Lompat ke isi

Tuanku: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
VoteITP (bicara | kontrib)
stub
 
OrophinBot (bicara | kontrib)
 
(56 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Quote box
'''Tuanku''' adalah [[gelar]] yang diberikan kepada sejumlah orang di berbagai kebudayaan.
|align = right
|width = 20%
|quote = Elok nagari dek pangulu,<br/>elok tapian dek nan mudo,<br/>elok musajik dek tuanku,<br/>elok rumah dek bundo kanduang
|author =
|source =
}}
'''Tuanku''' atau '''Tuangku''' adalah gelar untuk pemimpin agama atau seorang [[Ulama Minangkabau|ulama terkemuka di Minangkabau]] yang dianggap telah menguasai ilmu agama Islam. Lazimnya, gelar ini diikuti nama daerah atau [[surau]] tempat ulama tersebut mengajar, seperti [[Tuanku Imam Bonjol]], [[Tuanku Lintau]], [[Tuanku Rao]], dan [[Tuanku Tambusai]]. Gelar tuanku mengalami masa jayanya di Minangkabau pada abad ke-18 dan 19. Saat itu, berpuluh-puluh surau dipimpin oleh tuanku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan agama.


Pasca-[[Perang Padri]], pemerintah Hindia Belanda mendemistifikasi penggunaan gelar Tuanku dengan memunculkan jabatan Tuanku Lareh (atau Angku Lareh), yang bertindak untuk menjembatani kepentingan Belanda dengan pribumi Minangkabau.
Tuanku dapat bermaksud gabungan dua kata ''Tuan'' dan ''Aku''. Sebelumnya kata ''Tuan'' ini berasal dari [[Bahasa Sansekerta]], ''Tuhan'', kemungkinan karena pengaruh [[Islam]], akhirnya pelafalanya disingkat menjadi ''Tuan''. Sebutan gelar ini dikenal di [[nusantara]], beberapa raja [[Melayu]] menyandang gelar ini sebagai panggilannya. [[Adityawarman]] disebut sebagai ''Surawasawan'' (Tuan Suruaso) seperti yang terdapat pada [[Prasasti Batusangkar]], dan juga disebut ''Tuhan Janaka'' bergelar Mantrolot Warmadewa sebagaimana terdapat dalam [[Pararaton]] dan [[Kidung Panji Wijayakrama]].


[[Kerajaan Negeri Sembilan]] sebagai kelanjutan [[Kerajaan Melayu]], saat ini masih menggunakan gelar ''Tuanku'' untuk gelar [[raja]] mereka.
Tuanku dapat pula merujuk pada gelar yang diberikan kepada raja (sultan) dan keturunannya dari pihak laki-laki. [[Kerajaan Negeri Sembilan]] sebagai kelanjutan [[Kerajaan Melayu]], saat ini masih menggunakan gelar ''tuanku'' untuk gelar raja mereka, seperti [[Tuanku Ja'afar]].


== Asal usul ==
{{stub}}
Kata ''tuan'' berasal dari [[Bahasa Sansekerta]], ''tuhan'', kemungkinan karena pengaruh [[Islam]], akhirnya pelafalanya disingkat menjadi ''tuan''. Sebutan gelar ini dikenal di [[Nusantara]], beberapa [[Kerajaan Melayu|raja Melayu]] menyandang gelar ini sebagai panggilannya. [[Adityawarman]] disebut sebagai ''Surawasawan'' (Tuan Suruaso) seperti yang terdapat pada [[Prasasti Batusangkar]], dan disebut pula ''Tuhan Janaka'' bergelar Mantrolot Warmadewa sebagaimana terdapat dalam [[Pararaton]] dan [[Kidung Panji Wijayakrama]].

Di daerah Kamang, tuanku dapat bermaksud gabungan dua kata ''tuan-aku,'' yang berarti panggilan kepada kakak laki-laki yang dihormati, sama dengan panggilan ''uwan'' di Padang Panjang atau ''uwo'' di Maninjau. Kepada mamak yang memangku jabatan penghulu ada yang memanggilnya mak tuan dan adakalanya berubah menjadi angku.

== Penggunaan ==
Penyebutan gelar tuanku untuk pemimpin agama awalnya berkembang di jemaah tarekat pada abad ke-17. Penggunaannya meluas pada masa [[Perang Padri]].

Tuanku merupakan panggilan penghormatan kepada ulama di Minangkabau karena menyebut nama orang yang dihormati adalah pantangan. Budayawan [[A.A. Navis|A. A. Navis]] menulis, pada umumnya setiap nagari hanya didapati seorang ulama, sehingga panggilan untuk mereka dipakailah gelar dan nama nagarinya, seperti Tuanku Lintau, Tuanku Rao, dan Tuanku Tambusai.{{sfn|A. A. Navis|1984|pp=29}} Akan tetapi, kalau terdapat lebih dari seorang ulama, gelar tuanku ditambah dengan karakteristik personal seperti Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Gapuak.{{sfn|Hamka|2017|p=184}}{{sfn|Azyumardi Azra|2017|p=19}}

== Hierarki gelar ==
Dalam hirarkri ulama tradisonal di Minangkabau, gelar tuanku berada di atas gelar "peto" dan "labai", yakni gelar untuk seseorang yang telah menguasai fikih, tarekat, dan ilmu hakikat. Seorang labai atau peto hanya diberi hak memimpin jemaahnya, dan belum berhak memimpin surau sendiri.{{sfn|Sjafnir Aboe Nain|2006|p=218}}

Terdapat gelar lainnya di bawah tuanku. Seorang murid yang telah bertahun-tahun belajar pada seorang tuanku dan dipercaya untuk memberikan bimbingan kepada murid-murid lainnya digelari malin. Seorang malin telah memiliki pengetahuan agama yang lebih luas dari murid-murid lainnya. Murid yang memiliki penguasaan dalam ilmu fikih diberi gelar ''pakih'' (atau fakih). Adapun murid yang telah menghafal Al-Quran diberi gelar ''kari''.{{sfn|Hamka|2015}}{{sfn|Sjafnir Aboe Nain|2006|p=218}}

Tingkatan di atas gelar tuanku adalah syekh, gelar tertinggi seorang ulama di Minangkabau, yakni [[guru besar]] para ulama. Gelar syekh diberikan oleh guru kepada muridnya secara beranting sebagai pengakuan ia telah mempunyai ilmu agama paripurna, seperti halnya Pono diberi gelar [[Burhanuddin Ulakan|Syekh Burhanuddin Ulakan]] oleh gurunya, [[Abdurrauf as-Singkili|Syekh Abdurrauf as-Singkili]].

== Tuanku Lareh ==
{{lihatpula|Lareh}}
Setelah kemenangan Belanda dalam [[Perang Padri]], Belanda berusaha memanfaatkan tatanan tradisional masyarakat Minangkabau dengan cara mengubah karakter dan bentuk lembaga-lembaga tradisional sesuai dengan kebutuhan Belanda. Hal ini dilakukan untuk membantu mereka memerintah di Sumatera Barat. [[Kerapatan Adat Nagari]] dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah; penghulu-penghulu di setiap nagari yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama, kini diharuskan memilih salah satu dari mereka untuk menjadi kepala nagari (''nagari hoofd''). Dengan mengangkat seseorang sebagai kepala nagari, Belanda memperkenalkan bentuk pemerintahan yang jauh lebih otoriter ke dalam pemerintahan nagari di Minangkabau.

Selain itu, penguasa kolonial Belanda mengubah pola federasi nagari-nagari (''lareh'' atau laras), yang tadinya merupakan aliansi longgar beberapa nagari yang berdasarkan pada prinsip saling menguntungkan, menjadi lembaga pemerintahan setingkat kecamatan yang dipimpin seorang kepala laras (''laras hoofd'') yang dipilih dari kepala-kepala nagari yang ada di kelarasan. Dengan demikian terbentuklah sebuah sistem pemerintahan yang hierarkis, yang sesuai dengan kenyataan, bahwa kekuasaan yang sesungguhnya kini terletak di tingkat tertinggi pemerintahan Sumatera Barat, yakni [[Pesisir Barat Sumatra#Daftar penguasa|residen]], tidak lagi di tingkat nagari.{{sfn|Kahin|2005|p=10}}

Dalam konteks ini, panggilan tuanku dipergunakan untuk kepala [[lareh]] dalam sistem birokrasi pemerintahan Belanda, sehingga menjadi Taunku Lareh (atau Angku Lareh).{{sfn|Jeffrey Hadler|2010}}

== Lihat pula ==
* [[Teungku]]

== Catatan kaki ==

=== Rujukan ===
{{reflist}}

=== Daftar pustaka ===
* {{cite book
|first1 =
|last1 = Hamka
|authormask = [[Hamka]]
|year = 2015
|orig-year = Terbit pertama kali pada 1950
|url = https://books.google.co.id/books?id=k57rCgAAQBAJ&pg=PT29&dq=peto+%22pendeta%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiSqNLd7N3mAhUXfH0KHTMACcQQ6AEIMTAB#v=onepage&q=peto%20%22pendeta%22&f=false
|title = Ayahku
|location = Selangor
|work =
|publisher = PTS Publishing House
|accessdate = 25 November 2020
|ISBN = 978-967-411-726-9
|ref = {{sfnRef|Hamka|2015}}
}}
* {{cite book
|first = Sjafnir
|last = Aboe Nain
|authormask = [[Sjafnir Aboe Nain]]
|year = 2006
|url = https://books.google.co.id/books?id=gfYMAQAAMAAJ&q=%22Tuanku+Luak,+Tuan+Konteler+*%22&dq=%22Tuanku+Luak,+Tuan+Konteler+*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjB8tSa893mAhXGZCsKHdOoC6YQ6AEIKzAA
|orig-year =
|title = Sirih Pinang Adat Minangkabau: Pengetahuan Adat Minangkabau Tematis
|publisher = Sentra Budaya
|ref = {{sfnRef|Sjafnir Aboe Nain|2006}}
|ISBN =
|location = Padang
}}
*{{Cite book
|url = http://worldcat.org/oclc/971526815
|title = Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau
|first = Jeffrey
|last = Hadler
|authormask = [[Jeffrey Hadler]]
|first =
|date = 2010
|publisher = Freedom Institute
|isbn = 978-979-19466-5-0
|location =
|oclc = 971526815
|ref = {{sfnRef|Jeffrey Hadler|2010}}
}}
*{{Cite book
|url = https://books.google.com/books?id=x6AiAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Tuanku+gelar+tradisional+yang+diberikan+kepada+ulama&q=Tuanku+gelar+tradisional+yang+diberikan+kepada+ulama&hl=en
|title = Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau
|first = A. A.
|last = Navis
|authormask = [[A.A. Navis]]
|first =
|date = 1984
|publisher = Grafiti Pers
|isbn =
|location = Jakarta
|oclc =
|ref = {{sfnRef|A. A. Navis|1984}}
}}
* {{cite book
|first1 =
|last1 = Hamka
|authormask = [[Hamka]]
|year = 2017
|orig-year = 1974
|url = https://books.google.com/books?id=dIXgDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA184&dq=gelar+%22Tuanku%22&hl=en
|title = Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao
|location = Jakarta
|work =
|publisher = Republika
|accessdate = 25 November 2020
|ISBN =
|ref = {{sfnRef|Hamka|2017}}
}}
* {{cite book
|first1 = Azyumardi
|last1 = Azra
|authormask = [[Azyumardi Azra]]
|year = 2017
|orig-year =
|url = https://books.google.com/books?id=8_q2DwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA19&dq=gelar+tuanku+%22tarekat%22&hl=en
|title = Surau: Pendidikan Islam Tradisi Dalam Transisi dan Modernisasi
|location = Jakarta
|work =
|publisher = Prenada Media
|accessdate = 25 November 2020
|isbn = 978-602-422-618-3
|ref = {{sfnRef|Azyumardi Azra|2017}}
}}
* {{cite book
|title = Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926–1998
|first = Audrey Richey
|last = Kahin
|authormask = [[Audrey R. Kahin]]
|year = 2005
|publisher = Yayasan Obor Indonesia
|ISBN = 979-461-519-6
|location = Jakarta
|ref = {{sfnRef|Kahin|2005}}
}}


[[Kategori:Gelar bangsawan Minangkabau]]
[[Kategori:Gelar bangsawan Minangkabau]]

Revisi terkini sejak 30 September 2023 06.12

Elok nagari dek pangulu,
elok tapian dek nan mudo,
elok musajik dek tuanku,
elok rumah dek bundo kanduang

Tuanku atau Tuangku adalah gelar untuk pemimpin agama atau seorang ulama terkemuka di Minangkabau yang dianggap telah menguasai ilmu agama Islam. Lazimnya, gelar ini diikuti nama daerah atau surau tempat ulama tersebut mengajar, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Lintau, Tuanku Rao, dan Tuanku Tambusai. Gelar tuanku mengalami masa jayanya di Minangkabau pada abad ke-18 dan 19. Saat itu, berpuluh-puluh surau dipimpin oleh tuanku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan agama.

Pasca-Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mendemistifikasi penggunaan gelar Tuanku dengan memunculkan jabatan Tuanku Lareh (atau Angku Lareh), yang bertindak untuk menjembatani kepentingan Belanda dengan pribumi Minangkabau.

Tuanku dapat pula merujuk pada gelar yang diberikan kepada raja (sultan) dan keturunannya dari pihak laki-laki. Kerajaan Negeri Sembilan sebagai kelanjutan Kerajaan Melayu, saat ini masih menggunakan gelar tuanku untuk gelar raja mereka, seperti Tuanku Ja'afar.

Asal usul

[sunting | sunting sumber]

Kata tuan berasal dari Bahasa Sansekerta, tuhan, kemungkinan karena pengaruh Islam, akhirnya pelafalanya disingkat menjadi tuan. Sebutan gelar ini dikenal di Nusantara, beberapa raja Melayu menyandang gelar ini sebagai panggilannya. Adityawarman disebut sebagai Surawasawan (Tuan Suruaso) seperti yang terdapat pada Prasasti Batusangkar, dan disebut pula Tuhan Janaka bergelar Mantrolot Warmadewa sebagaimana terdapat dalam Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama.

Di daerah Kamang, tuanku dapat bermaksud gabungan dua kata tuan-aku, yang berarti panggilan kepada kakak laki-laki yang dihormati, sama dengan panggilan uwan di Padang Panjang atau uwo di Maninjau. Kepada mamak yang memangku jabatan penghulu ada yang memanggilnya mak tuan dan adakalanya berubah menjadi angku.

Penggunaan

[sunting | sunting sumber]

Penyebutan gelar tuanku untuk pemimpin agama awalnya berkembang di jemaah tarekat pada abad ke-17. Penggunaannya meluas pada masa Perang Padri.

Tuanku merupakan panggilan penghormatan kepada ulama di Minangkabau karena menyebut nama orang yang dihormati adalah pantangan. Budayawan A. A. Navis menulis, pada umumnya setiap nagari hanya didapati seorang ulama, sehingga panggilan untuk mereka dipakailah gelar dan nama nagarinya, seperti Tuanku Lintau, Tuanku Rao, dan Tuanku Tambusai.[1] Akan tetapi, kalau terdapat lebih dari seorang ulama, gelar tuanku ditambah dengan karakteristik personal seperti Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Gapuak.[2][3]

Hierarki gelar

[sunting | sunting sumber]

Dalam hirarkri ulama tradisonal di Minangkabau, gelar tuanku berada di atas gelar "peto" dan "labai", yakni gelar untuk seseorang yang telah menguasai fikih, tarekat, dan ilmu hakikat. Seorang labai atau peto hanya diberi hak memimpin jemaahnya, dan belum berhak memimpin surau sendiri.[4]

Terdapat gelar lainnya di bawah tuanku. Seorang murid yang telah bertahun-tahun belajar pada seorang tuanku dan dipercaya untuk memberikan bimbingan kepada murid-murid lainnya digelari malin. Seorang malin telah memiliki pengetahuan agama yang lebih luas dari murid-murid lainnya. Murid yang memiliki penguasaan dalam ilmu fikih diberi gelar pakih (atau fakih). Adapun murid yang telah menghafal Al-Quran diberi gelar kari.[5][4]

Tingkatan di atas gelar tuanku adalah syekh, gelar tertinggi seorang ulama di Minangkabau, yakni guru besar para ulama. Gelar syekh diberikan oleh guru kepada muridnya secara beranting sebagai pengakuan ia telah mempunyai ilmu agama paripurna, seperti halnya Pono diberi gelar Syekh Burhanuddin Ulakan oleh gurunya, Syekh Abdurrauf as-Singkili.

Tuanku Lareh

[sunting | sunting sumber]

Setelah kemenangan Belanda dalam Perang Padri, Belanda berusaha memanfaatkan tatanan tradisional masyarakat Minangkabau dengan cara mengubah karakter dan bentuk lembaga-lembaga tradisional sesuai dengan kebutuhan Belanda. Hal ini dilakukan untuk membantu mereka memerintah di Sumatera Barat. Kerapatan Adat Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah; penghulu-penghulu di setiap nagari yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama, kini diharuskan memilih salah satu dari mereka untuk menjadi kepala nagari (nagari hoofd). Dengan mengangkat seseorang sebagai kepala nagari, Belanda memperkenalkan bentuk pemerintahan yang jauh lebih otoriter ke dalam pemerintahan nagari di Minangkabau.

Selain itu, penguasa kolonial Belanda mengubah pola federasi nagari-nagari (lareh atau laras), yang tadinya merupakan aliansi longgar beberapa nagari yang berdasarkan pada prinsip saling menguntungkan, menjadi lembaga pemerintahan setingkat kecamatan yang dipimpin seorang kepala laras (laras hoofd) yang dipilih dari kepala-kepala nagari yang ada di kelarasan. Dengan demikian terbentuklah sebuah sistem pemerintahan yang hierarkis, yang sesuai dengan kenyataan, bahwa kekuasaan yang sesungguhnya kini terletak di tingkat tertinggi pemerintahan Sumatera Barat, yakni residen, tidak lagi di tingkat nagari.[6]

Dalam konteks ini, panggilan tuanku dipergunakan untuk kepala lareh dalam sistem birokrasi pemerintahan Belanda, sehingga menjadi Taunku Lareh (atau Angku Lareh).[7]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ A. A. Navis 1984, hlm. 29.
  2. ^ Hamka 2017, hlm. 184.
  3. ^ Azyumardi Azra 2017, hlm. 19.
  4. ^ a b Sjafnir Aboe Nain 2006, hlm. 218.
  5. ^ Hamka 2015.
  6. ^ Kahin 2005, hlm. 10.
  7. ^ Jeffrey Hadler 2010.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]