan dengan sekolah zending Kristen. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, sekolah ini ditutup karena anak-anak Parmalim sudah diterima pada sekolah pemerintah di tempat tinggal masing-masing.Selama kepemimpinannya, beliau melakukan terobosan dalam pola pembinaan pengajaran Parmalim. Beliau menulis ajaran dan menyebarkannya kepada seluruh Parmalim. Juga membuat '''ajaran-ajaran tertulis''' yang disimpan secara rapi, yang sebelumnya hanya bersifat lisan.
Selanjutnya, putera tunggal dari Raja Mulia Naipospos yang bernama Raja Ungkap Naipospos, meneruskan kepemimpinan pada tahun 1956 sebagai ''Ihutan Bolon Parmalim'' generasi kedua. Pada tahun 1939, sebelum menjadi ''Ihutan Bolon Parmalim'', ia mendirikan ''Parmalim School'' di Bale Pasogit Parmalim dan mendapat dukungan penuh dari Raja Mulia. Di sekolah ini, anak-anak ''parmalim'' dari semua pelosok bisa sekolah agar tidak ketinggalan dengan sekolah [[Rheinische Missionsgesellschaft|zending]] [[Kekristenan|Kristen]].
Pengembangan bangunan bagunan fisik pusat peribadatan parmalim di Hutatinggi dilakukan masa ini, Bale Pasogit diperbaharui, mendirikan Bale Parpitaan dan Bale Pangaminan serta Parhobasan, melengkapi fasilitas pendukung Bale Pasogit.
Juga beliau memprakarsai merenovasi kembali Balepasogit Sisingamangaraja dan Batu Siungkapungkapon di Bakkara tahun 1974 (Situs Istana Raja Sisingamangaraja) Pengorganisasian Parmailim secara administratif pun dimulai di masa ini, yang dilaksanakan beliau sendiri. Menjelang akhir hayat Raja Ungkap Naipospos, Ugamo Malim Hutatinggi-Laguboti, terdaftar pada inventarisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dilaksanakan pemerintah (Depdikbud) pada tahun 1980 yaitu keputusan Depdikbud RI No. I.136/F.3/N.1.1/1980. Raja Ungkap wafat pada hari Senin tanggal 16 Februari 1981.


Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sekolah ini ditutup karena anak-anak ''parmalim'' sudah diterima pada sekolah pemerintah di tempat tinggal masing-masing. Selama kepemimpinannya, Raja Ungkap melakukan terobosan dalam pola pembinaan pengajaran ''parmalim''. Ia menuliskan ajaran dan menyebarkannya kepada seluruh ''parmalim''. Ia juga membuat ajaran-ajaran tertulis yang disimpan secara rapi. Sebelumnya, ajaran-ajaran Ugamo Malim hanya bersifat lisan.
=== ''Raja Marnangkok Naipospos'' ===
Setelah Raja Ungkap wafat, kepemimpinannya diteruskan putera sulungnya Raja Marnangkok Naipospos sebagai Ihutan Parmalim generasi ketiga. Raja Marnangkok Naipospos yang lahir pada tanggal 18 Juli 1939, meneruskan pekerjaan Ihutan Parmalim. Melakukan pemeliharaan bangunan fisik bangunan yang sudah ada dengan melibatkan swadaya umat Parmalim, Dalam upaya meningkatkan pembinaan Parmalim, Raja Marnangkok mengumpulkan dan membukukan ajaran dan bimbingan tertulis yang pernah dibuat Raja Ungkap, kemudian membukukan dan mencetaknya untuk disebarluaskan di kalangan parmalim.
Raja Marnangkok Naipospos wafat pada tahun 2016


Raja Ungkap juga mengembangkan bangunan-bangunan fisik pusat peribadatan ''parmalim'' yang berada di Hutatinggi. Termasuk di antaranya, memperbaharui Bale Pasogit dan melengkapi fasilitas pendukungnya, serta mendirikan Bale Parpitaan, Bale Pangaminan, dan Parhobasan.
=== ''Raja Monang Naipospos'' ===
Sejak tahun 2017 kepemimpinan dilanjutkan Raja Monang Naipospos, hingga saat ini. Pada masa beliau kerja sama Parmalim dengan pemerintah semakin ditingkatkan, termasuk dengan Direktorat PKT Dirjen Kebudayaan Kemendikbud,sebagai lembaga pemerintah dalam pembinaan Penghayat kepercayaan di Indonesia. Pada masa ini beliau mengupayakan pembinaan revitalisasi nilai spiritualitas Ugamo Malim dalam perilaku hidup warga parmalim pengikutnya. Beliau juga sangat konsen dalam aktivitas lintas sektoral setingkat nasional mengoptimalkan perjuangan pemenuhan hak-hak sipil Penghayat Kepercayaan di Indonesia bekerja sama dengan berbagai pihak.
Di internal Parmalim, Raja Monang Naipospos memperkuat tatanan administrasi dan struktur Keorganisasian dalam Parmalim. Memamfaatkan teknologi informasi digital dalam kegiatan pembinaan warganya pun dilakunnya.


Ia memprakarsai renovasi kembali Bale Pasogit Sisingamangaraja dan Batu Siungkapungkapon di Bakkara pada tahun 1974. Ia juga mengorganisasikan ''parmailim'' secara administratif. Menjelang akhir hidupnya, Ugamo Malim di Hutatinggi, Laguboti, sudah terdaftar pada inventarisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui Surat Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI No. I.136/F.3/N.1.1/1980. Raja Ungkap Naipospos meninggal pada hari Senin, 16 Februari 1981.
== Ajarannya ==

=== Raja Marnangkok Naipospos ===
Setelah Raja Ungkap Naipospos wafat, kepemimpinan Ugamo Malim di Huta Tinggi diteruskan kepada putera sulungnya, yakni Raja Marnangkok Naipospos. Raja Marnangkok lahir pada 18 Juli 1939. Oa menjadi ''Ihutan Bolon Parmalim'' generasi ketiga. Raja Marnangkok mengumpulkan dan membukukan ajaran dan bimbingan tertulis yang pernah dibuat Raja Ungkap Naipospos, kemudian menyebarluaskannya di kalangan ''parmalim.'' Raja Marnangkok Naipospos meninggal pada tahun 2016.

=== Raja Monang Naipospos ===
Sejak tahun 2017, kepemimpinan ''parmalim'' dilanjutkan oleh adik dari Raja Marnangkok Naipospos, yakni Raja Monang Naipospos. , hingga saat ini. Raja Monang Naipospos meningkatkan kerjasama dengan Direktorat PKT, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud, sebagai lembaga pemerintah yang membina penghayat kepercayaan di Indonesia. Ia juga terlibat dalam aktivitas lintas sektoral tingkat nasional untuk mengoptimalkan perjuangan pemenuhan hak-hak sipil penghayat kepercayaan di Indonesia.

== Ajaran ==
Ugamo Malim memiliki ajaran sujud dan berserah diri pada Tuhan, Patik berupa ajaran tentang Perintah dan Larangan sesuai kehendak Tuhan, Poda Hamalimon sebagai anutan berpikir bertindak dan berperilaku terhadap sesama dan alam, serta "Tona" sebagai amanah Tuhan yang disampaikan kepada Manusia.
Ugamo Malim memiliki ajaran sujud dan berserah diri pada Tuhan, Patik berupa ajaran tentang Perintah dan Larangan sesuai kehendak Tuhan, Poda Hamalimon sebagai anutan berpikir bertindak dan berperilaku terhadap sesama dan alam, serta "Tona" sebagai amanah Tuhan yang disampaikan kepada Manusia.


Parmalim melaksanakan ritual peribadatan rutin setiap hari Sabtu (Marari Sabtu) sebagai wujud rasa syukur, pemujaan dan memuliakan Mulajadi Nabolon sang pencipta langit dan bumi. Selain Maraisabtu Parmalim juga melaksanakan berbagai aturan peribadatan Ugamo Malim antara lain "Pameleon Bolon" sebagai ibadah ritual syukuran kehidupan yang dilaksanakan pada bulan ke-Lima ([[sipaha lima]]), ritual pengampunan dosa "Mangan Napaet" pada bulan ke-12 dan mensyukuri memperingati lahirnya utuan Tuhan kepada manusia yang dirayakan pada hari kedua dan ketiga bulan ke-satu "sipaha sada" sesuai kalender Batak.
Parmalim melaksanakan ritual peribadatan rutin setiap hari Sabtu (Marari Sabtu) sebagai wujud rasa syukur, pemujaan dan memuliakan Mulajadi Nabolon sang pencipta langit dan bumi. Selain Maraisabtu Parmalim juga melaksanakan berbagai aturan peribadatan Ugamo Malim antara lain "Pameleon Bolon" sebagai ibadah ritual syukuran kehidupan yang dilaksanakan pada bulan ke-Lima ([[sipaha lima]]), ritual pengampunan dosa "Mangan Napaet" pada bulan ke-12 dan mensyukuri memperingati lahirnya utuan Tuhan kepada manusia yang dirayakan pada hari kedua dan ketiga bulan ke-satu "sipaha sada" sesuai kalender Batak.


== Jumlah Pengikut ==
== Jumlah pengikut ==
Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa banyak jumlah pengikut dari [[Parmalim]] ini. Namun pada dasarnya, pengikut aliran ini hampir semuanya berdomisili di provinsi [[Sumatra Utara]]. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, selain 6 agama resmi yang diakui pemerintah [[Republik Indonesia]], aliran kepercayaan dimasukkan dalam kolom Lainnya (Jumlah penganut agama), termasuk Parmalim. Bila dihitung dari hasil sementara Sensus 2010, maka jumlah pengikut aliran ini sekitar 816 jiwa (dihitung dari jumlah yang ada di Sumatra Utara). Akan tetapi, sesuai penelitian ilmiah dengan perkiraan kasar jumlah mereka kurang lebih 1.100 jiwa.
Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa banyak jumlah pengikut dari [[Parmalim]] ini. Namun pada dasarnya, pengikut aliran ini hampir semuanya berdomisili di provinsi [[Sumatera Utara]]. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, selain 6 agama resmi yang diakui pemerintah [[Republik Indonesia]], aliran kepercayaan dimasukkan dalam kolom Lainnya (Jumlah penganut agama), termasuk Parmalim. Bila dihitung dari hasil sementara Sensus 2010, maka jumlah pengikut aliran ini sekitar 816 jiwa (dihitung dari jumlah yang ada di Sumatera Utara). Akan tetapi, sesuai penelitian ilmiah dengan perkiraan kasar jumlah mereka kurang lebih 1.100 jiwa.


Mayoritas pemeluk Parmalim ada di [[Kabupaten Toba Samosir]]. Masih dari data BPS Sumatra Utara, jumlah pengikutnya mencapai 500 jiwa (0.36%) dari sekitar 140.000 jiwa penduduk Toba Samosir tahun 2010. Tetapi, seiring berjalannya waktu penganut parmalim semakin sedikit dan terus berkurang, pengikutnya juga memang sangat sedikit dan nyaris punah. Hasil sensus penduduk tahun 2010-2015 dari data BPS dan juga data pemerintahan provinsi Sumatra Utara, ternyata penganut agama ini hanya berkisar 300 jiwa saja di Sumatera Utara. Pada sensus 2000-2005 jumlahnya sangat banyak, bahkan mencapai ribuan hingga belasan dan puluhan ribu. Pada sensus 2020 tidak diketahui secara pasti karena BPS sendiri belum merilis hasil sensus tahun 2020. Mungkin saja penganut agama ini semakin sedikit karena terus berkurang, juga bisa disebabkan sensus 2020 ini terkendala karena pandemi Covid-19.
Mayoritas pemeluk Parmalim ada di [[Kabupaten Toba Samosir]]. Masih dari data BPS Sumatera Utara, jumlah pengikutnya mencapai 500 jiwa (0.36%) dari sekitar 140.000 jiwa penduduk Toba Samosir tahun 2010. Tetapi, seiring berjalannya waktu penganut parmalim semakin sedikit dan terus berkurang, pengikutnya juga memang sangat sedikit dan nyaris punah. Hasil sensus penduduk tahun 2010-2015 dari data BPS dan juga data pemerintahan provinsi Sumatera Utara, ternyata penganut agama ini hanya berkisar 300 jiwa saja di Sumatera Utara. Pada sensus 2000-2005 jumlahnya sangat banyak, bahkan mencapai ribuan hingga belasan dan puluhan ribu. Pada sensus 2020 tidak diketahui secara pasti karena BPS sendiri belum merilis hasil sensus tahun 2020. Mungkin saja penganut agama ini semakin sedikit karena terus berkurang, juga bisa disebabkan sensus 2020 ini terkendala karena pandemi Covid-19.

== Referensi ==
{{reflist}}


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==

* [[Golongan Si Raja Batak]]
* [[Golongan Si Raja Batak]]
* [[Aliran Mulajadi Nabolon]]
* [[Pemena]], agama tradisional masyarakat [[Suku Karo|Batak Karo]].

== Pranala luar ==
* [https://tirto.id/malim-agama-lokal-suku-batak-dari-huta-tinggi-csFw Tirto.id]
* Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI. (2018), Ugamo Malim, dalam Ensiklopedi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
* Gultom, I. (2010) Agama Malim Di Tanah Batak, Bumi Aksara, Jakarta.
* [http://library.fis.uny.ac.id/opac/index.php?p=show_detail&id=1307 Buku yang ditulis oleh Prof Dr. Ibrahim Gultom]
* [https://www.barak.id/mengenal-kepercayaan-parmalim-refleksi-budaya-dan-spiritualitas-suku-batak-di-sumatera-utara/ Mengenal Kepercayaan Parmalim]

== Referensi ==
{{Reflist}}
=== Daftar pustaka ===
{{Refbegin}}
* {{Cite book|last=Situmorang|first=Sitor|date=1993|url=https://www.google.co.id/books/edition/Guru_Somalaing_dan_Modigliani_utusan_Raj/SlBwAAAAMAAJ|title=Guru Somalaing dan Modigliani "Utusan Raja Rom": Sekelumit Sejarah Lahirnya Gerakan Ratu Adil di Toba|language=id|isbn=978-979-8467-00-4|location=Jakarta|publisher=Grafindo Mukti|url-status=live}|ref={{sfnref|Situmorang|1993}}}}
{{Refend}}


{{Agama di Indonesia}}
{{Agama di Indonesia}}
{{Batak Toba}}
{{Batak Toba}}


[[Kategori:Agama Malim]]
[[Kategori:Batak]]
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]
[[Kategori:Budaya Batak]]
[[Kategori:Budaya Batak]]
[[Kategori:Sejarah Batak]]
[[Kategori:Batak Toba]]
[[Kategori:Agama di Indonesia]]
[[Kategori:Agama di Indonesia]]
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]

Revisi terkini sejak 1 Mei 2024 06.50

Ugamo Malim (bahasa Indonesia: Kepercayaan Malim) adalah sebuah agama tradisional yang berasal dari masyarakat Batak. Para penghayat aliran kepercayaan ini disebut sebagai seorang Parmalim. Parmalim sebagian besar tersebar di Sumatera Utara, terutama di kawasan sekeliling Danau Toba, seperti Samosir, Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, dan Simalungun. Parmalim juga menyebar di daerah dengan populasi Batak lainnya, seperti di Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Dairi, dan Pakpak Bharat. Parmalim meyakini satu Tuhan sebagai pencipta alam semesta, disebut sebagai Mulajadi Nabolon (bahasa Indonesia: Sang Awal Penjadi Yang Agung).

Ugamo Malim merupakan kelanjutan sistem religi kuno yang telah lebih dahulu dianut oleh masyarakat Batak jauh sebelum masuknya agama Kristen Protestan, Islam, dan Kristen Katolik. Sistem religi kuno tersebut melekat dalam tata kehidupan masyarakatnya tanpa label "agama" layaknya agama-agama terorganisasi lainnya di dunia.

Munculnya proses revitalisasi Ugamo Malim pada masa kepemimpinan Si Singamangaraja XII tidak terlepas dari konteks sosial, ekonomi, dan politik yang sedang bergejolak pada masa itu. Melihat besarnya pengaruh agama dan budaya lain yang mengguncang, Si Singamangaraja XII mengambil langkah menyelamatkan sistem religi Batak dengan cara mengembangkannya dan memberi nama Ugamo Malim.[1]

Pengertian[sunting | sunting sumber]

Ugamo Malim[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Batak memaknai religiusitas dengan memperlakukan alam sebagai tumpuan hidup dan anugrah Mulajadi Nabolon yang harus dijaga, baik sebagai sumber kehidupan bagi keberadaan dirinya maupun sebagai sumber penghidupan bagi keberlangsungan hidupnya. Spiritualitas memelihara alam ciptaaan dipadukan dengan rasa syukur dan berserah diri pada Mulajadi Nabaolon dan dipelihara dengan ritual-ritual yang diselaraskan dengan kronologi kehidupan dan penghidupan.

Di antara ritual tersebut adalah upacara persembahan (bahasa Batak: pelean) kepada Mulajdi Nabolon. Aktivitas mempersiapkan perlengkapan ritual ini dilakukan dengan sangat teliti seturut tata laksana dan ketentuan yang disebut sebagai "patik".

Kegiatan menata persiapan ritual dan pelean disebut dengan “mang-ugamo-hon” (bahasa Indonesia: meng-agama-kan). "Ugamo" artinya keberaturan atau penataan dengan benar.

Parmalim[sunting | sunting sumber]

Orang-orang yang senantiasa melaksanakan upacara ritual disebut sebagai “parugamo” atau “parugama”. Sebutan “parugamo” kembali populer di Tanah Batak ketika agama lain menjadi tumbuh di tanah Batak dan menjadi identitas yang eksis dengan sistem keyakinan religiusitas asli Batak. Dalam bahasa Batak, orang yang mengikuti serta menghayati ajaran Ugamo Malim disebut "parugamo malim", disingkat Parmalim.

Punguan parmalim[sunting | sunting sumber]

Dalam bahasa Batak, sekumpulan orang yang melaksanakan satu kegiatan dengan satu tujuan disebut sebagai "punguan". Perkumpulan penganut Ugamo Malim disebut pula sebagai "punguan parmalim".

Perkumpulan yang dimaksud dapat berupa:

  • Tempat beribadah satu unit parmalim yang dipimpin oleh seorang ulu punguan pada bale parsantian. Seorang ulu punguan ini menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh seorang ihutan malim dari Bale Pasogit Partonggoan (pusat peribadatan parmalim di Huta Tinggi, Laguboti, Toba).
  • Organisasi penghayat Ugamo Malim untuk urusan non-religiusitas dan administratif.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada masa dinasti Sisingamangaraja, terdapat Bale Pasogit Pamujian di Bakkara. Tempat ini merupakan pusat peribadatan dan spritualitas masyarakat Batak pada masa itu.[butuh rujukan]Tetapi, selama berlangsungnya Perang Toba yang membumihanguskan Bakkara, Bale Pasogit Pamujian tersebut juga ikut dibakar. Karena masuknya pengaruh asing dan tiimbulnya guncangan pada tatanan kehidupan masyarakat sebagai akibat penjajahan Belanda dan aktivitas penyebaran agama Kristen, Sisingamangaraja XII mengamanatkan kepada muridnya untuk mendirikan sebuah "bale pasogit " kelak sebagai wadah tempat "pamujian nabolon” (bahasa Indonesia: pemujaan terhadap Yang Agung) yang menghimpun orang-orang yang setia dengan keyakinan terhadap Mulajadi Nabolon.[butuh rujukan]Setelah tewasnya Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907, amanat tersebut kembali diingatkan oleh sosok yang menamakan diri sebagai Nasiakbagi. Ia juga menunjuk tempat kedudukan dan rupa bale pasogit yang kelak akan didirikan oleh Raja Mulia.

Terkait amanah mendirikan bale pasogit, Raja Mulia melapor dan menyampaikan maksudnya kepada pemerintah Belanda melalui Kantor Demang di Balige pada sekitar tahun 1913. Pemerintah Belanda mengadakan penyelidikan atas kegiatan penyebaran ajaran Ugamo Malim selama beberapa tahun. Pada tahun 1921, Belanda mengizinkan Raja Mulia mendirikan bale pasogit di Hutatinggi, Laguboti melalui Surat Controleur van Toba Nomor 1494/13 per tanggal 25 Juni 1921. Sejak saat itu, Ugamo Malim secara terbuka melaksanakan upacara ritual dan pengembangan ajaran secara terpusat di Hutatinggi, Toba di bawah pimpinan Raja Mulia Naipospos.

Kepemimpinan[sunting | sunting sumber]

Raja Si Singamangaraja sebagai malim (bahasa Indonesia: imam) bagi masyarakat Batak, mengajarkan dan menegakkan titah menyembah dan memuja Mulajadi Nabolon sebagai Tuhan Pencipta. Sisingamangaraja menenamakan dirinya sebagai Raja Nasiakbagi Patuan Raja Malim. Raja Mulia Naipospos merupakan salah satu muridnya.

Raja Mulia Naipospos[sunting | sunting sumber]

Raja Nasiakbagi menunjuk dan mengamanahkan kepada muridnya, Raja Mulia Naipospos, untuk memimpin pengikutnya dan menyebarkan Ugamo Malim. Raja Mulia Naipospos disebut sebagai Ihutan Bolon Parmalim (bahasa Indonesia: pemimpin besar parmalim). Ia menjadi generasi pertama pemimpin parmalim.

Raja Ungkap Naipospos[sunting | sunting sumber]

Selanjutnya, putera tunggal dari Raja Mulia Naipospos yang bernama Raja Ungkap Naipospos, meneruskan kepemimpinan pada tahun 1956 sebagai Ihutan Bolon Parmalim generasi kedua. Pada tahun 1939, sebelum menjadi Ihutan Bolon Parmalim, ia mendirikan Parmalim School di Bale Pasogit Parmalim dan mendapat dukungan penuh dari Raja Mulia. Di sekolah ini, anak-anak parmalim dari semua pelosok bisa sekolah agar tidak ketinggalan dengan sekolah zending Kristen.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sekolah ini ditutup karena anak-anak parmalim sudah diterima pada sekolah pemerintah di tempat tinggal masing-masing. Selama kepemimpinannya, Raja Ungkap melakukan terobosan dalam pola pembinaan pengajaran parmalim. Ia menuliskan ajaran dan menyebarkannya kepada seluruh parmalim. Ia juga membuat ajaran-ajaran tertulis yang disimpan secara rapi. Sebelumnya, ajaran-ajaran Ugamo Malim hanya bersifat lisan.

Raja Ungkap juga mengembangkan bangunan-bangunan fisik pusat peribadatan parmalim yang berada di Hutatinggi. Termasuk di antaranya, memperbaharui Bale Pasogit dan melengkapi fasilitas pendukungnya, serta mendirikan Bale Parpitaan, Bale Pangaminan, dan Parhobasan.

Ia memprakarsai renovasi kembali Bale Pasogit Sisingamangaraja dan Batu Siungkapungkapon di Bakkara pada tahun 1974. Ia juga mengorganisasikan parmailim secara administratif. Menjelang akhir hidupnya, Ugamo Malim di Hutatinggi, Laguboti, sudah terdaftar pada inventarisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui Surat Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI No. I.136/F.3/N.1.1/1980. Raja Ungkap Naipospos meninggal pada hari Senin, 16 Februari 1981.

Raja Marnangkok Naipospos[sunting | sunting sumber]

Setelah Raja Ungkap Naipospos wafat, kepemimpinan Ugamo Malim di Huta Tinggi diteruskan kepada putera sulungnya, yakni Raja Marnangkok Naipospos. Raja Marnangkok lahir pada 18 Juli 1939. Oa menjadi Ihutan Bolon Parmalim generasi ketiga. Raja Marnangkok mengumpulkan dan membukukan ajaran dan bimbingan tertulis yang pernah dibuat Raja Ungkap Naipospos, kemudian menyebarluaskannya di kalangan parmalim. Raja Marnangkok Naipospos meninggal pada tahun 2016.

Raja Monang Naipospos[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 2017, kepemimpinan parmalim dilanjutkan oleh adik dari Raja Marnangkok Naipospos, yakni Raja Monang Naipospos. , hingga saat ini. Raja Monang Naipospos meningkatkan kerjasama dengan Direktorat PKT, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud, sebagai lembaga pemerintah yang membina penghayat kepercayaan di Indonesia. Ia juga terlibat dalam aktivitas lintas sektoral tingkat nasional untuk mengoptimalkan perjuangan pemenuhan hak-hak sipil penghayat kepercayaan di Indonesia.

Ajaran[sunting | sunting sumber]

Ugamo Malim memiliki ajaran sujud dan berserah diri pada Tuhan, Patik berupa ajaran tentang Perintah dan Larangan sesuai kehendak Tuhan, Poda Hamalimon sebagai anutan berpikir bertindak dan berperilaku terhadap sesama dan alam, serta "Tona" sebagai amanah Tuhan yang disampaikan kepada Manusia.

Parmalim melaksanakan ritual peribadatan rutin setiap hari Sabtu (Marari Sabtu) sebagai wujud rasa syukur, pemujaan dan memuliakan Mulajadi Nabolon sang pencipta langit dan bumi. Selain Maraisabtu Parmalim juga melaksanakan berbagai aturan peribadatan Ugamo Malim antara lain "Pameleon Bolon" sebagai ibadah ritual syukuran kehidupan yang dilaksanakan pada bulan ke-Lima (sipaha lima), ritual pengampunan dosa "Mangan Napaet" pada bulan ke-12 dan mensyukuri memperingati lahirnya utuan Tuhan kepada manusia yang dirayakan pada hari kedua dan ketiga bulan ke-satu "sipaha sada" sesuai kalender Batak.

Jumlah pengikut[sunting | sunting sumber]

Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa banyak jumlah pengikut dari Parmalim ini. Namun pada dasarnya, pengikut aliran ini hampir semuanya berdomisili di provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, selain 6 agama resmi yang diakui pemerintah Republik Indonesia, aliran kepercayaan dimasukkan dalam kolom Lainnya (Jumlah penganut agama), termasuk Parmalim. Bila dihitung dari hasil sementara Sensus 2010, maka jumlah pengikut aliran ini sekitar 816 jiwa (dihitung dari jumlah yang ada di Sumatera Utara). Akan tetapi, sesuai penelitian ilmiah dengan perkiraan kasar jumlah mereka kurang lebih 1.100 jiwa.

Mayoritas pemeluk Parmalim ada di Kabupaten Toba Samosir. Masih dari data BPS Sumatera Utara, jumlah pengikutnya mencapai 500 jiwa (0.36%) dari sekitar 140.000 jiwa penduduk Toba Samosir tahun 2010. Tetapi, seiring berjalannya waktu penganut parmalim semakin sedikit dan terus berkurang, pengikutnya juga memang sangat sedikit dan nyaris punah. Hasil sensus penduduk tahun 2010-2015 dari data BPS dan juga data pemerintahan provinsi Sumatera Utara, ternyata penganut agama ini hanya berkisar 300 jiwa saja di Sumatera Utara. Pada sensus 2000-2005 jumlahnya sangat banyak, bahkan mencapai ribuan hingga belasan dan puluhan ribu. Pada sensus 2020 tidak diketahui secara pasti karena BPS sendiri belum merilis hasil sensus tahun 2020. Mungkin saja penganut agama ini semakin sedikit karena terus berkurang, juga bisa disebabkan sensus 2020 ini terkendala karena pandemi Covid-19.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ogest, Michael. "Mengenal Ugamo Malim, 'Agama Pertama' Masyarakat Suku Batak". detiksumut. Diakses tanggal 2024-01-13. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]