Lompat ke isi

Aksara Nusantara: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Mengubah link
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Assyari374 (bicara | kontrib)
k +image
 
(23 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
<!--[[Berkas:Kartu pos beraksara Nusantara.jpg|jmpl|Kartu pos beraksara Nusantara. Dari atas: [[aksara Bali]], [[Abjad Jawi|aksara Jawi]], [[Aksara Sunda Baku|aksara Sunda]], [[aksara Lampung]], [[aksara Jawa]] dan [[Surat Batak|aksara Batak]].]]-->'''Aksara Nusantara''' merupakan ragam [[aksara]] atau tulisan tradisional yang digunakan di wilayah [[Nusantara]]. Istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada aksara-aksara [[abugida]] turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]] yang digunakan oleh masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan. Sebagian besar aksara Nusantara masih diajarkan sebagai bagian dari muatan lokal di daerah masing-masing, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
<!--[[Berkas:Kartu pos beraksara Nusantara.jpg|jmpl|Kartu pos beraksara Nusantara. Dari atas: [[aksara Bali]], [[Abjad Jawi|aksara Jawi]], [[Aksara Sunda Baku|aksara Sunda]], [[aksara Lampung]], [[aksara Jawa]] dan [[Surat Batak|aksara Batak]].]]-->
[[File:Aksara Nusantara of old Indonesian scripts.jpg|thumb|Koleksi Aksara Nusantara di [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia]], Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta]]
'''Aksara Nusantara''' merupakan ragam [[aksara]] atau sistem tulisan tradisional yang digunakan di [[Kepulauan Nusantara]]. Istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada aksara-aksara [[abugida]] turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]] yang digunakan oleh masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan. Sebagian besar aksara Nusantara masih diajarkan sebagai bagian dari muatan lokal di daerah masing-masing, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.

== Pengantar ==
== Pengantar ==
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan [[prasasti]] mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja [[Kutai]] di daerah [[Kalimantan Timur]]. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan [[aksara Pallawa]] dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4 M.
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan [[prasasti]] mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh [[Mulawarman]], Raja [[Kutai]] di daerah [[Kalimantan Timur]]. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan [[aksara Pallawa]] dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4 M.


Setidaknya sejak abad ke-4 itulah Bangsa [[Indonesia]] telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak bahasa daerah (misalnya [[Bahasa Melayu Kuno]] dan [[Bahasa Jawa Kuno]]) juga dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskrta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad ke-15 Aksara Nusantara berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh Abjad Arab dan Alfabet Latin.
Setidaknya sejak abad ke-4 itulah bangsa [[Indonesia]] telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak bahasa daerah (misalnya [[Bahasa Melayu Kuno]] dan [[Bahasa Jawa Kuno]]) juga dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskerta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad ke-15 Aksara Nusantara berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh Abjad Arab dan Alfabet Latin.


Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya [[Aksara Sunda Baku]] pada tahun 1996.
Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya [[Aksara Sunda Baku]] pada tahun 1996.


Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Akara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan turunan Abjad Arab; sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk semua aksara di [[Asia Selatan]] dan [[Asia Tenggara]].
Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Aksara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan turunan Abjad Arab; sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk semua aksara di [[Asia Selatan]] dan [[Asia Tenggara]].


Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di [[Filipina]] merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó'o, dan Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.
Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di [[Filipina]] merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó'o, dan Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.
Baris 19: Baris 23:
|-
|-
|align=center colspan=2|
|align=center colspan=2|
<gallery mode="packed" heights="200px">
<gallery mode="packed" heights="200">
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Beschreven steen bij de onderneming Semplak Buitenzorg TMnr 60016469.jpg|'''[[Aksara Pallawa]]''': [[Prasasti Ciaruteun]], peninggalan Kerajaan Tarumanegara antar abad ke-4 hingga 7 M
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Beschreven steen bij de onderneming Semplak Buitenzorg TMnr 60016469.jpg|'''[[Aksara Pallawa]]''': [[Prasasti Ciaruteun]], peninggalan Kerajaan Tarumanegara antar abad ke-4 hingga 7 M
Berkas:Pr Ngadoman.jpg|'''[[Aksara Kawi]]''': [[Prasasti Ngadoman]] dari 1371 śāka (1449 masehi)
Berkas:Carita Waruga Guru.jpg|'''[[Aksara Sunda Kuno]]''': Naskah ''Carita Waruga Guru'' yang ditulis pada tahun 1750-an
File:Carita Waruga Guru.jpg|'''[[Aksara Sunda Kuno]]''': Naskah ''Carita Waruga Guru''

Berkas:Kakawin ramayana Or 14022 f2-4.jpg|'''[[Aksara Bali]]''': Cuplikan ''[[Kakawin Ramayana|Kakawin Rāmāyaṇa]]'' yang disalin tahun 1975, koleksi British Library
Berkas:Kakawin ramayana Or 14022 f2-4.jpg|'''[[Aksara Bali]]''': Cuplikan ''[[Kakawin Ramayana|Kakawin Rāmāyaṇa]]'' yang disalin tahun 1975, koleksi British Library
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Wichelboekje van palmblad TMnr 5991-6.jpg|'''[[Surat Batak]]''': ''[[Pustaha]]'' koleksi Tropenmuseum
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Wichelboekje van palmblad TMnr 5991-6.jpg|'''[[Surat Batak]]''': ''[[Pustaha]]'' koleksi Tropenmuseum
File:Serat jatipustaka.jpg|'''[[Aksara Jawa]]''': Halaman pembuka ''Serat Jatipustaka'' yang disalin pada tahun 1830, koleksi Museum Denver
Berkas:Serat jatipustaka.jpg|'''[[Aksara Jawa]]''': Halaman pembuka ''Serat Jatipustaka'' yang disalin pada tahun 1830, koleksi Museum Denver
File:Surat pantun cara Lampung.png|'''[[Aksara Lampung|Had Lampung]]''': Naskah ''Surat Pantun Cara Lampung'' (dengan isi dwiaksara bersama [[abjad Jawi]]) kemungkinan ditulis di Bengkulu tahun 1812, koleksi British Library
Berkas:Surat pantun cara Lampung.png|'''[[Aksara Lampung|Had Lampung]]''': Naskah ''Surat Pantun Cara Lampung'' (dengan isi dwiaksara bersama [[abjad Jawi]]) kemungkinan ditulis di Bengkulu tahun 1812, koleksi British Library
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Akte met het zegel van de leenvorst van Bone TMnr 2522-3.jpg|'''[[Aksara Lontara]]''': Akta pinjaman dari Kerajaan Boné tahun 1864, koleksi Tropenmuseum
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Akte met het zegel van de leenvorst van Bone TMnr 2522-3.jpg|'''[[Aksara Lontara]]''': Akta pinjaman dari Kerajaan Boné tahun 1864, koleksi Tropenmuseum
Berkas:Makassar historical record.jpg|'''[[Aksara Makassar]]''': Kumpulan dokumen berbahasa dan beraksara Makassar antar abad 18 hingga 19 M koleksi British Library
Berkas:Makassar historical record.jpg|'''[[Aksara Makassar]]''': Kumpulan dokumen berbahasa dan beraksara Makassar antar abad 18 hingga 19 M koleksi British Library
File:Syair Perahu MSS Malay A2 f1r.png|'''[[Surat Ulu]]''': Naskah ''Syair Perahu'' dari antar abad ke-18 hingga 19, koleksi British Library
Berkas:Syair Perahu MSS Malay A2 f1r.png|'''[[Surat Ulu]]''': Naskah ''Syair Perahu'' dari antar abad ke-18 hingga 19, koleksi British Library
</gallery>
</gallery>
|}
|}
Baris 45: Baris 47:
Dalam perkembangannya, aksara Kawi kemudian berevolusi menjadi aksara-aksara nusantara baik secara langsung atau melalui perantara yang belum teridentifikasi di berbagai daerah Indonesia.<ref name="holle">{{Cite Journal|title=Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten|last=Holle|first=K F|journal=Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie|year=1882|place=Batavia|publisher=W. Bruining|oclc=220137657|url=http://dbooks.bodleian.ox.ac.uk/books/PDFs/590496015.pdf|page=xi, 9-35}}</ref> Perubahan dari aksara Kawi ini terjadi secara berangsur-angsur dan telah terjadi sejak abad ke-14 hingga 15.<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Indonesian_Palaeography.html?id=cLUfAAAAIAAJ&redir_esc=y|title=Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500|volume=4|isbn=9004041729|publisher=Brill|year=1975|first=J G de|last=Casparis}}</ref>{{sfn|Behrend|1996|pp=161-162}}
Dalam perkembangannya, aksara Kawi kemudian berevolusi menjadi aksara-aksara nusantara baik secara langsung atau melalui perantara yang belum teridentifikasi di berbagai daerah Indonesia.<ref name="holle">{{Cite Journal|title=Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten|last=Holle|first=K F|journal=Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie|year=1882|place=Batavia|publisher=W. Bruining|oclc=220137657|url=http://dbooks.bodleian.ox.ac.uk/books/PDFs/590496015.pdf|page=xi, 9-35}}</ref> Perubahan dari aksara Kawi ini terjadi secara berangsur-angsur dan telah terjadi sejak abad ke-14 hingga 15.<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Indonesian_Palaeography.html?id=cLUfAAAAIAAJ&redir_esc=y|title=Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500|volume=4|isbn=9004041729|publisher=Brill|year=1975|first=J G de|last=Casparis}}</ref>{{sfn|Behrend|1996|pp=161-162}}


* Aksara yang berkembang di wilayah Sumatra Utara:
* Aksara yang berkembang di wilayah Sumatra:
** [[Aksara Batak]] (Surat Batak)
** [[Aksara Batak]] (Surat Batak)

* Aksara yang berkembang di wilayah Sumatra Selatan:
** [[Aksara Rejang]]
** [[Aksara Incung]]
** [[Aksara Incung]]
** [[Aksara Lampung]] (Had Lampung)
** [[Aksara Lampung]] (Had Lampung)
** [[Aksara Rejang]]


* Aksara yang berkembang di wilayah Jawa:
* Aksara yang berkembang di wilayah Jawa:
** [[Aksara Jawa]] (Hanacaraka)
** [[Aksara Jawa]] (Hanacaraka)
**[[Aksara Sunda Baku]]
** [[Aksara Sunda Baku]]
** [[Aksara Sunda Kuno]]

* Aksara yang berkembang di wilayah Kalimantan:
** Aksara Iban (Dunging)


* Aksara yang berkembang di Bali dan Lombok:
* Aksara yang berkembang di Bali dan Nusa Tenggara:
** [[Aksara Bali]]
** [[Aksara Bali]]
** Aksara Mbojo
** Aksara Samawa
** [[Aksara Sasak]]


* Aksara yang berkembang di wilayah Sulawesi Selatan:
* Aksara yang berkembang di wilayah Sulawesi:
** [[Aksara Bonda]]
** [[Aksara Lontara]]
** [[Aksara Lontara]]
** [[Aksara Makassar]] (Ukiri Jangang-jangang)
** [[Aksara Makassar]] (Ukiri Jangang-jangang)
** [[Aksara Malesung]]

*Aksara yang berkembang di wilayah Kepulauan Maluku:
** [[Aksara Alifuru]]


Semua aksara Nusantara di atas memiliki konteks dan intensitas penggunaan yang bervariasi antar masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan. Secara umum, aksara Nusantara pada periode tersebut memiliki peran yang substansial dalam masyarakat penggunanya, meski penggunaannya sebagai tulisan sehari-hari sering kali dibarengi dengan huruf Arab dan Latin. Penggunaan aksara Nusantara baru mengalami penurunan yang signifikan pada pertengahan abad 20 M, dan kini seluruh aksara Nusantara hanya digunakan dalam konteks terbatas. Dalam konteks pengguna yang menurun drastis, terdapat berbagai upaya untuk merevitalisasi penggunaan aksara Nusantara di berbagai daerah dengan pendekatan yang berbeda-beda, misal dengan kampanye penggunaan atau penyederhanaan ortografi tradisionanal.
Semua aksara Nusantara di atas memiliki konteks dan intensitas penggunaan yang bervariasi antar masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan. Secara umum, aksara Nusantara pada periode tersebut memiliki peran yang substansial dalam masyarakat penggunanya, meski penggunaannya sebagai tulisan sehari-hari sering kali dibarengi dengan huruf Arab dan Latin. Penggunaan aksara Nusantara baru mengalami penurunan yang signifikan pada pertengahan abad 20 M, dan kini seluruh aksara Nusantara hanya digunakan dalam konteks terbatas. Dalam konteks pengguna yang menurun drastis, terdapat berbagai upaya untuk merevitalisasi penggunaan aksara Nusantara di berbagai daerah dengan pendekatan yang berbeda-beda, misal dengan kampanye penggunaan atau penyederhanaan ortografi tradisionanal.

<!--
== Variasi ==
== Variasi ==


Baris 86: Baris 98:
** Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak
** Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak
** Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang
** Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang
** [[Aksara Komering|Aksara Ulu]] untuk menuliskan [[Bahasa Komering]]
** [[Aksara Ogan|Aksara Ulu]] untuk menuliskan [[Bahasa Ogan]]
* Variasi [[Aksara Jawa]]
* Variasi [[Aksara Jawa]]
** Aksara Jawa untuk menuliskan [[Bahasa Jawa]].
** Aksara Jawa untuk menuliskan [[Bahasa Jawa]].
Baris 96: Baris 110:
** Aksara Bali untuk menuliskan [[Bahasa Bali Kuno]].
** Aksara Bali untuk menuliskan [[Bahasa Bali Kuno]].
** Aksara Bali untuk menuliskan [[Bahasa Sasak]].
** Aksara Bali untuk menuliskan [[Bahasa Sasak]].
*Variasi [[Aksara Sunda Baku|Aksara Sunda]]
**Aksara Sunda untuk menuliskan [[Bahasa Sunda]].
**Aksara Sunda untuk menuliskan [[Bahasa Sunda Kuno]].
**Aksara Sunda untuk menuliskan Bahasa Sunda Kuno pada [[Prasasti Astana Gede|prasasti Kawali]].
**Aksara Sunda untuk menuliskan [[Bahasa Cirebon|bahasa Jawa dialek Cirebon]].
* [[Berkas:Aksara Lontara di Bandara Sultan Hasanuddin.jpg|jmpl|270x270px|Aksara Lontara di Bandara Sultan Hasanuddin]]Variasi [[Aksara Lontara]]
* [[Berkas:Aksara Lontara di Bandara Sultan Hasanuddin.jpg|jmpl|270x270px|Aksara Lontara di Bandara Sultan Hasanuddin]]Variasi [[Aksara Lontara]]
** [[Aksara Jangang-jangang]]: Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Makassar.
** [[Aksara Jangang-jangang]]: Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Makassar.
Baris 107: Baris 126:
** [[Aksara Jawi|Aksara Jawi/Jawöe/Gundhil]]: Variasi ini merupakan aksara berbasis [[Abjad Arab|Arab]] yang digunakan untuk menuliskan [[Bahasa Melayu]], [[Bahasa Minangkabau|Minangkabau]], dan [[Bahasa Banjar|Banjar]].
** [[Aksara Jawi|Aksara Jawi/Jawöe/Gundhil]]: Variasi ini merupakan aksara berbasis [[Abjad Arab|Arab]] yang digunakan untuk menuliskan [[Bahasa Melayu]], [[Bahasa Minangkabau|Minangkabau]], dan [[Bahasa Banjar|Banjar]].
** [[Huruf Pegon|Aksara Pegon]]: Variasi ini merupakan aksara berbasis [[Abjad Arab|Arab]] yang digunakan untuk menuliskan [[Bahasa Jawa]] (termasuk [[Bahasa Osing|Osing]]), [[Bahasa Madura|Madura]], dan [[Bahasa Sunda|Sunda]].
** [[Huruf Pegon|Aksara Pegon]]: Variasi ini merupakan aksara berbasis [[Abjad Arab|Arab]] yang digunakan untuk menuliskan [[Bahasa Jawa]] (termasuk [[Bahasa Osing|Osing]]), [[Bahasa Madura|Madura]], dan [[Bahasa Sunda|Sunda]].
-->


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Baris 337: Baris 355:
* [[Hangeul|Aksara Hangeul]] [[Bahasa Cia-Cia|Cia-Cia]]
* [[Hangeul|Aksara Hangeul]] [[Bahasa Cia-Cia|Cia-Cia]]
* [[Abjad Arab|Aksara Arab]]
* [[Abjad Arab|Aksara Arab]]
* [[Aksara Persia]]
* [[Aksara Tamil]]
* [[Aksara Tamil]]
* [[Hanzi|Aksara Hanzi atau Tionghoa]]
* [[Hanzi|Aksara Hanzi atau Tionghoa]]
Baris 345: Baris 364:
* [[Aksara Pallawa]]
* [[Aksara Pallawa]]
* [[Daftar aksara di Indonesia]]
* [[Daftar aksara di Indonesia]]

== Pranala luar ==

* [https://aksaradinusantara.com/ Aksara di Nusantara], situs penyedia fon beraksara Nusantara


== Rujukan ==
== Rujukan ==
{{reflist}}
{{reflist}}
=== Daftar Pustaka ===
=== Daftar pustaka ===
* {{cite book |editor=Ann Kumar|editor2=John H. McGlynn|url=https://archive.org/details/illuminationswri0000kuma |title=Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia|publisher=Lontar Foundation|year=1996|isbn=0834803496|location=Jakarta|language=EN|ref=harv}}
* {{cite book |editor=Ann Kumar|editor2=John H. McGlynn|url=https://archive.org/details/illuminationswri0000kuma |title=Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia|publisher=Lontar Foundation|year=1996|isbn=0834803496|location=Jakarta|language=EN|ref=harv}}
* {{cite book|last=Behrend|first=T E|chapter=Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition|url=https://archive.org/details/illuminationswri0000kuma|title=Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia|editor=Ann Kumar|editor2=John H. McGlynn|publisher=Lontar Foundation|year=1996|isbn=0834803496|location=Jakarta|language=EN|ref=harv}}
* {{cite book|last=Behrend|first=T E|chapter=Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition|url=https://archive.org/details/illuminationswri0000kuma|title=Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia|editor=Ann Kumar|editor2=John H. McGlynn|publisher=Lontar Foundation|year=1996|isbn=0834803496|location=Jakarta|language=EN|ref=harv}}
Baris 370: Baris 385:
* {{cite conference|last=Wahab|first=Abdul|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/3067/1/Kongres%20Bahasa%20Indonesia%20VIII%20Kelompok%20B%20Ruang%20Rote.pdf|conference=Kongres Bahasa Indonesia VIII|date=Oktober 2003|title=Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah|publisher=Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia|volume=Kelompok B, Ruang Rote|page=8-9}}
* {{cite conference|last=Wahab|first=Abdul|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/3067/1/Kongres%20Bahasa%20Indonesia%20VIII%20Kelompok%20B%20Ruang%20Rote.pdf|conference=Kongres Bahasa Indonesia VIII|date=Oktober 2003|title=Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah|publisher=Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia|volume=Kelompok B, Ruang Rote|page=8-9}}


==== Proposal Unicode ====
==== Proposal unicode ====
* {{cite journal|url=http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2633r.pdf|first=Michael|last=Everson|title=Revised final proposal for encoding the Lontara (Buginese) script in the UCS|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=N2633R|date=2003|publisher=Unicode}}
* {{cite journal|url=http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2633r.pdf|first=Michael|last=Everson|title=Revised final proposal for encoding the Lontara (Buginese) script in the UCS|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=N2633R|date=2003|publisher=Unicode}}
* {{cite journal|url=http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2908.pdf|first1=Michael|last1=Everson|first2=I Made|last2=Suatjana|title=Proposal for encoding the Balinese script in the UCS|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=N2908|date=2005 |publisher=Unicode|ref=harv}}
* {{cite journal|url=http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2908.pdf|first1=Michael|last1=Everson|first2=I Made|last2=Suatjana|title=Proposal for encoding the Balinese script in the UCS|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=N2908|date=2005 |publisher=Unicode|ref=harv}}
Baris 391: Baris 406:
* {{citation|last=Sircar |first=D.C. |year=1965 |title=Indian Epigraphy |place=Delhi-Varanasi-Patna |publisher=Motilal Banarsidass}}
* {{citation|last=Sircar |first=D.C. |year=1965 |title=Indian Epigraphy |place=Delhi-Varanasi-Patna |publisher=Motilal Banarsidass}}
* {{citation|last=Sedyawati |first=Edi |year=1978 |title=Tarumanagara Penafsiran Budaya: Diskusi Panel Menggali Kembali Sejarah Tarumanagara |place=Jakarta |publisher=Universitas Tarumanagara}}-->
* {{citation|last=Sedyawati |first=Edi |year=1978 |title=Tarumanagara Penafsiran Budaya: Diskusi Panel Menggali Kembali Sejarah Tarumanagara |place=Jakarta |publisher=Universitas Tarumanagara}}-->
== Pranala luar ==

* [https://aksaradinusantara.com/ Aksara di Nusantara], situs web penyedia fon beraksara Nusantara


[[Kategori:Aksara Nusantara| ]]
[[Kategori:Aksara Nusantara| ]]

Revisi terkini sejak 10 Maret 2024 03.07

Koleksi Aksara Nusantara di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta

Aksara Nusantara merupakan ragam aksara atau sistem tulisan tradisional yang digunakan di Kepulauan Nusantara. Istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada aksara-aksara abugida turunan Brahmi yang digunakan oleh masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan. Sebagian besar aksara Nusantara masih diajarkan sebagai bagian dari muatan lokal di daerah masing-masing, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.

Pengantar

[sunting | sunting sumber]

Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4 M.

Setidaknya sejak abad ke-4 itulah bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskerta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad ke-15 Aksara Nusantara berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh Abjad Arab dan Alfabet Latin.

Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya Aksara Sunda Baku pada tahun 1996.

Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Aksara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan turunan Abjad Arab; sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk semua aksara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di Filipina merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó'o, dan Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.

Beberapa aksara daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut nama abecedarium aksara tersebut. Demikianlah maka Aksara Jawa modern dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku disebut juga Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa: ka kha ga gha nga.

Macam-macam Aksara Nusantara

Akar paling tua dari aksara Nusantara adalah aksara Brahmi India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15 dengan beberapa variasi dan turunan yang digunakan dalam lingkup daerah tertentu. Beberapa aksara dari periode tersebut meliputi:

Dalam perkembangannya, aksara Kawi kemudian berevolusi menjadi aksara-aksara nusantara baik secara langsung atau melalui perantara yang belum teridentifikasi di berbagai daerah Indonesia.[1] Perubahan dari aksara Kawi ini terjadi secara berangsur-angsur dan telah terjadi sejak abad ke-14 hingga 15.[2][3]

  • Aksara yang berkembang di wilayah Kalimantan:
    • Aksara Iban (Dunging)

Semua aksara Nusantara di atas memiliki konteks dan intensitas penggunaan yang bervariasi antar masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan. Secara umum, aksara Nusantara pada periode tersebut memiliki peran yang substansial dalam masyarakat penggunanya, meski penggunaannya sebagai tulisan sehari-hari sering kali dibarengi dengan huruf Arab dan Latin. Penggunaan aksara Nusantara baru mengalami penurunan yang signifikan pada pertengahan abad 20 M, dan kini seluruh aksara Nusantara hanya digunakan dalam konteks terbatas. Dalam konteks pengguna yang menurun drastis, terdapat berbagai upaya untuk merevitalisasi penggunaan aksara Nusantara di berbagai daerah dengan pendekatan yang berbeda-beda, misal dengan kampanye penggunaan atau penyederhanaan ortografi tradisionanal.

Seiring perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara dapat mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap saja dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak terpecah menjadi aksara baru. Demikianlah misalnya Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Arab sedikit berbeda dengan Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit berbeda dengan Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara tidak luput dari kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang tetap mempertahankan kaidah inti aksara induknya.

Beberapa variasi Aksara Nusantara antara lain:

Perubahan aksara

Ada pendapat sebelum hadir abjad Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Tiongkok Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara. Para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buddha) dari India yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis:1975).

Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Prancis bernama Louis Charles Damais (l951–55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dimungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang metampakkan aliran India Selatan atau aliran India Utara, tetapi juga cukup rumit dan sulit ditentukan dari mana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.

Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional, tetapi tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).

Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha. Jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978). Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, meterai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terakota) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemukan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi. Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskerta.

Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India Selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.

Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskerta dengan gaya khas inovasinya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di tepi sungai Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskerta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara sangkha. Sejauh mana kebenarannya, yang jelas pilin—pilin gandha ataupun sulur-suluran—merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).

Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai karya asli pribumi khususnya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi. Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil daya cipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudian menjadi rumit sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya.

Pada dasarnya aksara yang berkembang di Nusantara secara visual khususnya pada periode Klasik secara umum terdiri dari 33 dasar ucapan sebagai berikut di bawah:

Vokal Dasar

Pendek Panjang
1. velar/laringal/guttural a ã
2. labial u û
3. palatal i î
4. lingual/domal r ŗ
5. dental l Ļ

Vokal Rangkap [diftong]

1. gutturo palatal e ai
2. gutturo labial o au
ö atau eu

Vokal Perubahan

a. visagra [h]
b. anusvaraabial [ŋ]

Konsonan Dasar

1. velar/laringal/guttural k kh g gh ng
2. palatal c ch j jh ny y š
3. lingual ţ ţh h ņ ŗ ş
4. dental t th d dh n l s
5. labial p ph b bh m w
h

Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad ke-8 Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memperlihatkan pengaruh Pallawa seperti gaya aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca-Pallawa, tetapi hampir di setiap wilayah Asia Tenggara Daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad ke-8 Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus (tersendiri).

Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. Malayu Kuno, Jawa Kuno, Sunda Kuno dan Bali Kuno).

Beberapa pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara merupakan perkembangan dari aksara Pallawa namun ciri dan pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya berkembang secara hampir bersamaan. Atau gaya yang telah ada kemungkinan tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, peralihan dan pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan munculnya aksara Pegon dan Latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Perbedaan tersebut tampak seperti yang kemudian berkembang sebagai aksara Jawa (tengahan atau baru), terdiri 20 aksara [ho-no-co-ro-ko]:

[ha]- [na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]

Kemudian aksara Sunda yang kerap disebut Ca-ca-ra-kan dengan bunyi yang hampir sama tetapi terdiri dari 18 aksara

[ha]- [na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]

Kuatnya ciri pribumi yang menjadi ciri aksara di Nusantara adalah untuk mengatasi kesulitan tatkala penyesuaikan sistem fonetik (bunyi) bahasa-bahasa Nusantara dalam mengalihaksarakan bunyi pepet/pepat dan hiatus (bunyi peralihan di antara dua monoftong berdampingan dan membentuk dua suku berurutan tanpa jeda atau konsonan antara seperti sia – sya – sya; dua – duwa – dwa), semua unsur bunyi tersebut hanya dikenal di dalam kosakata bahasa-bahasa daerah di Nusantara (Jawa, Sunda, Bali, Sumatra, atau Malayu) yang tidak dikenal dalam kosakata bahasa ataupun aksara pengaruh dari India. Ketiadaan inilah yang justru membedakan antara aksara Nusantara dan India, tanda-tanda bunyi sepenuhnya milik "multlak" masyarakat Nusantara dan tentu saja harus dicantumkan ke bentuk aksara.

Pada sejumlah naskah sumber tertulis dari masa lebih tua yang umumnya menggunakan bahasa Sanskrta, kesulitan itu tidaklah terasa benar karena tidak mengenal tanda-tanda bunyi seperti itu sehingga dirasa tidak perlu mencantum-kannya, kecuali tanda-tanda diakritis. Mengatasi kesulitan itu sedapat-dapatnya tidak menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama pada pokok kata, melainkan konsonan permulaan sukukata itu dirangkap dengan konsonan permulaan dari sukukata kedua seperti dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas, kdung pluk dan seterusnya. Meskipun diakui sang citraleka (penulis prasasti) tidaklah selalu konsekuen pada suku kata yang sulit atau tidak mungkin dirangkap, maka tanda [ĕ] (pepat) di sini diganti menjadi bunyi [a] seperti suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken mapekan dan seterusnya (Boechari:1958).

Media dan alat penulisan

[sunting | sunting sumber]

Perbedaan media tulis dan alat tulis mempengaruhi teknik yang digunakan untuk menulis dengan efektif. Perbedaan teknik penulisan yang efektif untuk tiap jenis media tulis dan alat tulis merupakan faktor besar yang menghasilkan keanekaragaman bentuk huruf aksara daerah. Aksara Sunda Kuno memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut paling mudah untuk dituliskan di daun lontar, sedangkan Aksara Bali memiliki bentuk huruf membundar karena bentuk huruf menyudut akan memecah lembaran daun lontar mengikuti arah seratnya. Aksara Kerinci memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut lebih mudah untuk dituliskan di bilah bambu, sedangkan Aksara Jawa modern memiliki bentuk huruf membundar karena bentuk huruf membundar lebih mudah untuk dituliskan di lembaran kertas.

Pada masa lampau aksara diwujudkan atau digambarkan dengan cara digores atau dipahat pada berbagai media keras seperti batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu, juga bahan-bahan lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Alat menggores atau memahat aksara pun disesuaikan dengan kadar kekerasan bahan yang dipergunakannya yakni semacam tatah kecil (paku/pasak) menyudut tajam pada bagian ujungnya, atau semacam pisau kecil dibentuk melengkung, pipih, sangat tajam. Selain berfungsi untuk menorehkan aksara, juga untuk mengiris dan menghaluskan bahan (daun) menjadi lempiran-lempiran tipis dengan ukuran panjang, lebar dan ketebalan tertentu yang siap pakai. Bahan-bahan keras seperti batu atau jenis logam tertentu (emas, tembaga, perunggu) dipakai semata karena bahan tersebut dianggap lebih tahan lama.

Sejumlah besar data tekstual (prasasti) dari masa lampau sebagian besar ditemukan pada batu atau lempeng emas, perunggu maupun tembaga dan selalu dikeluarkan oleh penguasa (raja). Oleh karena itu setiap prasasti adalah dokumen resmi pemerintah negara atau kerajaan dan benar-benar disahkan oleh raja dengan kata lain Surat Keputusan (SK) kerajaan yang bersangkutan. Anugrah dari raja kepada seseorang yang dianggap berjasa atau memutuskan sesuatu perkara hukum (perdata). Karena itu selain digoreskan pada batu (otentik), dibuat beberapa salinan atau tembusan (tinulad/tiruan otentik) prasasti yang digoreskan pada lempeng tembaga disebut tamra prasasti (Kartakusuma 2003; 2006).

Pada masa dahulu cara pengawetan sesuatu bahan belum dikenal, satu-satunya upaya kearah itu disalin kembali, namun teknik penyalinan kembali lebih sering dilakukan pada sejumlah naskah pada daun tal (rontal), atau daluwang semacam lembaran kertas atau bahan yang diolah dari kulit pohon tertentu. Berbeda dengan negeri Tiongkok, aksara dituliskan dengan menggunakan kuas dengan cara disapukan setelah dicelupkan pada cairan berwarna pekat (semacam tinta). Tentu saja hasilnya jauh berbeda, betapapun hasil goresan berkesan lebih tampak jikalau dibandingkan hasil sapuan, karena aksara yang digoreskan akan metampakkan jejak-tekan berbekas dalam dan terasa manakala diraba dan tidak memerlukan pewarna (tinta) seperti yang dihasilkan oleh sapuan kuas. Menggores atau memahat aksara dengan alat memang jauh lebih rumit, memerlukan keahlian dan ketrampilan dengan ketekunan khusus, hasil latihan dan kebiasaan (secara terus-menerus).

Pada masa lampau, kegiatan menggoreskan aksara atau memahat suatu aksara (naskah karyasastra atau prasasti) dipegang oleh ahli pemahat aksara yang disebut citraleka. Maka itu hasil yang digoreskan atau uang pahatan aksara yang berkembang pada masa klasik bentuknya lebih dapat digolongkan sebagai karya seni kebudayaan menampilkan kekhasan atau keunikan jejak bekas tersendiri. Tentu saja setiap aksara tidak pula ter-lepas dari gaya dan tekanan pahatan yang tampak pada bagian-bagian teks aksara dicirikan oleh tebal, tipis, dengan posisi tubuh aksara tegak, agak tegak, dan miring, ataupun bentuk yang persegi, bulat, pipih memanjang, melebar, tambun, dan kokoh tegak.

 
 
 
 
 
 
Brahmi
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
India
Utara
 
 
 
 
India
Selatan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pranagari
 
Nagari
 
 
Pallawa
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kawi
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sunda Kuno
 
Buda
 
Jawa
 
Bali
 
Proto-Sumatra
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sunda Baku
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Batak
 
Incung
 
Lontara
 
Makassar
 


Silsilah ini dapat disimak dalam bentuk gambar (klik di sini)

Aksara lain yang digunakan di Nusantara

[sunting | sunting sumber]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Holle, K F (1882). "Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten" (PDF). Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining: xi, 9-35. OCLC 220137657. 
  2. ^ Casparis, J G de (1975). Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. 4. Brill. ISBN 9004041729. 
  3. ^ Behrend 1996, hlm. 161-162.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Proposal unicode

[sunting | sunting sumber]


Pranala luar

[sunting | sunting sumber]