Lompat ke isi

Muhammad bin Tughj al-Ikhsyid: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
A154 (bicara | kontrib)
menolak perubahan terakhir
Tag: Pengembalian manual VisualEditor
Pandujaya.w2 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(28 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{periksa terjemahan|en|Muhammad ibn Tughj al-Ikhshid}}
{{Infobox royalty
{{Infobox royalty
|name = Muhammad bin Tughj al-Ikhshid
| name = Muhammad bin Tughj al-Ikhshid
|title = Gubernur pewaris Mesir, Suriah dan Hejaz
| title = Pewaris [[emir]] Mesir, Suriah, dan Hejaz
|type =
| type =
|image =
| image =
|caption =
| caption =
|reign = 26 Agustus 935 – 24 Juni 946
| reign = 26 Agustus 935 – 24 Juli 946
|reign-type = Kegubernuran
| reign-type = Pemerintahan
|predecessor =
| predecessor =
|pre-type =
| pre-type =
|successor = [[Abu'l-Qasim Unujur bin al-Ikhshid|Unujur]]
| successor = [[Abu'l-Qasim Unujur ibn al-Ikhshid|Unujur]]
|spouse =
| spouse =
|spouse-type =
| spouse-type =
|issue =
| issue =
|issue-link =
| issue-link =
|issue-pipe =
| issue-pipe =
|house = [[Dinasti Ikhsyidiyah]]
| house = [[Dinasti Ikhshidid]]
|house-type = Dinasti
| house-type = Dinasti
|father = [[Tughj bin Juff]]
| father = [[Tughj ibn Juff]]
|mother =
| mother =
|birth_date = 8 Februari 882
| birth_date = {{birth date|882|02|08|df=y}}
|birth_place = [[Baghdad]]
| birth_place = [[Baghdad]]
|death_date = {{death date and age|946|06|24|882|02|08|df=y}}
| death_date = {{death date and age|946|07|24|882|02|08|df=y}}
|death_place = [[Damaskus]]
| death_place = [[Damaskus]]
|burial_date =
| burial_date =
|burial_place =
| burial_place = [[Yerusalem]]
|religion =
| religion = [[Islam Sunni]]
|occupation =
| occupation =
|signature_type =
| signature_type =
|signature =
| signature =
}}
}}
'''Abū Bakr Muḥammad bin Ṭughj bin Juff bin Yiltakīn bin Fūrān bin Fūrī bin Khāqān''' (8 Februari 88224 Juli 946), lebih dikenal dengan [[laqab|gelar]] '''al-Ikhshīd''' ({{lang-ar|الإخشيد}}) setelah 939, adalah seorang komandan dan gubernur [[Kekhalifahan Abbasiyah]] yang menjadi penguasa otonom [[Mesir pada Abad Pertengahan|Mesir]] dan bagian dari [[Bilad al-Sham|Suriah]] ([[Levant]]) dari 935 hingga kematiannya pada 946. Ia adalah pendiri [[Dinasti Ikhshidid]], yang memerintah wilayah tersebut hingga [[Kekhalifahan Fatimiyah|Fatimiyah]] [[Penaklukan Fatimiyah atas Mesir|menaklukkannya]] pada 969.


Putra dari [[Tughj bin Juff]], seorang jenderal dari [[bangsa Turkik]] yang melayani baik Abbasiyah maupun penguasa otonom [[Tuluniyah]] di Mesir dan Suriah, Muhammad bin Tughj lahir di [[Sejarah Baghdad#Pusat pembelajaran (abad ke-8 hingga ke-9)|Baghdad]] tetapi dibesarkan di Suriah dan memperoleh pengalaman militer dan administratif pertamanya di sisi ayahnya. Ia memiliki karier awal yang penuh gejolak: Ia dipenjarakan bersama ayahnya oleh Abbasiyah pada 905, dibebaskan pada 906, berpartisipasi dalam pembunuhan [[vizier]] [[al-Abbas ibn al-Hasan al-Jarjara'i]] pada 908, dan melarikan diri dari [[Sejarah Irak#Abad Pertengahan|Irak]] untuk masuk ke dalam pelayanan gubernur Mesir, [[Takin al-Khazari]]. Akhirnya, Ia memperoleh perlindungan dari beberapa tokoh berpengaruh Abbasiyah, terutama komandan kepala yang kuat [[Mu'nis al-Muzaffar]]. Hubungan ini membawanya diangkat menjadi gubernur pertama [[Jund Filastin|Palestina]] dan kemudian [[Damaskus]]. Pada 933, dia sebentar diangkat menjadi gubernur Mesir, tetapi perintah ini dibatalkan setelah kematian Mu'nis, dan Ibn Tughj harus berjuang untuk mempertahankan bahkan kedudukannya sebagai gubernur Damaskus. Pada 935, Ia diangkat kembali ke Mesir, di mana dia dengan cepat mengalahkan invasi Fatimiyah dan menstabilkan negara yang bergejolak. Pemerintahannya menandai periode langka dari perdamaian domestik, stabilitas, dan pemerintahan yang baik dalam catatan sejarah awal Mesir Islam. Pada 938, Khalifah [[al-Radi]] mengabulkan permintaannya untuk gelar ''[[Ikhshid|al-Ikhshid]]'', yang telah digunakan oleh penguasa leluhur [[Lembah Ferghana]]-nya. Gelar inilah yang dia kenal setelahnya.
'''Abū Bakr Muḥammad bin Ṭughj bin Juff bin Yiltakīn bin Fūrān bin Fūrī bin Khāqān''' ({{lahirmati||8|2|882||24|6|946}}), yang lebih dikenal dengan [[laqab|gelarnya]] '''al-Ikhshīd''' ({{lang-ar|الإخشيد}}) setelah 939, adalah seorang komandan dan gubernur [[Abbasiyyah]] yang menjadi penguasa otonomi [[Mesir Abad Pertengahan|Mesir]] dan sebagian [[Bilad al-Sham|Suriah]] (atau [[Syam]]) dari 935 sampai kematiannya pada 946. Ia adalah pendiri dari [[Dinasti Ikhsyidiyah]], yang berkuasa di wilayah tersebut sampai penaklukan [[Fatimiyyah]] pada 969.


Sepanjang masa pemerintahannya, al-Ikhshid terlibat dalam konflik dengan pemimpin regional lainnya untuk menguasai Suriah, tanpa itu Mesir rentan terhadap invasi dari timur, tetapi tidak seperti banyak pemimpin Mesir lainnya, terutama Tuluniyah sendiri, dia bersedia menunggu waktunya dan berkompromi dengan saingannya. Meskipun awalnya mengendalikan seluruh Suriah, Ia terpaksa menyerahkan setengah utara kepada [[Muhammad ibn Ra'iq|Ibn Ra'iq]] antara 939 dan 942. Setelah pembunuhan Ibn Ra'iq, al-Ikhshid mengembalikan kendalinya atas Suriah utara, hanya untuk ditantang oleh [[Dinasti Hamdanid|Hamdanid]]. Pada 944, al-Ikhshid bertemu Khalifah [[al-Muttaqi]] di [[Raqqa]]; khalifah telah melarikan diri ke sana dari berbagai pemimpin yang berusaha menculiknya dan mengendalikan pemerintahan khalifah di Baghdad. Meskipun tidak berhasil membujuk khalifah untuk datang ke Mesir, dia menerima pengakuan atas pemerintahan turun-temurun atas Mesir, Suriah, dan [[Hejaz]] selama tiga puluh tahun. Setelah kepergiannya, pangeran Hamdanid yang ambisius [[Sayf al-Dawla]] merebut [[Aleppo]] dan Suriah utara pada musim gugur 944, dan meskipun dikalahkan dan diusir dari Suriah oleh Ibn Tughj sendiri pada tahun berikutnya, sebuah perjanjian yang membagi wilayah tersebut sepanjang garis kesepakatan dengan Ibn Ra'iq disepakati pada bulan Oktober. Ibn Tughj meninggal sembilan bulan kemudian, dan dimakamkan di [[Yerusalem]]. Ia meninggalkan putranya [[Abu'l-Qasim Unujur ibn al-Ikhshid|Unujur]] sebagai penguasa wilayahnya, di bawah pengawasan kasim hitam yang kuat [[Abu al-Misk Kafur]].
Sebagai putra dari [[Tughj bin Juff]], seorang jenderal berdarah [[suku bangsa Turkic|Turkic]] yang melayani Abbasiyah dan penguasa-penguasa otonom [[Tuluniyah]] Mesir dan Suriah, Muhammad bin Tughj lahir di [[Sejarah Baghdad#Pusat pengetahuan (abad ke-8 sampai ke-9)|Baghdad]] namun dibesarkan di Suriah dan mendapatkan pengalaman administratif dan militer pertamanya di sisi ayahnya. Ia memiliki karier awal yang mencekam: ia ditahan bersama dengan ayahnya oleh Abbasiyah pada tahun 905, dibebaskan tahun 906, ikut dalam pembunuhan [[vizier]] [[al-Abbas bin al-Hasan al-Jarjara'i]] pada 908, dan kabur ke [[Sejarah Irak#Abad Pertengahan|Irak]] untuk ikut penugasan gubernur Mesir, [[Takin al-Khazari]]. Kemudian, ia mendapatkan perlindungan dari beberapa magnat Abbasiyah berpengaruh, terutama kepala komandan berkuasa [[Mu'nis al-Muzaffar]]. Hal tersebut membuatnya diangkat menjadi gubernur [[Jund Filastin|Palestina]] pertama dan kemudian [[Damaskus]]. Pada 933, ia diangkat menjadi gubernur Mesir, tetapi jabatan tersebut dicabut setelah kematian Mu'nis, dan Bin Tughj telah bertarung untuk mempertahankan jabatan gubernurnya di Damaskus. Pada tahun 935, ia diangkat lagi di Mesir, dimana ia dengan cepat mengalahkan invasi Fatimiyah dan menstabilkan negara yang gonjang-ganjing tersebut. Masa pemerintahannya ditandai dengan masa perdamaian domestik, kestabilan dan pemerintahan baik dalam annal-annal Mesir Islamis awal. Pada tahun 938, Kalifah [[al-Radi]] menerima permintaannya untuk gelar ''al-[[Ikhshid]]'', yang dipegang oleh para penguasa leluhurnya di [[Lembah Farghana]]. Ia dikenal dengan gelar tersebut pada masa selanjutnya.

Sepanjang kegubernurannya, al-Ikhshid menghadapi konflik-konflik dengan penguasa kawasan lainnya untuk kekuasaan atas Suriah, tanpa Mesir memperhatian invasi dari timur, tetapi tak seperti beberapa pemimpin Mesir lainnya, terutama Tuluniyah itu sendiri, ia bersiap untuk menggunakan waktunya dan berkompromi dengan para rivalnya. Meskipun awalnya ia menguasai seluruh Suriah, ia terpaksa untuk menyerahkan bagian utaranya kepada [[Muhammad bin Ra'iq|Bin Ra'iq]] antara tahun 939 dan 942. Setelah pembunuhan Bin Ra'iq, al-Ikhshid menyatakan kembali kekuasaannya atas utara Suriah dengan hanya bersaing dengan [[dinasti Hamdaniyah|Hamdaniyah]]. Pada 944, al-Ikhshid bertemu Kalifah [[al-Muttaqi]] di [[Raqqa]]; kalifah tersebut kabur kesana dari berbagai pasukan yang ingin menculiknya dan menguasai pemerintahan kalifah di Baghdad. Meskipun gagal dalam membujuk kalifah tersebut datang ke Mesir, ia meraih pengakuan kekuasaan wairsan atas Mesir, Suriah dan [[Hejaz]] selama tiga puluh tahun. Setelah keberangkatannya, pangeran Hamdaniyah [[Sayf al-Dawla]] yang ambisius merebut [[Aleppo]] dan utara Suriah pada musim gugur tahun 944, dan meskipun dikalahkan dan dipukul mundur dari Suriah oleh Bin Tughj sendiri pada tahun berikutnya, sebuah traktat membafi kawasan tersebut menurut perjanjian dengan Bin Ra'iq yang dilakukan pada bukan Oktober. Bin Tughj wafat sembilan bulan kemudian, meninggalkan putranya [[Abu'l-Qasim Unujur bin al-Ikhshid|Unujur]] sebagai penguasa domainnya, di bawah naungan eunuch kulit hitam berkuasa [[Abu al-Misk Kafur]].


== Asal muasal dan kehidupan awal ==
== Asal muasal dan kehidupan awal ==
[[Berkas:Tulunids 893.svg|jmpl|ka|300px|Peta domain Tuluniyah pada sekitar tahun 893]]
[[Berkas:Tulunids 893.svg|jmpl|ka|300px|Peta domain Thuluniyah pada sekitar tahun 893]]
Menurut kamus biografi yang dikompilasikan oleh [[Ibnu Khallikan]], Muhammad bin Tughj lahir di [[Baghdad]] pada 8 Februari 882, di jalan menuju ke Gerbang [[Kufah]].{{sfn|McGuckin de Slane|1868|p=220}}{{sfn|Bacharach|1993|p=411}} Keluarganya berdarah [[suku bangsa Turk|Turk]] dari [[Lembah Farghana]] di [[Transoxiana]], dan diklaim berdarah ningrat; nama leluhurnya, "[[Khaqan]]", adalah sebuah gelar kerajaan Turk.{{sfn|McGuckin de Slane|1868|pp=217, 219–220}}{{sfn|Gordon|2001|pp=158–159}} Kakek Muhammad, Juff meninggalkan Farghana untuk masuk pelayanan militer dalam pemerintahan [[Kekhalifahan Abbasiyyah|Abbasiyyah]] di [[Samarra]], seperti halnya ayahnya [[Ahmad bin Tulun|Ibnu Tulun]], pendiri [[dinasti Tuluniyyah]].{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Juff dan putranya, ayah Muhammad [[Tughj bin Juff|Tughj]], sama-sama melayani Abbasiyyah, tetapi Tughj masuk pelayanan Tuluniyyah, yang sejak tahun 868 telah menjadi para penguasa otonom [[Mesir pada Abad Pertengahan|Mesir]] dan [[Bilad al-Sham|Suriah]].{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Tughj melayani Tuluniyah sebagai gubernur [[Tiberias]] (ibu kota [[jund|distrik]] [[Jund al-Urdunn|Yordania]]), [[Aleppo]] (ibu kota distrik [[Jund Qinnasrin|Qinnasrin]]) dan [[Damaskus]] (ibu kota [[Jund Dimashq|distrik homonim]]).{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Ia memainkan peran besar dalam menangkis serangan [[suku Qarmatia|Qarmatia]] di Damaskus pada 903; meskipun kalah dalam pertempuran, ia memegang kotanya sendiri melawan suku Qarmatia selama tujuh bulan sampai, dengan kedatangan bala bantuan dari Mesir, suku Qarmatia menarik diri.{{sfn|Kennedy|2004|pp=185, 286}}{{sfn|Jiwa|2009|pp=143–144}} Kemudian, Muhammad bin Tughj menjalani sebagian besar masa mudanya di Syam Tuluniyyah di sisi ayahnya, meraih pengalaman pertamanya dalam administrasi—ia menjabat sebagai sub-gubernur ayahnya di Tiberias—dan perang.{{sfn|Bacharach|1975|p=588}}
Menurut kamus biografi yang disusun oleh [[Ibnu Khallikan]], Muhammad bin Tughj lahir di [[Baghdad]] pada tanggal 8 Februari 882, di sebuah jalan yang menuju Gerbang [[Kufah]].{{sfn|McGuckin de Slane|1868|p=220}}{{sfn|Bacharach|1993|p=411}} Keluarganya berasal dari bangsa [[Suku bangsa Turk|Turk]] dari [[Lembah Farghana]] di [[Transoxiana]], dan mengklaim memiliki darah bangsawan; nama leluhurnya, "[[Khaqan]]", adalah sebuah gelar kerajaan Turk.{{sfn|McGuckin de Slane|1868|pp=217, 219–220}}{{sfn|Gordon|2001|pp=158–159}} Kakek Muhammad, Juff meninggalkan Farghana untuk bergabung sebagai prajurit militer di istana [[Kekhalifahan Abbasiyyah|Abbasiyyah]] di [[Samarra]], seperti yang dilakukan ayahnya, [[Ahmad bin Tulun|Ibnu Thulun]], pendiri [[dinasti Tuluniyyah|dinasti Thuluniyyah]].{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Juff dan putranya, yang merupakan ayah Muhammad, [[Tughj bin Juff|Tughj]], sama-sama mengabdi kepada Abbasiyyah, tetapi Tughj kemudian mengabdi kepada Thuluniyyah, yang sejak tahun 868 telah menjadi para penguasa [[Otonomi|otonom]] [[Mesir pada Abad Pertengahan|Mesir]] dan [[Bilad al-Sham|Suriah]].{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Tughj mengabdikan diri kepada Thuluniyah sebagai gubernur [[Tiberias]] (ibu kota [[Jund|distrik]] [[Jund al-Urdunn|Yordania]]), [[Aleppo]] (ibu kota distrik [[Jund Qinnasrin|Qinnasrin]]) dan [[Damaskus]] (ibu kota [[Jund Dimashq|distrik homonim]]).{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Ia memainkan peranan besar dalam menangkis serangan [[Suku Qarmatia|Qaramitah]] di Damaskus pada tahun 903. Meskipun kalah dalam sebuah pertempuran, ia berhasil mempertahankan kota itu sendiri dari orang-orang Qaramitah selama tujuh bulan, hingga datangnya bala bantuan dari Mesir yang dengan itu suku Qaramitah berhasil diusir.{{sfn|Kennedy|2004|pp=185, 286}}{{sfn|Jiwa|2009|pp=143–144}} Oleh sebab itu, Muhammad bin Tughj menghabiskan sebagian besar masa mudanya di Syam Thuluniyyah. Bersama ayahnya, ia mendapatkan pengalaman pertamanya dalam administrasi (sebagai wakil gubernur Tiberias) dan dalam perperangan.{{sfn|Bacharach|1975|p=588}}


Setelah kematian putra Ibnu Tulun [[Khumarawayh bin Ahmad bin Tulun|Khumarawayh]] pada tahun 896, negara Tuluniyah dengan cepat pemulihan, dan gagal meredam pemberontakan serius apapun ketika Abbasiyah berpindah untuk mendirikan lagi kontrol langsung atas Suriah dan Mesir pada 905.{{sfn|Kennedy|2004|pp=184–185, 310}} Tughj berbalik memihak Abbasiyah di bawah [[Muhammad bin Sulayman al-Katib]], dan diangkat menjadi gubernur Aleppo saat pulang;{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Muhammad al-Katib sendiri menjadi korban intrik pemerintahan tak lama setelahnya, dan Tughj bersama dengan putra-putranya Muhammad dan [[Ubaydullah bin Tughj|Ubaydullah]] ditahan di Baghdad. Tughj wafat di penjara pada tahun 906, dan saudara-saudaranya melarikan diri tak lama setelahnya.{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Putra-putra Tughj ikut dalam kudeta istama yang berupaya untuk melengserkan khalifah baru, [[al-Muqtadir]] (memerintah 908–932), dalam rangka mengangkat kakaknya [[Abdallah bin al-Mu'tazz|Ibnu al-Mu'tazz]] pada Desember 908. Meskipun upaya tersebut gagal, Muhammad bin Tughj dan saudara-saudaranya dapat menghindarkan diri mereka sendiri dari penahanan mereka oleh [[vizier]] [[al-Abbas bin al-Hasan al-Jarjara'i]], yang membujuk mereka dengan bantuan [[Husayn bin Hamdan]].{{sfn|Kennedy|2004|p=191}}{{sfn|Bacharach|1975|p=589}} Setelah kudeta gagal, ketiganya melarikan diri: Ibnu Hamdan kembali ke kampung halamannya [[Mesopotamia Hulu]] dan Ubayd Allah kabur ke wilayah timur menuju [[Yusuf bin Abi'l-Saj]], sementara Muhammad kabur ke Suriah.{{sfn|Bacharach|1975|p=589}}
Setelah kematian putra Ibnu Thulun, [[Khumarawayh bin Ahmad bin Tulun|Khumarawayh]], pada tahun 896, negara Thuluniyah dengan cepat mulai goyah dari arah dalam, dan gagal memberikan perlawanan yang serius ketika Abbasiyyah berupaya untuk mengklaim kembali kontrol langsung atas Suriah dan Mesir pada tahun 905.{{sfn|Kennedy|2004|pp=184–185, 310}} Tughj yang kemudian membelot kepada Abbasiyyah menyerang dengan dikomandoi oleh [[Muhammad bin Sulayman al-Katib|Muhammad bin Sulaiman al-Katib]], dan sebagai imbalan, ia diangkat menjadi gubernur Aleppo;{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Muhammad al-Katib sendiri menjadi korban persekongkolan dalam istana tak lama setelah itu, dan Tughj bersama putra-putranya, Muhammad dan [[Ubaidullah]], dipenjara di Baghdad. Tughj meninggal dalam penjara pada tahun 906, dan putra-putranya dibebaskan tak lama setelahnya.{{sfn|Bacharach|1975|p=588}} Mereka kemudian berpartisipasi dalam kudeta istana yang bertujuan untuk menggulingkan khalifah baru, [[al-Muqtadir]] (memerintah 908-932), demi [[Ibnu al-Mu'tazz]] yang lebih tua pada bulan Desember tahun 908. Meskipun upaya tersebut gagal, Muhammad bin Tughj dan saudaranya mampu membalaskan dendam atas pemenjaraan mereka kepada [[wazir]] [[al-Abbas bin al-Hasan al-Jarjara'i]], yang mereka bunuh dengan bantuan [[Husain bin Hamdan]].{{sfn|Kennedy|2004|p=191}}{{sfn|Bacharach|1975|p=589}} Setelah kegagalan kudeta, ketiganya melarikan diri: Ibnu Hamdan kembali ke kampung halamannya di [[Mesopotamia Hulu]] dan Ubaidullah melarikan diri ke timur ke [[Yusuf bin Abi'l-Saj]], sementara Muhammad melarikan diri ke Suriah.{{sfn|Bacharach|1975|p=589}}


Di Suriah, Muhammad bin Tughj bergabung dengan layanan petinggi pajak provinsi-provinsi lokal, Abu'l-Abbas al-Bistam. Ia kemudian menyusul master barunya ke Mesir, dan setelah kematian al-Bistam pada Juni 910, ia melanjutkannya dengan melayani putranya.{{sfn|Bacharach|1975|p=589}} Kemudian, ia meraih perhatian gubernur lokal, [[Takin al-Khazari]], yang mengirimnya untuk memerintah wilayah di sekitaran [[Sungai Yordan]], dengan kursinya di [[Amman]].{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|p=589}} Pada 918, ia mengikuti karavan [[haji]], dimana ia menjadi salah satu orang yang menjaga ibu al-Muqtadir, dari para penyerbu [[Bedouin]], sesambil meningkatkan pendiriannya dalam pemerintahan Abbasiyah.{{sfn|Bacharach|1975|p=589}} Dua tahun kemudian, Ibnu Tughj meraih perlindungan berpengaruh saat ia bertugas di bawah kepala komandan Abbasiyah berkuasa [[Mu'nis al-Muzaffar]], dimana ia datang untuk membantu mempertahankan Mesir dari invasi [[Kekhalifahan Fatimiyah|Fatimiyah]]. Pada kampanye tersebut, Ibnu Tughj mengkomandani pasukan tentara Mesir. Dua pasukannya benar-benar mendirikan sebuah prestasi, dan masih menjadi kontak pada masa setelahnya.{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=589–590}}{{sfn|Halm|1996|pp=208–209}}
Di Suriah, Muhammad bin Tughj bekerja dengan seorang pengawas pajak dari provinsi-provinsi setempat, Abu'l-Abbas al-Bistam. Dia segera mengikuti atasan barunya ke Mesir, dan setelah kematian al-Bistam pada bulan Juni tahun 910, dia melanjutkan pengabdiannya kepada putra al-Bistam.{{sfn|Bacharach|1975|p=589}} Lambat laun, ia menarik perhatian gubernur setempat, [[Takin al-Khazari]], yang mengirimnya untuk memerintah sejumlah wilayah di luar [[Sungai Yordan]], dengan pusat pemerintahannya di [[Amman]].{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|p=589}} Pada tahun 918, ia menyelamatkan sebuah rombongan haji, yang di antaranya adalah salah satu dayang wanita dari ibu al-Muqtadir, dari serangan para perampok [[Suku Badui (Arab)|Badui]], yang membuat posisinya di istana Abbasiyyah semakin menguat. Dua tahun kemudian, Ibnu Tughj mendapatkan penyokong yang berpengaruh sewaktu bertugas sebentar di bawah panglima Abbasiyyah yang saat itu berkuasa, [[Mu'nis al-Muzaffar]], saat ia datang untuk membantu mempertahankan Mesir dari serbuan [[Kekhalifahan Fathimiyah|Fatimiyah]]. Selama kampanye tersebut, Ibnu Tughj memimpin pasukan dari tentara Mesir. Keduanya pun berteman baik, dan terus berhubungan setelahnya.{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=589–590}}{{sfn|Halm|1996|pp=208–209}}


Saat Takin kembali ke Mesir sebagai gubernur pada 923, Ibnu Tughj bergabung dengannya disana, tetapi keduanya terpecah pada tahun 928 saat Takin menolak untuk memberikan jabatan gubernur [[Iskandariyah]] kepada Ibnu Tughj.{{sfn|Bacharach|1975|p=590}} Ibnu Tughj kabur ke ibu kota [[Fustat]], dan memutuskan untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi gubernur [[Jund Filastin|Palestina]] dari Baghdad; petahananya, al-Rashidi, melarikan kursi gubernur dari [[Ramla]] ke Damaskus, dimana ia memegang jabatan gubernur. Menurut sejarawan Jere L. Bacharach, pelariannya menandakan bahwa Ibnu Tughj mengkomandani pasukan militer signifikan.{{sfn|Bacharach|1975|p=590}} Tiga tahun kemudian, pada Juli 931, Muhammad bin Tughj diangkat menjadi Gubernur Damaskus, sementara al-Rashidi kembali ke Ramla.{{sfn|Bacharach|1975|p=590}} Kedua pelantikan tersebut tampaknya merupakan hasil dari hubungan Ibnu Tughj dengan Mu'nis al-Muzaffar, yang saat itu berada di puncak kekuasaan dan pengaruhnya.{{sfn|Bacharach|1975|p=590}}{{sfn|Kennedy|2004|pp=191–194, 311}}
Ketika Takin al-Khazari kembali ke Mesir sebagai gubernur pada tahun 923, Ibnu Tughj menyertainya ke sana, tetapi keduanya kemudian berselisih pada tahun 928 karena penolakan Takin untuk memberikan jabatan gubernur [[Iskandariyah]] kepada Ibnu Tughj.{{sfn|Bacharach|1975|p=590}} Ibnu Tughj lalu melarikan diri dari ibu kota [[Fustat]] dengan sebuah tipu muslihat, dan berhasil mendapatkan pengangkatan dirinya menjadi gubernur [[Palestina (wilayah)|Palestina]] dari Baghdad; gubernur yang sedang menjabat, ar-Rasyidi, meninggalkan kursi gubernur di Ramallah ke Damaskus, yang kegubernurannya ia ambil alih. Pelariannya, menurut sejarawan Jere L. Bacharach, mungkin mengindikasikan bahwa Ibnu Tughj mengendalikan kekuatan militer yang signifikan.{{sfn|Bacharach|1975|p=590}} Tiga tahun kemudian, pada bulan Juli 931, Muhammad Ibnu Tughj diangkat menjadi gubernur Damaskus, sementara ar-Rasyidi kembali ke Ramallah.{{sfn|Bacharach|1975|p=590}} Kedua pengangkatan ini kemungkinan adalah hasil dari hubungan Ibnu Tughj dengan Mu'nis al-Muzaffar, yang pada saat itu tengah berada di puncak kekuasaan dan pengaruhnya.{{sfn|Bacharach|1975|p=590}}{{sfn|Kennedy|2004|pp=191–194, 311}}


== Mengambil alih Mesir ==
== Mengambil alih Mesir ==
Pada bulan Maret tahun 933, Takin al-Khazari meninggal, sementara putranya serta calon penggantinya, Muhammad, gagal dalam membangun otoritasnya di Mesir. Ibnu Tughj kemudian ditunjuk sebagai gubernur baru pada bulan Agustus, tetapi penunjukan itu dicabut sebulan kemudian sebelum ia sampai ke Mesir, dan [[Ahmad bin Kayghalagh]] ditunjuk sebagai penggantinya. Waktu pembatalan penunjukan Ibnu Tughj sebagai gubernur Mesir bertepatan dengan penangkapan (yang kemudian diikuti dengan pembunuhan) Mu'nis oleh Khalifah [[al-Qahir]] (memerintah 932-934) pada tanggal 22 September, menunjukkan bahwa pencalonan Ibnu Tughj kemungkinan besar juga disebabkan oleh Mu'nis.{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=591–592}} Fakta bahwa al-Qahir mengirim seorang kasim bernama Bushri untuk menggantikan Ibnu Tughj di Damaskus setelah jatuhnya Mu'nis memperkuat pandangan ini. Bushri mampu mengambil alih jabatan gubernur Aleppo (yang saat itu Ibnu Tughj yang ditunjuk), tetapi Ibnu Tughj menolak penggantinya, dan mengalahkan, serta menawannya. Khalifah kemudian menugaskan Ahmad bin Kayghalagh untuk memaksa Ibnu Tughj menyerah. Meskipun Ahmad bergerak maju menantang Ibnu Tughj, keduanya menghindari konfrontasi langsung. Sebaliknya, keduanya bertemu dan mencapai kesepakatan untuk saling memberikan dukungan, mempertahankan status quo.{{sfn|Bacharach|1975|p=592}}
[[Berkas:CairoFustatMashhadAlTabataba1.jpg|jmpl|300x300px|Mashhad (Mausoleum) al-Tabataba, didirikan pada tahun 943 Masehi pada masa pemerintahan Muhammad Ibnu Tughj al-Ikhsyid di [[Kairo]], adalah satu-satunya monumen yang tersisa dari periode Ikhsyid.<ref>{{cite book|last1=Kadi|first1=Galila El|last2=Bonnamy|first2=Alain|date=2007|url=https://books.google.com/books?id=7OJ0-tXE_9MC&pg=PA96|title=Architecture for the Dead : Cairo's Medieval Necropolis|publisher=American Univ in Cairo Press|isbn=978-977-416-074-5|page=96, 297|language=en}}</ref>]]
Ahmad bin Kayghalagh kemudian terbukti tidak mampu memulihkan kondisi di provinsi yang semakin bergejolak. Pada tahun 935, pasukan tentara melakukan pemberontakan karena tidak mendapatkan gaji yang cukup, dan perampokan-perampokan dari suku Badui pun kembali terjadi. Pada saat yang sama, putra Takin, Muhammad, dan pejabat keuangan [[Abu Bakar Muhammad bin Ali al-Madhara'i|Abu Bakar Muhammad bin Ali al-Madhara'i—]]<nowiki/>pewaris [[Al-Madhara'i|dinasti birokrat]] yang telah menangani keuangan provinsi sejak masa Ibnu Thulun dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang sangat besar{{sfn|Bianquis|1998|pp=97, 105, 111}}{{sfn|Gottschalk|1986|p=953}}—merongrong Ahmad bin Kayghalagh dan mengincar posisinya.{{sfn|Bacharach|1975|pp=592–593}} Pertikaian pecah antara pasukan yang berasal dari orang-orang Timur (''Masyariqa''), terutama tentara Turki, yang mendukung Muhammad bin Takin, dan orang-orang Barat (''Maghariba''), kemungkinan orang [[Orang Berber|Berber]] dan orang [[Orang kulit hitam Afrika|Afrika berkulit Hitam]], yang mendukung Ahmad bin Kayghalagh.{{sfn|Brett|2001|p=161}} Dengan dukungan dari mantan wazir dan inspektur jenderal provinsi-provinsi barat, [[al-Fadhl bin Ja'far bin al-Furat]], yang putranya menikah dengan salah satu putri Ibnu Tughj, Ibnu Tughj kembali ditunjuk sebagai gubernur Mesir. Tidak mau mengambil risiko, Ibnu Tughj mengorganisir sebuah invasi ke negara tersebut melalui darat dan laut. Meskipun Ahmad bin Kayghalagh mampu memperlambat gerak maju tentara, armada Ibnu Tughj berhasil merebut [[Tinnis]] dan Delta Sungai Nil yang kemudian bergerak menuju ibu kota Fustat. Terungguli dan dikalahkan dalam pertempuran, Ahmad bin Kayghalagh melarikan diri ke Fatimiyah. Muhammad Ibnu Tughj yang menang kemudian memasuki Fustat pada tanggal 26 Agustus 935.{{sfn|Bacharach|1975|pp=592–594}}{{sfn|Kennedy|2004|pp=311–312}}


Dengan ibu kota di bawah kendalinya, Ibnu Tughj sekarang harus berhadapan dengan Fatimiyah. ''Maghariba'' yang menolak untuk tunduk kepada Ibnu Tughj lalu melarikan diri ke Aleksandria dan kemudian ke [[Barqa]] di bawah kepemimpinan Habasyi bin Ahmad, dan mengajak penguasa Fatimiyah, [[Al-Qa'im bi-Amr Allah|al-Qa'im]] (m. 934-946) untuk menyerang Mesir dengan bantuan mereka.{{sfn|Halm|1996|p=284}}{{sfn|Brett|2001|p=162}}{{sfn|Madelung|1996|p=34}} Invasi Fatimiyah memperoleh keberhasilan awal: tentara Fatimiyah, [[Kutama]] Berber, merebut pulau [[Pulau Roda|ar-Raudah]] di [[Sungai Nil|Nil]] dan membakar gudang-gudang persenjataannya. Laksamana Ibnu Tughj, Ali bin Badr dan Bajkam membelot ke Fatimiyah, dan Aleksandria sendiri direbut pada bulan Maret 936. Namun, pada tanggal 31 Maret, saudara laki-laki Ibnu Tughj, al-Hasan, mengalahkan pasukan Fatimiyah di dekat Aleksandria, mengusir mereka keluar dari kota dan memaksa Fatimiyah untuk sekali lagi mundur dari Mesir ke pangkalan mereka di Barqa.{{sfn|Halm|1996|p=284}}{{sfn|Madelung|1996|p=34}}{{sfn|Bianquis|1998|p=112}} Selama kampanye tersebut, Ibnu Tughj secara khusus melarang pasukannya untuk menjarah, yang menurut J. L. Bacharach, merupakan indikasi dari "pandangan jangka panjangnya terhadap kedudukannya di Mesir".{{sfn|Bacharach|1975|p=594}}
Takin wafat pada Maret 933, dan putranya serta penerusnya yang dinominasikan, Muhammad, gagal mendirikan otoritasnya di Mesir. Ibnu Tughj diangkat menjadi gubernur baru pada bulan Agustus namun pengangkatannya ditolak sebulan kemudian sebelum ia mencapai Mesir, dan [[Ahmad bin Kayghalagh]] dilantik pada jabatan tersebut. Masa pemanggilan kembali Ibnu Tughj bertepatan dengan penangkapan (dan kemudian pembunuhan) Mu'nis oleh Khalifah [[al-Qahir]] (memerintah 932–934) pada 22 September, menyimpulkan bahwa nominasi Ibnu Tughj dalam seluruh keberuntungannya juga karena Mu'nis.{{sfn|Kennedy|2004|p=311}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=591–592}} Kenyataannya, al-Qahir mengirim seorang duta bernama Bushri untuk mengganti Ibnu Tughj di Damaskus setelah kejatuhan Mu'nis membulatkan pandangan tersebut. Bushri dapat mengambil alih kegubernuran Aleppo (dimana ia juga dilantik), tetapi Ibnu Tughj menentang pelantikannya, dan mengalahkannya dan menahannya. Khalifah kemudian mengirim Ahmad bin Kayghalagh dalam rangka memaksa Ibnu Tughj untuk menyerah, tetapi meskipun Ahmad berpawai melawan Ibnu Tughj, keduanya menghindari konfrontasi langsung. Sebaliknya, keduanya bertemu dan mencapai kesepakatan dukungan saling menguntungkan, mendirikan status quo.{{sfn|Bacharach|1975|p=592}}

Ahmad bin Kayghalagh kemudian menyediakan bantuan mengembalikan tatanan provinsi yang makin menegangkan tersebut. Pada 935, pasukan memberontak karena kurangnya bayaran, dan penyerbuan Bedouin telah didepan mata. Pada saat yang sama, putra Takin, Muhammad dan administrator fiskal [[Abu Bakar Muhammad bin Ali al-Madhara'i]]—pewaris sebuah [[al-Madhara'i|dinasti para birokrat]] yang menangani keuangan provinsi tersebut sejak masa Ibnu Tulun dan menumpuk kekayaan{{sfn|Bianquis|1998|pp=97, 105, 111}}{{sfn|Gottschalk|1986|p=953}}—di bawah naungan Ahmad bin Kayghalagh dan mempertahankan posisinya.{{sfn|Bacharach|1975|pp=592–593}} Salah satu pertarungannya adalah perpecahan pasukan antara pasukan Timur (''Mashariqa''), utamanya prajurit Turki, yang mendukung Muhammad bin Takin, dan pasukan Barat (''Maghariba''), yang diyakini terdiri dari [[orang Berber|Berber]] dan [[orang kulit hitam Afrika]], yang mendukung Ahmad bin Kayghalagh.{{sfn|Brett|2001|p=161}} Dengan dukungan pada masa itu dari mantan vizier dan inspektur-jenderal provinsi-provinsi barat [[al-Fadl bin Ja'far bin al-Furat]], yang putranya menikahi salah satu putri Ibnu Tughj, Ibnu Tughj lebih dari sekali diangkat menjadi gubernur Mesir. Tak mencapai perubahan, Ibnu Tughj mengadakan sebuah invasi negara melalui darat dan laut. Meskipun Ahmad bin Kayghalagh dapat menghalau pergerakan pasukan, armada Ibnu Tughj mengambil alih [[Tinnis]] dan [[Delta Nil]] dan memindahkan ibu kotanya ke Fustat. Bergerak dan kalah dalam pertempuran, Ahmad bin Kayghalagh kabur ke Fatimiyah. Kemenangan Muhammad bin Tughj memasuki Fustat pada 26 Agustus 935.{{sfn|Bacharach|1975|pp=592–594}}{{sfn|Kennedy|2004|pp=311–312}}

Dengan ibu kota berada di bawah kekuasaannya, Ibnu Tughj sekarang berkonfrontasi dengan Fatimiyah. ''Maghariba'' yang menolak untuk menyerah kepada Ibnu Tughj kabur ke Iskandariyah dan kemudian ke [[Barqa]] di bawah kepemimpinan Habashi bin Ahmad, dan mengundang penguasa Fatimiyah [[Al-Qa'im bi-Amr Allah|al-Qa'im]] (memerintah 934–946) untuk menginvasi Mesir dengan bantuan mereka.{{sfn|Halm|1996|p=284}}{{sfn|Brett|2001|p=162}}{{sfn|Madelung|1996|p=34}} Invasi Fatimiyah mendatangkan kesukesan awal: Pasukan Berber [[Kutama]] pimpinan pasukan Fatimiyah menaklukan pulau [[Pulau Rhoda|al-Rawda]] di [[Nil]] dan membakar galangan kapalnya. Laksamana-laksamana Ibnu Tughj yakni Ali bin Badar dan Bajkam berbalik memihak ke Fatimiyah, dan Iskandariyah sendiri ditaklukan pada Maret 936. Selain itu, pada 31 Maret, saudara Ibnu Tughj, al-Hasan mengalahkan pasukan Fatimiyah di dekat Iskandariyah, menyupiri mereka dari kota tersebut dan memaksa Fatimiyah sekali lagi terusir dari Mesir ke pangkalan mereka di Barqa.{{sfn|Halm|1996|p=284}}{{sfn|Madelung|1996|p=34}}{{sfn|Bianquis|1998|p=112}} Pada kampanye tersebut, Ibnu Tughj dikenal karena melarang pasukannya untuk merampas yang merupakan tanda "pandangan jangka panjangnya terhadap kesinggahannya di Mesir" menurut J. L. Bacharach.{{sfn|Bacharach|1975|p=594}}


== Pemerintah Mesir ==
== Pemerintahan di Mesir ==
[[Berkas:Dinar of Muhammad al-Ikhshid.jpg|jmpl|250px|ka|alt=Bagian depan dan belakang sbuah koin emas, dengan inskripsi Arab|''[[dinar emas|Dinar]]'' yang dicetak di Palestina di bawah kepemimpinan al-Ikhshid, 944 Masehi. Dari tahun 942, Ibnu Tughj mencantumkan nama dan gelarnya ("Muhammad al-Ikhshid"), bersama dengan sebutan khalifah dalam koinnya.{{sfn|Bacharach|1975|p=605}}]]
[[Berkas:Dinar of Muhammad al-Ikhshid.jpg|jmpl|250px|ka|alt=Bagian depan dan belakang sbuah koin emas, dengan inskripsi Arab|''[[dinar emas|Dinar]]'' yang dicetak di Palestina di bawah kepemimpinan al-Ikhsyid, 944 Masehi. Dari tahun 942, Ibnu Tughj mencantumkan nama dan gelarnya ("Muhammad al-Ikhsyid"), bersama dengan sebutan khalifah dalam koinnya.{{sfn|Bacharach|1975|p=605}}]]
Dituliskan kepada Khalifah [[Ar-Radi|al-Radi]] (memerintah 934–940) pada 936, Muhammad bin Tughj mewkili sebuah catatan mengenang: invasi Fatimiyah mengalahkan dan ukuran pertama yang menyediakan keadaan keuangan di provinsi tersebut terkendali. Khalifah mengkonfirmasikannya dalam jabatannya dan mengirim rampasan berharga.{{sfn|Bacharach|1975|p=595}} [[Hugh N. Kennedy]] menyatakan, "dalam beberapa cara, ancaman Fatimiyah sebenarnya adalah membantu Ibnu Tughj", seperti halnya dukungannya terhadap Abbasiyah, "pra khalifah dipersiapkan untuk memberikan persetujuan mereka untuk pemerintahannya yang kembali".{{sfn|Kennedy|2004|p=312}} Pendiriannya dalam pemerintahan Abbasiyah membuatnya meminta gelar kehormatan (''[[laqab]]'') ''al-[[Ikhshid]]'' pada 938, yang awalnya diberikan oleh raja-raja tanah leluhurnya Farghana. Khalifah al-Radi meraih permintaan tersebut, meskipun persetujuan resmi ditunda sampai Juli 939. Setelah menerima konfirmasi resmi, Ibnu Tughj meminta agar secara pribadi ia mengumumkan gelar barunya.{{sfn|Bianquis|1998|p=112}}{{sfn|Kennedy|2004|p=312}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=595–596}}
Dalam suratnya kepada Khalifah [[ar-Radhi]] (m. 934-940) pada tahun 936, Muhammad bin Tughj dapat menyajikan laporan yang sangat memuaskan: invasi Fatimiyah telah berhasil dipukul mundur dan upaya-upaya awal untuk memperbaiki situasi keuangan di provinsi tersebut telah dilakukan. Sang Khalifah pun mengukuhkan jabatannya dan mengirimkan jubah kehormatan kepadanya.{{sfn|Bacharach|1975|p=595}} Sebagaimana yang ditulis [[Hugh N. Kennedy]], "Dalam beberapa aspek, ancaman Fatimiyah sebenarnya justru menguntungkan Ibnu Tughj". Karena selama ia membela Abbasiyyah, "para khalifah siap memberikan restu kepada pemerintahannya sebagai imbalannya".{{sfn|Kennedy|2004|p=312}} Pada tahun 938, kedudukannya di istana Abbasiyyah yang cukup baginya untuk meminta gelar kehormatan ([[laqab]]) al-[[Ikhshid|Ikhsyid]], yang awalnya dipegang oleh raja-raja dari tanah leluhurnya, Farghana. Khalifah ar-Radi mengabulkan permintaan tersebut, walaupun pengakuan resmi tertunda hingga bulan Juli 939. Setelah menerima konfirmasi resmi, Ibnu Tughj meminta agar ia selanjutnya hanya disapa dengan gelar barunya.{{sfn|Bianquis|1998|p=112}}{{sfn|Kennedy|2004|p=312}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=595–596}}


Sangat sedikit yang diketahui tentang kebijakan domestik al-Ikhshid.{{sfn|Bacharach|1993|p=411}} Selain itu, kebungkaman sumber-sumber terhadap ketegangan domestik pada masa pemerintahannya—selain pemberontakan [[Islam Syiah|Syiah]] kecil pada 942, yang mengejutkan—berdiri kontras dengan penjelasan lazim dari penyerbuan Bedouin, kerusuhan kota karena harga-harga tinggi, atau pemberontakan dan intrik militer dan dinasti, dan mengindikasikan bahwa ia berhasil merestorasikan keadaan internal dan tatanan pemerintahan di Mesir.{{sfn|Bacharach|1975|p=594}} Menurut kamus biografi [[Ibnu Khallikan]], ia merupakan "seorang pangeran resolusi, yang menyimpan kemajuan besar dalam peran, dan perhatian penuh terhadap kekayaan kekaisarannyal ia memperlakukan kelas militer dengan penghormatan dan pemerintahan dengan kemampuan dan keadilan".{{sfn|McGuckin de Slane|1868|p=220}} Rival potensial Muhammad bin Takin dan al-Madhara'i dengan cepat meraih kemenangan dan masuk pemerintahan baru.{{sfn|Bacharach|1975|p=594}}{{sfn|Kennedy|2004|p=312}} al-Madhara'i berupaya untuk mendompleng kenaikan tahta al-Ikhshid, saat pasukannya membangkang, dan awalnya ditahan oleh al-Ikhshid, serta baru dibebaskan pada 939. Ia kemudian memulihkan lagi status dan pengaruhnya, dan menjabat sebagai pemangku raja dari putra dan pewaris al-Ikhshid, [[Abu'l-Qasim Unujur bin al-Ikhshid|Unujur]] pada 946, sebelum dilengserkan dan ditahan selama setahun. Setelah itu, dan sampai kematiannya pada tahun 957, ia pensiun untuk menjalani kehidupan pribadi.{{sfn|Gottschalk|1986|p=953}}{{sfn|Bianquis|1998|p=112}} Seperti halnya para anggota Tuluniyyah sebelumnya, al-Ikhshid juga berupaya untuk membangun pasukan militernya sendiri, termasuk pasukan budak Turk dan orang kulit hitam Afrika.{{sfn|Bacharach|1975|p=594}}{{sfn|Kennedy|2004|p=312}}
Sangat sedikit yang diketahui tentang kebijakan-kebijakan dalam negeri al-Ikhsyid.{{sfn|Bacharach|1993|p=411}} Namun, tidak terdapat sumber sejarah yang menyebutkan masalah-masalah dalam negeri selama masa pemerintahannya—selain pemberontakan kecil dari kaum [[Syiah|Syi'ah]] pada tahun 942, yang dengan cepat ditumpas—sangat kontras dengan narasi yang biasanya beredar tentang penjarahan yang dilakukan oleh suku Badui, kerusuhan di perkotaan karena harga yang tinggi, atau pemberontakan, intrik militer, dan dinasti. Semua ini mengindikasikan bahwa ia berhasil memulihkan stabilitas domestik dan pemerintahan yang tertata rapi di Mesir.{{sfn|Bacharach|1975|p=594}} Menurut kamus biografi [[Ibnu Khallikan]], al-Ikhsyid adalah "seorang pangeran yang tegas, memiliki pandangan yang tajam dalam peperangan, dan sangat memperhatikan kemakmuran kerajaannya; dia memperlakukan kalangan militer dengan penuh kehormatan dan memimpin dengan kecakapan dan keadilan".{{sfn|McGuckin de Slane|1868|p=220}} Saingan potensialnya, Muhammad bin Takin dan al-Madhara'i, dengan mudah diluluhkan dan dimasukkan ke dalam pemerintahan yang baru.{{sfn|Bacharach|1975|p=594}}{{sfn|Kennedy|2004|p=312}} Al-Madhara'i sempat mencoba untuk menentang pengambilalihan al-Ikhsyid yang kemudian berakhir dengan sia-sia, karena pasukannya dengan cepat membelot. Pada awalnya, ia dipenjara oleh al-Ikhsyid, tetapi kemudian dibebaskan pada tahun 939. Ia segera memulihkan status dan pengaruhnya, dan sempat menjabat sebagai wali dari putra dan pewaris al-Ikhsyid, Unujur pada tahun 946, sebelum akhirnya digulingkan dan dipenjara selama setahun. Sesudahnya, dan sampai kematiannya pada 957, ia pensiun dan memilih berfokus pada kehidupan pribadinya.{{sfn|Gottschalk|1986|p=953}}{{sfn|Bianquis|1998|p=112}} Seperti kaum Thulunid sebelum dia, al-Ikhsyid juga sangat berhati-hati dalam membangun kekuatan militernya sendiri, termasuk tentara budak Turki dan orang Afrika berkulit Hitam.{{sfn|Bacharach|1975|p=594}}{{sfn|Kennedy|2004|p=312}}


== Kebijakan luar negeri dan perjuangan untuk Suriah ==
== Kebijakan luar negeri dan perjuangan untuk Suriah ==
Sebagai komandan dan penguasa di Mesir, al-Ikhshid adalah seorang penyabar dan berhati-hati. Ia meraih tujuannya melalui diplomasi dan menjalin hubungan dengan orang-orang berkuasa dalam rezim Baghdad seperti halnya melalui pasukan, dan bahkan ia menghindari konfrontasi militer langsung antara dua pihak yang memberikan al-Ikhshid waktu untuk mempertimbangkan situasi di Mesir sebelum bertindak.{{sfn|Bacharach|1975|pp=594–595}} Meskipun telah melangkahi Ibnu Tulun, ia berambisi lebih sederhana dan lebih berpraktik obyektif, seperti halnya sebagian bukti dalam kebijakannya terhadap Suriah dan wilayah Kekhalifahan lainnya.{{sfn|Kennedy|2004|p=312}} Dulunya, di wilayah Suriah dan sebagian Palestina, sebuah kebijakan luar negeri dikeluarkan oleh beberapa penguasa Mesir, untuk memajukan rute invasi terhadap negara tersebut. Ibnu Tujul sebelum dan [[Saladin]] setelah al-Ikhshid merupakan dua contoh khas penguasa Mesir yang menjalani sebagian besar masa pemerintahan mereka dengan mempertahankan kekuasaan atas Suriah, dan menggunakan Mesir sebagai sumber pendapatan dan sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut.{{sfn|Bacharach|1975|pp=596–597}} Al-Ikhshid berbeda dari mereka; Bacharach menyebutnya sebagai orang yang "berhati-hati, realis konservatif".{{sfn|Bacharach|1975|p=600}} Tujuannya terbatas namun jelas: perhatian utamanya adalah Mesir dan pendirian keluarganya sebagai dinasti warisan terhadap kawasan tersebut, sementara Suriah masih menjadi perhatian sekunder.{{sfn|Bacharach|1975|pp=597, 603}} Tak seperti penguasa militer lainnya pada masanya, ia tidak berniat memasuki persaingan untuk kekuasaan Baghdad dan pemerintah kekhalifahan melalui jabatan berkuasa ''[[amir al-umara]]''; selain itu, saat Khalifah [[al-Mustakfi]] (r. 944–946) menawarkannya jabatan tersebut, ia menolaknya.{{sfn|Bacharach|1975|pp=597–598}}
Sebagai komandan dan penguasa di Mesir, al-Ikhsyid adalah orang yang sabar dan berhati-hati. Dia mencapai tujuannya melalui diplomasi dan hubungan dengan tokoh-tokoh yang berkuasa di rezim Baghdad. Ia bahkan cenderung menghindari konfrontasi militer langsung jika memungkinkan. Konfliknya dengan Ahmad bin Kayghalagh adalah indikasi dari metode pendekatannya tersebut: ketimbang pertempuran secara langsung, kesepakatan gencatan senjata di antara keduanya memberikan waktu bagi al-Ikhsyid untuk mengamati situasi di Mesir sebelum mengambil tindakan.{{sfn|Bacharach|1975|pp=594–595}} Kendati mengikuti jejak Ibnu Thulun, ambisinya lebih sederhana dan tujuannya lebih praktis, seperti yang terlihat jelas dalam kebijakannya terhadap Suriah dan wilayah kekhalifahan lainnya.{{sfn|Kennedy|2004|p=312}} Secara historis, penguasaan atas Suriah, dan khususnya Palestina, merupakan tujuan kebijakan luar negeri bagi banyak penguasa Mesir. Hal tersebut dilakukan menguasai rute invasi yang paling memungkinkan ke daerah Mesir. Ibnu Thulun dan [[Salahuddin Ayyubi|Salahuddin]] adalah dua contoh tipikal penguasa Mesir yang menghabiskan sebagian besar masa pemerintahan mereka untuk mengamankan kendali atas Suriah, dan bahkan menggunakan sebagian besar sumber pendapatan dan sumber daya di Mesir untuk mencapai tujuan ini.{{sfn|Bacharach|1975|pp=596–597}} Al-Ikhsyid berbeda dengan keduanya; Bacharach mendeskripsikan Al-Ikhsyid sebagai seorang "realis konservatif yang penuh kehati-hatian".{{sfn|Bacharach|1975|p=600}} Tujuan-tujuannya terbatas tetapi jelas: perhatian utamanya adalah Mesir dan pengukuhan keluarganya sebagai dinasti turun-temurun di sana, sementara Suriah tetap menjadi tujuan sekunder.{{sfn|Bacharach|1975|pp=597, 603}} Tidak seperti penguasa militer lainnya pada masa itu, ia tidak berniat mengikuti persaingan untuk menguasai Baghdad dan pemerintahan khalifah melalui jabatan [[amir al-umara]] yang memiliki kekuasaan tinggi. Bahkan, ketika Khalifah [[al-Mustakfi]] (m. 944-946) menawarinya jabatan itu, ia menolaknya.{{sfn|Bacharach|1975|pp=597–598}}


=== Konflik dengan Ibnu Ra'iq ===
=== Konflik dengan Ibnu Ra'iq ===
[[Berkas:Syria in the 9th century.svg|jmpl|ka|250px|Peta kawasan Suriah dan provinsi-provinsinya di bawah kekuasaan Abbasiyah]]
[[Berkas:Syria in the 9th century.svg|jmpl|ka|250px|Peta wilayah Suriah dan provinsi-provinsinya di bawah kekuasaan Abbasiyah]]
Setelah pengusiran Fatimiyah dari Mesir, al-Ikhshid memerintahkan pasukannya untuk menduduki seluruh Suriah sampai Aleppo, menyekutukan dirinya sendiri dengan suku lokal [[Banu Kilab]], seperti halnya yang dilakukan Ibnu Tulun, untuk memperkuat kekuasaannya atas utara Suriah.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}} Sebagai gubernur Suriah, ia menentukan batas-batas darat (''[[thughur]]'') dengan [[Kekaisaran Bizantium]] di [[Silisia]]. Kemudian pada tahun 936/7 atau 937/8 (paling diyakini pada musim gugur 937) ia meraih sebuah kedutaan besar dari kaisar Bizantium, [[Romanos I Lekapenos]] (memerintah tahun 920–944), untuk mengadakan [[pertukaran tahanan Arab–Bizantium|pertukaran tahanan]], Meskipun dilakukan tanpa ijin Khalifah al-Radi, tindakan tersebut diberi penghormatan khusus dan pengakuan tak langsung dari otonomi al-Ikhshid, meskipun korespondensi dan negosiasi untuk peristiwa semacam itu biasanya diajukan kepada khalifah ketimbang para gubernur provinsi. Pertukaran tersebut dilakukan pada musim gugur 938, yang menghasilkan pembebasan 6,300 Muslim untuk jumlah tahanan Bizantium yang setara. Karena Bizantium memiliki 800 lebih tahanan ketimbang Muslim, mereka telah diransum dan secara bertahap dibebaskan sepanjang enam bulan berikutnya.{{sfn|PmbZ|loc=Muḥammad b. Ṭuġǧ al-Iḫšīd (#25443)}}{{sfn|Canard|1936|p=193}}
Setelah pengusiran Fatimiyah dari Mesir, al-Ikhsyid memerintahkan pasukannya untuk menduduki seluruh Suriah sampai Aleppo; bersekutu, seperti yang dilakukan Ibnu Thulun, dengan suku lokal [[Banu Kilab]] untuk memperkuat kekuasaannya di Suriah bagian utara.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}} Sebagai gubernur Suriah, wilayah kekuasaannya meluas hingga ke daerah-daerah perbatasan (wilayah ''[[thughur|at-Thughur]]'') dengan [[Kekaisaran Bizantium]] di [[Silisia]]. Kemudian pada tahun 936/7 atau 937/8 (kemungkinan besar pada musim gugur 937), ia menerima utusan dari kaisar Bizantium, [[Romanos I Lekapenos]] (memerintah tahun 920–944), untuk mengadakan acara [[pertukaran tahanan Arab–Bizantium|pertukaran tahanan]]. Meskipun dilakukan atas nama Khalifah ar-Radi, tindakan tersebut dianggap merupakan kehormatan khusus dan pengakuan tak langsung terhadap otonomi al-Ikhsyid, walaupun surat-menyurat dan negosiasi untuk acara-acara semacam itu biasanya ditujukan kepada khalifah, bukan kepada para gubernur provinsi. Pertukaran tersebut dilakukan pada musim gugur 938, yang menghasilkan pembebasan 6,300 Muslim dengan jumlah tahanan yang setara dari sisi Bizantium. Karena Bizantium memiliki 800 lebih tahanan dibanding Muslim, para tahanan tersebut harus ditebus dan secara bertahap dibebaskan selama enam bulan berikutnya.{{sfn|PmbZ|loc=Muḥammad b. Ṭuġǧ al-Iḫšīd (#25443)}}{{sfn|Canard|1936|p=193}}


Meskipun ''amir al-umara'' [[Muhammad bin Ra'iq|Ibn Ra'iq]] berkuasa di Baghdad (936–938) dengan teman lama al-Ikhshid al-Fadl bin Ja'far bin al-Furat menjadi vizier, hubungan dengan Baghdad terjalin baik. Namun, setelah Ibnu Ra'iq diganti oleh Turk [[Bajkam]], Ibnu Ra'iq dijadikan nominasi oleh khalifah untuk kegubernuran Suriah dan pada 939 berpawai ke selatan untuk mengklaimnya dari pasukan al-Ikhshid.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=598–599}} Pelantikan Ibnu Ra'iq dikecam al-Ikhshid, yang mengirimkan seorang duta ke Baghdad untuk mengklarifikasikan keadaan tersebut. Disana, Bajkam memberitahukannya bahwa khalifah melantik siapapun yang ia pilih, tetapi bukan hal mutlak: kekuatan militer yang akan menentukan siapa yang menjadi gubernur Suriah dan bahkan Mesir, bukan pelantikan apapun oleh seorang khalifah. Jika Ibnu Ra'iq atau al-Ikhshid meraih kemenangan dari konflik tersebut, konfirmasi khalifah kemudian akan menyusul.{{sfn|Bacharach|1975|p=599}} Al-Ikhshid bahkan lebih tertarik akan jawabannya, dan dikabarkan bahwa pada waktu mengancam akan menawari salah satu putrinya kepada khalifah Fatimiyah al-Qa'im dan mencetak koin-koin dan [[salat Jumat]] dibaca dalam namanya ketimbang khalifah Abbasiyah, sampai Abbasiyah secara resmi mengakui kembali jabatannya. Fatimiyyah sendiri sebelumnya ditaklukan dalam pemberontakan [[Abu Yazid]] dan tak dapat menerima bantuan apapun.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=599–600}}{{sfn|Halm|1996|p=408}}
Ketika ''amir al-umara'' [[Muhammad bin Ra'iq|bin Ra'iq]] berkuasa di Baghdad (936–938) dengan teman lama al-Ikhsyid, al-Fadl bin Ja'far bin al-Furat sebagai wazir, hubungannya dengan Baghdad terjalin baik. Akan tetapi, setelah Ibnu Ra'iq digantikan oleh [[Bajkam]] dari Turkik, Ibnu Ra'iq diangkat oleh khalifah untuk kegubernuran Suriah. Pada tahun 939, Ibnu Ra'iq bergerak ke barat untuk merebutnya dari pasukan al-Ikhsyid.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=598–599}} Pelantikan Ibnu Ra'iq dikecam al-Ikhsyid, yang karenanya ia mengirimkan seorang utusan ke Baghdad untuk mengklarifikasikan keadaan tersebut. Disana, Bajkam memberitahukan bahwa khalifah boleh menunjuk siapapun yang ia pilih, tetapi bukan merupakan hal mutlak: kekuatan militerlah yang akan menentukan siapa yang menjadi gubernur Suriah dan bahkan Mesir, bukan pelantikan apapun oleh seorang khalifah. Jika salah satu dari Ibnu Ra'iq atau al-Ikhsyid meraih kemenangan dari konflik tersebut, pengukuhan oleh khalifah kemudian akan menyusul.{{sfn|Bacharach|1975|p=599}} Al-Ikhsyid bahkan lebih marah lagi dengan jawaban tersebut, dikabarkan bahwa pada waktu itu, ia mengancam akan menawarkan salah satu putrinya kepada khalifah Fatimiyah al-Qa'im dan meminta agar uang logam dan [[salat Jumat]] dibacakan dengan menggunakan namanya, ketimbang khalifah Abbasiyah, sampai Abbasiyah secara resmi mengakui kembali jabatannya. Fatimiyah sendiri sebelumnya disibukkan dengan pemberontakan [[Abu Yazid]] dan tak dapat memberikan bantuan apapun.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|pp=599–600}}{{sfn|Halm|1996|p=408}}


Dari [[Raqqa]], pasukan Ibnu Ra'iq beralih ke sepanjang distrik-distrik utara Suriah, dimana saudara al-Ikhshid, Ubayd Allah menjadi gubernur, sementara pasukan Mesir bergerak ke selatan. Pada Oktober atau November, pasukan Ibnu Ra'iq mencapai Ramla dan berpindah ke [[Semenanjung Sinai]]. Al-Ikhshid memimpin pasukannya melawan Ibnu Ra'iq, tetapi setelah pertikaian kecil di [[Pelusium|al-Farama]], dua pasukan tersebut saling memahami, membagi Suriah di antara mereka: kawasan dari Ramla sampai selatan di bawah kekuasaan al-Ikhshid, dan kawasan utara berada di bawah kekuasaan Ibnu Ra'iq.{{sfn|Bacharach|1975|p=599}} Namun, pada Mei atau Juni 940, al-Ikhshid menyadari bahwa Ibnu Ra'iq sempat kembali bergerak ke Ramla. Sehingga, penguasa Mesir tersebut memimpin pasukannya untuk bertempur. Meskipun kalah di [[al-Arish]], al-Ikhshid dapat mempawaikan pasukannya dengan cepat dan meredam Ibnu Ra'iq, menghalanginya dari memasuki Mesir dan memaksanya kembali ke Damaskus.{{sfn|Bacharach|1975|p=600}} Al-Ikhshid mengirim saudaranya, Abu Nasr al-Husayn, dengan tentara lainnya melawan Ibnu Ra'iq, tetapi ia kalah dan tewas di [[Lajjun]]. Meskipun ia menang, Ibnu Ra'iq menyatakan perdamaian: ia memberikan penguburan kehormatan terhadap Abu Nasr dan mengirim putranya, Muzahim, sebagai duta untuk Mesir. Untuk meneguhkan strategi politiknya, al-Ikhshid menyepakatinya. Perjanjian tersebut dipandang sebagai restorasi status teritorial quo dari tahun sebelumnya, tetapi dengan al-Ikhshid membayar upeti tahunan sejumlah 140,000 ''[[emas dinar|dinar]]'' emas. Kesepakatan tersebut diperkuat dengan pernikahan Muzahim dengan putri al-Ikhshid, Fatima.{{sfn|Bacharach|1975|p=600}}
Dari [[Raqqa|Raqqah]], pasukan Ibnu Ra'iq dengan cepat mengambil alih distrik-distrik di Suriah utara yang saat itu saudara al-Ikhsyid, Ubaidullah menjadi gubernur, sementara pasukan Mesir bergerak mundur ke selatan. Pada bulan Oktober atau November, pasukan Ibnu Ra'iq mencapai Ramallah dan bergerak menuju [[Semenanjung Sinai]]. Al-Ikhsyid memimpin pasukannya melawan Ibnu Ra'iq, tetapi setelah bentrokan singkat di [[Pelusium|al-Faramah]], keduanya mencapai kesepakatan untuk membagi Suriah di antara mereka: wilayah dari Ramallah sampai selatan di bawah kekuasaan al-Ikhsyid, dan wilayah utara berada di bawah kekuasaan Ibnu Ra'iq.{{sfn|Bacharach|1975|p=599}} Namun, pada bulan Mei atau Juni tahun 940, al-Ikhsyid mengetahui bahwa Ibnu Ra'iq sempat kembali bergerak menuju Ramallah. Sehingga, penguasa Mesir tersebut kemudian memimpin pasukannya untuk bertempur. Meskipun kalah di [[al-Arish|al-Arisy]], al-Ikhsyid dapat mengerahkan pasukannya dengan cepat dan menghadang Ibnu Ra'iq: mencegahnya memasuki Mesir dan memaksanya untuk mundur kembali ke Damaskus.{{sfn|Bacharach|1975|p=600}} Al-Ikhsyid kemudian mengirim saudaranya, Abu Nashr al-Husain, dengan pasukan lainnya untuk menyerang Ibnu Ra'iq, tetapi ia dikalahkan dan terbunuh di [[Lajjun]]. Meskipun menang, Ibnu Ra'iq memilih untuk berdamai: ia memberikan pemakaman kehormatan terhadap Abu Nashr dan mengirim putranya, Muzahim, sebagai duta besar ke Mesir. Sebagaimana strategi politiknya, al-Ikhsyid menerimanya. Perjanjian tersebut dipandang sebagai pemulihan status teritorial quo dari tahun sebelumnya, tetapi dengan al-Ikhsyid membayar upeti tahunan sejumlah 140,000 ''[[emas dinar|dinar]]'' emas. Kesepakatan tersebut diperkuat dengan pernikahan Muzahim dengan putri al-Ikhsyid, Fatimah.{{sfn|Bacharach|1975|p=600}}


=== Konflik dengan Hamdaniyah ===
=== Konflik dengan Hamdaniyah ===
Perdamaian tak berlangsung lama, karena ketegangan politik di Baghdad berlanjut. Pada September 941, Ibnu Ra'iq meraih lagi jabatan ''amir al-umara'' atas undangan Khalifah [[al-Muttaqi]] (memerintah 940–944), tetapi ia tidak lagi berkausa seperti sebelumnya. Tak dapat menghentikan laju pasukan lainnya, [[Abu'l-Husayn al-Baridi]] dari [[Basra]], Ibnu Ra'iq dan khalifah terpaksa meninggalkan Baghdad adan mencari perlindungan kepada penguasa [[dinasti Hamdaniyah|Hamdaniyah]] dari [[Mosul]]. Kemudian, Ibnu Ra'iq dibunuh (April 942) menggantikannya pada jabatan ''amir al-umara'' dengan ''laqab'' [[Nasir al-Dawla]].{{sfn|Bacharach|1975|p=601}} Al-Ikhshid menggunakan kesempatan tersebut untuk menduduki lagi Suriah untuk dirinya sendiri, mempertemukan pasukannya kepada masyarakat pada Juni 942, dan melaju sampai Damaskus, sebelum kembali ke Mesir pada Januari 943. Hamdaniyah juga mengklaim wilayah Suriah pada masa yang sama, tetapi sumber-sumber tak menyebut detail ekspedisi mereka disana.{{sfn|Bacharach|1975|p=601}} Jabatan Nasir al-Dawla sebagai ''amir al-umara'' juga terkuak, dan pada Juni 943 ia dilengserkan oleh jendera Turki [[Tuzun (amir al-umara)|Tuzun]]. Pada bulan Oktober, Khalifah al-Muttaqi, yang mengkhawatirkan Tuzun berupaya untuk menggantikannya, kabur dari ibu kota dan ikut mengungsi ke Hamdaniyah.{{sfn|Bacharach|1975|pp=601–602}} Meskipun Nasir al-Dawla dan saudaranya [[Sayf al-Dawla]] melindungi khalifah, mereka juga tak bertikai dengan pasukan Tuzun, dan pada Mei 944, mereka mencapai sebuah kesepakatan yang memberikan Mesopotamia Hulu dan utara Suriah kepada Hamdaniyah dalam pertukaran untuk mengakui kedudukan Tuzun di Irak. Nasir al-Dawla mengirim sepupunya [[al-Husayn ibn Sa'id]] untuk mengambil alih provinsi-provinsi Suriah yang ia rampas dalam perjanjian tersebut. Pasukan Ikhshidid kalah atau menarik diri, dan al-Husayn mengambil alih distrik-distrik Qinnasrin dan [[Jund Hims|Hims]].{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|p=602}}
Perdamaian tersebut tak berlangsung lama, karena kekacauan politik di Baghdad yang terus berlanjut. Pada bulan September 941, Ibnu Ra'iq sekali lagi menjabat sebagai ''amir al-umara'' atas tawaran Khalifah [[al-Muttaqi]] (memerintah 940–944), tetapi tidak seberkuasa sebelumnya. Karena tak mampu menghentikan pergerakan pasukan lainnya yang dipimpin oleh [[Abu'l-Husayn al-Baridi|Abu'l-Husain al-Baridi]] dari [[Basra|Basrah]], Ibnu Ra'iq dan sang khalifah terpaksa meninggalkan Baghdad dan mencari perlindungan kepada penguasa [[dinasti Hamdaniyah|Hamdaniyah]] dari [[Mosul]]. Ibnu Ra'iq akhirnya terbunuh oleh penguasa Mosul pada bulan April 942 yang kemudian menggantikan Ibnu Ra'iq dalam jabatan ''amir al-umara'' dengan ''laqab'' [[Nasir al-Dawla|Nasir ad-Daulah]].{{sfn|Bacharach|1975|p=601}} Al-Ikhsyid memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menduduki kembali Suriah untuk dirinya sendiri, bergabung dengan pasukannya secara langsung pada bulan Juni 942, dan bergerak sampai ke Damaskus, sebelum kembali ke Mesir pada bulan Januari tahun 943. Hamdaniyah juga mengklaim atas wilayah Suriah pada waktu yang sama, tetapi sumber sejarah tak menyebut dengan detail ekspedisi mereka di sana.{{sfn|Bacharach|1975|p=601}} Jabatan Nasir ad-Daulah sebagai ''amir al-umara'' juga terbukti lemah, dan pada bulan Juni 943, ia dilengserkan oleh jendera Turki [[Tuzun (amir al-umara)|Tuzun]]. Pada bulan Oktober, Khalifah al-Muttaqi, yang mengkhawatirkan Tuzun mungkin berupaya untuk melengserkannya pun melarikan diri dari ibu kota dan ikut mengungsi ke Hamdaniyah.{{sfn|Bacharach|1975|pp=601–602}} Meskipun Nasir ad-Daulah dan saudaranya [[Sayf al-Dawla|Saif ad-Daulah]] melindungi khalifah, tetapi mereka tidak melawan pasukan Tuzun, dan pada bulan Mei 944, mereka sepakat untuk memberikan Mesopotamia Hulu dan utara Suriah kepada Hamdaniyah sebagai pertukaran dalam pengakuan kedudukan Tuzun di Irak. Nasir ad-Daulah kemudian mengirim sepupunya [[al-Husayn ibn Sa'id|al-Husain bin Sa'id]] untuk mengambil alih provinsi-provinsi Suriah yang ia rampas dalam perjanjian tersebut. Pasukan Ikhsyid membelot atau menarik diri, dan al-Husain pun mengambil alih distrik-distrik Qinnasrin dan [[Jund Hims|Hims]].{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|p=602}}


Pada masa itu, al-Muttaqi dengan Sayf al-Dawla kabur ke Raqqa sebelum Tuzun maju, tetapi khalifah makin terdesak Hamdaniyah, dan menulis kepada al-Ikhshid (diyakini pada awal musim dingin 943), untuk meminta bantuan.{{sfn|Bacharach|1975|p=602}} Hal tersebut kemudian ditanggapi dengan memajukan pasukan ke Suriah. Garisun Hamdaniyah menarik diri sebelum itu, dan pada September 944, al-Ikhshid mencapai Raqqa. Meyakini Hamdanids memberikan perjanjian mereka kepada Ibnu Ra'iq, ia menunggu sampai Sayf al-Dawla meninggalkan kota tersebut sebelum memasukkinya untuk menemui khalifah. Al-Ikhshid berupaya tanpa keberhasilan untuk membujuk al-Muttaqi datang dengannya ke Mesir, atau setidaknya singgah di Raqqa, sementara khalifah berusaya untuk mendorong al-Ikhshid untuk berpawai melawan Tuzun, yang kemudian ditolak.{{sfn|Bacharach|1975|pp=602–603}}{{sfn|Kennedy|2004|pp=196, 312}} Pertemuan tersebut tak membuahkan hasil, karena al-Ikhshid memberikan sebuah perjanjian yang mempertahankan hal-hal dari traktat serupa antara Khumarawayh Tuluniyah dan Khalifah [[al-Mu'tamid]] pada tahun 886. Khalifah tersebut mengakui otoritas al-Ikhshid atas Mesir, Suriah (dengan ''thughur''), dan [[Hejaz]] (disertai dengan penjagaan dari [[Haram (situs)|dua kota suci]] [[Mekkah]] dan [[Madinah]]), selama tiga puluh tahun, dengan hak suksesi warisan untuk putra-putra al-Ikhshid.{{sfn|Brett|2001|p=162}}{{sfn|Kennedy|2004|p=312}}{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|p=603}} Perkembangan tersebut diantisipasi oleh al-Ikhshid setahun sebelumnya, saat ia mengangkat putranya Unujur menjadi pemangku jabatannya saat ia sedang tidak ada di Mesir, meskipun Unujur belum akil baligh, dan memerintahkan sumpah persekutuan (''[[bay'a]]'') dinyatakan kepadanya.{{sfn|Bacharach|1975|p=601}} Selain itu, menurut komentar Michael Brett, kawasan yang melingkupinya "tercampur pemberkatan," karena kota-kota suci berada di bawah serbuan Qarmatian, sementara pawai-pawai ''thughur'' makin gencar dilakukan oleh Bizantium, dan Aleppo (dengan utara Suriah) dinaungi oleh Hamdaniyah.{{sfn|Brett|2001|p=162}}
Pada masa itu, al-Muttaqi dengan Saif ad-Daulah melarikan diri ke Raqqah sebelum serangan Tuzun, tetapi khalifah semakin curiga dengan Hamdaniyah, dan menulis surat kepada al-Ikhsyid (diyakini pada awal musim dingin tahun 943), untuk meminta bantuan.{{sfn|Bacharach|1975|p=602}} Hal tersebut kemudian ditanggapi oleh al-Ikhsyid dengan memimpin pasukan ke Suriah. Pasukan Hamdaniyah menarik diri sebelum itu, dan pada September 944, al-Ikhsyid mencapai Raqqah. Karena tidak mempercayai Hamdaniyah, mengingat perlakuan mereka terhadap Ibnu Ra'iq, ia menunggu sampai Saif ad-Daulah meninggalkan kota tersebut sebelum memasukinya untuk menemui khalifah. Al-Ikhsyid berupaya membujuk al-Muttaqi untuk ikut bersamanya ke Mesir, atau setidaknya tinggal di Raqqah. Di lain sisi, sang khalifah berupaya untuk mendorong al-Ikhsyid untuk berperang melawan Tuzun, yang kemudian ditolak.{{sfn|Bacharach|1975|pp=602–603}}{{sfn|Kennedy|2004|pp=196, 312}} Pertemuan tersebut tak sepenuhnya sia-sia, karena al-Ikhsyid mendapatkan suatu perjanjian yang sama antara Khumarawayh Thuluniyah dan Khalifah [[al-Mu'tamid]] pada tahun 886. Sang khalifah mengakui otoritas al-Ikhsyid atas Mesir, Suriah (dengan ''thughur''), dan [[Hejaz|Hijaz]] (disertai dengan penjagaan atas [[Haram (situs)|dua kota suci]] [[Mekkah]] dan [[Madinah]]), selama tiga puluh tahun, dengan hak suksesi turun-temurun untuk putra-putra al-Ikhsyid.{{sfn|Brett|2001|p=162}}{{sfn|Kennedy|2004|p=312}}{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|p=603}} Perkembangan tersebut diantisipasi oleh al-Ikhsyid setahun sebelumnya, saat ia mengangkat putranya Unujur menjadi pemangku jabatannya saat ia sedang tidak ada di Mesir. Meskipun Unujur belum akil baligh, dan mengharuskannya untuk bersumpah setia (''[[bay'a|bay'ah]]'') kepadanya.{{sfn|Bacharach|1975|p=601}} Namun, menurut komentar Michael Brett, wilayah-wilayah dalam perjanjian tersebut merupakan "berkah yang campur aduk," karena kedua kota suci berada di bawah serbuan Qaramitah, sementara pasukan-pasukan ''thughur'' yang semakin terancam oleh Bizantium, dan Aleppo (dengan utara Suriah) yang diincar oleh Hamdaniyah.{{sfn|Brett|2001|p=162}}


Sesuai yang terjadi, al-Muttaqi didatangi oleh para emisaris Tuzun, yang menentang loyaliutasnya, untuk mebali ke Irak, hanya untuk merampas, membutakan dan melengserkan pada 12 Oktober dan digantikan oleh al-Mustakfi.{{sfn|Bacharach|1975|pp=602–603}}{{sfn|Kennedy|2004|pp=196, 312}} Al-Mustakfi merekonfirmasikan kegubernuran al-Ikhshid, tetapi pada titik ini merupakan sebuah isyarat kosong. Menurut J. L. Bacharach, meskipun sejarawan abad ke-13 [[Ibnu Sa'id al-Maghribi]] melaporkan bahwa al-Ikhshid mengambil ''bay'a'' dan membacakan salat Jumat dalam nama khalifah baru, berdasarkan pada bukti numismatik yang tersedia, ia tampak menunda pengakuan al-Mustakfi dan [[dinasti Buyid]]nya-yang didirikan oleh penerus [[al-Muti]] (memerintah 946–974) selama beberapa bulan termasuk mereka dalam koinnya, dalam sebuah tindakan yang memecah belah dan pernyataan jelas kemerdekaan ''de facto''-nya dari Baghdad.{{sfn|Bacharach|1975|pp=603–608}} Kemerdekaan tersebut juga diketahui oleh pihak lainnya, catatan kontemporer ''[[De Ceremoniis]]'' menyatakan bahwa dalam seperpantauan pemerintah Bizantium, "Emir Mesir" mencantumkan segel emas pada empat ''[[solidus (koin)|solidi]]'', suatu hal yang sama seperti yang dilakukan khalifah di Baghdad.{{sfn|Canard|1936|p=191}}
Seperti yang terjadi, al-Muttaqi didatangi oleh para utusan Tuzun, yang menentang loyalitasnya, untuk kembali ke Irak; hanya untuk ditangkap, dibutakan, dan dilengserkan pada tanggal 12 Oktober dan digantikan oleh al-Mustakfi.{{sfn|Bacharach|1975|pp=602–603}}{{sfn|Kennedy|2004|pp=196, 312}} Al-Mustakfi mengukuhkan kembali kegubernuran al-Ikhsyid, tetapi, hal tersebut hanyalah isyarat kosong belaka. Menurut J. L. Bacharach, walaupun sejarawan abad ke-13 [[Ibnu Sa'id al-Maghribi]] mencatat bahwa al-Ikhsyid mengambil ''bay'ah'' dan membacakan salat Jumat dengan nama khalifah yang baru, berdasarkan pada bukti peninggalan yang ada, ia tampaknya menunda pembaiatannya kepada al-Mustakfi dan [[dinasti Buyid|dinasti Buwaihiyah]]nya yang didirikan oleh penerusnya, [[al-Muti]] (memerintah 946–974) selama beberapa bulan dengan tidak menyertakan sang khalifah tersebut ke dalam mata uang logamnya. Tindakan yang disengaja ini jelas menyatakan kemerdekaan ''de facto''-nya dari Baghdad.{{sfn|Bacharach|1975|pp=603–608}} Kemerdekaan tersebut juga diketahui oleh pihak lainnya, catatan kontemporer ''[[De Ceremoniis]]'' menyatakan bahwa dalam surat-menyurat pemerintah Bizantium, "Amir Mesir" diberikan segel emas seharga empat ''[[solidus (koin)|solidi]]'', sama dengan khalifah di Baghdad.{{sfn|Canard|1936|p=191}}


[[Berkas:Fragmentation of the Abbasid Caliphate.jpg|jmpl|ka|300px|Peta fragmentasi [[Kekhalifahan Abbasiyah]] pada abad ke-9 dan ke-10]]
[[Berkas:Fragmentation of the Abbasid Caliphate.jpg|jmpl|ka|300px|Peta fragmentasi [[Kekhalifahan Abbasiyah]] pada abad ke-9 dan ke-10]]
Setelah ia bertemu dengan al-Muttaqi, al-Ikhshid kembali ke Mesir, meninggalkan lahan terbuka untuk ambisi Sayf al-Dawla. Pasukan Ikhshidid yang pergi ke Suriah relatif sadar, dan pemimpin Hamdaniyah, yang meraih dukungan dari Banu Kilab, memiliki sedikit kesulitan dalam menaklukan Aleppo pada 29 Oktober 944. Ia kemudian mulai meluaskan kekuasaannya atas provinsi-provinsi utara Suriah sampai Hims.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|p=607}}{{sfn|Kennedy|2004|p=273}} Al-Ikhshid mengirim tentara di bawah duta [[Abu al-Misk Kafur]] dan Fatik melawan Hamdaniyah, tetapi dikalahkan di dekat [[Hamat]] dan menarik diri kembali ke Mesir, meninggalkan Damaskus dan Palestina di tangan Hamdaniyah.{{sfn|Bacharach|1975|p=608}} Al-Ikhshid kemudian memaksakan satu kampanye lagi pada April 945, tetapi pada saat yang sama, ia mengirim duta-duta kepada Sayf al-Dawla untuk mengadakan perjanjian tentang perbatasan dengan Ibnu Ra'iq: pangeran Hamdaniyah tetap mempertahankan utara Suriah, sementara al-Ikhshid membayarkannya upeti tahunan untuk wilayah Palestina dan Damaskus.{{sfn|Bacharach|1975|p=608}} Sayf al-Dawla menolak dan dikabarkan malah menyatakan bahwa ia akan menaklukan Mesir itu sendiri, tetapi al-Ikhshid ringan tangan: para agennya menjalin hubungan dengan beberapa pemimpin Hamdaniyah, dan ia memenangkan hati masyarakat Damaskus, yang menutup gerbang mereka dari Hamdaniyah dan membukanya untuk al-Ikhshid. Dua tentara tersebut bertemu di dekat Qinnasrin pada Mei, dimana Hamdaniyah kalah. Sayf al-Dawla kabur ke Raqqa, meninggalkan ibu kotanya Aleppo ditaklukkan oleh al-Ikhshid.{{sfn|Bacharach|1975|p=608}}
Setelah pertemuannya dengan al-Muttaqi, al-Ikhsyid kembali ke Mesir, meninggalkan medan perang yang terbuka bagi Saif ad-Daulah. Pasukan Ikhsyid yang ditinggalkan di Suriah relatif lemah, dan pemimpin Hamdaniyah, yang mendapatkan dukungan dari Banu Kilab, tidak mengalami kesulitan dalam menaklukan Aleppo pada 29 Oktober 944. Ia kemudian mulai memperluas kekuasaannya atas provinsi-provinsi utara Suriah sampai Hims.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}{{sfn|Bacharach|1975|p=607}}{{sfn|Kennedy|2004|p=273}} Al-Ikhsyid lalu mengirim pasukan di bawah kasim [[Abu al-Misk Kafur]] dan Fatik melawan Hamdaniyah, tetapi pasukan ini dikalahkan di dekat [[Hamat]] dan mundur kembali ke Mesir, meninggalkan Damaskus dan Palestina di tangan Hamdaniyah.{{sfn|Bacharach|1975|p=608}} Al-Ikhsyid kemudian memaksakan satu perang lagi pada bulan April tahun 945, tetapi pada saat yang sama, ia mengirim utusan-utusan kepada Saif ad-Daulah untuk mengadakan perjanjian terkait perbatasan yang sebelumnya ia sepakati dengan Ibnu Ra'iq: pangeran Hamdaniyah tetap menguasai utara Suriah, sementara al-Ikhsyid membayarnya dengan upeti tahunan untuk wilayah Palestina dan Damaskus.{{sfn|Bacharach|1975|p=608}} Saif ad-Daulah menolak dan tercatat ia bahkan menyombongkan diri bahwa ia akan menaklukkan Mesir sendiri, tetapi al-Ikhsyid berada di atas angin: kaki tangannya berhasil menyuap beberapa pemimpin Hamdaniyah dan memenangkan hati masyarakat Damaskus, yang menutup gerbang mereka dari Hamdaniyah dan membukakannya untuk al-Ikhsyid. Kedua pasukan tersebut kemudian berperang di dekat Qinnasrin pada bulan Mei dengan Hamdaniyah yang berhasil dikalahkan. Saif ad-Daulah kabur ke Raqqah, meninggalkan ibu kotanya Aleppo untuk direbut oleh al-Ikhsyid.{{sfn|Bacharach|1975|p=608}}


Selain itu, pada bulan Oktober, kedua belah pihak mengadakan sebuah perjanjian dalam hal batas-batas proporsal Ikhshidid awal: al-Ikhshid mengetahui kontrol Hamdaniyah atas utara Suriah dan bahkan keputusan untuk mengirim upeti tahunan dalam pertukaran untuk pengakuan seluruh klaim Sayf al-Dawla atas Damaskus. Penguasa Hamdaniyah juga menikahi salah satu putri atau kemenakan al-Ikhshid.{{sfn|Bacharach|1975|p=608}} Bagi al-Ikhshid, wilayah Aleppo kurang penting ketimbang selatan Suriah dengan Damaskus, yang merupakan gerbang timur Mesir. Karena kawasan tersebut masih berada di bawah kekausaannya, ia lebih mengkehendaki keberadaan negara Hamdaniyah di utara. Penguasa Mesir tersebut menyadari bahwa ia akan sulit mendapatkan dan menguasai utara Suriah dan Silisia, yang secara tradisional lebih terpengaruh oleh Mesopotamia Hulu dan Irak. Dengan meniadakan klaim-klaimnya atas provinsi-provinsi jauh tersebut, tak hanya akan membut Mesir menghabis-habiskan tenaga tentara besar disana, tetapi emirat Hamdaniyah juga akan memenuhi peran [[negara penyangga]] melawan serangan-serangan dari Irak maupun Kekaisaran Bizantium.{{sfn|Bianquis|1998|pp=113–115}} Meskipun demikian, sepanjang masa pemerintahan al-Ikhshid, dan para penerusnya, hubungan dengan Bizantium sangat bersahabat, karena kurangnya perbatasan umum dan pertikaian umum terhadap Fatimiyah membuat dua negara tersebut tak bertikai.{{sfn|Canard|1936|pp=190–193, 205–209}} Disamping Sayf al-Dawla berupaya maju lagi ke selatan Suriah tak lama setelah al-Ikhshid wafat, perbatasan disetujui pada 945, dan bahkan memperjelas kedudukan kedua dinasti tersebut, membentuk pembagian batas antara utara Suriah yang dipengaruhi Mesopotamia dan bagian selatan negara tersebut yang dikuasai Mesir sampai [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Mamluk]] merebut seluruh kawasan tersebut pada 1260.{{sfn|Kennedy|2004|p=273}}{{sfn|Bianquis|1998|pp=113–114}}
Namun, pada bulan Oktober, kedua belah pihak mencapai kesepakatan, yang secara garis besar sama dengan usulan al-Ikhsyid sebelumnya: al-Ikhsyid mengakui kekuasaan Hamdaniyah atas utara Suriah dan bahkan setuju untuk mengirim upeti tahunan sebagai imbalan atas penolakan Saif ad-Daulah terhadap semua klaim wilayah atas Damaskus. Penguasa Hamdaniyah juga harus menikahi salah satu putri atau kemenakan al-Ikhsyid.{{sfn|Bacharach|1975|p=608}} Bagi al-Ikhsyid, mempertahankan Aleppo tidak terlalu penting ketimbang selatan Suriah dengan Damaskus, yang merupakan gerbang timur Mesir (sebagai benteng pertahanan Mesir di bagian timur). Asalkan wilayah-wilayah tersebut tetap berada di bawah kekuasaannya, ia lebih mengehendaki keberadaan kerajaan Hamdaniyah di utara. Penguasa Mesir tersebut menyadari bahwa ia akan sulit mengklaim dan mempertahankan kendali atas utara Suriah dan Silisia, yang biasanya terpengaruh oleh Mesopotamia Hulu dan Irak. Dengan meniadakan klaim-klaimnya atas provinsi-provinsi yang jauh tersebut, Mesir tidak hanya akan terhindar dari biaya yang besar untuk mempertahankan pasukan yang besar di sana, tetapi Hamdaniyah juga akan berperan sebagai [[negara penyangga]] melawan serangan-serangan, baik dari Irak maupun Kekaisaran Bizantium yang sedang bangkit kembali.{{sfn|Bianquis|1998|pp=113–115}} Memang, sepanjang masa pemerintahan al-Ikhsyid, dan para penerusnya, hubungan mereka dengan Bizantium cukup bersahabat, karena tidak adanya perbatasan yang berisisan dan permusuhannya yang sama terhadap Fatimiyah membuat kedua negara tersebut tak berbenturan.{{sfn|Canard|1936|pp=190–193, 205–209}} Disamping Saif ad-Daulah berupaya untuk bergerak lagi ke selatan Suriah tak lama setelah al-Ikhsyid wafat, perbatasan yang disetujui pada tahun 945 tetap bertahan, dan bahkan bertahan lebih lama dari kedua dinasti tersebut, membentuk garis pemisah antara utara Suriah yang dipengaruhi Mesopotamia dan bagian selatan yang dikuasai Mesir hingga [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Mamluk]] merebut seluruh wilayah tersebut pada tahun 1260.{{sfn|Kennedy|2004|p=273}}{{sfn|Bianquis|1998|pp=113–114}}


== Kematian dan warisan ==
== Kematian dan warisan ==
Pada pertengahan musim semi 946, al-Ikhshid mengirimkan utusan-utusan ke [[Kekaisaran Romawi Timur|Bizantium]] untuk pertukaran tahanan lagi (yang akhirnya berhasil dilakukan di bawah bantuan [[Sayf al-Dawla]] pada Oktober). Kaisar [[Konstantinus VII]] (memerintah antara 913–959) mengirimkan duta besar yang dipimpin [[John Mystikos]] sebagai respon, lalu tiba di Damaskus pada 11 Juli.{{sfn|PmbZ|loc=Muḥammad b. Ṭuġǧ al-Iḫšīd (#25443)}} Pada 24 Juli 946, al-Ikhshid wafat di Damaskus.{{sfn|Bacharach|1975|p=609}} [[Suksesi]] putranya, [[Abu'l-Qasim Unujur bin al-Ikhshid|Unujur]], berlangsung damai dan tidak diperselisihkan, sebab pengaruh dari kekuasaan komando tertinggi yang penuh telenta, [[Abu al-Misk Kafur|Kafur]]. Adalah satu dari sekian banyak budak kulit hitam Afrika yang direkrut oleh al-Ikhshid, Kafur bertahan sebagai Perdana Menteri dan penguasa bayangan Mesir sepanjang 22 tahun berikutnya, berkuasa atas namanya sendiri pada 966 hingga ia wafat dua tahun kemudian. Setelah kewafatannya, pada tahun 969, [[Kekhalifahan Fatimiyah|Fatimiyah]] menduduki dan menaklukkan Mesir, memulai era baru dalam '' country's history''.{{sfn|Kennedy|2004|pp=312–313}}{{sfn|Bianquis|1998|pp=115–118}}
Pada pertengahan musim semi tahun 946, al-Ikhsyid mengirim utusan ke [[Kekaisaran Romawi Timur|Bizantium]] untuk pertukaran tahanan lagi (yang akhirnya berhasil dilakukan di bawah bantuan [[Sayf al-Dawla|Saif ad-Daulah]] pada bulan Oktober). Kaisar [[Konstantinus VII]] (memerintah antara 913–959) mengirimkan sebuah kedutaan yang dipimpin [[John Mystikos]] sebagai tanggapan,yang tiba di Damaskus pada 11 Juli.{{sfn|PmbZ|loc=Muḥammad b. Ṭuġǧ al-Iḫšīd (#25443)}} Pada 24 Juli 946, al-Ikhsyid wafat di Damaskus.{{sfn|Bacharach|1975|p=609}} Jasadnya dibawa untuk dimakamkan di [[Yerusalem]], di dekat Gerbang suku-suku di Bukit Bait Suci. [[Suksesi]] putranya, [[Abu'l-Qasim Unujur bin al-Ikhshid|Unujur]], berlangsung damai dan tanpa perselisihan, berkat pengaruh dari kekuasaan komando tertinggi yang kuat dan berbakat, [[Abu al-Misk Kafur|Kafur]]; satu dari sekian banyak budak kulit hitam Afrika yang direkrut oleh al-Ikhsyid, Kafur bertahan sebagai Perdana Menteri dan penguasa bayangan Mesir selama 22 tahun berikutnya, berkuasa atas namanya sendiri pada tahun 966 hingga kematiannya dua tahun kemudian. Setelah kematiannya, pada tahun 969, [[Kekhalifahan Fatimiyah|Fatimiyah]] menyerbu dan menaklukkan Mesir, memulai era baru dalam sejarah negara tersebut.{{sfn|Kennedy|2004|pp=312–313}}{{sfn|Bianquis|1998|pp=115–118}}


Para sejarawan abad pertengahan mencatatkan banyaknya kesejajaran antara al-Ikhshid dan para pendahulunya dari [[Dinasti Thuluniyah|Thuliniyah]], khususnya [[Khumarawayh bin Ahmad bin Tulun|Khumarawayh]]. Ibn Sa'id bahkan melaporkan bahwa menurut [[astrologi dalam Islam abad pertengahan|para astrolog Mesir]], dua pria telah masuk Mesir pada hari yang sama pada tahun tersebut dan dengan bintang yang sama dalam [[rasi bintang]] yang sama.{{sfn|Bacharach|1975|p=610}} Namun, terdapat perbedaan mencolok: al-Ikhshid tidak se-"flamboyan" ([[Hugh N. Kennedy|Hugh Kennedy]]) dibandingkan Tuluniyah,{{sfn|Kennedy|2004|p=312}} Sikap berhati-hati dan menahan diri Al-Ikhshid dalam sudut pandang kebijakan asingnya juga berseberangan dengan tokoh-tokoh yang semasa dengannya dan para penguasa Mesir lainnya baik para pendahulu maupun pengikutnya, memberinya cap sebagai pemilik reputasi sangat hati-hati, yang sering kali disalahartikan sebagai penakut oleh orang-orang yang semasa dengannya.{{sfn|Bacharach|1975|pp=610–612}} Ia juga dianggap kurang berjaya dibandingkan dengan pendahulunya Ibnu Tulun.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}} Tak seperti Ibnu Tulun, yang membangun ibu kota baru di [[:en:Al-Qata'i]] dan sebuah [[Masjid Ibnu Tulun|masjid terkenal]], al-Ikhshid bukanpula pelindung para seniman dan penyair maupun pendiri utama.{{sfn|Bacharach|1975|p=610}} Menurut sejarawan [[:en:Thierry Bianquis]], ia disebut oleh para pembuat kronik abad pertengahan sebagai "seorang pria yang sentitif dan tamak, tetapi memiliki pemikiran tajam dan cenderung serakah", tetapi dengan kegemaran kepada barang-barang mewah yang diimpor dari timur, khususnya parfum. Kecintaannya terhadap barang-barang mewah dari timur kemudian diikuti oleh kalangan kelas atas [[Fustat]] serta mempengaruhi gaya dan mode produk Mesir secara temurun lokal yang mulai menirunya.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}
Para sejarawan abad pertengahan mencatatkan banyaknya kesamaan antara al-Ikhsyid dan para pendahulunya dari [[Dinasti Thuluniyah|Thuluniyah]], khususnya [[Khumarawayh bin Ahmad bin Tulun|Khumarawayh]]. Ibnu Sa'id bahkan mencatatkan bahwa menurut [[astrologi dalam Islam abad pertengahan|para astrolog Mesir]], kedua orang tersebut memasuki Mesir pada hari yang sama pada tahun itu dan dengan bintang yang sama dalam posisi [[rasi bintang]] yang sama.{{sfn|Bacharach|1975|p=610}} Namun, terdapat perbedaan mencolok: al-Ikhsyid tidak se-"flamboyan" ([[Hugh N. Kennedy|Hugh Kennedy]]), seperti yang dimiliki oleh kaum Thuluniyah.{{sfn|Kennedy|2004|p=312}} Sikap kehati-hatian dan menahan diri Al-Ikhsyid dalam sudut pandang kebijakan luar negerinya juga berseberangan dengan tokoh-tokoh yang semasa dengannya dan para penguasa Mesir lainnya, baik para pendahulu maupun pengikutnya, sehingga membuatnya memiliki reputasi sebagai orang yang sangat berhati-hati, yang sering kali disalahartikan sebagai penakut oleh orang-orang yang semasa dengannya.{{sfn|Bacharach|1975|pp=610–612}} Ia juga dianggap kurang berbudaya dibandingkan dengan pendahulunya Ibnu Thulun.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}} Tak seperti Ibnu Thulun, yang membangun ibu kota baru di [[al-Qatta'i]] dan sebuah [[Masjid Ibnu Tulun|masjid terkenal]]. Al-Ikhsyid bukanpula penyokong para seniman, penyair, dan pembuat bangunan besar.{{sfn|Bacharach|1975|p=610}} Menurut sejarawan [[Thierry Bianquis]], ia digambarkan oleh para penulis sejarah abad pertengahan sebagai "seorang pria yang mudah tersinggung dan rakus, tetapi cerdik dan cenderung serakah", tetapi gemar dengan barang-barang mewah yang diimpor dari timur, khususnya parfum. Kecintaannya terhadap barang-barang mewah dari timur kemudian diikuti oleh kalangan kelas atas [[Fustat]] serta mempengaruhi gaya dan mode produk lokal Mesir secara temurun.{{sfn|Bianquis|1998|p=113}}


== Referensi ==
== Referensi ==


{{reflist|35em}}
{{reflist|2}}


== Sumber ==
== Sumber ==
Baris 120: Baris 117:


{{lifetime|882|946}}
{{lifetime|882|946}}
{{Authority control}}


{{DEFAULTSORT:Muhammad Ibn Tughj Al-Ikhshid}}
{{DEFAULTSORT:Muhammad Ibn Tughj Al-Ikhshid}}

Revisi terkini sejak 15 Juli 2024 10.15

Muhammad bin Tughj al-Ikhshid
Pewaris emir Mesir, Suriah, dan Hejaz
Pemerintahan26 Agustus 935 – 24 Juli 946
PenerusUnujur
Kelahiran(882-02-08)8 Februari 882
Baghdad
Kematian24 Juli 946(946-07-24) (umur 64)
Damaskus
Pemakaman
DinastiDinasti Ikhshidid
AyahTughj ibn Juff
AgamaIslam Sunni

Abū Bakr Muḥammad bin Ṭughj bin Juff bin Yiltakīn bin Fūrān bin Fūrī bin Khāqān (8 Februari 882 – 24 Juli 946), lebih dikenal dengan gelar al-Ikhshīd (bahasa Arab: الإخشيد) setelah 939, adalah seorang komandan dan gubernur Kekhalifahan Abbasiyah yang menjadi penguasa otonom Mesir dan bagian dari Suriah (Levant) dari 935 hingga kematiannya pada 946. Ia adalah pendiri Dinasti Ikhshidid, yang memerintah wilayah tersebut hingga Fatimiyah menaklukkannya pada 969.

Putra dari Tughj bin Juff, seorang jenderal dari bangsa Turkik yang melayani baik Abbasiyah maupun penguasa otonom Tuluniyah di Mesir dan Suriah, Muhammad bin Tughj lahir di Baghdad tetapi dibesarkan di Suriah dan memperoleh pengalaman militer dan administratif pertamanya di sisi ayahnya. Ia memiliki karier awal yang penuh gejolak: Ia dipenjarakan bersama ayahnya oleh Abbasiyah pada 905, dibebaskan pada 906, berpartisipasi dalam pembunuhan vizier al-Abbas ibn al-Hasan al-Jarjara'i pada 908, dan melarikan diri dari Irak untuk masuk ke dalam pelayanan gubernur Mesir, Takin al-Khazari. Akhirnya, Ia memperoleh perlindungan dari beberapa tokoh berpengaruh Abbasiyah, terutama komandan kepala yang kuat Mu'nis al-Muzaffar. Hubungan ini membawanya diangkat menjadi gubernur pertama Palestina dan kemudian Damaskus. Pada 933, dia sebentar diangkat menjadi gubernur Mesir, tetapi perintah ini dibatalkan setelah kematian Mu'nis, dan Ibn Tughj harus berjuang untuk mempertahankan bahkan kedudukannya sebagai gubernur Damaskus. Pada 935, Ia diangkat kembali ke Mesir, di mana dia dengan cepat mengalahkan invasi Fatimiyah dan menstabilkan negara yang bergejolak. Pemerintahannya menandai periode langka dari perdamaian domestik, stabilitas, dan pemerintahan yang baik dalam catatan sejarah awal Mesir Islam. Pada 938, Khalifah al-Radi mengabulkan permintaannya untuk gelar al-Ikhshid, yang telah digunakan oleh penguasa leluhur Lembah Ferghana-nya. Gelar inilah yang dia kenal setelahnya.

Sepanjang masa pemerintahannya, al-Ikhshid terlibat dalam konflik dengan pemimpin regional lainnya untuk menguasai Suriah, tanpa itu Mesir rentan terhadap invasi dari timur, tetapi tidak seperti banyak pemimpin Mesir lainnya, terutama Tuluniyah sendiri, dia bersedia menunggu waktunya dan berkompromi dengan saingannya. Meskipun awalnya mengendalikan seluruh Suriah, Ia terpaksa menyerahkan setengah utara kepada Ibn Ra'iq antara 939 dan 942. Setelah pembunuhan Ibn Ra'iq, al-Ikhshid mengembalikan kendalinya atas Suriah utara, hanya untuk ditantang oleh Hamdanid. Pada 944, al-Ikhshid bertemu Khalifah al-Muttaqi di Raqqa; khalifah telah melarikan diri ke sana dari berbagai pemimpin yang berusaha menculiknya dan mengendalikan pemerintahan khalifah di Baghdad. Meskipun tidak berhasil membujuk khalifah untuk datang ke Mesir, dia menerima pengakuan atas pemerintahan turun-temurun atas Mesir, Suriah, dan Hejaz selama tiga puluh tahun. Setelah kepergiannya, pangeran Hamdanid yang ambisius Sayf al-Dawla merebut Aleppo dan Suriah utara pada musim gugur 944, dan meskipun dikalahkan dan diusir dari Suriah oleh Ibn Tughj sendiri pada tahun berikutnya, sebuah perjanjian yang membagi wilayah tersebut sepanjang garis kesepakatan dengan Ibn Ra'iq disepakati pada bulan Oktober. Ibn Tughj meninggal sembilan bulan kemudian, dan dimakamkan di Yerusalem. Ia meninggalkan putranya Unujur sebagai penguasa wilayahnya, di bawah pengawasan kasim hitam yang kuat Abu al-Misk Kafur.

Asal muasal dan kehidupan awal

[sunting | sunting sumber]
Peta domain Thuluniyah pada sekitar tahun 893

Menurut kamus biografi yang disusun oleh Ibnu Khallikan, Muhammad bin Tughj lahir di Baghdad pada tanggal 8 Februari 882, di sebuah jalan yang menuju Gerbang Kufah.[1][2] Keluarganya berasal dari bangsa Turk dari Lembah Farghana di Transoxiana, dan mengklaim memiliki darah bangsawan; nama leluhurnya, "Khaqan", adalah sebuah gelar kerajaan Turk.[3][4] Kakek Muhammad, Juff meninggalkan Farghana untuk bergabung sebagai prajurit militer di istana Abbasiyyah di Samarra, seperti yang dilakukan ayahnya, Ibnu Thulun, pendiri dinasti Thuluniyyah.[5][6] Juff dan putranya, yang merupakan ayah Muhammad, Tughj, sama-sama mengabdi kepada Abbasiyyah, tetapi Tughj kemudian mengabdi kepada Thuluniyyah, yang sejak tahun 868 telah menjadi para penguasa otonom Mesir dan Suriah.[5][6] Tughj mengabdikan diri kepada Thuluniyah sebagai gubernur Tiberias (ibu kota distrik Yordania), Aleppo (ibu kota distrik Qinnasrin) dan Damaskus (ibu kota distrik homonim).[5][6] Ia memainkan peranan besar dalam menangkis serangan Qaramitah di Damaskus pada tahun 903. Meskipun kalah dalam sebuah pertempuran, ia berhasil mempertahankan kota itu sendiri dari orang-orang Qaramitah selama tujuh bulan, hingga datangnya bala bantuan dari Mesir yang dengan itu suku Qaramitah berhasil diusir.[7][8] Oleh sebab itu, Muhammad bin Tughj menghabiskan sebagian besar masa mudanya di Syam Thuluniyyah. Bersama ayahnya, ia mendapatkan pengalaman pertamanya dalam administrasi (sebagai wakil gubernur Tiberias) dan dalam perperangan.[6]

Setelah kematian putra Ibnu Thulun, Khumarawayh, pada tahun 896, negara Thuluniyah dengan cepat mulai goyah dari arah dalam, dan gagal memberikan perlawanan yang serius ketika Abbasiyyah berupaya untuk mengklaim kembali kontrol langsung atas Suriah dan Mesir pada tahun 905.[9] Tughj yang kemudian membelot kepada Abbasiyyah menyerang dengan dikomandoi oleh Muhammad bin Sulaiman al-Katib, dan sebagai imbalan, ia diangkat menjadi gubernur Aleppo;[6] Muhammad al-Katib sendiri menjadi korban persekongkolan dalam istana tak lama setelah itu, dan Tughj bersama putra-putranya, Muhammad dan Ubaidullah, dipenjara di Baghdad. Tughj meninggal dalam penjara pada tahun 906, dan putra-putranya dibebaskan tak lama setelahnya.[6] Mereka kemudian berpartisipasi dalam kudeta istana yang bertujuan untuk menggulingkan khalifah baru, al-Muqtadir (memerintah 908-932), demi Ibnu al-Mu'tazz yang lebih tua pada bulan Desember tahun 908. Meskipun upaya tersebut gagal, Muhammad bin Tughj dan saudaranya mampu membalaskan dendam atas pemenjaraan mereka kepada wazir al-Abbas bin al-Hasan al-Jarjara'i, yang mereka bunuh dengan bantuan Husain bin Hamdan.[10][11] Setelah kegagalan kudeta, ketiganya melarikan diri: Ibnu Hamdan kembali ke kampung halamannya di Mesopotamia Hulu dan Ubaidullah melarikan diri ke timur ke Yusuf bin Abi'l-Saj, sementara Muhammad melarikan diri ke Suriah.[11]

Di Suriah, Muhammad bin Tughj bekerja dengan seorang pengawas pajak dari provinsi-provinsi setempat, Abu'l-Abbas al-Bistam. Dia segera mengikuti atasan barunya ke Mesir, dan setelah kematian al-Bistam pada bulan Juni tahun 910, dia melanjutkan pengabdiannya kepada putra al-Bistam.[11] Lambat laun, ia menarik perhatian gubernur setempat, Takin al-Khazari, yang mengirimnya untuk memerintah sejumlah wilayah di luar Sungai Yordan, dengan pusat pemerintahannya di Amman.[5][11] Pada tahun 918, ia menyelamatkan sebuah rombongan haji, yang di antaranya adalah salah satu dayang wanita dari ibu al-Muqtadir, dari serangan para perampok Badui, yang membuat posisinya di istana Abbasiyyah semakin menguat. Dua tahun kemudian, Ibnu Tughj mendapatkan penyokong yang berpengaruh sewaktu bertugas sebentar di bawah panglima Abbasiyyah yang saat itu berkuasa, Mu'nis al-Muzaffar, saat ia datang untuk membantu mempertahankan Mesir dari serbuan Fatimiyah. Selama kampanye tersebut, Ibnu Tughj memimpin pasukan dari tentara Mesir. Keduanya pun berteman baik, dan terus berhubungan setelahnya.[5][12][13]

Ketika Takin al-Khazari kembali ke Mesir sebagai gubernur pada tahun 923, Ibnu Tughj menyertainya ke sana, tetapi keduanya kemudian berselisih pada tahun 928 karena penolakan Takin untuk memberikan jabatan gubernur Iskandariyah kepada Ibnu Tughj.[14] Ibnu Tughj lalu melarikan diri dari ibu kota Fustat dengan sebuah tipu muslihat, dan berhasil mendapatkan pengangkatan dirinya menjadi gubernur Palestina dari Baghdad; gubernur yang sedang menjabat, ar-Rasyidi, meninggalkan kursi gubernur di Ramallah ke Damaskus, yang kegubernurannya ia ambil alih. Pelariannya, menurut sejarawan Jere L. Bacharach, mungkin mengindikasikan bahwa Ibnu Tughj mengendalikan kekuatan militer yang signifikan.[14] Tiga tahun kemudian, pada bulan Juli 931, Muhammad Ibnu Tughj diangkat menjadi gubernur Damaskus, sementara ar-Rasyidi kembali ke Ramallah.[14] Kedua pengangkatan ini kemungkinan adalah hasil dari hubungan Ibnu Tughj dengan Mu'nis al-Muzaffar, yang pada saat itu tengah berada di puncak kekuasaan dan pengaruhnya.[14][15]

Mengambil alih Mesir

[sunting | sunting sumber]

Pada bulan Maret tahun 933, Takin al-Khazari meninggal, sementara putranya serta calon penggantinya, Muhammad, gagal dalam membangun otoritasnya di Mesir. Ibnu Tughj kemudian ditunjuk sebagai gubernur baru pada bulan Agustus, tetapi penunjukan itu dicabut sebulan kemudian sebelum ia sampai ke Mesir, dan Ahmad bin Kayghalagh ditunjuk sebagai penggantinya. Waktu pembatalan penunjukan Ibnu Tughj sebagai gubernur Mesir bertepatan dengan penangkapan (yang kemudian diikuti dengan pembunuhan) Mu'nis oleh Khalifah al-Qahir (memerintah 932-934) pada tanggal 22 September, menunjukkan bahwa pencalonan Ibnu Tughj kemungkinan besar juga disebabkan oleh Mu'nis.[5][16] Fakta bahwa al-Qahir mengirim seorang kasim bernama Bushri untuk menggantikan Ibnu Tughj di Damaskus setelah jatuhnya Mu'nis memperkuat pandangan ini. Bushri mampu mengambil alih jabatan gubernur Aleppo (yang saat itu Ibnu Tughj yang ditunjuk), tetapi Ibnu Tughj menolak penggantinya, dan mengalahkan, serta menawannya. Khalifah kemudian menugaskan Ahmad bin Kayghalagh untuk memaksa Ibnu Tughj menyerah. Meskipun Ahmad bergerak maju menantang Ibnu Tughj, keduanya menghindari konfrontasi langsung. Sebaliknya, keduanya bertemu dan mencapai kesepakatan untuk saling memberikan dukungan, mempertahankan status quo.[17]

Mashhad (Mausoleum) al-Tabataba, didirikan pada tahun 943 Masehi pada masa pemerintahan Muhammad Ibnu Tughj al-Ikhsyid di Kairo, adalah satu-satunya monumen yang tersisa dari periode Ikhsyid.[18]

Ahmad bin Kayghalagh kemudian terbukti tidak mampu memulihkan kondisi di provinsi yang semakin bergejolak. Pada tahun 935, pasukan tentara melakukan pemberontakan karena tidak mendapatkan gaji yang cukup, dan perampokan-perampokan dari suku Badui pun kembali terjadi. Pada saat yang sama, putra Takin, Muhammad, dan pejabat keuangan Abu Bakar Muhammad bin Ali al-Madhara'i—pewaris dinasti birokrat yang telah menangani keuangan provinsi sejak masa Ibnu Thulun dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang sangat besar[19][20]—merongrong Ahmad bin Kayghalagh dan mengincar posisinya.[21] Pertikaian pecah antara pasukan yang berasal dari orang-orang Timur (Masyariqa), terutama tentara Turki, yang mendukung Muhammad bin Takin, dan orang-orang Barat (Maghariba), kemungkinan orang Berber dan orang Afrika berkulit Hitam, yang mendukung Ahmad bin Kayghalagh.[22] Dengan dukungan dari mantan wazir dan inspektur jenderal provinsi-provinsi barat, al-Fadhl bin Ja'far bin al-Furat, yang putranya menikah dengan salah satu putri Ibnu Tughj, Ibnu Tughj kembali ditunjuk sebagai gubernur Mesir. Tidak mau mengambil risiko, Ibnu Tughj mengorganisir sebuah invasi ke negara tersebut melalui darat dan laut. Meskipun Ahmad bin Kayghalagh mampu memperlambat gerak maju tentara, armada Ibnu Tughj berhasil merebut Tinnis dan Delta Sungai Nil yang kemudian bergerak menuju ibu kota Fustat. Terungguli dan dikalahkan dalam pertempuran, Ahmad bin Kayghalagh melarikan diri ke Fatimiyah. Muhammad Ibnu Tughj yang menang kemudian memasuki Fustat pada tanggal 26 Agustus 935.[23][24]

Dengan ibu kota di bawah kendalinya, Ibnu Tughj sekarang harus berhadapan dengan Fatimiyah. Maghariba yang menolak untuk tunduk kepada Ibnu Tughj lalu melarikan diri ke Aleksandria dan kemudian ke Barqa di bawah kepemimpinan Habasyi bin Ahmad, dan mengajak penguasa Fatimiyah, al-Qa'im (m. 934-946) untuk menyerang Mesir dengan bantuan mereka.[25][26][27] Invasi Fatimiyah memperoleh keberhasilan awal: tentara Fatimiyah, Kutama Berber, merebut pulau ar-Raudah di Nil dan membakar gudang-gudang persenjataannya. Laksamana Ibnu Tughj, Ali bin Badr dan Bajkam membelot ke Fatimiyah, dan Aleksandria sendiri direbut pada bulan Maret 936. Namun, pada tanggal 31 Maret, saudara laki-laki Ibnu Tughj, al-Hasan, mengalahkan pasukan Fatimiyah di dekat Aleksandria, mengusir mereka keluar dari kota dan memaksa Fatimiyah untuk sekali lagi mundur dari Mesir ke pangkalan mereka di Barqa.[25][27][28] Selama kampanye tersebut, Ibnu Tughj secara khusus melarang pasukannya untuk menjarah, yang menurut J. L. Bacharach, merupakan indikasi dari "pandangan jangka panjangnya terhadap kedudukannya di Mesir".[29]

Pemerintahan di Mesir

[sunting | sunting sumber]
Bagian depan dan belakang sbuah koin emas, dengan inskripsi Arab
Dinar yang dicetak di Palestina di bawah kepemimpinan al-Ikhsyid, 944 Masehi. Dari tahun 942, Ibnu Tughj mencantumkan nama dan gelarnya ("Muhammad al-Ikhsyid"), bersama dengan sebutan khalifah dalam koinnya.[30]

Dalam suratnya kepada Khalifah ar-Radhi (m. 934-940) pada tahun 936, Muhammad bin Tughj dapat menyajikan laporan yang sangat memuaskan: invasi Fatimiyah telah berhasil dipukul mundur dan upaya-upaya awal untuk memperbaiki situasi keuangan di provinsi tersebut telah dilakukan. Sang Khalifah pun mengukuhkan jabatannya dan mengirimkan jubah kehormatan kepadanya.[31] Sebagaimana yang ditulis Hugh N. Kennedy, "Dalam beberapa aspek, ancaman Fatimiyah sebenarnya justru menguntungkan Ibnu Tughj". Karena selama ia membela Abbasiyyah, "para khalifah siap memberikan restu kepada pemerintahannya sebagai imbalannya".[32] Pada tahun 938, kedudukannya di istana Abbasiyyah yang cukup baginya untuk meminta gelar kehormatan (laqab) al-Ikhsyid, yang awalnya dipegang oleh raja-raja dari tanah leluhurnya, Farghana. Khalifah ar-Radi mengabulkan permintaan tersebut, walaupun pengakuan resmi tertunda hingga bulan Juli 939. Setelah menerima konfirmasi resmi, Ibnu Tughj meminta agar ia selanjutnya hanya disapa dengan gelar barunya.[28][32][33]

Sangat sedikit yang diketahui tentang kebijakan-kebijakan dalam negeri al-Ikhsyid.[2] Namun, tidak terdapat sumber sejarah yang menyebutkan masalah-masalah dalam negeri selama masa pemerintahannya—selain pemberontakan kecil dari kaum Syi'ah pada tahun 942, yang dengan cepat ditumpas—sangat kontras dengan narasi yang biasanya beredar tentang penjarahan yang dilakukan oleh suku Badui, kerusuhan di perkotaan karena harga yang tinggi, atau pemberontakan, intrik militer, dan dinasti. Semua ini mengindikasikan bahwa ia berhasil memulihkan stabilitas domestik dan pemerintahan yang tertata rapi di Mesir.[29] Menurut kamus biografi Ibnu Khallikan, al-Ikhsyid adalah "seorang pangeran yang tegas, memiliki pandangan yang tajam dalam peperangan, dan sangat memperhatikan kemakmuran kerajaannya; dia memperlakukan kalangan militer dengan penuh kehormatan dan memimpin dengan kecakapan dan keadilan".[1] Saingan potensialnya, Muhammad bin Takin dan al-Madhara'i, dengan mudah diluluhkan dan dimasukkan ke dalam pemerintahan yang baru.[29][32] Al-Madhara'i sempat mencoba untuk menentang pengambilalihan al-Ikhsyid yang kemudian berakhir dengan sia-sia, karena pasukannya dengan cepat membelot. Pada awalnya, ia dipenjara oleh al-Ikhsyid, tetapi kemudian dibebaskan pada tahun 939. Ia segera memulihkan status dan pengaruhnya, dan sempat menjabat sebagai wali dari putra dan pewaris al-Ikhsyid, Unujur pada tahun 946, sebelum akhirnya digulingkan dan dipenjara selama setahun. Sesudahnya, dan sampai kematiannya pada 957, ia pensiun dan memilih berfokus pada kehidupan pribadinya.[20][28] Seperti kaum Thulunid sebelum dia, al-Ikhsyid juga sangat berhati-hati dalam membangun kekuatan militernya sendiri, termasuk tentara budak Turki dan orang Afrika berkulit Hitam.[29][32]

Kebijakan luar negeri dan perjuangan untuk Suriah

[sunting | sunting sumber]

Sebagai komandan dan penguasa di Mesir, al-Ikhsyid adalah orang yang sabar dan berhati-hati. Dia mencapai tujuannya melalui diplomasi dan hubungan dengan tokoh-tokoh yang berkuasa di rezim Baghdad. Ia bahkan cenderung menghindari konfrontasi militer langsung jika memungkinkan. Konfliknya dengan Ahmad bin Kayghalagh adalah indikasi dari metode pendekatannya tersebut: ketimbang pertempuran secara langsung, kesepakatan gencatan senjata di antara keduanya memberikan waktu bagi al-Ikhsyid untuk mengamati situasi di Mesir sebelum mengambil tindakan.[34] Kendati mengikuti jejak Ibnu Thulun, ambisinya lebih sederhana dan tujuannya lebih praktis, seperti yang terlihat jelas dalam kebijakannya terhadap Suriah dan wilayah kekhalifahan lainnya.[32] Secara historis, penguasaan atas Suriah, dan khususnya Palestina, merupakan tujuan kebijakan luar negeri bagi banyak penguasa Mesir. Hal tersebut dilakukan menguasai rute invasi yang paling memungkinkan ke daerah Mesir. Ibnu Thulun dan Salahuddin adalah dua contoh tipikal penguasa Mesir yang menghabiskan sebagian besar masa pemerintahan mereka untuk mengamankan kendali atas Suriah, dan bahkan menggunakan sebagian besar sumber pendapatan dan sumber daya di Mesir untuk mencapai tujuan ini.[35] Al-Ikhsyid berbeda dengan keduanya; Bacharach mendeskripsikan Al-Ikhsyid sebagai seorang "realis konservatif yang penuh kehati-hatian".[36] Tujuan-tujuannya terbatas tetapi jelas: perhatian utamanya adalah Mesir dan pengukuhan keluarganya sebagai dinasti turun-temurun di sana, sementara Suriah tetap menjadi tujuan sekunder.[37] Tidak seperti penguasa militer lainnya pada masa itu, ia tidak berniat mengikuti persaingan untuk menguasai Baghdad dan pemerintahan khalifah melalui jabatan amir al-umara yang memiliki kekuasaan tinggi. Bahkan, ketika Khalifah al-Mustakfi (m. 944-946) menawarinya jabatan itu, ia menolaknya.[38]

Konflik dengan Ibnu Ra'iq

[sunting | sunting sumber]
Peta wilayah Suriah dan provinsi-provinsinya di bawah kekuasaan Abbasiyah

Setelah pengusiran Fatimiyah dari Mesir, al-Ikhsyid memerintahkan pasukannya untuk menduduki seluruh Suriah sampai Aleppo; bersekutu, seperti yang dilakukan Ibnu Thulun, dengan suku lokal Banu Kilab untuk memperkuat kekuasaannya di Suriah bagian utara.[39] Sebagai gubernur Suriah, wilayah kekuasaannya meluas hingga ke daerah-daerah perbatasan (wilayah at-Thughur) dengan Kekaisaran Bizantium di Silisia. Kemudian pada tahun 936/7 atau 937/8 (kemungkinan besar pada musim gugur 937), ia menerima utusan dari kaisar Bizantium, Romanos I Lekapenos (memerintah tahun 920–944), untuk mengadakan acara pertukaran tahanan. Meskipun dilakukan atas nama Khalifah ar-Radi, tindakan tersebut dianggap merupakan kehormatan khusus dan pengakuan tak langsung terhadap otonomi al-Ikhsyid, walaupun surat-menyurat dan negosiasi untuk acara-acara semacam itu biasanya ditujukan kepada khalifah, bukan kepada para gubernur provinsi. Pertukaran tersebut dilakukan pada musim gugur 938, yang menghasilkan pembebasan 6,300 Muslim dengan jumlah tahanan yang setara dari sisi Bizantium. Karena Bizantium memiliki 800 lebih tahanan dibanding Muslim, para tahanan tersebut harus ditebus dan secara bertahap dibebaskan selama enam bulan berikutnya.[40][41]

Ketika amir al-umara bin Ra'iq berkuasa di Baghdad (936–938) dengan teman lama al-Ikhsyid, al-Fadl bin Ja'far bin al-Furat sebagai wazir, hubungannya dengan Baghdad terjalin baik. Akan tetapi, setelah Ibnu Ra'iq digantikan oleh Bajkam dari Turkik, Ibnu Ra'iq diangkat oleh khalifah untuk kegubernuran Suriah. Pada tahun 939, Ibnu Ra'iq bergerak ke barat untuk merebutnya dari pasukan al-Ikhsyid.[39][42] Pelantikan Ibnu Ra'iq dikecam al-Ikhsyid, yang karenanya ia mengirimkan seorang utusan ke Baghdad untuk mengklarifikasikan keadaan tersebut. Disana, Bajkam memberitahukan bahwa khalifah boleh menunjuk siapapun yang ia pilih, tetapi bukan merupakan hal mutlak: kekuatan militerlah yang akan menentukan siapa yang menjadi gubernur Suriah dan bahkan Mesir, bukan pelantikan apapun oleh seorang khalifah. Jika salah satu dari Ibnu Ra'iq atau al-Ikhsyid meraih kemenangan dari konflik tersebut, pengukuhan oleh khalifah kemudian akan menyusul.[43] Al-Ikhsyid bahkan lebih marah lagi dengan jawaban tersebut, dikabarkan bahwa pada waktu itu, ia mengancam akan menawarkan salah satu putrinya kepada khalifah Fatimiyah al-Qa'im dan meminta agar uang logam dan salat Jumat dibacakan dengan menggunakan namanya, ketimbang khalifah Abbasiyah, sampai Abbasiyah secara resmi mengakui kembali jabatannya. Fatimiyah sendiri sebelumnya disibukkan dengan pemberontakan Abu Yazid dan tak dapat memberikan bantuan apapun.[39][44][45]

Dari Raqqah, pasukan Ibnu Ra'iq dengan cepat mengambil alih distrik-distrik di Suriah utara yang saat itu saudara al-Ikhsyid, Ubaidullah menjadi gubernur, sementara pasukan Mesir bergerak mundur ke selatan. Pada bulan Oktober atau November, pasukan Ibnu Ra'iq mencapai Ramallah dan bergerak menuju Semenanjung Sinai. Al-Ikhsyid memimpin pasukannya melawan Ibnu Ra'iq, tetapi setelah bentrokan singkat di al-Faramah, keduanya mencapai kesepakatan untuk membagi Suriah di antara mereka: wilayah dari Ramallah sampai selatan di bawah kekuasaan al-Ikhsyid, dan wilayah utara berada di bawah kekuasaan Ibnu Ra'iq.[43] Namun, pada bulan Mei atau Juni tahun 940, al-Ikhsyid mengetahui bahwa Ibnu Ra'iq sempat kembali bergerak menuju Ramallah. Sehingga, penguasa Mesir tersebut kemudian memimpin pasukannya untuk bertempur. Meskipun kalah di al-Arisy, al-Ikhsyid dapat mengerahkan pasukannya dengan cepat dan menghadang Ibnu Ra'iq: mencegahnya memasuki Mesir dan memaksanya untuk mundur kembali ke Damaskus.[36] Al-Ikhsyid kemudian mengirim saudaranya, Abu Nashr al-Husain, dengan pasukan lainnya untuk menyerang Ibnu Ra'iq, tetapi ia dikalahkan dan terbunuh di Lajjun. Meskipun menang, Ibnu Ra'iq memilih untuk berdamai: ia memberikan pemakaman kehormatan terhadap Abu Nashr dan mengirim putranya, Muzahim, sebagai duta besar ke Mesir. Sebagaimana strategi politiknya, al-Ikhsyid menerimanya. Perjanjian tersebut dipandang sebagai pemulihan status teritorial quo dari tahun sebelumnya, tetapi dengan al-Ikhsyid membayar upeti tahunan sejumlah 140,000 dinar emas. Kesepakatan tersebut diperkuat dengan pernikahan Muzahim dengan putri al-Ikhsyid, Fatimah.[36]

Konflik dengan Hamdaniyah

[sunting | sunting sumber]

Perdamaian tersebut tak berlangsung lama, karena kekacauan politik di Baghdad yang terus berlanjut. Pada bulan September 941, Ibnu Ra'iq sekali lagi menjabat sebagai amir al-umara atas tawaran Khalifah al-Muttaqi (memerintah 940–944), tetapi tidak seberkuasa sebelumnya. Karena tak mampu menghentikan pergerakan pasukan lainnya yang dipimpin oleh Abu'l-Husain al-Baridi dari Basrah, Ibnu Ra'iq dan sang khalifah terpaksa meninggalkan Baghdad dan mencari perlindungan kepada penguasa Hamdaniyah dari Mosul. Ibnu Ra'iq akhirnya terbunuh oleh penguasa Mosul pada bulan April 942 yang kemudian menggantikan Ibnu Ra'iq dalam jabatan amir al-umara dengan laqab Nasir ad-Daulah.[46] Al-Ikhsyid memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menduduki kembali Suriah untuk dirinya sendiri, bergabung dengan pasukannya secara langsung pada bulan Juni 942, dan bergerak sampai ke Damaskus, sebelum kembali ke Mesir pada bulan Januari tahun 943. Hamdaniyah juga mengklaim atas wilayah Suriah pada waktu yang sama, tetapi sumber sejarah tak menyebut dengan detail ekspedisi mereka di sana.[46] Jabatan Nasir ad-Daulah sebagai amir al-umara juga terbukti lemah, dan pada bulan Juni 943, ia dilengserkan oleh jendera Turki Tuzun. Pada bulan Oktober, Khalifah al-Muttaqi, yang mengkhawatirkan Tuzun mungkin berupaya untuk melengserkannya pun melarikan diri dari ibu kota dan ikut mengungsi ke Hamdaniyah.[47] Meskipun Nasir ad-Daulah dan saudaranya Saif ad-Daulah melindungi khalifah, tetapi mereka tidak melawan pasukan Tuzun, dan pada bulan Mei 944, mereka sepakat untuk memberikan Mesopotamia Hulu dan utara Suriah kepada Hamdaniyah sebagai pertukaran dalam pengakuan kedudukan Tuzun di Irak. Nasir ad-Daulah kemudian mengirim sepupunya al-Husain bin Sa'id untuk mengambil alih provinsi-provinsi Suriah yang ia rampas dalam perjanjian tersebut. Pasukan Ikhsyid membelot atau menarik diri, dan al-Husain pun mengambil alih distrik-distrik Qinnasrin dan Hims.[39][48]

Pada masa itu, al-Muttaqi dengan Saif ad-Daulah melarikan diri ke Raqqah sebelum serangan Tuzun, tetapi khalifah semakin curiga dengan Hamdaniyah, dan menulis surat kepada al-Ikhsyid (diyakini pada awal musim dingin tahun 943), untuk meminta bantuan.[48] Hal tersebut kemudian ditanggapi oleh al-Ikhsyid dengan memimpin pasukan ke Suriah. Pasukan Hamdaniyah menarik diri sebelum itu, dan pada September 944, al-Ikhsyid mencapai Raqqah. Karena tidak mempercayai Hamdaniyah, mengingat perlakuan mereka terhadap Ibnu Ra'iq, ia menunggu sampai Saif ad-Daulah meninggalkan kota tersebut sebelum memasukinya untuk menemui khalifah. Al-Ikhsyid berupaya membujuk al-Muttaqi untuk ikut bersamanya ke Mesir, atau setidaknya tinggal di Raqqah. Di lain sisi, sang khalifah berupaya untuk mendorong al-Ikhsyid untuk berperang melawan Tuzun, yang kemudian ditolak.[49][50] Pertemuan tersebut tak sepenuhnya sia-sia, karena al-Ikhsyid mendapatkan suatu perjanjian yang sama antara Khumarawayh Thuluniyah dan Khalifah al-Mu'tamid pada tahun 886. Sang khalifah mengakui otoritas al-Ikhsyid atas Mesir, Suriah (dengan thughur), dan Hijaz (disertai dengan penjagaan atas dua kota suci Mekkah dan Madinah), selama tiga puluh tahun, dengan hak suksesi turun-temurun untuk putra-putra al-Ikhsyid.[26][32][39][51] Perkembangan tersebut diantisipasi oleh al-Ikhsyid setahun sebelumnya, saat ia mengangkat putranya Unujur menjadi pemangku jabatannya saat ia sedang tidak ada di Mesir. Meskipun Unujur belum akil baligh, dan mengharuskannya untuk bersumpah setia (bay'ah) kepadanya.[46] Namun, menurut komentar Michael Brett, wilayah-wilayah dalam perjanjian tersebut merupakan "berkah yang campur aduk," karena kedua kota suci berada di bawah serbuan Qaramitah, sementara pasukan-pasukan thughur yang semakin terancam oleh Bizantium, dan Aleppo (dengan utara Suriah) yang diincar oleh Hamdaniyah.[26]

Seperti yang terjadi, al-Muttaqi didatangi oleh para utusan Tuzun, yang menentang loyalitasnya, untuk kembali ke Irak; hanya untuk ditangkap, dibutakan, dan dilengserkan pada tanggal 12 Oktober dan digantikan oleh al-Mustakfi.[49][50] Al-Mustakfi mengukuhkan kembali kegubernuran al-Ikhsyid, tetapi, hal tersebut hanyalah isyarat kosong belaka. Menurut J. L. Bacharach, walaupun sejarawan abad ke-13 Ibnu Sa'id al-Maghribi mencatat bahwa al-Ikhsyid mengambil bay'ah dan membacakan salat Jumat dengan nama khalifah yang baru, berdasarkan pada bukti peninggalan yang ada, ia tampaknya menunda pembaiatannya kepada al-Mustakfi dan dinasti Buwaihiyahnya yang didirikan oleh penerusnya, al-Muti (memerintah 946–974) selama beberapa bulan dengan tidak menyertakan sang khalifah tersebut ke dalam mata uang logamnya. Tindakan yang disengaja ini jelas menyatakan kemerdekaan de facto-nya dari Baghdad.[52] Kemerdekaan tersebut juga diketahui oleh pihak lainnya, catatan kontemporer De Ceremoniis menyatakan bahwa dalam surat-menyurat pemerintah Bizantium, "Amir Mesir" diberikan segel emas seharga empat solidi, sama dengan khalifah di Baghdad.[53]

Peta fragmentasi Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-9 dan ke-10

Setelah pertemuannya dengan al-Muttaqi, al-Ikhsyid kembali ke Mesir, meninggalkan medan perang yang terbuka bagi Saif ad-Daulah. Pasukan Ikhsyid yang ditinggalkan di Suriah relatif lemah, dan pemimpin Hamdaniyah, yang mendapatkan dukungan dari Banu Kilab, tidak mengalami kesulitan dalam menaklukan Aleppo pada 29 Oktober 944. Ia kemudian mulai memperluas kekuasaannya atas provinsi-provinsi utara Suriah sampai Hims.[39][54][55] Al-Ikhsyid lalu mengirim pasukan di bawah kasim Abu al-Misk Kafur dan Fatik melawan Hamdaniyah, tetapi pasukan ini dikalahkan di dekat Hamat dan mundur kembali ke Mesir, meninggalkan Damaskus dan Palestina di tangan Hamdaniyah.[56] Al-Ikhsyid kemudian memaksakan satu perang lagi pada bulan April tahun 945, tetapi pada saat yang sama, ia mengirim utusan-utusan kepada Saif ad-Daulah untuk mengadakan perjanjian terkait perbatasan yang sebelumnya ia sepakati dengan Ibnu Ra'iq: pangeran Hamdaniyah tetap menguasai utara Suriah, sementara al-Ikhsyid membayarnya dengan upeti tahunan untuk wilayah Palestina dan Damaskus.[56] Saif ad-Daulah menolak dan tercatat ia bahkan menyombongkan diri bahwa ia akan menaklukkan Mesir sendiri, tetapi al-Ikhsyid berada di atas angin: kaki tangannya berhasil menyuap beberapa pemimpin Hamdaniyah dan memenangkan hati masyarakat Damaskus, yang menutup gerbang mereka dari Hamdaniyah dan membukakannya untuk al-Ikhsyid. Kedua pasukan tersebut kemudian berperang di dekat Qinnasrin pada bulan Mei dengan Hamdaniyah yang berhasil dikalahkan. Saif ad-Daulah kabur ke Raqqah, meninggalkan ibu kotanya Aleppo untuk direbut oleh al-Ikhsyid.[56]

Namun, pada bulan Oktober, kedua belah pihak mencapai kesepakatan, yang secara garis besar sama dengan usulan al-Ikhsyid sebelumnya: al-Ikhsyid mengakui kekuasaan Hamdaniyah atas utara Suriah dan bahkan setuju untuk mengirim upeti tahunan sebagai imbalan atas penolakan Saif ad-Daulah terhadap semua klaim wilayah atas Damaskus. Penguasa Hamdaniyah juga harus menikahi salah satu putri atau kemenakan al-Ikhsyid.[56] Bagi al-Ikhsyid, mempertahankan Aleppo tidak terlalu penting ketimbang selatan Suriah dengan Damaskus, yang merupakan gerbang timur Mesir (sebagai benteng pertahanan Mesir di bagian timur). Asalkan wilayah-wilayah tersebut tetap berada di bawah kekuasaannya, ia lebih mengehendaki keberadaan kerajaan Hamdaniyah di utara. Penguasa Mesir tersebut menyadari bahwa ia akan sulit mengklaim dan mempertahankan kendali atas utara Suriah dan Silisia, yang biasanya terpengaruh oleh Mesopotamia Hulu dan Irak. Dengan meniadakan klaim-klaimnya atas provinsi-provinsi yang jauh tersebut, Mesir tidak hanya akan terhindar dari biaya yang besar untuk mempertahankan pasukan yang besar di sana, tetapi Hamdaniyah juga akan berperan sebagai negara penyangga melawan serangan-serangan, baik dari Irak maupun Kekaisaran Bizantium yang sedang bangkit kembali.[57] Memang, sepanjang masa pemerintahan al-Ikhsyid, dan para penerusnya, hubungan mereka dengan Bizantium cukup bersahabat, karena tidak adanya perbatasan yang berisisan dan permusuhannya yang sama terhadap Fatimiyah membuat kedua negara tersebut tak berbenturan.[58] Disamping Saif ad-Daulah berupaya untuk bergerak lagi ke selatan Suriah tak lama setelah al-Ikhsyid wafat, perbatasan yang disetujui pada tahun 945 tetap bertahan, dan bahkan bertahan lebih lama dari kedua dinasti tersebut, membentuk garis pemisah antara utara Suriah yang dipengaruhi Mesopotamia dan bagian selatan yang dikuasai Mesir hingga Mamluk merebut seluruh wilayah tersebut pada tahun 1260.[55][59]

Kematian dan warisan

[sunting | sunting sumber]

Pada pertengahan musim semi tahun 946, al-Ikhsyid mengirim utusan ke Bizantium untuk pertukaran tahanan lagi (yang akhirnya berhasil dilakukan di bawah bantuan Saif ad-Daulah pada bulan Oktober). Kaisar Konstantinus VII (memerintah antara 913–959) mengirimkan sebuah kedutaan yang dipimpin John Mystikos sebagai tanggapan,yang tiba di Damaskus pada 11 Juli.[40] Pada 24 Juli 946, al-Ikhsyid wafat di Damaskus.[60] Jasadnya dibawa untuk dimakamkan di Yerusalem, di dekat Gerbang suku-suku di Bukit Bait Suci. Suksesi putranya, Unujur, berlangsung damai dan tanpa perselisihan, berkat pengaruh dari kekuasaan komando tertinggi yang kuat dan berbakat, Kafur; satu dari sekian banyak budak kulit hitam Afrika yang direkrut oleh al-Ikhsyid, Kafur bertahan sebagai Perdana Menteri dan penguasa bayangan Mesir selama 22 tahun berikutnya, berkuasa atas namanya sendiri pada tahun 966 hingga kematiannya dua tahun kemudian. Setelah kematiannya, pada tahun 969, Fatimiyah menyerbu dan menaklukkan Mesir, memulai era baru dalam sejarah negara tersebut.[61][62]

Para sejarawan abad pertengahan mencatatkan banyaknya kesamaan antara al-Ikhsyid dan para pendahulunya dari Thuluniyah, khususnya Khumarawayh. Ibnu Sa'id bahkan mencatatkan bahwa menurut para astrolog Mesir, kedua orang tersebut memasuki Mesir pada hari yang sama pada tahun itu dan dengan bintang yang sama dalam posisi rasi bintang yang sama.[63] Namun, terdapat perbedaan mencolok: al-Ikhsyid tidak se-"flamboyan" (Hugh Kennedy), seperti yang dimiliki oleh kaum Thuluniyah.[32] Sikap kehati-hatian dan menahan diri Al-Ikhsyid dalam sudut pandang kebijakan luar negerinya juga berseberangan dengan tokoh-tokoh yang semasa dengannya dan para penguasa Mesir lainnya, baik para pendahulu maupun pengikutnya, sehingga membuatnya memiliki reputasi sebagai orang yang sangat berhati-hati, yang sering kali disalahartikan sebagai penakut oleh orang-orang yang semasa dengannya.[64] Ia juga dianggap kurang berbudaya dibandingkan dengan pendahulunya Ibnu Thulun.[39] Tak seperti Ibnu Thulun, yang membangun ibu kota baru di al-Qatta'i dan sebuah masjid terkenal. Al-Ikhsyid bukanpula penyokong para seniman, penyair, dan pembuat bangunan besar.[63] Menurut sejarawan Thierry Bianquis, ia digambarkan oleh para penulis sejarah abad pertengahan sebagai "seorang pria yang mudah tersinggung dan rakus, tetapi cerdik dan cenderung serakah", tetapi gemar dengan barang-barang mewah yang diimpor dari timur, khususnya parfum. Kecintaannya terhadap barang-barang mewah dari timur kemudian diikuti oleh kalangan kelas atas Fustat serta mempengaruhi gaya dan mode produk lokal Mesir secara temurun.[39]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b McGuckin de Slane 1868, hlm. 220.
  2. ^ a b Bacharach 1993, hlm. 411.
  3. ^ McGuckin de Slane 1868, hlm. 217, 219–220.
  4. ^ Gordon 2001, hlm. 158–159.
  5. ^ a b c d e f Kennedy 2004, hlm. 311.
  6. ^ a b c d e f Bacharach 1975, hlm. 588.
  7. ^ Kennedy 2004, hlm. 185, 286.
  8. ^ Jiwa 2009, hlm. 143–144.
  9. ^ Kennedy 2004, hlm. 184–185, 310.
  10. ^ Kennedy 2004, hlm. 191.
  11. ^ a b c d Bacharach 1975, hlm. 589.
  12. ^ Bacharach 1975, hlm. 589–590.
  13. ^ Halm 1996, hlm. 208–209.
  14. ^ a b c d Bacharach 1975, hlm. 590.
  15. ^ Kennedy 2004, hlm. 191–194, 311.
  16. ^ Bacharach 1975, hlm. 591–592.
  17. ^ Bacharach 1975, hlm. 592.
  18. ^ Kadi, Galila El; Bonnamy, Alain (2007). Architecture for the Dead : Cairo's Medieval Necropolis (dalam bahasa Inggris). American Univ in Cairo Press. hlm. 96, 297. ISBN 978-977-416-074-5. 
  19. ^ Bianquis 1998, hlm. 97, 105, 111.
  20. ^ a b Gottschalk 1986, hlm. 953.
  21. ^ Bacharach 1975, hlm. 592–593.
  22. ^ Brett 2001, hlm. 161.
  23. ^ Bacharach 1975, hlm. 592–594.
  24. ^ Kennedy 2004, hlm. 311–312.
  25. ^ a b Halm 1996, hlm. 284.
  26. ^ a b c Brett 2001, hlm. 162.
  27. ^ a b Madelung 1996, hlm. 34.
  28. ^ a b c Bianquis 1998, hlm. 112.
  29. ^ a b c d Bacharach 1975, hlm. 594.
  30. ^ Bacharach 1975, hlm. 605.
  31. ^ Bacharach 1975, hlm. 595.
  32. ^ a b c d e f g Kennedy 2004, hlm. 312.
  33. ^ Bacharach 1975, hlm. 595–596.
  34. ^ Bacharach 1975, hlm. 594–595.
  35. ^ Bacharach 1975, hlm. 596–597.
  36. ^ a b c Bacharach 1975, hlm. 600.
  37. ^ Bacharach 1975, hlm. 597, 603.
  38. ^ Bacharach 1975, hlm. 597–598.
  39. ^ a b c d e f g h Bianquis 1998, hlm. 113.
  40. ^ a b PmbZ, Muḥammad b. Ṭuġǧ al-Iḫšīd (#25443).
  41. ^ Canard 1936, hlm. 193.
  42. ^ Bacharach 1975, hlm. 598–599.
  43. ^ a b Bacharach 1975, hlm. 599.
  44. ^ Bacharach 1975, hlm. 599–600.
  45. ^ Halm 1996, hlm. 408.
  46. ^ a b c Bacharach 1975, hlm. 601.
  47. ^ Bacharach 1975, hlm. 601–602.
  48. ^ a b Bacharach 1975, hlm. 602.
  49. ^ a b Bacharach 1975, hlm. 602–603.
  50. ^ a b Kennedy 2004, hlm. 196, 312.
  51. ^ Bacharach 1975, hlm. 603.
  52. ^ Bacharach 1975, hlm. 603–608.
  53. ^ Canard 1936, hlm. 191.
  54. ^ Bacharach 1975, hlm. 607.
  55. ^ a b Kennedy 2004, hlm. 273.
  56. ^ a b c d Bacharach 1975, hlm. 608.
  57. ^ Bianquis 1998, hlm. 113–115.
  58. ^ Canard 1936, hlm. 190–193, 205–209.
  59. ^ Bianquis 1998, hlm. 113–114.
  60. ^ Bacharach 1975, hlm. 609.
  61. ^ Kennedy 2004, hlm. 312–313.
  62. ^ Bianquis 1998, hlm. 115–118.
  63. ^ a b Bacharach 1975, hlm. 610.
  64. ^ Bacharach 1975, hlm. 610–612.

Bacaan tambahan

[sunting | sunting sumber]
Didahului oleh:
Ahmad bin Kayghalagh
sebagai gubernur Mesir untuk Kekhalifahan Abbasiyah
Ikhshidid emir Mesir, Suriah dan Hejaz
(de jure untuk Kekhalifahan Abbasiyah,
de facto otonom, dari 944 turun temurun)

935–946
Diteruskan oleh:
Abu'l-Qasim Unujur bin al-Ikhshid