Wira Tanu I: Perbedaan antara revisi
←Membuat halaman berisi '{{Infobox person | honorific_prefix = | name = Dalem Cikundul | honorific_suffix = | native_name = Rd. Aria Wira...' |
menambahkan informasi terkait Raja Gagang |
||
(84 revisi perantara oleh 40 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Infobox |
{{Infobox officeholder |
||
| |
| honorific-prefix = Raden Aria |
||
| name |
| name = Wira Tanu I |
||
| |
| nationality = |
||
| |
| image = |
||
| |
| office = Bupati Cianjur |
||
| |
| order = 1 |
||
| term_start = 1677 |
|||
| birth_place = [[Sagalaherang, Subang]], [[Jawa Barat]] |
|||
| |
| term_end = 1691 |
||
| |
| vicepresident = |
||
| |
| predecessor = |
||
| |
| successor = [[Wira Tanu II]] |
||
| |
| order2 = |
||
| |
| term_start2 = |
||
| |
| term_end2 = |
||
| |
| president2 = |
||
| |
| predecessor2 = |
||
| |
| term_start3 = |
||
| |
| term_end3 = |
||
| |
| president3 = |
||
| successor3 = |
|||
| birth_date = 1603 |
|||
| birth_place = Padaleman Sagaraherang, [[Kabupaten Subang|Subang]] |
|||
| death_date = 1691 |
|||
| death_place = Cikundul, [[Cikalongkulon, Cianjur]] |
|||
| party = |
|||
| parents = Raden Aria [[Wangsa Goparana]] |
|||
| spouse = |
|||
| children = Wiramangala<br>Martayuda Tirta<br>Natadimanggala<br>Wiradimanggala<br>Suriadiwangsa<br>Nyi Mas Kaluntar<br>Nyi Mas Karangan<br>Nyi Mas Bogem<br>Nyi Mas Kara<br>Nyi Mas Jenggot |
|||
| profession = [[Raja]], [[Senapati]], [[Ulama]] |
|||
| signature = |
|||
}} |
}} |
||
⚫ | |||
'''Dalem Cikundul''' |
|||
'''Raden Aria Wira Tanu''' '''I''' adalah seorang dalem (kepala nagari) yang mendirikan kabupaten [[Cianjur]] di abad ke-17. Ia bernama asli '''Jayasasana''' atau '''Jayalalana'''. Wira Tanu I juga dijuluki sebagai '''Dalem Cikundul''' dikarenakan pernah menjadi dalem di daerah Cikundul (sekarang [[Cikalongkulon, Cianjur|Cikalongkulon]]). |
|||
== Kehidupan Awal == |
|||
(Raden Djayasasana Aria Wiratanudatar Dalem Cikundul) |
|||
Raden Jayasasana adalah putra dari Raden Aria [[Wangsa Goparana]] yang berasal dari [[Sagalaherang, Subang]]. Berdasarkan silsilah, Raden Aria [[Wangsa Goparana]] merupakan anak dari [[Sunan Wanaperih]] (Raden Aria Kikis) yang merupakan raja dari [[Kerajaan Talaga Manggung]] (sekarang [[Kabupaten Majalengka|Majalengka]]), anak dari Raden Ragamantri alias Sunan Parung Gangsa/Prabu Pucuk Umum, anak dari Munding Sari Ageung. Munding Sari merupakan salah satu cicit dari [[Prabu Siliwangi]] yang ketika runtuhnya Kerajaan Sunda pada tahun 1579 memilih untuk kabur ke daerah Talaga tepatnya di kaki [[Gunung Ceremai]]. |
|||
Di masa mudanya, Raden Aria Wangsa Goparana berkelana dan sampai di kampung Nangkabeurit yang sekarang masuk wilayah kecamatan Sagalaherang, [[Kabupaten Subang]]. Di sana ia mendirikan sebuah desa dan menjadi dalem (kepala nagari). Raden Aria Wangsa Goparana memiliki delapan orang anak yaitu: |
|||
⚫ | |||
# Jayasasana |
|||
# Wiradiwangsa |
|||
# Candramangala |
|||
# Santaan Kumbang |
|||
# Yudanagara |
|||
# Nawing Candradirana |
|||
# Santaan Yudanagara |
|||
# Nyi Murti |
|||
Jayasasana sebagai putra pertama Raden Aria Wangsa Goparana terkenal sebagai seorang yang ahli ibadah dan menuntut ilmu. Jayasasana pun disebutkan sering berkhalwat (bertapa) untuk merenung dan bertafakur di tempat-tempat sunyi. Menurut legenda, suatu waktu ketika Jayasasana sedang bertapa, ia kedatangan [[jin]] muslim yang berwujud gadis cantik. Jin ini tertarik dengan Jayasasana dan kemudian mereka menikah serta memiliki tiga orang anak, yaitu Suryakancana, Indang Kancana atau Indang Sukaesih dan Andaka Wirasujagat.<ref name="Sajarah Cianjur"/> |
|||
R Aria Wiratanudatar Bin Aria Wangsa Gopa-rana lahir di Sagalaherang |
|||
[[Subang]][[Jawa Barat]] pada pertengahan abad ke 17, atau sekitar tahun,1603 yang kemudian terkenal dengan nama Dalem Cikundul.beliau adalah Pendiri Cianjur dan sekaligus menjadi Bupati pertana cianjur |
|||
== |
== Pendirian Nagari Cikundul == |
||
=== Kepala Masyarakat === |
|||
Setelah dewasa, Jayasasana diberikan tanggungjawab oleh ayahnya Dalem Sagalaherang berupa 100 orang rakyat (cacah). Menurut sistem feodalisme saat itu, kekuasaan seorang bangsawan ditentukan oleh banyaknya rakyat yang dipimpin (populasi) bukan berdasarkan tanah (luas wilayah). Karena semakin banyak rakyat, maka akan semakin banyak pula wilayah yang ditempati oleh rakyatnya itu. |
|||
Bersama keseratus orang itu, Jayasasana kemudian mencari tempat bermukim baru ke daerah pedalaman [[Jawa Barat]] saat ini dan sampailah ke daerah sungai Cikundul yang sekarang berada di wilayah kecamatan Cikalongkulon. Di sana mereka mulai bermukim dan membuka lahan baru. Rakyat Jayasasana hidup secara berpencar, tidak bermukim di satu tempat tetapi kebanyakan bermukim di daerah [[Cijagang, Cikalongkulon, Cianjur|Cijagang]] karena disanalah Jayasasana berada. Beberapa tempat yang dihuni oleh rakyat Jayasasana diantaranya terletak di tepian sungai seperti di Cibalagung dan [[Cirata]].<ref>{{Cite book|date=1986|url=https://books.google.com/books?id=ZvdRAQAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Jayasasana+Cijagang&q=Jayasasana+Cijagang&hl=en|title=Wajah pariwisata Jawa Barat|publisher=Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingket I Jawa Barat|isbn=978-979-8075-00-1|language=id}}</ref> |
|||
Rd.Aria Wiratanudatar waktu kecil bernama Pangeran Jayalalana atau R. Ngbehi Jayasasana. Ayahnya, Raden Aria Wangsagoparana yang juga masih keturunan raja Talaga, waktu berusia 8 tahun R. Aria Wiratanudatar mesantren di Cirebon mendalami ilmu agama Islam. Ia adalah seorang santri yang paling menonjol dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan dan ilmu pemerintahan, sehingga oleh kesultanan Cirebon diberi gelar Aria sebagai tanda anggota kerabat keraton. Setelah dewasa ia diminta oleh gurunya mendirikan Kadipaten di Cinengah, gunanya untuk menangkal serangan dari kerajaan Pajajaran sambil menyebarkan agama Islam. Menyebarkan agama Islam di tengah masyarakat kita yang waktu itu beragama Hindu dan Budha bukal hal gampang. Tantangan dan hambatan datang dari berbagai sudut, termasuk dari kerajaan Pajajaran sendiri. Tapi berkat kepiawaiannya sedikit demi sedikit beliau bisa juga merangkul masyarakat sekitar untuk memeluk agama Islam. |
|||
Meskipun tempat tinggalnya terpencar, mereka masih berada dalam satu kesatuan masyarakat ([[Bahasa Belanda|Belanda]]: ''Volksgemeenschap'') di bawah pimpinan Jayasasana. Berdasarkan hukum sosiologi mengenai pembentukan masyarakat, dalam kesatuan rakyat Jayasasana akhirnya lahir tata cara dan aturan bermasyarakat yang harus dipatuhi oleh semua rakyat Jayasasana. Tata cara di setiap masyarakat memiliki sifat bersatu sehingga dalam setiap kesatuan masyarakat juga ditemukan suatu kesatuan hukum (''Rechtsgemenschap''). |
|||
Bahkan sejarah Cianjur mencatat sebagai salah seorang dari sekian ulama yang berhasil menyebarkan Islam di wilayah itu. Satu hal menarik mengenai pribadi RA. Wiratanudatar Cikundul, dalam catatan sejarah pernah ditulis bahwa beliau pernah bertapa selama 40 hari 40 malam. Tafakur mendekatkan diri pada Allah SWT di batu agung, tinaragung, Sagalaherang. RA. Wiratanudatar didatangi dan digoda putrid Jin yang sangat cantik putera dari raja jin Islam bernama Syech Jubaedi. 3 puteri jin itu bernama Arum Cahaya, Arum wangi, Arum Endah dan pengasuhnya bernama Arum Paka. Karena kekhusuan RA. Wiratanudatar, putrid paling bungsu, Arum Endah, tertarik dan jatuh cinta kepada RA. Wiratanudatar. Akhirnya sang putri Jin menikah dan melahirkan 3 orang putera bernama Rd. Suryakencana, Rd. Andaka Wirusajagat dan Rd Endang Sukaesih. Sementara itu dari manusia biasa Rd. Aria Wiratanudatar mempunyai 11 orang putera. Setelah runtuhnya kerajaan Pajajaran ia mengembara ke daerah Cianjur menyusuri kali Citarum dengan membawa anak buahnya sebanyak 300 umpi. Setiap tempat disinggahinya sambil menyebarkan agama Islam dan ia pernah bertemu dengan Rd. H Abdulsyukur, Kiai G. Wayang. |
|||
Tugas utama seorang kepala masyarakat seperti Jayasasana adalah mengatur kehidupan dan menegakkan hukum yang berlaku. Selain daripada itu, ia juga bertugas untuk melindungi rakyatnya jika ada keributan, perampokan atau serangan dari wilayah lain. Sehingga kepala masyarakat saat itu lebih tepat disebut sebagai panglima atau senapati dan bukan disebut sebagai dalem. Begitu pun masyarakat Jayasasana yang saat itu masih berada dalam tahap kesenapatian. Secara ''de jure'' karena runtuhnya [[Kerajaan Sunda]] yang beribu kota di [[Pakuan Pajajaran]], sebenarnya wilayah yang saat itu ditempati oleh rakyat Jayasasana berada di bawah kekuasaan [[Kesultanan Banten]],<ref>{{Cite book|last=Sanusi|first=Anwar|last2=Arif|first2=Faisal|last3=Hasyim|first3=Rafan S.|date=2022-12-26|url=https://books.google.com/books?id=8KWkEAAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA41&dq=citarum+banten+cirebon&hl=en|title=PERUBAHAN EKSISTENSI SUNGAI DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KOTA CIREBON PADA MASA HINDIA BELANDA TAHUN 1900-1942|publisher=Yayasan Wiyata Bestari Samastra|isbn=978-623-8083-13-8|language=id}}</ref> Namun secara ''de facto'' berada di bawah kekuasaan [[Kesultanan Mataram]] setelah raja [[Rangga Gempol I|Kusumadinata III]] dari [[Kerajaan Sumedang Larang|Sumedang Larang]] menyatakan bergabung dengan Mataram di tahun 1620.<ref>{{Cite book|last=Gani|first=Lutfi Abdul|date=2020-03-01|url=https://books.google.com/books?id=LmfeDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA14&dq=Kusumadinata+Mataram+1620&hl=en|title=Ki Luluhur Rekam Jejak Sejarah Raden Aria Wangsakara|publisher=Deepublish|isbn=978-623-02-0863-8|language=id}}</ref> Dikarenakan rakyat Jayasasana yang para leluhurnya berasal dari Talaga yang saat itu menjadi bagian Cirebon, maka dalam beberapa catatan-catatan VOC rakyat Jayasasana sering disebut sebagai rakyat Cirebon.<ref name="Sajarah Cianjur"/> |
|||
== Bupati Pertama == |
|||
=== Menjadi Dalem dan Mendapat Gelar Wira Tanu === |
|||
Setelah sampai di daerah Cianjur ia merintis untuk mendirikan kota CIanjur dan menjadi Dalem pertama Kadipaten Cianjur dengan wilayah kekuasaan sebagian wilayah Bogor dan Sukabumi. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer). |
|||
Runtuhnya [[Kerajaan Sunda]] menyebabkan beberapa daerah merdeka dan menyebabkan beberapa kerajaan berusaha mengklaim bekas wilayahnya termasuk [[Kesultanan Banten]] di bawah [[Tirtayasa dari Banten|Sultan Tirtayasa]] yang mengklaim seluruh bekas wilayah Sunda sebagai wilayah Banten.<ref name=":0">{{Cite web|date=2022-07-23|title=Hikayat Cianjur: Berawal dari Kadaleman Cikundul, Pernah Diincar Kesultanan Banten|url=https://www.merdeka.com/histori/hikayat-cianjur-berawal-dari-kadaleman-cikundul-pernah-diincar-kesultanan-banten.html|website=merdeka.com|language=en|access-date=2023-06-26}}</ref> Dalam rangka menegakkan klaimnya, Sultan Tirtayasa kemudian menyelenggarakan serangkaian kampanye militer untuk menaklukan wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada klaimnya. Untuk mengatasi kampanye militer Banten, Mataram dibawah sultan [[Amangkurat I]] kemudian memperkuat pertahanan, diantaranya adalah di wilayah Cimapag yang saat itu termasuk ke dalam wilayah tanggungjawab Jayasasana. Maka Mataram kemudian mengangkat Jayasasana sebagai senapati atau panglima dengan gelar Wira Tanu (Wira Tanu artinya panglima atau senapati). |
|||
Lokasi yang pertama kali dipilihnya adalah sekitar kp. Pamoyanan, tepat di tepi Sungai cianjur, disana lah Dalem Cikundul mendirikan Pemerintahan, dengan membangun pendopo sebagai tempat atau pusat Pemerintahan, yang hingga kini gedung tersebut masih kokoh berdiri. masa pemerintahan Bupati Rd. Aria Wiratanudatar I ini antara tahun 1677 - 1691 Masehi, setelah itu Pemerintahan di turunkan kepada Putra Pertama nya dari keturunan Manusia, (karena Dalem Cikundul Konon memiliki 2 Istri dari Bangsa Jin,)<ref>Suryakancana</ref>[http://biografiparasufi.wordpress.com/2011/08/09/raden-haji-suryakencana-putra-pangeran-aria-wiratanudatar/], yang bernama Rd. Aria Wiramanggala, Atau dalem Tarikolot, bergelar [[Aria Wiratanu Datar II]]. dan memerintah dari tahun 1691 - 1707 Masehi. |
|||
Dalam masa genting seperti itu, beberapa kesatuan masyarakat yaitu: |
|||
# Cipamingkis di bawah pimpinan Nalamerta; |
|||
# Cimapag di bawah pimpinan Nyiuh Nagara; |
|||
# Cikalong di bawah pimpinan Wangsa Kusumah; |
|||
# Cibalagung di bawah pimpinan Natamanggala; |
|||
# [[Cihea]] di bawah pimpinan Wastu Nagara; dan |
|||
# Cikundul di bawah pimpinan Jayasasana dengan gelar Wira Tanu |
|||
Bersepakat untuk menyatakan bahwa wilayahnya bersatu menjadi satu negeri dan sepakat untuk mengangkat Jayasasana (yang sudah mendapat gelar Wira Tanu) untuk menjadi dalem. Karena sudah diangkat sebagai dalem (tidak lagi hanya senapati) Wira Tanu kemudian menggunakan gelar Aria, sehingga nama lengkapnya menjadi Raden Aria Wira Tanu.<ref name=":0" /> |
|||
Berbeda dengan [[Bandung]] atau [[Sumedang]], Cianjur merupakan [[kabupaten]] yang pernah berdiri sendiri (merdeka) meskipun secara ''de jure'' masih di bawah [[Mataram]]. Ini terjadi karena adanya [[Pemberontakan Trunajaya]] di tahun 1674 yang menyebabkan Mataram kehilangan kendali atas wilayah-wilayahnya yang jauh seperti wilayah yang dipimpin oleh Wira Tanu. Cianjur lalu secara ''de jure'' menjadi bagian dari wilayah [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|VOC]] setelah adanya [[Perjanjian Jepara|perjanjian]] antara VOC dengan Mataram yang menyatakan pengakuan Mataram terhadap wilayah VOC yang meliputi tepian timur sungai [[Cisadane]] dan tepian barat sungai [[Citarum]] di tanggal 19-20 Oktober 1677, dengan imbalan bantuan tentara dan persenjataan dari VOC untuk menaklukan Trunajaya.<ref name="Sajarah Cianjur"/><ref name=":1">{{Cite book|last=Sasmita|first=Saleh Dana|last2=Padmadisastra|first2=Sulaiman|last3=Johansyah|first3=Inci|date=1985|url=https://books.google.com/books?id=KZoiAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Perjanjian+Mataram+Cisadane+Citarum&q=Perjanjian+Mataram+Cisadane+Citarum&hl=en|title=Geografi budaya dalam wilayah pembangunan daerah Jawa Barat|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah|language=id}}</ref> |
|||
=== Penentuan Hari Jadi Cianjur === |
|||
Seperti telah diketahui, Cianjur pada awalnya adalah wilayah Mataram setelah Sumedang Larang bergabung dengan Mataram. Pada tahun 1674-1677 bisa disebutkan sebagai 3 tahun kemerdekaan dari kekuasaan Mataram, dikarenakan pada tahun 1674 kendali Mataram atas wilayah-wilayahnya sudah melemah karena fokus berperang dengan Trunajaya, sedangkan pada tahun 1677 Mataram secara yuridis telah mengakui wilayah di antara sungai Cisadane-Citarum sebagai wilayah VOC.<ref name=":1" /> Namun karena keterbatasan VOC, VOC belum bisa menjajah wilayah yang didapatnya dari Mataram secara intensif. Jadi meskipun secara de facto wilayah tersebut merdeka tetapi setelah tahun 1677 secara de jure status wilayah Wira Tanu adalah jajahan VOC. |
|||
Pada tanggal 2 Juli 1677, [[Raden Trunajaya|Trunojaya]] menyerbu [[Keraton Plered|istana Plered]] dan [[Amangkurat I]] kabur bersama putranya [[Amangkurat II|Mas Rahmat]]. Peristiwa ini dijadikan titik tolak lepasnya wilayah-wilayah Mataram secara de facto. Berita penyerbuan Trunajaya ini baru sampai ke Cianjur pada tanggal 12 Juli 1677, sehingga secara de facto pada tanggal 12 Juli 1677 Cianjur merdeka dari Mataram.<ref name=":2">{{Cite web|last=Ikhsan|first=Muhammad|date=2021-07-12|title=Kenapa Hari Jadi Cianjur Pada 12 Juli? Begini Penjelasan Sejarahnya - Ayo Bandung|url=https://www.ayobandung.com/regional/pr-79729096/kenapa-hari-jadi-cianjur-pada-12-juli-begini-penjelasan-sejarahnya|website=Kenapa Hari Jadi Cianjur Pada 12 Juli? Begini Penjelasan Sejarahnya - Ayo Bandung|language=id|access-date=2023-06-26}}</ref> |
|||
Kemerdekaan yang dicapai sebenarnya hanya de facto karena secara de jure, daerah Parahyangan sebelah barat sungai Citarum menjadi wilayah VOC berdasarkan perjanjian tanggal 19-20 Oktober 1677. Namun karena VOC belum mampu mengelola daerah jajahannya sehingga Wira Tanu pada waktu itu berhasil menjadi dalem secara mandiri tanpa diangkat oleh VOC maupun oleh raja/sultan yang lain. Sehingga menurut catatan VOC/Belanda, bupati daerah Cianjur yang pertama bukanlah Wira Tanu I tetapi anaknya yaitu Wira Tanu II.<ref name="Sajarah Cianjur"/><ref>{{Cite web|last=Pos|first=Djava|title=Aria Wiratanu II Bupati Cianjur Pertama yang Mendapat Pengakuan VOC|url=http://www.djavapos.com/2020/11/aria-wiratanu-ii-bupati-cianjur-pertama.html|website=djavapos|access-date=2023-06-26}}</ref> |
|||
== Masa Senja == |
== Masa Senja == |
||
Setelah lanjut usia |
Setelah lanjut usia Wira Tanu menetap di kampung Majalaya dan mendirikan pondok pesantren untuk menyiarkan Islam sampai ia wafat sekitar tahun 1691 Masehi dan dimakamkan di Cikalongkulon. Ia meninggalkan putra-puteri sebanyak 11 orang yaitu:<ref name="silsilah keturunan">{{Cite web|title=Salinan arsip|url=http://urangcianjur.weebly.com/sejarah.html|archive-url=https://web.archive.org/web/20120503044426/http://urangcianjur.weebly.com/sejarah.html|archive-date=2012-05-03|dead-url=no|access-date=2012-05-03}}</ref> |
||
# Raden Aria Wiramangala yang kemudian menjadi penerusnya sebagai [[Wira Tanu II]] |
|||
*1. Dalem Aria wiramanggala. |
|||
# Raden Aria Martayuda |
|||
# Raden Aria Tirta |
|||
# Raden Aria Natadimanggala bergelar Dalem Aria Kidul |
|||
# Raden Aria Wiradimanggala bergelar Dalem Cikondang |
|||
# Raden Aria Suradiwangsa |
|||
# Nyi Mas Kaluntar |
|||
# Nyi Mas Karangan |
|||
# Nyi Mas Bogem |
|||
# Nyi Mas Kara |
|||
# Nyi Mas Jenggot |
|||
Wira Tanu II pada 10 Desember 1691 memindahkan pusat pemerintahan dari Cikundul ke [[Pamoyanan, Cianjur, Cianjur|Pamoyanan]], dimana ia membangun kediamannya di tepian sungai [[Ci Anjur]], sehingga wilayah yang dipimpinnya dikenal dengan nama Cianjur.<ref name=":0" /><ref name=":2" /> |
|||
== Gelar Raja Gagang == |
|||
Beliau Juga memiliki seorang istri dari bangsa jin Islam, dan memiliki tiga orang putra-putri, yaitu |
|||
Beberapa sumber menyatakan bahwa Wira Tanu I memiliki gelar Raja Gagang<ref>{{Cite web|date=2024-02-10|title=Aria Wiratanu Cikundul (Raja Sunda Gagang Cikundul)|url=https://www.geni.com/people/Aria-Wiratanu-Cikundul-Raja-Sunda-Gagang-Cikundul/6000000003693972066|website=geni_family_tree|language=id|access-date=2024-09-10}}</ref><ref>{{Cite web|last=One|first=Tren|date=2024-03-11|title=DEKLASARI CALON BUPATI CIANJUR|url=https://www.therealnewsone.com/berita/3401-deklasari-calon-bupati-cianjur|website=therealnewsone.com|language=en|access-date=2024-09-10}}</ref>. Gelar ini konon didapatkan dari wilayah-wilayah bawahan Pajajaran yang ingin dipersatukan kembali, lalu mengangkat sosok Raja Gagang<ref>{{Cite web|date=2023-04-08|title=Peristiwa Ratu Rujuh dan Raja Gagang Adalah Bagian Sejarah Garut Selatan untuk Lahirnya Ratu Sunda|url=https://yayasan-snr.or.id/2023/04/08/peristiwa-ratu-rujuh-dan-raja-gagang-adalah-bagian-sejarah-garut-selatan-untuk-lahirnya-ratu-sunda/|website=YAYASAN SALATINA NASABA RAYYA|language=id|access-date=2024-09-10}}</ref>. Sumber yang dirujuk terkait keberadaan Raja Gagang ini adalah catatan De Haan dalam buku ''Priangan''<ref>{{Cite web|title=November 2019: Four volumes 'Priangan' digital available|url=https://www.cortsfoundation.org/news/180-november-2019-four-volumes-priangan-digital-available|website=www.cortsfoundation.org|access-date=2024-09-10}}</ref>. Namun, tafsiran terkait konteks siapa Raja Gagang yang dimaksud tampaknya perlu ditinjau ulang.<ref>{{Cite web|date=2023-12-07|title=Siapakah Raja Gagang dalam Laporan Scipio? – iNurwansah|url=https://inurwansah.my.id/2023/12/07/siapakah-raja-gagang-dalam-laporan-scipio/|language=id|access-date=2024-09-10}}</ref> |
|||
*1. Raden Eyang Surya-kancana. yang hingga sekarang dipercayai bersemayam di Gunung Gede atau hidup di alam jin. |
|||
*2. Nyi Mas Endang Kancana alias Endang Sukaesih alias Nyai Mas Kara, bersemayam di Gunung Ceremai, |
|||
*3. R. Andaka Warusaja-gad (tetapi ada juga yang menyebutkan bukan putra, tetapi putri bernama Nyai Mas Endang Radja Mantri bersemayam di Karawang).<ref>Dalem Cikundul</ref> [http://majeliscintarasul.blogspot.com/2012/04/biografi-raden-aria-wiratanudatar-dalem.html] |
|||
== Bantahan terhadap pernikahan dengan jin == |
|||
Bertitik tolak dari situlah, Dalem Cikundul sebagai leluhurnya sebagian masyarakat Cianjur, yang tidak terlepas dari berdirinya pedaleman (kabupaten) Cianjur.<ref>kabupaten cianjur</ref>[http://cianjurkab.go.id/] |
|||
Ada versi lain yang menyatakan bahwa sebenarnya R. A. Wira Tanu I tidak menikah dengan jin tetapi menikah dengan seorang wanita yang berasal dari [[India]]. Karena kecantikannya dan langkanya orang-orang zaman itu melihat orang India, maka banyak yang berspekulasi bahwa wanita yang dinikahi oleh Wira Tanu adalah jin. Apalagi setelah anak-anaknya dibawa oleh ibunya dan diberitakan hilang.{{cn}} |
|||
== Referensi == |
== Referensi == |
||
=== Catatan Kaki === |
|||
{{reflist}} |
{{reflist|30em}} |
||
== Pranala Luar == |
|||
{{clr}} |
|||
*{{id}} [http://urangcianjur.weebly.com/sejarah.html] |
|||
{{kotak mulai}} |
|||
*{{id}} [http://cianjurkab.go.id/ ] |
|||
{{s-off}} |
|||
*{{id}} [http://menguaksejarahnusantara.blogspot.com/2010/08/silsilah-cikundul-cianjur.html] |
|||
{{S-new|office}} |
|||
{{S-ttl|title=[[Bupati Cianjur]]|years=1681–1691}} |
|||
{{s-aft|after=[[Wira Tanu II]]}} |
|||
{{Kotak_selesai}} |
|||
[[Kategori:Bangsawan Sunda]] |
|||
[[Kategori:Tokoh dari Subang]] |
|||
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]] |
|||
[[Kategori:Tokoh dari Cianjur]] |
|||
[[Kategori:Ulama Sunda]] |
Revisi terkini sejak 10 September 2024 08.57
Raden Aria Wira Tanu I | |
---|---|
Bupati Cianjur 1 | |
Masa jabatan 1677–1691 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1603 Padaleman Sagaraherang, Subang |
Meninggal | 1691 Cikundul, Cikalongkulon, Cianjur |
Anak | Wiramangala Martayuda Tirta Natadimanggala Wiradimanggala Suriadiwangsa Nyi Mas Kaluntar Nyi Mas Karangan Nyi Mas Bogem Nyi Mas Kara Nyi Mas Jenggot |
Orang tua | Raden Aria Wangsa Goparana |
Profesi | Raja, Senapati, Ulama |
Sunting kotak info • L • B |
Raden Aria Wira Tanu I adalah seorang dalem (kepala nagari) yang mendirikan kabupaten Cianjur di abad ke-17. Ia bernama asli Jayasasana atau Jayalalana. Wira Tanu I juga dijuluki sebagai Dalem Cikundul dikarenakan pernah menjadi dalem di daerah Cikundul (sekarang Cikalongkulon).
Kehidupan Awal
[sunting | sunting sumber]Raden Jayasasana adalah putra dari Raden Aria Wangsa Goparana yang berasal dari Sagalaherang, Subang. Berdasarkan silsilah, Raden Aria Wangsa Goparana merupakan anak dari Sunan Wanaperih (Raden Aria Kikis) yang merupakan raja dari Kerajaan Talaga Manggung (sekarang Majalengka), anak dari Raden Ragamantri alias Sunan Parung Gangsa/Prabu Pucuk Umum, anak dari Munding Sari Ageung. Munding Sari merupakan salah satu cicit dari Prabu Siliwangi yang ketika runtuhnya Kerajaan Sunda pada tahun 1579 memilih untuk kabur ke daerah Talaga tepatnya di kaki Gunung Ceremai.
Di masa mudanya, Raden Aria Wangsa Goparana berkelana dan sampai di kampung Nangkabeurit yang sekarang masuk wilayah kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Di sana ia mendirikan sebuah desa dan menjadi dalem (kepala nagari). Raden Aria Wangsa Goparana memiliki delapan orang anak yaitu:
- Jayasasana
- Wiradiwangsa
- Candramangala
- Santaan Kumbang
- Yudanagara
- Nawing Candradirana
- Santaan Yudanagara
- Nyi Murti
Jayasasana sebagai putra pertama Raden Aria Wangsa Goparana terkenal sebagai seorang yang ahli ibadah dan menuntut ilmu. Jayasasana pun disebutkan sering berkhalwat (bertapa) untuk merenung dan bertafakur di tempat-tempat sunyi. Menurut legenda, suatu waktu ketika Jayasasana sedang bertapa, ia kedatangan jin muslim yang berwujud gadis cantik. Jin ini tertarik dengan Jayasasana dan kemudian mereka menikah serta memiliki tiga orang anak, yaitu Suryakancana, Indang Kancana atau Indang Sukaesih dan Andaka Wirasujagat.[1]
Pendirian Nagari Cikundul
[sunting | sunting sumber]Kepala Masyarakat
[sunting | sunting sumber]Setelah dewasa, Jayasasana diberikan tanggungjawab oleh ayahnya Dalem Sagalaherang berupa 100 orang rakyat (cacah). Menurut sistem feodalisme saat itu, kekuasaan seorang bangsawan ditentukan oleh banyaknya rakyat yang dipimpin (populasi) bukan berdasarkan tanah (luas wilayah). Karena semakin banyak rakyat, maka akan semakin banyak pula wilayah yang ditempati oleh rakyatnya itu.
Bersama keseratus orang itu, Jayasasana kemudian mencari tempat bermukim baru ke daerah pedalaman Jawa Barat saat ini dan sampailah ke daerah sungai Cikundul yang sekarang berada di wilayah kecamatan Cikalongkulon. Di sana mereka mulai bermukim dan membuka lahan baru. Rakyat Jayasasana hidup secara berpencar, tidak bermukim di satu tempat tetapi kebanyakan bermukim di daerah Cijagang karena disanalah Jayasasana berada. Beberapa tempat yang dihuni oleh rakyat Jayasasana diantaranya terletak di tepian sungai seperti di Cibalagung dan Cirata.[2]
Meskipun tempat tinggalnya terpencar, mereka masih berada dalam satu kesatuan masyarakat (Belanda: Volksgemeenschap) di bawah pimpinan Jayasasana. Berdasarkan hukum sosiologi mengenai pembentukan masyarakat, dalam kesatuan rakyat Jayasasana akhirnya lahir tata cara dan aturan bermasyarakat yang harus dipatuhi oleh semua rakyat Jayasasana. Tata cara di setiap masyarakat memiliki sifat bersatu sehingga dalam setiap kesatuan masyarakat juga ditemukan suatu kesatuan hukum (Rechtsgemenschap).
Tugas utama seorang kepala masyarakat seperti Jayasasana adalah mengatur kehidupan dan menegakkan hukum yang berlaku. Selain daripada itu, ia juga bertugas untuk melindungi rakyatnya jika ada keributan, perampokan atau serangan dari wilayah lain. Sehingga kepala masyarakat saat itu lebih tepat disebut sebagai panglima atau senapati dan bukan disebut sebagai dalem. Begitu pun masyarakat Jayasasana yang saat itu masih berada dalam tahap kesenapatian. Secara de jure karena runtuhnya Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakuan Pajajaran, sebenarnya wilayah yang saat itu ditempati oleh rakyat Jayasasana berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten,[3] Namun secara de facto berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram setelah raja Kusumadinata III dari Sumedang Larang menyatakan bergabung dengan Mataram di tahun 1620.[4] Dikarenakan rakyat Jayasasana yang para leluhurnya berasal dari Talaga yang saat itu menjadi bagian Cirebon, maka dalam beberapa catatan-catatan VOC rakyat Jayasasana sering disebut sebagai rakyat Cirebon.[1]
Menjadi Dalem dan Mendapat Gelar Wira Tanu
[sunting | sunting sumber]Runtuhnya Kerajaan Sunda menyebabkan beberapa daerah merdeka dan menyebabkan beberapa kerajaan berusaha mengklaim bekas wilayahnya termasuk Kesultanan Banten di bawah Sultan Tirtayasa yang mengklaim seluruh bekas wilayah Sunda sebagai wilayah Banten.[5] Dalam rangka menegakkan klaimnya, Sultan Tirtayasa kemudian menyelenggarakan serangkaian kampanye militer untuk menaklukan wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada klaimnya. Untuk mengatasi kampanye militer Banten, Mataram dibawah sultan Amangkurat I kemudian memperkuat pertahanan, diantaranya adalah di wilayah Cimapag yang saat itu termasuk ke dalam wilayah tanggungjawab Jayasasana. Maka Mataram kemudian mengangkat Jayasasana sebagai senapati atau panglima dengan gelar Wira Tanu (Wira Tanu artinya panglima atau senapati).
Dalam masa genting seperti itu, beberapa kesatuan masyarakat yaitu:
- Cipamingkis di bawah pimpinan Nalamerta;
- Cimapag di bawah pimpinan Nyiuh Nagara;
- Cikalong di bawah pimpinan Wangsa Kusumah;
- Cibalagung di bawah pimpinan Natamanggala;
- Cihea di bawah pimpinan Wastu Nagara; dan
- Cikundul di bawah pimpinan Jayasasana dengan gelar Wira Tanu
Bersepakat untuk menyatakan bahwa wilayahnya bersatu menjadi satu negeri dan sepakat untuk mengangkat Jayasasana (yang sudah mendapat gelar Wira Tanu) untuk menjadi dalem. Karena sudah diangkat sebagai dalem (tidak lagi hanya senapati) Wira Tanu kemudian menggunakan gelar Aria, sehingga nama lengkapnya menjadi Raden Aria Wira Tanu.[5]
Berbeda dengan Bandung atau Sumedang, Cianjur merupakan kabupaten yang pernah berdiri sendiri (merdeka) meskipun secara de jure masih di bawah Mataram. Ini terjadi karena adanya Pemberontakan Trunajaya di tahun 1674 yang menyebabkan Mataram kehilangan kendali atas wilayah-wilayahnya yang jauh seperti wilayah yang dipimpin oleh Wira Tanu. Cianjur lalu secara de jure menjadi bagian dari wilayah VOC setelah adanya perjanjian antara VOC dengan Mataram yang menyatakan pengakuan Mataram terhadap wilayah VOC yang meliputi tepian timur sungai Cisadane dan tepian barat sungai Citarum di tanggal 19-20 Oktober 1677, dengan imbalan bantuan tentara dan persenjataan dari VOC untuk menaklukan Trunajaya.[1][6]
Penentuan Hari Jadi Cianjur
[sunting | sunting sumber]Seperti telah diketahui, Cianjur pada awalnya adalah wilayah Mataram setelah Sumedang Larang bergabung dengan Mataram. Pada tahun 1674-1677 bisa disebutkan sebagai 3 tahun kemerdekaan dari kekuasaan Mataram, dikarenakan pada tahun 1674 kendali Mataram atas wilayah-wilayahnya sudah melemah karena fokus berperang dengan Trunajaya, sedangkan pada tahun 1677 Mataram secara yuridis telah mengakui wilayah di antara sungai Cisadane-Citarum sebagai wilayah VOC.[6] Namun karena keterbatasan VOC, VOC belum bisa menjajah wilayah yang didapatnya dari Mataram secara intensif. Jadi meskipun secara de facto wilayah tersebut merdeka tetapi setelah tahun 1677 secara de jure status wilayah Wira Tanu adalah jajahan VOC.
Pada tanggal 2 Juli 1677, Trunojaya menyerbu istana Plered dan Amangkurat I kabur bersama putranya Mas Rahmat. Peristiwa ini dijadikan titik tolak lepasnya wilayah-wilayah Mataram secara de facto. Berita penyerbuan Trunajaya ini baru sampai ke Cianjur pada tanggal 12 Juli 1677, sehingga secara de facto pada tanggal 12 Juli 1677 Cianjur merdeka dari Mataram.[7]
Kemerdekaan yang dicapai sebenarnya hanya de facto karena secara de jure, daerah Parahyangan sebelah barat sungai Citarum menjadi wilayah VOC berdasarkan perjanjian tanggal 19-20 Oktober 1677. Namun karena VOC belum mampu mengelola daerah jajahannya sehingga Wira Tanu pada waktu itu berhasil menjadi dalem secara mandiri tanpa diangkat oleh VOC maupun oleh raja/sultan yang lain. Sehingga menurut catatan VOC/Belanda, bupati daerah Cianjur yang pertama bukanlah Wira Tanu I tetapi anaknya yaitu Wira Tanu II.[1][8]
Masa Senja
[sunting | sunting sumber]Setelah lanjut usia Wira Tanu menetap di kampung Majalaya dan mendirikan pondok pesantren untuk menyiarkan Islam sampai ia wafat sekitar tahun 1691 Masehi dan dimakamkan di Cikalongkulon. Ia meninggalkan putra-puteri sebanyak 11 orang yaitu:[9]
- Raden Aria Wiramangala yang kemudian menjadi penerusnya sebagai Wira Tanu II
- Raden Aria Martayuda
- Raden Aria Tirta
- Raden Aria Natadimanggala bergelar Dalem Aria Kidul
- Raden Aria Wiradimanggala bergelar Dalem Cikondang
- Raden Aria Suradiwangsa
- Nyi Mas Kaluntar
- Nyi Mas Karangan
- Nyi Mas Bogem
- Nyi Mas Kara
- Nyi Mas Jenggot
Wira Tanu II pada 10 Desember 1691 memindahkan pusat pemerintahan dari Cikundul ke Pamoyanan, dimana ia membangun kediamannya di tepian sungai Ci Anjur, sehingga wilayah yang dipimpinnya dikenal dengan nama Cianjur.[5][7]
Gelar Raja Gagang
[sunting | sunting sumber]Beberapa sumber menyatakan bahwa Wira Tanu I memiliki gelar Raja Gagang[10][11]. Gelar ini konon didapatkan dari wilayah-wilayah bawahan Pajajaran yang ingin dipersatukan kembali, lalu mengangkat sosok Raja Gagang[12]. Sumber yang dirujuk terkait keberadaan Raja Gagang ini adalah catatan De Haan dalam buku Priangan[13]. Namun, tafsiran terkait konteks siapa Raja Gagang yang dimaksud tampaknya perlu ditinjau ulang.[14]
Bantahan terhadap pernikahan dengan jin
[sunting | sunting sumber]Ada versi lain yang menyatakan bahwa sebenarnya R. A. Wira Tanu I tidak menikah dengan jin tetapi menikah dengan seorang wanita yang berasal dari India. Karena kecantikannya dan langkanya orang-orang zaman itu melihat orang India, maka banyak yang berspekulasi bahwa wanita yang dinikahi oleh Wira Tanu adalah jin. Apalagi setelah anak-anaknya dibawa oleh ibunya dan diberitakan hilang.[butuh rujukan]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan Kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaSajarah Cianjur
- ^ Wajah pariwisata Jawa Barat. Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingket I Jawa Barat. 1986. ISBN 978-979-8075-00-1.
- ^ Sanusi, Anwar; Arif, Faisal; Hasyim, Rafan S. (2022-12-26). PERUBAHAN EKSISTENSI SUNGAI DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KOTA CIREBON PADA MASA HINDIA BELANDA TAHUN 1900-1942. Yayasan Wiyata Bestari Samastra. ISBN 978-623-8083-13-8.
- ^ Gani, Lutfi Abdul (2020-03-01). Ki Luluhur Rekam Jejak Sejarah Raden Aria Wangsakara. Deepublish. ISBN 978-623-02-0863-8.
- ^ a b c "Hikayat Cianjur: Berawal dari Kadaleman Cikundul, Pernah Diincar Kesultanan Banten". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2022-07-23. Diakses tanggal 2023-06-26.
- ^ a b Sasmita, Saleh Dana; Padmadisastra, Sulaiman; Johansyah, Inci (1985). Geografi budaya dalam wilayah pembangunan daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
- ^ a b Ikhsan, Muhammad (2021-07-12). "Kenapa Hari Jadi Cianjur Pada 12 Juli? Begini Penjelasan Sejarahnya - Ayo Bandung". Kenapa Hari Jadi Cianjur Pada 12 Juli? Begini Penjelasan Sejarahnya - Ayo Bandung. Diakses tanggal 2023-06-26.
- ^ Pos, Djava. "Aria Wiratanu II Bupati Cianjur Pertama yang Mendapat Pengakuan VOC". djavapos. Diakses tanggal 2023-06-26.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-03. Diakses tanggal 2012-05-03.
- ^ "Aria Wiratanu Cikundul (Raja Sunda Gagang Cikundul)". geni_family_tree. 2024-02-10. Diakses tanggal 2024-09-10.
- ^ One, Tren (2024-03-11). "DEKLASARI CALON BUPATI CIANJUR". therealnewsone.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-09-10.
- ^ "Peristiwa Ratu Rujuh dan Raja Gagang Adalah Bagian Sejarah Garut Selatan untuk Lahirnya Ratu Sunda". YAYASAN SALATINA NASABA RAYYA. 2023-04-08. Diakses tanggal 2024-09-10.
- ^ "November 2019: Four volumes 'Priangan' digital available". www.cortsfoundation.org. Diakses tanggal 2024-09-10.
- ^ "Siapakah Raja Gagang dalam Laporan Scipio? – iNurwansah". 2023-12-07. Diakses tanggal 2024-09-10.
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Posisi baru | Bupati Cianjur 1681–1691 |
Diteruskan oleh: Wira Tanu II |