Lompat ke isi

Trilaksana: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Faredoka (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Faredoka (bicara | kontrib)
 
(34 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Buddhisme|dhamma}}'''Trilaksana''', '''''tilakkhaṇa''''' ([[bahasa Pali|Pali]]), atau '''''trilakṣaṇa''''' ([[bahasa Sanskerta|Sanskerta]])—juga disebut sebagai '''tiga karakteristik''' atau '''tiga corak umum'''—merupakan konsep [[Buddhisme]] mengenai tiga ciri umum kenyataan [[keberadaan]], yaitu ''[[anicca]]'' (ketidakkekalan), ''[[dukkha]]'' (umum diterjemahkan sebagai "penderitaan", "ketidakpuasan", "ketidaknyamanan"),{{refn|Istilah ini mungkin berasal dari ''duh-stha'', "berdiri tidak stabil".{{sfn|Monier-Williams|1899|p=483, entry note:&nbsp;}}{{sfnp|Analayo|2013}}{{sfnp|Beckwith|2015|p=30}}{{sfnp|Alexander|2019|p=36}}|group=note}} dan ''[[anatta]]'' ([[tanpa atma]]).<ref>{{cite book|author=Steven Collins|year=1998|url=https://books.google.com/books?id=Z2go_y5KYyoC|title=Nirvana and Other Buddhist Felicities|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-0-521-57054-1|page=140}}</ref><ref name="gombrich47">{{cite book|author=Richard Gombrich|year=2006|url=https://books.google.com/books?id=jZyJAgAAQBAJ|title=Theravada Buddhism|publisher=Routledge|isbn=978-1-134-90352-8|page=47|quote=All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change.}}</ref><ref name="buswelllopez42">{{cite book|author1=Robert E. Buswell Jr.|author2=Donald S. Lopez Jr.|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=DXN2AAAAQBAJ|title=The Princeton Dictionary of Buddhism|publisher=Princeton University Press|isbn=978-1-4008-4805-8|pages=42–43, 47, 581}}</ref><ref>{{cite book|author=Carl Olson|year=2005|url=https://books.google.com/books?id=QRp-AixBLKUC|title=The Different Paths of Buddhism: A Narrative-Historical Introduction|publisher=Rutgers University Press|isbn=978-0-8135-3778-8|pages=63–4}}</ref><ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=AN 3.136: Uppādāsutta|url=https://suttacentral.net/an3.136/id/anggara|website=SuttaCentral|access-date=2022-09-18}}</ref> Ketiga ciri tersebut berlaku pada semua fenomena yang berkondisi (''[[saṅkhāra]]''). Ciri ketiga, yaitu [[Anatta|''anatta'']], juga menjadi ciri dari fenomena yang tidak berkondisi ([[Nirwana]]).
{{Buddhisme|dhamma}}
'''Tiga Karakteristik''' ([[bahasa Pali|Pali]]: ''Tilakkhaṇa''; [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]]: ''Trilakṣaṇa''), dikenal juga sebagai '''Tiga Corak Umum''', atau '''Tiga Corak Universal''' merupakan konsep [[Agama Buddha|Buddhisme]] mengenai tiga ciri umum kenyataan eksistensi, yaitu [[Anicca|ketidakkekalan]], [[Dukkha|penderitaan]], dan [[Anatta|tanpa-Aku]] (tanpa-inti atau tanpa-roh). Ketiga ciri tersebut berlaku pada semua fenomena yang terkondisi. Ciri ketiga, yaitu [[Anatta|tanpa-Aku]], juga menjadi ciri dari semua fenomena yang tidak terkondisi.<ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=AN 3.136: Uppādāsutta|url=https://suttacentral.net/an3.136/id/anggara|website=SuttaCentral|access-date=2022-09-18}}</ref>


Konsep-konsep yang menyatakan bahwa manusia tunduk pada [[Moha (Buddhisme)|delusi]] atas tiga karakteristik keberadaan, delusi tersebut mengakibatkan penderitaan, dan penghapusan delusi tersebut mengakibatkan berakhirnya ''dukkha'', merupakan tema sentral dalam [[Empat Kebenaran Mulia]]. Kebenaran mulia yang terakhir merujuk pada [[Jalan Mulia Berunsur Delapan]].
==Dasar teks ==


== Deskripsi ==
{{Verse translation|Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṁ anuppādā vā tathāgatānaṁ, ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā aniccā. Taṁ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā aniccā’ti.
Ada beberapa daftar “corak keberadaan” yang ditemukan dalam kitab-kitab suci [[Aliran Buddhis awal|aliran Buddhis awal]].<ref name=":1">Tse-fu Kuan 關則富, 'Mahāyāna Elements and Mahāsāṃghika Traces in the Ekottarika-āgama' in Dhammadina (ed.) ''Research on the Ekottarika-āgama'' (2013). Dharma Drum Publishing, Taipei.</ref>


=== Theravāda ===
Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṁ anuppādā vā tathāgatānaṁ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā dukkhā. Taṁ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā dukkhā’ti.


==== Tiga karakteristik ====
Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṁ anuppādā vā tathāgatānaṁ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe dhammā anattā. Taṁ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe dhammā anattā’”ti.|Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah tidak kekal.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’
Dalam tradisi [[Bahasa Pali|Pali]] dari aliran [[Theravāda]], tiga karakteristik atau corak tersebut adalah:{{sfnp|Alexander|2019|p=36}}<ref name=":1" /><ref>{{cite book|last=Hahn|first=Thich Nhat|date=1999|title=The Heart of the Buddha's Teaching|location=New York|publisher=Broadway Books|page=22}}</ref>{{sfn|Walsh|1995|p=30}}


* ''sabbe saṅkhārā aniccā'' – semua ''[[saṅkhāra]]'' (fenomena berkondisi) adalah [[Anicca|ketidakkekalan]]
Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah penderitaan.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’
* ''sabbe saṅkhārā dukkhā'' – semua ''saṅkhāra'' adalah [[Dukkha|penderitaan]], tidak memuaskan, tidak sempurna, atau tidak stabil
* ''sabbe dhammā anattā'' – semua ''[[dhamma]]'' (fenomena berkondisi dan tidak berkondisi) [[nonatma|tanpa-atma]] (tidak memiliki diri, roh, atau jiwa yang permanen).


==== ''Saṅkhāra'' vs ''dhamma'' ====
Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’}}
[[Loka (Buddhisme)|Makhluk-makhluk]] dianggap tersusun atas [[Agregat (Buddhisme)|agregat-agregat]] (''khandha'') yang bukan atma atau tanpa atma (''anatta''). Tradisi [[Abhidhamma Piṭaka|Abhidhamma]] menjelaskan ''saṅkhāra'', ''dhamma,'' dan hubungannya dengan agregat (''khandha'') dalam skema:<ref>{{Cite book|last=Kheminda|first=Ashin|date=2017-09-01|url=https://books.google.co.id/books?id=vJEUEAAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran|publisher=Yayasan Dhammavihari|isbn=978-623-94342-6-7|pages=158|language=id|url-status=live}}</ref>


{{Tabel hubungan agregat}}Seluruh [[Agregat (Buddhisme)|agregat]] (''khandha'') termasuk dalam kategorisasi ''saṅkhāra'', sedangkan [[Nirwana]] tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup ''saṅkhāra'' dan ''asaṅkhāra'' (bukan ''saṅkhāra'', seperti Nirwana) disebut sebagai ''dhamma''.
{{center|'''Uppādā Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.136'''}}


=== Mahāyāna ===
Dalam filosofi Buddhis, [[Sang Buddha]] menyimpulkan bahwa semua fenomena materi ([[Pali]]: ''rūpa'') dan semua fenomena batin ([[Pali]]: ''nāma''), atau [[Khandha|Pañcakkhandha]], ditandai oleh tiga ciri umum ini.


== Anicca ==
==== Tiga corak ====
Aliran [[Sarvāstivāda]] dari [[Buddhisme Utara]] (nenek moyang aliran [[Mahāyāna]]) menjelaskan sebagai berikut dalam kitab ''Samyukta'' ''[[Āgama (Buddhisme)|Agama]]'' mereka:<ref name=":1" /><ref>Thich Nhat Hanh, ''The Heart of the Buddha's Teaching''</ref>
{{main|Anicca}}{{rapikan}}
'''Ketidak-kekalan''' ([[bahasa Pali|Pali]]: ''Anicca''; [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]]: ''anitya''); menunjukkan bahwa segala fenomena yang terkondisi akan lenyap atau tidak kekal, atau semua kondisi pada situasi yang terus berputar.


* Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal (''sarvasaṃskārā anityāḥ'')
Segala fenomena berubah-ubah, goyah, dan tidak tetap. Segalanya dapat alami melalui pikiran seseorang yang terdiri dari komponen, dan bergantung pada sisi kanan kondisi-kondisi untuk keberadaannya. Segalanya merupakan perubahan terus menerus tanpa henti, dan demikian kondisi-kondisi dan hal tersebut secara senantiasa berubah. Hal-Hal secara konstan berdiri; mendapat, dan berhenti untuk; menjadi. Tidak ada apapun yang tidak berakhir.
* Semua dharma adalah bukan-diri (''sarvadharmā anātmānaḥ)''
* [[Nirwana|Nirvāṇa]] adalah ketenangan (''śāntaṃ nirvāṇam'')


==== Empat corak ====
Nilai yang penting di sini adalah gejala itu muncul dan berhenti menurut kondisi-kondisi kompleks dan tidak menurut sikap dan imajinasi kita. Selama kita sudah membatasi kemampuan untuk memengaruhi perubahan kepada lingkungan dan kemelekatan kita, pengalaman memberitahukan kita bahwa usaha kita yang lemah adalah bukan jaminan bahwa hasil dari usaha kita adalah untuk kegemaran/kesukaan kita. Lebih sering daripada tidak bahwa, hasil yang kita dapat lebih rendah daripada hasil yang kita harapkan.
Dalam kitab ''[[Ekottara Agama|Ekottarika-āgama]]'' dan kitab-kitab [[Mahāyāna|Mahayana]] lainnya seperti ''[[Yogacara|Yogācārabhūmi-Śāstra]]'' dan ''Pertanyaan Nāga Raja Sāgara'' (''[[Sāgaranāgarājaparipṛcchā]]'')'','' dijelaskan ada empat corak atau “empat segel Dharma” (Sanskerta: ''dharmoddāna-catuṣṭayaṃ'' atau ''catvāri dharmapadāni'', [[Aksara Han|Hanzi]]: 四法印) alih-alih tiga corak:<ref name=":1" /><ref>Ulrich Timme Kragh (editor), ''The Foundation for Yoga Practitioners'': ''The Buddhist Yogācārabhūmi Treatise and Its Adaptation in India, East Asia, and Tibet, Volume 1'' Harvard University, Department of South Asian studies, 2013, p. 144.</ref><ref>{{Cite web|title=The Questions of the Nāga King Sāgara (3) &#124; 84000 Reading Room|url=https://read.84000.co/translation/toh155.html}}</ref>


* Semua fenomena majemuk bersifat tidak kekal (''anitya'')
Dalam tradisi Mahayana, sebuah penekanan ditambahkan: seseorang sebaiknya senantiasa bermeditasi akan ketidak-kekalan dan sifat sementara akan susunan dan fenomena, tetapi ia harus siaga supaya tidak meluaskan pengertian ini kepada alam Nirwana, dimana ketidak-kekalan tidak berpengaruh. Dalam pandangan demikian, sifat kenyataan yang sesungguhnya menjadi terbebas dari noda akan pikiran yang mendua, dan oleh karena itu tidak dinamai sebagai 'satu' atau 'yang lain' (contoh 'kekal' atau 'tidak kekal').
* Semua fenomena yang terkontaminasi tidak memuaskan (''duḥkha'')
* Semua fenomena tidak memiliki diri (''anātman'')
* [[Nirwana]] adalah ketenangan/kedamaian (''śānta/śānti'')


== Penjelasan ==
Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche menegaskan dalam empat segel tradisi Mahayana, Nirwana harus dilihat sebagai "melampaui kesungguhan". Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa "Dalam banyak filosofi atau keperayaan, hasil akhir adalah sesuatu yang dapat anda pegang dan pertahankan. Hasil akhir adalah satu-satu-ny ahal yang benar-benar nyata. Tetapi nirwana tidak dibuat, jadi ia bukan sesuatu yang dapat anda pegang. Hal ini menunjuk kepada "melampaui kesungguhan".


=== Anicca ===
Kita kadang-kadang berpikir bahwa kita dapat pergi ke suatu tempat dimana kita akan mendapatkan tempat duduk yang lebih baik, sebuah sistem mandi (basuhan) yang lebih baik, sistem perairan yang lebih baik, sebuah nirwana dimana anda tidak harus memiliki sebuah pengendali jarak jauh, dimana segala sesuatunya ada pada saat anda memikirkannya. Tetapi seperti yang dikatakan terdahulu, bukanlah menambahkan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak ada. Nirwana diraih pada saat anda menyingkirkan segala tiruan dan hal yang menggelapkan."<ref>{{en}} {{cite web|url=http://www.shambhalasun.com/index.php?option=content&task=view&id=1814|title="Buddhism in a Nutshell: The Four Seals of Dharma"|accessdate=15-08-2009|archive-date=2014-10-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20141019092506/http://www.shambhalasun.com/index.php?option=content&task=view&id=1814|dead-url=yes}}</ref>
{{Main|Anicca}}


Ketidakkekalan (Pali: ''anicca'', Sanskerta: ''anitya'') berarti bahwa semua hal atau fenomena yang berkondisi (''saṅkhāra'') berada dalam keadaan yang terus berubah. Buddhisme menyatakan bahwa semua peristiwa fisik dan mental muncul dan lenyap.<ref>[http://www.britannica.com/topic/anicca Anicca Buddhism], Encyclopædia Britannica (2013).</ref> Kehidupan manusia merupakan perwujudan dari ketidakkekalan dalam proses penuaan dan [[Saṁsāra|siklus kelahiran dan kematian]] yang berulang (''saṁsāra''); tak ada yang abadi, dan semuanya dapat rusak. Ketidakkekalan juga berlaku bagi semua makhluk dan lingkungannya, termasuk makhluk yang terlahir di [[Loka (Buddhisme)#Alam Surga dan Alam Manusia|Alam Surga]] dan [[Loka (Buddhisme)#Alam Kemalangan|Alam Neraka]].<ref name="damienkeown32">{{cite book|author=Damien Keown|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=_QXX0Uq29aoC|title=Buddhism: A Very Short Introduction|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-966383-5|pages=32–8}}</ref><ref name="Harvey2012p46">{{cite book|author=Peter Harvey|year=2012|url=https://books.google.com/books?id=u0sg9LV_rEgC|title=An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-0-521-85942-4|pages=32–33, 38–39, 46–49}}</ref> Hal ini berbeda dengan [[Nirwana]], yaitu realitas yang bersifat ''nicca'', atau tidak mengenal perubahan, pembusukan, atau kematian.<ref name="DavidsStede1921p355">{{cite book|author1=Thomas William Rhys Davids|author2=William Stede|year=1921|title=Pali-EnC|publisher=Motilal Banarsidass|isbn=978-81-208-1144-7|pages=355, Article on ''Nicca''}}</ref>
== Dukkha ==
{{main|Dukkha}}{{rapikan}}
'''Penderitaan''' ([[bahasa Pali|Pali]]: ''Dukkha'' ; [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]]: ''duhkha''); juga sering diterjemahkan sebagai "ketidak-puasan". Sifat ini juga dapat diartikan sebagai "kegelisahan", selayaknya berada dalam keadaan terganggu. Dengan demikian, "penderitaan" merupakan artian yang terlalu sempit untuk "konotasi emosional yang negatif" (Jeffrey Po),<ref>{{en}} Jeffrey Po, [http://www.4ui.com/eart/172eart1.htm “Is Buddhism a Pessimistic Way of Life?”] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20090418205358/http://www.4ui.com/eart/172eart1.htm |date=2009-04-18 }}</ref>


=== Dukkha ===
{{cquote|''Apapun yang tidak kekal adalah subjek untuk berganti, apapun subjek yang akan berganti merupakan subjek yang menderita''|4=Sang Buddha|5=}}
{{Main|Dukkha}}
Berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita mungkin mengalami stress ataupun penderitaan – ''dukkha''. Mendapatkan apa yang kita inginkan, kita mungkin menemukan rasa senang dan bahagia. Kemudian, rasa tersebut akan habis dan hilang, kita akan bosan dengan hal tersebut. Bosan merupakan bentuk dari ketidakpuasan (atau penderitaan) dan untuk lepas dari hal tersebut, untuk lepas dari rasa bosan kita akan memaksa diri kita dengan bentuk kesenangan yang baru. Terkadang kita masih tidak rela untuk melepaskan objek yang kita sudah tidak tertarik, kita mulai untuk mengumpulkan dan melekat pada barang dengan sifat menyerakahi daripada membaginya dengan orang lain yang mungkin lebih berguna untuknya daripada untuk kita.


''[[Dukkha]]'' (Sanskerta: ''duhkha'') berarti "tidak memuaskan", umumnya diterjemahkan sebagai "penderitaan", "ketidakpuasan", atau "rasa sakit".<ref name="peterharvey26">{{cite book|author=Peter Harvey|year=2015|url=https://books.google.com/books?id=P_lmCgAAQBAJ|title=A Companion to Buddhist Philosophy|publisher=John Wiley & Sons|isbn=978-1-119-14466-3|editor=Steven M. Emmanuel|pages=26–31}}</ref><ref>{{cite book|author=Carol Anderson|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=ASlTAQAAQBAJ|title=Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon|publisher=Routledge|isbn=978-1-136-81332-0|pages=1, 22 with note 4|quote=(...) the three characteristics of samsara/sankhara (the realm of rebirth): anicca (impermance), dukkha (pain) and anatta (no-self).}}</ref><ref>{{cite book|author=Malcolm Huxter|year=2016|url=https://books.google.com/books?id=n2qFCwAAQBAJ|title=Healing the Heart and Mind with Mindfulness: Ancient Path, Present Moment|publisher=Routledge|isbn=978-1-317-50540-2|page=10|quote=dukkha (unsatisfactoriness or suffering) (....) In the Introduction I wrote that dukkha is probably best understood as unsatisfactoriness.}}</ref> [[Mahasi Sayadaw]] menyebutnya sebagai 'tak terkelola, tak terkendali'.
Jika kita belum bosan, mungkin terjadi - mungkin akan terjadi pergantian di dalam keinginan. Peralatan perak mungkin sudah tidak lagi mengkilap atau berkarat atau baju baru mungkin sudah tidak muat. Mungkin barang tersebut juga telah rusak sehingga menyebabkan kesedihan. Pada beberapa kasus mungkin hilang atau dicuri. Dan pada keadaan yang lain, kita menjadi takut kehilangan seperti itu terjadi lagi. Suami dan istri sangat khawatir kehilangan pasangan mereka walaupun pasangan mereka sangatlah setia. Sayangnya hal tersebut menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan sehingga kita melakukan hal yang tidak masuk akal, menyebabkan ketidakpercayaan dan pemutusan hubungan yang sangat kita cintai.


Sebagai poin Kebenaran Mulia Pertama dalam [[Empat Kebenaran Mulia]], ''dukkha'' dijelaskan sebagai ketidakpuasan fisik dan mental terhadap perubahan kondisi seperti kelahiran, penuaan, penyakit, kematian; bertemu apa yang ingin dihindari atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan; dan "singkatnya, lima kelompok unsur kelekatan" (''[[khandha]]'').<ref name="peterharvey26" /><ref>{{cite book|author=Malcolm Huxter|year=2016|url=https://books.google.com/books?id=n2qFCwAAQBAJ|title=Healing the Heart and Mind with Mindfulness: Ancient Path, Present Moment|publisher=Routledge|isbn=978-1-317-50540-2|pages=1–10, Introduction}}</ref><ref>{{cite book|author=Bhikkhu Bodhi|year=2005|url=https://books.google.com/books?id=11X1h60Qc0IC|title=In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon|publisher=Simon and Schuster|isbn=978-0-86171-491-9|pages=67–8}}</ref>
Ketika kita ingin berubah seperti ingin menjadi [[dewasa]] ketika masih remaja, kita tidak suka dengan kata ''menua''. Ketika kita berusaha untuk menjadi kaya, kita takut dengan penghematan. Kita sangatlah pemilih di dalam sikap kita melawan sifat fana dari semua aspek kehidupan kita. Sayangnya sifat fana adalah tidak pemilih. Kita berusaha mencoba melawan ini sejak waktu yang sangat awal, usaha kita akan hanyut dihilangkan oleh waktu. Pada hasilnya, kita memiliki pengalaman atas ketidakpuasan atau penderitaan dari ketidaktetapan ini.


Hubungan antara ketiga karakteristik tersebut dijelaskan dalam [[Tripitaka Pāli|Tripitaka Pali]] sebagai berikut: "''Sesuatu yang anicca adalah dukkha. Sesuatu yang dukkha adalah anatta'' ([[Saṁyutta Nikāya]])." dan "''Sesuatu yang anicca adalah dukkha (yakni tidak dapat dibuat bertahan lama''). ''Sesuatu yang dukkha tidak kekal''."
Pada alam Nirwana – Aliran Mahayana – dapat ditemukan kebenaran dan kebahagiaan yang abadi. Nirwana juga merupakan lawan dari persyaratan, sifat fana, dan penderitaan ("dukkha"), sehingga hasilnya tidak berupa kekecewaan ataupun dari keadaan status kebahagiaan yang memburuk. Nirwana juga perlindungan dari tirani universal dari perubahan dan penderitaan. Menurut ajaran Buddhis yang lain, nirwana tidak dipandang sebagai akhir akan tetapi sebagai projeksi keadaan dari samsara. Menurut ajaran ini, samsara dan nirwana adalah dua sisi pada koin yang sama yang dapat kita lewati dengan latihan meditasi yang giat dan teratur.


== Anatta ==
=== Anatta ===
{{main|Anatta}}{{rapikan}}
{{Main|Anatta}}
'''Tanpa Inti''' ([[bahasa Pali|Pali]]: ''Anāttā'' ; [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]]: ''Anātman''); atau ke Tidak-akuan, impersonal, Tanpa-Roh, atau Tanpa-Ego, adalah antipola dari konsep "Diri" atau Ego. Dalam tradisi Hindu, ada kebenaran yang mengikat segala fenomena atau zat pengikat segala hal-ihwal ([[Sanskrit]]: "Atman").''Anatta'' merupakan suatu ciri umum yang dimiliki oleh segenap perakitan fisik dan komponen psikologis. Karena semua perakitan ini secara tersendiri tunduk kepada perubahan terus menerus dan tetap, tanpa ada kontrol dari diri pengamat. Pengenalan anatta adalah apabila pengamat dapat melihat bahwa sesungguhnya segala hal-ihwal tidak memiliki inti pusat (atau inti sari - [[Pali]]: ''suññata''). Karena kekosongan makna ini maka sikap yang manusia yang logis adalah tidak berpamrih.


''[[Anatta]]'' (Sanskerta: ''anatman'') mengacu pada tanpa-atma, yaitu tidak adanya hakikat yang permanen dalam sesuatu atau fenomena, termasuk makhluk hidup.<ref name="britannicaanatta">[http://www.britannica.com/topic/anatta Anatta Buddhism], Encyclopædia Britannica (2013).</ref><ref>[a] {{cite book|author=Christmas Humphreys|year=2012|url=https://books.google.com/books?id=V3rYtmCZEIEC|title=Exploring Buddhism|publisher=Routledge|isbn=978-1-136-22877-3|pages=42–3}}
Di dalam Filosofi orang [[India]], konsep dari suatu Diri disebut [[Atman (Hindu)|atman]] (itu adalah, " jiwa" atau diri metafisis), yang mengacu pada suatu inti sari tak berubah-ubah/permanen yang dipahami berdasarkan atas keberadaan. Konsep ini dan konsep Brahman (''Vedantic Monistic Ideal'') yang dihormati sebagai suatu atman terakhir untuk semua mahluk, dan yang sangat dibutuhkan oleh orang India sebagai metafisika tendensi, logika, dan ilmu pengetahuan; untuk semua hal-hal yang nyata pada suatu dasar dan kenyataan, yang serupa dengan suatu format bersifat persaudaraan.
[[Sang Buddha]] menolak semua konsep atman, menekankan tidak ada ketetapan, tetapi perubahan/tidak tetap. Ia mengajar bahwa semua konsep dari suatu diri pribadi adalah substansiil salah, dan dibentuk di dalam dunia ketidak-tahuan. Di dalam sejumlah besar sutra Mahayana (contoh: [[Mahaparinibbana Sutra|Sutra Mahaparinirvana]], [[Tathagatagarbha Sutra|Sutra Tathagatagarbha]], [[Srimala Sutra|Sutra Srimala]], dan lainnya), [[Sang Buddha]] diperkenalkan sebagai pemberi penjelasan akan pengajaran ini dengan mengatakan bahwa, selama [[Skanda]] (faktor penyusun tubuh fisik dan pikiran) bukan merupakan diri, akan tetapi terdapat sesuatu yang abadi, tidak berubah, sifat kebuddhaan yang bahagia pada seluruh mahluk hidup, yang merupakan sesuatu yang tidak tercipta dan jati-diri Buddha ("Buddha-dhatu") atau "Diri Sejati" akan Sang Buddha sendiri. "Tathagatagarbha" / Sifat Buddha tidak menggambarkan suatu diri yang besar; akan tetapi, merupakan ungkapan bahasa yang positif akan "sunyata" (kehampaan) dan mewakili kemampuan untuk mewujudkan kebuddhaan melalui pelaksanaan ajaran-ajaran Agama Buddha; tujuan pengajaran akan tathagatagarbha (Sifat Buddha) adalah lebih kearah soteriologi daripada secara teoretis.<ref>{{en}} {{cite web|url=http://zencomp.com/greatwisdom/ebud/ebdha191.htm|title=Heng-Ching Shih, "The Significance Of 'Tathagatagarbha' -- A Positive Expression Of 'Sunyata.'"|accessdate=15-08-2009}}</ref>


[b] {{cite book|author=Brian Morris|year=2006|url=https://books.google.com/books?id=PguGB_uEQh4C&pg=PA51|title=Religion and Anthropology: A Critical Introduction|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-0-521-85241-8|page=51|quote=(...) anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps - the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering.}}
Tubuh suci (atman) ini tidaklah mungkin untuk dibentuk seperti tubuh duniawi, tidak kekal, menderita "ego", yang mana berlawanan. Pada sisi lain, Esensi-Buddha atau Jati-diri Buddha juga sering kali dijelaskan sebagai kemampuan untuk mencapai kebuddhaan ("Buddhahood" - ''Bodhicitta''), daripada gejala yang telah ada yakni pemahaman akan saya atau diri sendiri.


[c] {{cite book|author=Richard Gombrich|year=2006|url=https://books.google.com/books?id=jZyJAgAAQBAJ|title=Theravada Buddhism|publisher=Routledge|isbn=978-1-134-90352-8|page=47|quote=(...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon.}}</ref>
Konsep Anatta di diskusikan dalam [[Milinda Panha|"Pertanyaan Raja Milinda"]], yang dirangkum pada periode "Helenistik" Kerajaan Indo-Yunani abad ke 2 dan ke 1 SM. Pada naskah ini, bhikkhu [[Nagasena]] menunjukkan pengertian akan "tanpa-inti" yang sesungguhnya dengan mengumpamakan mahluk hidup sebagai sebuah [[kereta perang]] dan menantang raja Yunani "Milinda (Menaher) untuk menemukan inti dari kereta tersebut. Nagasena menyatakan sebagaimana sebuah kereta perang yang terbuat dari berbagai benda, tidak satupun daripadanya merupakan inti dari kereta perang sesungguhnya, tanpa bagian lain, sama seperti tidak adanya bagian dari seseorang yang merupakan suatu entitas sejati; kita dapat dibagi menjadi lima faktor pendukung - tubuh, perasaan, cerapan, bentukan mental dan kesadaran - kesadaran menjadi yang paling dekat dengan pengertian sejati akan "diri", tetapi senantiasa berubah dengan pemikiran baru sebagaimana disebutkan oleh pandangan ini.


Sementara ''anicca'' dan ''dukkha'' berlaku untuk "semua fenomena yang berkondisi" (''saṅkhārā''), ''anatta'' memiliki cakupan yang lebih luas karena berlaku untuk semua ''dhamma'' tanpa kualifikasi "berkondisi, tidak berkondisi".<ref name="Gombrich2008p209">{{cite book|author1=Richard Francis Gombrich|author2=Cristina Anna Scherrer-Schaub|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=U7_Rea05eAMC|title=Buddhist Studies|publisher=Motilal Banarsidass|isbn=978-81-208-3248-0|pages=209, for context see pp. 195–223}}</ref> Jadi, [[Nirwana]], sebagai realitas yang tidak berkondisi, juga merupakan keadaan bukan-Diri atau ''anatta''.<ref name="Gombrich2008p209" /> Frasa "''sabbe dhamma anatta''" mencakup [[Khandha|''khandha'']] (kelompok agregat, tumpukan) yang menyusun makhluk apa pun, dan keyakinan atas adanya "keakuan" adalah kesombongan yang harus disadari sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tanpa substansi, untuk mengakhiri semua ''dukkha''.<ref>{{cite book|author=Joaquín Pérez Remón|year=1980|url=https://books.google.com/books?id=OQ6svBmxAhEC|title=Self and Non-self in Early Buddhism|publisher=Walter de Gruyter|isbn=978-90-279-7987-2|pages=218–222, 234}}</ref>
Menurut beberapa pemikir baik Barat atau Timur, ajaran mengenai "tanpa-inti", dapat diartikan bahwa [[Agama Buddha]] merupakan suatu bentuk dari nihilisme atau sesuatu sejenis. Akan tetapi, seorang pemikir seperti [[Nagarjuna]] yang telah menjelaskan dengan saksama, [[Agama Buddha]] bukan semata-mata menolak pandangan akan keberadaan atau arti, tetapi kepada pembedaan keras dan gegabah antara keberadaan dan ketidak-beradaan, atau lebih antara ada atau tidak ada. Gejala tidaklah berdiri sendiri dari sebab dan kondisi dan tidak berada sebagai suatu hal yang diasingkan sebagaimana kita mengganggapnya demikian. Kurangnya kesejatian, ketidak-berubahan, Diri yang sejati pada mahluk hidup dan benda-benda tidak berarti bahwa mereka tidak mengalami pertumbuhan dan hancur pada taraf tertentu. Tetapi pada tingkat analisis yang lebih lanjut, seseorang tidak dapat mengenali sebuah objek dari sebab dan kondisinya atau bahkan mengenali antara objek dan subjek (sebuah pemikiran yang baru oleh para ilmuwan negara barat). [[Agama Buddha]] oleh karenanya memiliki banyak kesamaan dengan [[teori pengalaman]] (empirisme) negara Barat, [[paham pragmatis]], [[anti-fondamentalisme]], dan bahkan [[pra-strukturalisme]] dibandingkan dengan [[nihilisme]].


Ajaran ''anattā'' menolak adanya sesuatu yang permanen dalam diri seseorang yang dapat disebut Diri atau Roh; dan bahwa kepercayaan terhadap Diri atau Roh adalah sumber ''dukkha''.<ref>{{cite book|author=Peter Harvey|year=2012|url=https://books.google.com/books?id=u0sg9LV_rEgC|title=An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-0-521-85942-4|pages=57–62}}</ref><ref>{{cite book|author=Peter Harvey|year=2015|url=https://books.google.com/books?id=P_lmCgAAQBAJ|title=A Companion to Buddhist Philosophy|publisher=John Wiley & Sons|isbn=978-1-119-14466-3|editor=Steven M. Emmanuel|pages=34–37}}</ref> Namun, beberapa tradisi dan cendekiawan Buddhis menafsirkan bahwa ajaran ''anatta'' hanya berlaku untuk [[Khandha|lima kelompok unsur kehidupan]] dan bukan sebagai kebenaran universal, meskipun Buddha menegaskan hal ini dalam [[Dhammacakkappavattana Sutta|diskursus pertama-Nya]].<ref name="Selves">"Selves & Not-self: The Buddhist Teaching on Anatta", by Thanissaro Bhikkhu. Access to Insight (Legacy Edition), 30 November 2013, http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/selvesnotself.html {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20130204143026/http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/selvesnotself.html|date=2013-02-04}}.</ref><ref>{{Cite news|last=Bhikkhu|first=Thanissaro|title=There is no self.|url=https://tricycle.org/magazine/there-no-self/|work=Tricycle: The Buddhist Review|language=en-US|archive-url=https://web.archive.org/web/20180819114904/https://tricycle.org/magazine/there-no-self/|archive-date=2018-08-19|access-date=2018-08-19|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Thepyanmongkol|first=Phra|date=2009|url=https://books.google.com/books?id=juEsJjocNJoC&q=Some+translate+the+phrase+sabbe+dhamma+literally+as+%22all+phenomena%22+(both+compound+and+non-compound).+This+is+not+true.+According+to+Lord+Buddha's+Teaching+in+the+Dhammapada+Pali+text,+as+interpreted+by+the+original+arahant+commentators+and+by+the+most+recent+translators+(Carter+and+Palihawadana+1987)+2,+the+words+sabbe+dhamma|title=The Heart of Dhammakaya Meditation|publisher=Wat Luang Phor Sodh|isbn=9789748097534|pages=12|language=en}}</ref> Sarjana studi agama Alexander Wynne menyebut ''anatta'' sebagai ajaran “bukan-diri” alih-alih “tanpa-diri”.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Wynne|first=Alexander|date=2009|title=Early Evidence for the 'no self' doctrine?|url=http://ocbs.org/wp-content/uploads/2015/09/awynne2009atijbs.pdf|journal=Oxford Centre for Buddhist Studies|pages=63–64|archive-url=https://web.archive.org/web/20170602145336/http://ocbs.org/wp-content/uploads/2015/09/awynne2009atijbs.pdf|archive-date=2017-06-02|access-date=2017-04-22|url-status=live}}</ref>
Di dalam [[Nikaya]], [[Sang Buddha]] dan para pengikutnya sering kali mempertanyakan atau menyatakan "Sesuatu yang tidak sejati, dapat berubah, dapat menderita, yang sesuai untuk dipertimbangkan demikian: 'Inilah saya, ini milik saya, ini adalah diri saya'?" Pertanyaan yang diajukan oleh Sang Buddha kepada pendengarnya apakah gejala persenyawaan sesuai untuk dianggap sebagai diri, yang mana para pendengar setuju bahwa tidaklah berharga untuk dianggap demikian. Dan dalam melepaskan keterikatan akan gejala persenyawaan, orang yang demikian meninggalkan kegembiraan, keinginan dan pendambaan akan gejala persenyawaan dan tidak terikat akan perubahannya. Ketika terbebaskan sepenuhnya dari keterikatan, pendambaan atau keinginan akan lima kelompok, orang yang demikian mengalami, kemudian melampaui penyebab utama dari penderitaan.


== Penerapan ==
Dengan demikian, kebijaksanaan yang mendalam atau [[Prajna|prajñā]] akan tanpa-inti membangkitkan pelenyapan akan penderitaan, dan bukan merupakan debat intelektual akan ada tidaknya diri.
Dalam Buddhisme, [[ketidaktahuan]] (''[[Avijjā|avijja]]'', atau ''[[Moha (Buddhisme)|moha]]''; yaitu kegagalan untuk memahami realitas) atas tiga karakteristik keberadaan (trilaksana: ''anicca dukkha anatta'') dianggap sebagai [[Paṭiccasamuppāda|mata rantai pertama]] dalam keseluruhan proses [[Saṁsāra|samsara]], yang dengannya makhluk-makhluk tunduk pada keberadaan yang berulang dalam siklus ''dukkha'' yang tak berujung. Melenyapkan ketidaktahuan dengan [[kebijaksanaan]] atas tiga karakteristik keberadaan dikatakan akan mengakhiri samsara dan, sebagai hasilnya, ''dukkha'' itu sendiri (''dukkha nirodha'' atau ''nirodha sacca'', seperti yang dijelaskan sebagai Kebenaran Mulia Ketiga dalam [[Empat Kebenaran Mulia]]).


[[Siddhattha Gotama|Buddha Gotama]] mengajarkan bahwa semua makhluk yang berkondisi oleh sebab (''saṅkhāra'') memiliki sifat ketidakkekalan (''anicca'') dan penderitaan atau ketidakpuasan (''dukkha''); dan bahwa tanpa-atma, bukan-diri, atau bukan-roh (''anatta'') merupakan ciri semua fenomena apa pun (''dhamma''), yang berarti tidak ada "aku", "milikku", atau "milikku" baik dalam yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi (yakni [[Nibbāna]]).<ref>Nārada, The Dhammapada (1978), pp. 224.</ref><ref>{{cite book|last=Bodhi|first=Bhikkhu|year=2003|title=The Connected Discourses of the Buddha: A Translation of the Samyutta Nikaya|location=Somerville, MA|publisher=Wisdom Publications|isbn=978-0-86171-331-8|page=1457}}</ref> Ajaran tentang tiga corak keberadaan dalam [[Tripitaka Pāli|Tripitaka Pali]] diyakini berasal dari [[Siddhattha Gotama|Sang Buddha]] sendiri.<ref name="Gombrich2008p209" /><ref>Dhammapada Verses 277, 278 and 279.</ref><ref>{{cite book|author=Joaquín Pérez Remón|year=1980|url=https://books.google.com/books?id=OQ6svBmxAhEC|title=Self and Non-self in Early Buddhism|publisher=Walter de Gruyter|isbn=978-90-279-7987-2|pages=210–225}}</ref>
Hanya dengan memahami (bukan dengan pengertian pemikiran semata-mata, tetapi membuatnya menjadi pengalaman nyata) tiga corak umum keberadaan yang dikembangkan oleh seseorang yakni [[Prajna|prajñā]], yang merupakan penawar dari kebodohan yang merupakan akar dari seluruh penderitaan.

== Penafsiran oleh berbagai aliran ==
{{rapikan}}
Beberapa tradisi Agama Buddha menerangkan bahwa Anatta menjelaskan segalanya, dan tidak terbatas pada kepribadian, atau jiwa. Tradisi-tradisi ini menerangkan bahwa Nirwana juga memiliki kualitas yang sama dengan Anatta, akan tetapi [[Nirwana]] (menurut definisi) adalah lenyapnya Dukkha dan Anicca.

[[Nagarjuna]] mengatakan:
{{cquote|Tidak ada sedikit perbedaan pun antara Samsara dan Nirwana|4=[[Mulamadhyamakakarika]] (XXV:19)|5=}}

Ayat ini menunjukkan kita kepada penekanan penting antara dukkha dan nirwana, melalui suatu perdebatan berlandaskan pada anatta. Penekanan terperinci dapat dilihat sebagai suatu petunjuk kepada (dan mungkin sebagai sumber pengembangan akan) vajrayana.

:Jalur sutra ini melarang kita untuk mengenali seluruh dunia (baik internal maupun eksternal) sebagai samsara - perputaran tanpa henti akan penderitaan yang seorang-pun ingin menjadi bagian. Pelatihan kita adalah ''meninggalkan'' pantai samsara.

Di lain pihak, kita diberitahukan bahwa aktivitas tanpa kondisi yang tercerahkan sesungguhnya tidaklah berbeda dari samsara.

:Sedangkan mazhab [[Vajrayana]] melarang kita untuk mengenali seisi dunia sebagai nirwana - suatu kegiatan aktivitas yang mencerahkan tanpa henti yang diharapkan oleh semua orang untuk menjadi bagian. Pelatihan kita adalah ''tiba'' pada pantai nirwana.

Pada tingkat ini, perbedaan antara Sutra dan Vajrayana hanyalah merupakan pandangan (''berangkat'' - ''tiba''), tetapi pelaku pada dasarnya tetap terlibat dalam perkembangan transformatif akan pandangan duniawi-nya, dan dalam konteks ini, pelatihan-pelatihan ini tetapi mendasari perubahan [[psikologis]], perkembangan dasar akan [[Samatha]] atau pelatihan konsentrasi.

Akan tetapi, dalam [[Tantra]] terdapat pelatihan tertentu yang tidak semata-mata menyangkut perubahan psikologis; hal ini bergantung pada ide mendasar bahwa memungkinkan untuk merangsang konsentrasi tingkat tinggi melalui metode psikologis sebagai hasil dari latihan khusus. Tujuan ini tetaplah sama (untuk mencapai pandangan yang membebaskan), tetapi metode ini mencakup sebuah "jalan singkat" untuk pelatihan [[Samatha]].


== Catatan ==
<references group="note" />
== Referensi ==
== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist}}


== Lihat pula ==
=== Sumber-sumber ===
{{refbegin}}
* [[Buddhisme]]
<!-- A -->
{{Buddhisme-topik}}
* {{Citation|last=Alexander|first=James|year=2019|chapter=The State Is the Attempt to Strip Metaphor Out of Politics|editor-last=Kos|editor-first=Eric S.|title=Michael Oakeshott on Authority, Governance, and the State|publisher=Springer}}
* {{Citation|last=Analayo|year=2013|title=Satipatthana. The Direct Path to Realization|publisher=Windhorse Publications}}
<!-- B -->
* {{cite book|last=Beckwith|first=Christopher I.|year=2015|url=http://press.princeton.edu/chapters/s10500.pdf|title=Greek Buddha: Pyrrho's Encounter with Early Buddhism in Central Asia|publisher=[[Princeton University Press]]|isbn=9781400866328}}
<!-- M -->
<!-- M -->
* {{Citation|last=Monier-Williams|first=Monier|author-link=Monier Monier-Williams|year=1899|title=A Sanskrit-English Dictionary|location=London|publisher=Oxford University Press|url=http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/scans/MWScan/MWScanpdf/mw0483-dut.pdf}}
<!-- W -->
* {{Citation|last=Walsh|first=Maurice|year=1995|title=The Long Discourses of the Buddha. A Translation of the Dīgha Nikāya|publisher=Wisdom Publications}}
{{refend}}{{Buddhisme-topik}}


[[Kategori:Buddhisme]]
[[Kategori:Buddhisme]]

Revisi terkini sejak 22 Agustus 2024 17.09

Trilaksana, tilakkhaṇa (Pali), atau trilakṣaṇa (Sanskerta)—juga disebut sebagai tiga karakteristik atau tiga corak umum—merupakan konsep Buddhisme mengenai tiga ciri umum kenyataan keberadaan, yaitu anicca (ketidakkekalan), dukkha (umum diterjemahkan sebagai "penderitaan", "ketidakpuasan", "ketidaknyamanan"),[note 1] dan anatta (tanpa atma).[5][6][7][8][9] Ketiga ciri tersebut berlaku pada semua fenomena yang berkondisi (saṅkhāra). Ciri ketiga, yaitu anatta, juga menjadi ciri dari fenomena yang tidak berkondisi (Nirwana).

Konsep-konsep yang menyatakan bahwa manusia tunduk pada delusi atas tiga karakteristik keberadaan, delusi tersebut mengakibatkan penderitaan, dan penghapusan delusi tersebut mengakibatkan berakhirnya dukkha, merupakan tema sentral dalam Empat Kebenaran Mulia. Kebenaran mulia yang terakhir merujuk pada Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Deskripsi

[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa daftar “corak keberadaan” yang ditemukan dalam kitab-kitab suci aliran Buddhis awal.[10]

Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Tiga karakteristik

[sunting | sunting sumber]

Dalam tradisi Pali dari aliran Theravāda, tiga karakteristik atau corak tersebut adalah:[4][10][11][12]

  • sabbe saṅkhārā aniccā – semua saṅkhāra (fenomena berkondisi) adalah ketidakkekalan
  • sabbe saṅkhārā dukkhā – semua saṅkhāra adalah penderitaan, tidak memuaskan, tidak sempurna, atau tidak stabil
  • sabbe dhammā anattā – semua dhamma (fenomena berkondisi dan tidak berkondisi) tanpa-atma (tidak memiliki diri, roh, atau jiwa yang permanen).

Saṅkhāra vs dhamma

[sunting | sunting sumber]

Makhluk-makhluk dianggap tersusun atas agregat-agregat (khandha) yang bukan atma atau tanpa atma (anatta). Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan agregat (khandha) dalam skema:[13]

Kelompok Khandha (agregat) Abdhidhamma
dhamma
saṅkhāra
rūpa
(materi)
rūpa-
(materi)
28 rūpa
(materi)
nāma
(batin)
vedanā-
(perasaan)
52 cetasika
(faktor mental)
saññā-
(persepsi)
saṅkhāra-
(formasi mental)
viññāṇa-
(kesadaran)
89/121 citta
(kesadaran)
-
Nibbāna
(Nirwana)

Seluruh agregat (khandha) termasuk dalam kategorisasi saṅkhāra, sedangkan Nirwana tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup saṅkhāra dan asaṅkhāra (bukan saṅkhāra, seperti Nirwana) disebut sebagai dhamma.

Mahāyāna

[sunting | sunting sumber]

Tiga corak

[sunting | sunting sumber]

Aliran Sarvāstivāda dari Buddhisme Utara (nenek moyang aliran Mahāyāna) menjelaskan sebagai berikut dalam kitab Samyukta Agama mereka:[10][14]

  • Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal (sarvasaṃskārā anityāḥ)
  • Semua dharma adalah bukan-diri (sarvadharmā anātmānaḥ)
  • Nirvāṇa adalah ketenangan (śāntaṃ nirvāṇam)

Empat corak

[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab Ekottarika-āgama dan kitab-kitab Mahayana lainnya seperti Yogācārabhūmi-Śāstra dan Pertanyaan Nāga Raja Sāgara (Sāgaranāgarājaparipṛcchā), dijelaskan ada empat corak atau “empat segel Dharma” (Sanskerta: dharmoddāna-catuṣṭayaṃ atau catvāri dharmapadāni, Hanzi: 四法印) alih-alih tiga corak:[10][15][16]

  • Semua fenomena majemuk bersifat tidak kekal (anitya)
  • Semua fenomena yang terkontaminasi tidak memuaskan (duḥkha)
  • Semua fenomena tidak memiliki diri (anātman)
  • Nirwana adalah ketenangan/kedamaian (śānta/śānti)

Penjelasan

[sunting | sunting sumber]

Ketidakkekalan (Pali: anicca, Sanskerta: anitya) berarti bahwa semua hal atau fenomena yang berkondisi (saṅkhāra) berada dalam keadaan yang terus berubah. Buddhisme menyatakan bahwa semua peristiwa fisik dan mental muncul dan lenyap.[17] Kehidupan manusia merupakan perwujudan dari ketidakkekalan dalam proses penuaan dan siklus kelahiran dan kematian yang berulang (saṁsāra); tak ada yang abadi, dan semuanya dapat rusak. Ketidakkekalan juga berlaku bagi semua makhluk dan lingkungannya, termasuk makhluk yang terlahir di Alam Surga dan Alam Neraka.[18][19] Hal ini berbeda dengan Nirwana, yaitu realitas yang bersifat nicca, atau tidak mengenal perubahan, pembusukan, atau kematian.[20]

Dukkha (Sanskerta: duhkha) berarti "tidak memuaskan", umumnya diterjemahkan sebagai "penderitaan", "ketidakpuasan", atau "rasa sakit".[21][22][23] Mahasi Sayadaw menyebutnya sebagai 'tak terkelola, tak terkendali'.

Sebagai poin Kebenaran Mulia Pertama dalam Empat Kebenaran Mulia, dukkha dijelaskan sebagai ketidakpuasan fisik dan mental terhadap perubahan kondisi seperti kelahiran, penuaan, penyakit, kematian; bertemu apa yang ingin dihindari atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan; dan "singkatnya, lima kelompok unsur kelekatan" (khandha).[21][24][25]

Hubungan antara ketiga karakteristik tersebut dijelaskan dalam Tripitaka Pali sebagai berikut: "Sesuatu yang anicca adalah dukkha. Sesuatu yang dukkha adalah anatta (Saṁyutta Nikāya)." dan "Sesuatu yang anicca adalah dukkha (yakni tidak dapat dibuat bertahan lama). Sesuatu yang dukkha tidak kekal."

Anatta (Sanskerta: anatman) mengacu pada tanpa-atma, yaitu tidak adanya hakikat yang permanen dalam sesuatu atau fenomena, termasuk makhluk hidup.[26][27]

Sementara anicca dan dukkha berlaku untuk "semua fenomena yang berkondisi" (saṅkhārā), anatta memiliki cakupan yang lebih luas karena berlaku untuk semua dhamma tanpa kualifikasi "berkondisi, tidak berkondisi".[28] Jadi, Nirwana, sebagai realitas yang tidak berkondisi, juga merupakan keadaan bukan-Diri atau anatta.[28] Frasa "sabbe dhamma anatta" mencakup khandha (kelompok agregat, tumpukan) yang menyusun makhluk apa pun, dan keyakinan atas adanya "keakuan" adalah kesombongan yang harus disadari sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tanpa substansi, untuk mengakhiri semua dukkha.[29]

Ajaran anattā menolak adanya sesuatu yang permanen dalam diri seseorang yang dapat disebut Diri atau Roh; dan bahwa kepercayaan terhadap Diri atau Roh adalah sumber dukkha.[30][31] Namun, beberapa tradisi dan cendekiawan Buddhis menafsirkan bahwa ajaran anatta hanya berlaku untuk lima kelompok unsur kehidupan dan bukan sebagai kebenaran universal, meskipun Buddha menegaskan hal ini dalam diskursus pertama-Nya.[32][33][34] Sarjana studi agama Alexander Wynne menyebut anatta sebagai ajaran “bukan-diri” alih-alih “tanpa-diri”.[35]

Penerapan

[sunting | sunting sumber]

Dalam Buddhisme, ketidaktahuan (avijja, atau moha; yaitu kegagalan untuk memahami realitas) atas tiga karakteristik keberadaan (trilaksana: anicca dukkha anatta) dianggap sebagai mata rantai pertama dalam keseluruhan proses samsara, yang dengannya makhluk-makhluk tunduk pada keberadaan yang berulang dalam siklus dukkha yang tak berujung. Melenyapkan ketidaktahuan dengan kebijaksanaan atas tiga karakteristik keberadaan dikatakan akan mengakhiri samsara dan, sebagai hasilnya, dukkha itu sendiri (dukkha nirodha atau nirodha sacca, seperti yang dijelaskan sebagai Kebenaran Mulia Ketiga dalam Empat Kebenaran Mulia).

Buddha Gotama mengajarkan bahwa semua makhluk yang berkondisi oleh sebab (saṅkhāra) memiliki sifat ketidakkekalan (anicca) dan penderitaan atau ketidakpuasan (dukkha); dan bahwa tanpa-atma, bukan-diri, atau bukan-roh (anatta) merupakan ciri semua fenomena apa pun (dhamma), yang berarti tidak ada "aku", "milikku", atau "milikku" baik dalam yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi (yakni Nibbāna).[36][37] Ajaran tentang tiga corak keberadaan dalam Tripitaka Pali diyakini berasal dari Sang Buddha sendiri.[28][38][39]

  1. ^ Istilah ini mungkin berasal dari duh-stha, "berdiri tidak stabil".[1][2][3][4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Monier-Williams 1899, hlm. 483, entry note: .
  2. ^ Analayo (2013).
  3. ^ Beckwith (2015), hlm. 30.
  4. ^ a b Alexander (2019), hlm. 36.
  5. ^ Steven Collins (1998). Nirvana and Other Buddhist Felicities. Cambridge University Press. hlm. 140. ISBN 978-0-521-57054-1. 
  6. ^ Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change. 
  7. ^ Robert E. Buswell Jr.; Donald S. Lopez Jr. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. hlm. 42–43, 47, 581. ISBN 978-1-4008-4805-8. 
  8. ^ Carl Olson (2005). The Different Paths of Buddhism: A Narrative-Historical Introduction. Rutgers University Press. hlm. 63–4. ISBN 978-0-8135-3778-8. 
  9. ^ Anggara, Indra. "AN 3.136: Uppādāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  10. ^ a b c d Tse-fu Kuan 關則富, 'Mahāyāna Elements and Mahāsāṃghika Traces in the Ekottarika-āgama' in Dhammadina (ed.) Research on the Ekottarika-āgama (2013). Dharma Drum Publishing, Taipei.
  11. ^ Hahn, Thich Nhat (1999). The Heart of the Buddha's Teaching. New York: Broadway Books. hlm. 22. 
  12. ^ Walsh 1995, hlm. 30.
  13. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  14. ^ Thich Nhat Hanh, The Heart of the Buddha's Teaching
  15. ^ Ulrich Timme Kragh (editor), The Foundation for Yoga Practitioners: The Buddhist Yogācārabhūmi Treatise and Its Adaptation in India, East Asia, and Tibet, Volume 1 Harvard University, Department of South Asian studies, 2013, p. 144.
  16. ^ "The Questions of the Nāga King Sāgara (3) | 84000 Reading Room". 
  17. ^ Anicca Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013).
  18. ^ Damien Keown (2013). Buddhism: A Very Short Introduction. Oxford University Press. hlm. 32–8. ISBN 978-0-19-966383-5. 
  19. ^ Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 32–33, 38–39, 46–49. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  20. ^ Thomas William Rhys Davids; William Stede (1921). Pali-EnC. Motilal Banarsidass. hlm. 355, Article on Nicca. ISBN 978-81-208-1144-7. 
  21. ^ a b Peter Harvey (2015). Steven M. Emmanuel, ed. A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 26–31. ISBN 978-1-119-14466-3. 
  22. ^ Carol Anderson (2013). Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon. Routledge. hlm. 1, 22 with note 4. ISBN 978-1-136-81332-0. (...) the three characteristics of samsara/sankhara (the realm of rebirth): anicca (impermance), dukkha (pain) and anatta (no-self). 
  23. ^ Malcolm Huxter (2016). Healing the Heart and Mind with Mindfulness: Ancient Path, Present Moment. Routledge. hlm. 10. ISBN 978-1-317-50540-2. dukkha (unsatisfactoriness or suffering) (....) In the Introduction I wrote that dukkha is probably best understood as unsatisfactoriness. 
  24. ^ Malcolm Huxter (2016). Healing the Heart and Mind with Mindfulness: Ancient Path, Present Moment. Routledge. hlm. 1–10, Introduction. ISBN 978-1-317-50540-2. 
  25. ^ Bhikkhu Bodhi (2005). In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Simon and Schuster. hlm. 67–8. ISBN 978-0-86171-491-9. 
  26. ^ Anatta Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013).
  27. ^ [a] Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–3. ISBN 978-1-136-22877-3.  [b] Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN 978-0-521-85241-8. (...) anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps - the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering.  [c] Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. (...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon. 
  28. ^ a b c Richard Francis Gombrich; Cristina Anna Scherrer-Schaub (2008). Buddhist Studies. Motilal Banarsidass. hlm. 209, for context see pp. 195–223. ISBN 978-81-208-3248-0. 
  29. ^ Joaquín Pérez Remón (1980). Self and Non-self in Early Buddhism. Walter de Gruyter. hlm. 218–222, 234. ISBN 978-90-279-7987-2. 
  30. ^ Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 57–62. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  31. ^ Peter Harvey (2015). Steven M. Emmanuel, ed. A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 34–37. ISBN 978-1-119-14466-3. 
  32. ^ "Selves & Not-self: The Buddhist Teaching on Anatta", by Thanissaro Bhikkhu. Access to Insight (Legacy Edition), 30 November 2013, http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/selvesnotself.html Diarsipkan 2013-02-04 di Wayback Machine..
  33. ^ Bhikkhu, Thanissaro. "There is no self". Tricycle: The Buddhist Review (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-19. Diakses tanggal 2018-08-19. 
  34. ^ Thepyanmongkol, Phra (2009). The Heart of Dhammakaya Meditation (dalam bahasa Inggris). Wat Luang Phor Sodh. hlm. 12. ISBN 9789748097534. 
  35. ^ Wynne, Alexander (2009). "Early Evidence for the 'no self' doctrine?" (PDF). Oxford Centre for Buddhist Studies: 63–64. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-06-02. Diakses tanggal 2017-04-22. 
  36. ^ Nārada, The Dhammapada (1978), pp. 224.
  37. ^ Bodhi, Bhikkhu (2003). The Connected Discourses of the Buddha: A Translation of the Samyutta Nikaya. Somerville, MA: Wisdom Publications. hlm. 1457. ISBN 978-0-86171-331-8. 
  38. ^ Dhammapada Verses 277, 278 and 279.
  39. ^ Joaquín Pérez Remón (1980). Self and Non-self in Early Buddhism. Walter de Gruyter. hlm. 210–225. ISBN 978-90-279-7987-2. 

Sumber-sumber

[sunting | sunting sumber]