Lompat ke isi

Sarwo Edhie Wibowo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(174 revisi perantara oleh 92 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{periksaterjemahan}}
{{Infobox Officeholder
{{Infobox Officeholder
| honorific-prefix =
|honorific-prefix =
| name = Sarwo Edhie Wibowo
|name = Sarwo Edhie Wibowo
| honorific-suffix =
|honorific-suffix =
| image = Sarwoedi.jpg
|image = Sarwo Edhie Wibowo, Irian Barat dari Masa ke Masa, p155-156.jpg
|office = [[Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan]]
| imagesize =
| smallimage =
|term_start = Mei 1973
| caption =
|term_end = Mei 1978
| order = 4
|president = [[Soeharto]]
|predecessor = [[Leonardus Benyamin Moerdani]]<br/><small>''Pejabat Duta Besar''</small>
| office = Pangdam Trikora
| term_start = [[2 Juli]] [[1968]]
|successor = [[Kaharuddin Nasution]]
|office2 = [[Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih|Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih]]
| term_end = [[20 Februari]] [[1970]]
| vicepresident =
|term_start2 = 2 Juli 1968
|term_end2 = 20 Februari 1970
| viceprimeminister =
| deputy =
|president2 = [[Soeharto]]
| lieutenant =
|predecessor2 = [[R. Bintoro]]
| monarch =
|successor2 = [[Acub Zaenal]]
|office4 = Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus{{!}}Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat
| president = [[Soeharto]]
|order4 = ke-5
| primeminister =
| taoiseach =
|term_start4 = 1964
| chancellor =
|term_end4 = 1967
| governor =
|predecessor4 = [[Mung Parhadimulyo]]
|successor4 = [[Widjoyo Suyono]]
| governor-general =
|office3 = [[Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan|Panglima Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan]]
| governor_general =
|term_start3 = 25 Juni 1967
| succeeding =<!-- Diisi apabila baru terpilih dan belum menjabat. Apabila sudah menjabat, isi di bagian predecessor. -->
|term_end3 = 2 Juli 1968
| predecessor = [[R. Bintoro]]
| successor = [[Acub Zaenal]]
|predecessor3 = [[Sobiran]]
|successor3 = [[Leo Lopulisa]]
| order2 = 5
|birth_date = {{Birth date|1925|7|25}}
| office2 = Komandan Jendral Komando Pasukan Khusus|Danjen Kopassus
|birth_place = {{negara|Hindia Belanda}} [[Pangenjuru Tengah, Purworejo, Purworejo|Pangenjuru]], [[Purworejo]], [[Jawa Tengah]], [[Hindia Belanda]]
| term_start2 = [[1964]]
| term_end2 = [[1967]]
| vicepresident2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| viceprimeminister2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| deputy2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| lieutenant2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| monarch2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| president2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| primeminister2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| governor2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| succeeding2 =<!-- Can be repeated up to eight times by changing the number -->
| predecessor2 = [[Mung Parahadimulyo]]
| successor2 = [[Widjoyo Suyono]]
|birth_date = {{Birth date |1925|7|25}}
|birth_place = {{negara|Indonesia}} [[Kabupaten Purworejo|Purworejo]], [[Indonesia]]
|death_date = {{death date and age|1989|11|9|1925|7|25}}
|death_date = {{death date and age|1989|11|9|1925|7|25}}
|death_place = {{negara|Indonesia}} [[Kota Jakarta|Jakarta]], [[Indonesia]]
|death_place = {{negara|Indonesia}} [[Jakarta]], [[Indonesia]]
|nationality = [[Indonesia]]
|nationality = {{flag|Indonesia}}
|spouse = [[Sunarti Sri Hadiyah]]
|spouse = Ny. Sunarti Sri Hadiyah
|relations =
|relations =
|children = [[Wijiasih Cahyasasi]] <br /> [[Wrahasti Cendrawasih]] <br /> [[Kristiani Herrawati]] <br /> [[Mastuti Rahayu]] <br /> [[Pramono Edhie Wibowo]] <br /> [[Hartanto Edhie Wibowo]] <br />
|children = {{unbulleted list|1. Wijiasih Cahyasasi|2. Wrahasti Cendrawasih|3. [[Kristiani Herrawati]]|4. Mastuti Rahayu|5. [[Pramono Edhie Wibowo|Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo]]|6. Retno Cahyaningtyas|7. [[Hartanto Edhie Wibowo]]}}
|relations = {{unbulleted list|1. [[Susilo Bambang Yudhoyono|Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono]] (menantu)|2. [[Erwin Sujono|Letjen TNI Erwin Sujono]] (menantu)|3. [[Hadi Utomo|Kolonel Inf Hadi Utomo]] (menantu)}}
|occupation = Tentara
|allegiance = {{unbulleted list|{{flag|Kekaisaran Jepang}} (1942—1945)|{{flag|Indonesia}} (1945—1975)}}
|branch = [[Berkas:Insignia of the Indonesian Army.svg|25px]] [[TNI Angkatan Darat]]
|serviceyears = 1942—1975
|rank = [[Berkas:Pdu letjendtni staf.png|25px]] [[Letnan Jenderal TNI]]
|unit = [[Infanteri]] ([[Kopassus|RPKAD]])
}}
}}


'''Sarwo Edhie Wibowo''' ({{lahirmati|[[Kabupaten Purworejo|Purworejo]], [[Jawa Tengah]]|25|7|1925|[[Jakarta]]|9|11|1989}}) adalah seorang tokoh militer Indonesia serta ayah dari [[Kristiani Herrawati]], ibu negara [[RI]] dan istri presiden RI, [[Susilo Bambang Yudhoyono]] serta juga ayah dari [[KSAD]] [[Pramono Edhie Wibowo]]. Perannya sangat besar sewaktu penumpasan Pemberontakan [[G30S]] [[PKI]] dalam posisinya sebagai panglima [[RPKAD]] (atau [[Kopassus]] saat ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua [[BP-7]] Pusat, Dubes RI di [[Korea Selatan]] serta menjadi Gubernur [[AKABRI]].
[[Letnan Jenderal]] [[TNI]] ([[Purnawirawan|Purn.]]) '''Sarwo Edhie Wibowo''' ({{lahirmati|[[Pangenjuru Tengah, Purworejo, Purworejo|Pangenjuru]], [[Purworejo]], [[Jawa Tengah]]|25|7|1925|[[Jakarta]]|9|11|1989}}) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia adalah ayah dari [[Kristiani Herrawati]], [[Ibu Negara Indonesia|ibu negara Republik Indonesia]], yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, [[Susilo Bambang Yudhoyono]]. Ia juga ayah dari mantan [[Kepala Staf TNI Angkatan Darat|KSAD]], [[Pramono Edhie Wibowo]]. Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan [[Gerakan 30 September]] dalam posisinya sebagai panglima [[RPKAD]] (atau disebut [[Kopassus]] pada saat ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua [[Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila|BP-7]] Pusat, Duta besar Indonesia untuk [[Korea Selatan]] serta menjadi Gubernur [[AKABRI]].


==Awal Kehidupan==
== Awal kehidupan ==
Ia lahir pada tanggal 25 Juli 1927 di [[Pangenjuru Tengah, Purworejo, Purworejo|Desa Pangenjuru]], [[Purworejo, Purworejo|Purworejo]] dari Pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini berasal dari keluarga [[PNS]] bekerja untuk [[Imperium Belanda|Pemerintah Kolonial Belanda]]. dan kemudian diberi nama Edhie. Namun karena sering sakit sakitan sesuai dengan adat Jawa, nama Edhie pundi ditambah Dengan Sarwo. Dan akhirnya namanya menjadi Sarwo Edhie, bahkan setelah menikah namanya menjadi Sarwo Edhie Wibowo. Sesuai pesan ayahnya, dengan harapan kelak ia memiliki kewibawaan. Meski berdarah bangsawan. Edhie tak segan-segan mengikuti permainan anak desa. Orangtuanya tidak pernah mengajarkan perbedaan kedudukan dengan orang lain. Sebagai seorang anak, ia belajar [[silat]] sebagai bentuk pertahanan diri. Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap [[Angkatan Darat Kekaisaran Jepang|Tentara Jepang]] dan kemenangan mereka melawan Pasukan [[Sekutu]] yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.


Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke [[Surabaya]] untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit [[Pembela Tanah Air]] ([[PETA]]), yang merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.
Sarwo Edhie lahir di [[Purworejo]], [[Jawa Tengah]] untuk keluarga [[PNS]] bekerja untuk [[Kekaisaran Belanda | Belanda Pemerintah Kolonial]]. Sebagai seorang anak, ia belajar [[silat]] sebagai bentuk pertahanan diri. Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap [[Imperial Markas Umum | Tentara Jepang]] dan kemenangan mereka melawan [[Sekutu]] Pasukan ditempatkan di Pasifik dan Asia.


Sarwo Edhie kecewa karena tugas-tugasnya selama periode ini sebagian besar hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang. Ketika dia berlatih, Sarwo Edhie harus menggunakan senjata kayu. Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan [[Badan Keamanan Rakyat|BKR]], sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal [[ABRI]] (Tentara Nasional Indonesia saat ini) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.
Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke [[Surabaya]] untuk mendaftarkan diri dengan [[Pembela Tentara Motherland]] ([[PETA (Indonesia) | PETA]]), yang merupakan Jepang menjalankan kekuatan tambahan yang terdiri dari tentara Indonesia.


Teman satu kampung halamannya, [[Ahmad Yani]] yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalion di [[Magelang]], [[Jawa Tengah]].
Sarwo Edhie kecewa karena tugas-tugasnya selama periode ini sebagian besar untuk memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur dari perwira Jepang. Ketika dia kereta api, semua Sarwo Edhie harus menggunakan adalah senjata kayu. Setelah [[Deklarasi Kemerdekaan Indonesia]] pada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan [[BKR (milisi) | BKR]], sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal [[ABRI]] (Tentara Nasional Indonesia hadir ) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalyon bubar.


== Karier militer ==
Itu senegaranya kota kelahirannya, [[Ahmad Yani]] yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalyon di [[Magelang]] di [[Jawa Tengah]].
=== Karier hingga 1965 ===


Karier Sarwo Edhie di ABRI, dia pernah menjadi Komandan Batalion di [[Kodam IV/Diponegoro|Divisi Diponegoro]] (1945—1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951—1953), Wakil Komandan Resimen di [[Akademi Militer Nasional]] (1959—1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962—1964), dan Komandan RPKAD (1964—1967).
==Karir Militer==


RPKAD adalah usaha Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (yang kemudian akan menjadi [[Kopassus]]) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandan unit elit ini berkat Ahmad Yani. Pada tahun 1964, Yani telah menjadi [[Kepala Staf Angkatan Darat]] dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.<ref>{{cite book|last= Djarot|first= Eros|authorlink=Eros Djarot|last2= et al.|title= Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S PKI|year= 2006|edition= 1|publisher= PT Agromedia Pustaka|location= Tangerang|language= Indonesia|page= 63}}</ref>
===Karir Hingga 1965===


=== Menumpas Gerakan G30S ===
Sarwo Edhie karir di ABRI melihat dia menjadi Komandan Batalyon di [[Kodam IV / Diponegoro | Divisi Diponegoro]] (1945-1951), Komandan Resimen di Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Angkatan Darat Komando Resimen (RPKAD) (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).


Selama Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD [[Gerakan 30 September]] terjadi.
RPKAD adalah usaha di Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (Ini akan pergi untuk menjadi [[Kopassus]]) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai Komandan unit elit itu berkat tidak ada bagian kecil untuk Yani. Pada tahun 1964, Yani telah meningkat menjadi Panglima Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.


Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk [[Ahmad Yani]] diculik dari rumah mereka dan dibawa ke [[Bandar Udara Halim Perdanakusuma|Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma]]. Sementara proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki [[Monumen Nasional]] (Monas), Istana Kepresidenan, [[Radio Republik Indonesia]] (RRI), dan gedung telekomunikasi.
===Puting Down G30S Gerakan===


Hari dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di [[Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur|Cijantung]], Jakarta. Kemudian Kolonel [[Herman Sarens Sudiro]] tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas [[Kostrad]] dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta. Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal [[Soeharto]] yang menjabat sebagai [[Panglima Kostrad]] diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat. Setelah memberikan banyak pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.<ref name="Dake 2005 111">{{cite book|last= Dake|first= Antonie C.A|title= Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan|year= 2005|edition= 4|publisher= Aksara Karunia|location= Jakarta|language= Indonesian|page= 111}}</ref>
Itu selama waktu Sarwo Edhie sebagai Komandan RPKAD bahwa [[Gerakan 30 September]] terjadi.


Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan [[Cakrabirawa]]. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S. Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak Soeharto.
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Halim Angkatan Udara Pangkalan Udara. Sementara ini proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Republik Radio Indonesia ([[Radio Republik Indonesia | RRI]]), dan gedung telekomunikasi.


Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang (batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah). Ketika pukul 06:00 petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.
Hari dimulai biasanya cukup bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD dan mereka menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung di Jakarta. Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari [[Kostrad]] markas dan informasi Sarwo Edhie dari situasi di Jakarta. Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal [[Soeharto]], Panglima Kostrad memiliki untuk saat ini diasumsikan pimpinan Angkatan Darat. Setelah memberikan banyak memikirkannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.


Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S. Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.
Setelah Sudiro kiri, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan [[Cakrabirawa]] (Bodyguards Presiden), yang G30S, anggota Letnan Kolonel Untung milik. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S. Sarwo Edhie mengatakan Sabur datar bahwa ia akan memihak Suharto.


=== Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru ===
Pada 11:00 hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan Telekomunikasi pada 06:00 (Batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah). Ketika 06:00 tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena ada pasukan mundur ke Halim dan bangunan diambil oleh 06:30.
Setelah mengambil alih Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung dengan Soeharto karena keduanya dipanggil ke [[Bogor]] oleh Presiden [[Soekarno]]. Sementara Soeharto diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie terkejut dengan ketidakpekaan Soekarno dengan kematian enam Jenderal. Sarwo Edhi bertanya "Di mana para Jenderal?", Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?".<ref>{{cite book|last= Dake|first= Antonie C.A|title= Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan|year= 2005|edition= 4th|publisher= Aksara Karunia|location= Jakarta|language= Indonesian|page= 194}}</ref>


Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari sumur [[Lubang Buaya]].
Dengan situasi di Jakarta aman, Soeharto ternyata matanya ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat yang para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah dilemparkan dukungan di belakang gerakan G30S. Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Mulai serangan mereka pada 2 AM pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD memiliki Pangkalan Udara diambil oleh 06:00.


Pada tanggal 16 Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi [[KSAD|Panglima Angkatan Darat]] oleh Soekarno. Pada saat itu, [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) telah dituduh sebagai penyebab dari G30S dan sentimen anti-Komunis telah membangun cukup untuk mendapatkan momentum. Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di lahan subur komunis di [[Jawa Tengah]]. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pembunuhan massal pada bulan Oktober-Desember 1965 di [[Jawa]], [[Bali]], dan beberapa bagian dari [[Sumatra]].
===Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru===


Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama berbulan-bulan. Jumlah perkiraan awal sedikitnya setengah juta orang dan satu juta orang paling banyak menjadi korban.<ref>{{cite book|last = Hughes|first = John|title = The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild|publisher = Archipelago Press|year = 2002|location = Singapore|isbn = 981-4068-65-9|page = 194 }}</ref> Pada bulan Desember 1965, angka yang diberikan kepada Soekarno adalah 78.000 meskipun setelah ia jatuh, hal itu direvisi menjadi 780.000. Angka 78.000 itu adalah sebuah cara untuk menyembunyikan jumlah korban tewas dari Soekarno.<ref name="Hughes 2002 195">{{cite book|last = Hughes|first = John|title = The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild|publisher = Archipelago Press|year = 2002|location = Singapore|isbn = 981-4068-65-9|page = 195 }}</ref> Spekulasi terus berlanjut sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus tampaknya telah menetapkan sekitar 400.000 jiwa.<ref name="Hughes 2002 195"/> Akhirnya, pada tahun 1989, sebelum kematiannya, Sarwo Edhie memberi pengakuan kepada anggota [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) bahwa 3 juta orang<ref>[http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=17: Kolektif Info Coup d'etat 65:. - Dokumen<!-- Bot generated title -->]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> tewas dalam pertumpahan darah ini.
Setelah mengambil Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung Suharto karena keduanya dipanggil ke [[Bogor]] Presiden [[Soekarno]]. Sementara Suharto menemukan dirinya diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie menemukan dirinya terkejut dengan ketidakpekaan Sukarno dengan kematian enam Jenderal. Untuk pertanyaan tentang "Di mana para Jenderal?", Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?".


Pada awal tahun 1966, sentimen anti-Komunis dikombinasikan dengan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan Soekarno mulai kehilangan popularitasnya di mata Rakyat. Saat itu terjadi protes anti-Soekarno, yang dipimpin oleh gerakan pemuda seperti dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ([[KAMI]]). Pada 10 Januari 1966, KAMI mengeluarkan [[Tritura|tiga tuntutan]] kepada Soekarno. Mereka ingin PKI harus dilarang, simpatisan PKI dalam Kabinet ditangkap, dan harga-harga harus diturunkan.
Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie akan memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari Lubang Buaya dengan baik.


Soeharto menyadari pentingnya dalam menyelaraskan Angkatan Darat dengan para pengunjuk rasa. Selama bulan-bulan pertama tahun 1966, Sarwo Edhie bersama-sama dengan Kepala Staf Kostrad, [[Kemal Idris]] aktif menyelenggarakan dan mendukung protes sementara membuat nama untuk dirinya sendiri di antara para pengunjuk rasa KAMI dalam proses.<ref>{{cite book|last= Elson|first= Robert|title= Suharto: A Political Biography|year= 2001|publisher= The Press Syndicate of the University of Cambridge|location= UK|language=|isbn=0-521-77326-1|page= 130}}</ref> Pada 26 Februari 1966, KAMI secara resmi dilarang oleh Soekarno tetapi dengan dorongan dari Sarwo Edhie dan Kemal mereka masih terus memprotes. Dalam menunjukkan solidaritas dengan mahasiswa, Sarwo Edhie terdaftar di [[Universitas Indonesia]].<ref>{{cite book|last= Elson|first= Robert|title= Suharto: A Political Biography|year= 2001|publisher= The Press Syndicate of the University of Cambridge|location= UK|language=|isbn=0-521-77326-1|page= 134}}</ref>
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat oleh Sukarno. Pada saat itu, [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) telah dituduh sebagai penyebab dari G30S dan sentimen anti-Komunis telah membangun cukup untuk mendapatkan momentum. Sarwo Edhie diberi tugas menghilangkan anggota PKI di lahan subur komunis di Jawa Tengah. Hal ini akan mengakibatkan terkenal massal pembunuhan pada bulan Oktober-Desember 1965 di [[Jawa]], [[Bali]], dan bagian dari [[Sumatra]].


Meskipun ia tumbuh menjadi lawan politik terbesar Soekarno, Soeharto, seorang tradisionalis Jawa yang kuat, selalu berhati-hati untuk menghindari menantang Soekarno secara langsung. Namun pada Maret 1966, ia siap untuk memaksa Soekarno. Pada awal bulan, ia memerintahkan RPKAD untuk menangkap simpatisan PKI dalam kabinet Soekarno. Suharto berubah pikiran di menit terakhir, berpikir bahwa keamanan Soekarno mungkin dapat dikompromikan. Namun, itu sudah terlambat untuk menarik perintah.
Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama bulan-bulan. Jumlah perkiraan awal antara setengah juta setidaknya dan satu juta paling banyak. Pada bulan Desember 1965, nomor yang diberikan kepada Soekarno adalah 78.000 meskipun setelah ia jatuh, itu direvisi menjadi 780,000. Para 78.000 adalah sebuah cara untuk menyembunyikan jumlah korban tewas dari Sukarno. Spekulasi terus berlanjut sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus tampaknya telah menetap sekitar 400.000. tewas dalam pertumpahan darah ini.


Pada pagi hari 11 Maret 1966, pada saat rapat kabinet di mana Soeharto tidak hadir, Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung [[Istana Presiden]] tanpa identifikasi. Soekarno, takut dirinya dievakuasi ke Bogor. Kemudian pada hari itu juga ia mentransfer kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto melalui surat yang disebut [[Supersemar]].
Pada awal tahun 1966, sentimen anti-Komunis dikombinasikan dengan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan Sukarno mulai kehilangan popularitasnya di mata Rakyat. Sekarang ada protes anti-Sukarno, yang dipimpin oleh gerakan pemuda seperti Front Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pada 10 Januari 1966, KAMI mengeluarkan tiga tuntutan kepada Sukarno. Mereka ingin PKI harus dilarang, untuk simpatisan PKI dalam Kabinet untuk ditangkap, dan untuk harga harus diturunkan.

Suharto menyadari pentingnya dalam menyelaraskan Angkatan Darat dengan para pengunjuk rasa. Selama bulan-bulan pertama tahun 1966, Sarwo Edhie bersama-sama dengan Kepala Staf Kostrad, [[Kemal Idris]] aktif menyelenggarakan dan mendukung protes sementara membuat nama untuk dirinya sendiri di antara para pengunjuk rasa KAMI dalam proses. Pada 26 Februari 1966, KAMI secara resmi dilarang oleh Soekarno tetapi dengan dorongan dari Sarwo Edhie dan Kemal terus memprotes. Dalam menunjukkan solidaritas dengan siswa, Sarwo Edhie terdaftar di Universitas Indonesia.

Meskipun ia tumbuh menjadi lawan Sukarno terbesar politik, Soeharto, seorang tradisionalis Jawa yang kuat, selalu berhati-hati untuk menghindari menantang Sukarno secara langsung. Oleh Maret 1966 Namun, ia siap untuk memaksa tangan Sukarno. Pada awal bulan, ia memerintahkan RPKAD untuk menangkap simpatisan PKI dalam kabinet Sukarno. Suharto berubah pikiran di menit terakhir, berpikir bahwa keamanan Sukarno mungkin dikompromikan. Namun, itu sudah terlambat untuk menarik perintah.

Pada pagi hari 11 Maret 1966, pada saat rapat kabinet di mana Soeharto tidak hadir, Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung Istana Presiden tanpa identifikasi. Sukarno, takut untuk hidupnya dievakuasi ke Bogor. Kemudian di hari ia akan mentransfer kekuasaan eksekutif kepada Soeharto melalui surat yang disebut [[Supersemar]].

Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatera dan dibuat Panglima KODAM II / Bukit Barisan. Di Sumatera, Sarwo Edhie lanjut melemah kekuasaan Soekarno dengan melarang nya [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) di seluruh pulau.

===Orde Baru radikal===


Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatra dan menjadi Panglima [[Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan|Kodam II/Bukit Barisan]]. Di Sumatra, Sarwo Edhie lanjut melemahkan kekuasaan Soekarno dengan melarang [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) di seluruh pulau.
<!--
===Orde Baru===
Sarwo Edhie dukungan tegas dengan Soeharto sebagai yang terakhir mulai membuat bergerak untuk naik ke Kepresidenan. Factionally berbicara Namun, Sarwo Edhie milik faksi dijuluki oleh para ahli sebagai "Orde Baru Radikal". Bersama dengan [[Kemal Idris]] dan [[Kodam VI / Siliwangi]] Komandan [[Hartono Rekso Dharsono]], Sarwo Edhie ingin partai-partai politik harus dibongkar dan diganti dengan kelompok-kelompok non-ideologis yang menekankan pembangunan dan modernisasi.
Sarwo Edhie dukungan tegas dengan Soeharto sebagai yang terakhir mulai membuat bergerak untuk naik ke Kepresidenan. Factionally berbicara Namun, Sarwo Edhie milik faksi dijuluki oleh para ahli sebagai "Orde Baru Radikal". Bersama dengan [[Kemal Idris]] dan [[Kodam VI / Siliwangi]] Komandan [[Hartono Rekso Dharsono]], Sarwo Edhie ingin partai-partai politik harus dibongkar dan diganti dengan kelompok-kelompok non-ideologis yang menekankan pembangunan dan modernisasi.
-->


==="Act of Free Choice"===
=== Penentuan Pendapat Rakyat ===

Untuk ini, Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat untuk menjadi Panglima KODAM XVII / Cendrawasih. Dalam memimpin hingga "[[Act of Free Choice]]", di mana Indonesia menganeksasi wilayah tanpa memegang referendum penuh, Sarwo Edhie memainkan peran utama dalam menghancurkan [[masyarakat Papua | Papua]] resistensi


Untuk hal ini, Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat untuk menjadi Panglima [[Kodam XVII/Cendrawasih]]. Ia memimpin di sana hingga terselenggaranya "[[Penentuan Pendapat Rakyat]]", di mana Indonesia menganeksasi wilayah tanpa memegang referendum penuh, Sarwo Edhie memainkan peran utama dalam menghancurkan resistensi [[Papua]].<ref>[http://tapol.gn.apc.org/news/files/st040928.htm TAPOL, the Indonesian Human Rights Campaign]</ref>
<!--
===Pengecualian dari karier Pemerintah dan sisanya===
===Pengecualian dari karier Pemerintah dan sisanya===


Baris 120: Baris 109:
Jerami terakhir terjadi pada 1970, ketika Sarwo Edhie dibesarkan isu korupsi Pemerintah pada tahun 1970. Sejak saat itu, Sarwo Edhie diberi posisi yang masih dipegang perawakan tetapi menjauhkannya dari politik Pemerintah Pusat di Jakarta. Sarwo Edhie kemudian menjabat sebagai ABRI Academy (AKABRI) Gubernur (1970-1973), Duta Besar Indonesia untuk [[Korea Selatan]] (1973-1978), dan Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri (1978-1983).
Jerami terakhir terjadi pada 1970, ketika Sarwo Edhie dibesarkan isu korupsi Pemerintah pada tahun 1970. Sejak saat itu, Sarwo Edhie diberi posisi yang masih dipegang perawakan tetapi menjauhkannya dari politik Pemerintah Pusat di Jakarta. Sarwo Edhie kemudian menjabat sebagai ABRI Academy (AKABRI) Gubernur (1970-1973), Duta Besar Indonesia untuk [[Korea Selatan]] (1973-1978), dan Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri (1978-1983).


Ketika Soeharto didirikan [[Pancasila Indonesia | Pancasila]] sebagai Ideologi Nasional pada tahun 1984, Sarwo Edhie ditugaskan dari proses indoktrinasi setelah ditunjuk Ketua Badan Pengawas Pelaksanaan Pedoman Pemahaman dan Praktek Pancasila (BP-7 ) Dia terpilih untuk [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) pada tahun 1987 dan mengundurkan diri dari posisinya pada tahun 1988 sebagai protes [[Sudharmono]] nominasi 's kepada Wakil Kepresidenan.
Ketika Soeharto didirikan [[Pancasila Indonesia |pancasila]] sebagai Ideologi Nasional pada tahun 1984, Sarwo Edhie ditugaskan dari proses indoktrinasi setelah ditunjuk Ketua Badan Pengawas Pelaksanaan Pedoman Pemahaman dan Praktik Pancasila (BP-7 ) Dia terpilih untuk [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) pada tahun 1987 dan mengundurkan diri dari posisinya pada tahun 1988 sebagai protes [[Sudharmono]] nominasi 's kepada Wakil Kepresidenan.
-->


== Kehidupan pribadi ==
==Kematian==
Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah binti Danu Sunarto, mereka mempunyai 7 anak: Wijiasih Cahyasasi, Wrahasti Cendrawasih, [[Kristiani Herrawati]], Mastuti Rahayu, [[Pramono Edhie Wibowo]], Retno Cahyaningtyas dan [[Hartanto Edhie Wibowo]]. [[Susilo Bambang Yudhoyono]], Presiden keenam Republik Indonesia, adalah menantunya yang menikah dengan [[Kristiani Herrawati]].


==Meninggal Dunia==
Sarwo Edhie meninggal pada tanggal 9 November 1989 pada umur 64 tahun di [[Jakarta]], [[Indonesia]]
Sarwo Edhie meninggal pada 9 November 1989 pada usia 64 tahun karena penyebab alami. Ia dimakamkan di daerah asalnya di tempat pemakaman keluarga Purworejo tepatnya di Kampung Ngupasan, Kelurahan [[Pangenjurutengah, Purworejo, Purworejo|Pangenjurutengah]], [[Purworejo]], [[Jawa Tengah]].<ref>{{Cite web |url=http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2288-jenderal-brilian-dan-jujur |title=Biografi Sarwo Edhie Wibowo |access-date=2014-07-23 |archive-date=2014-01-28 |archive-url=https://web.archive.org/web/20140128074055/http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2288-jenderal-brilian-dan-jujur |dead-url=yes }}</ref>


==Keluarga==
==Riwayat Jabatan==
* Komandan Batalion Divisi Diponegoro (1945-1951)
* Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953)
* Wakil Komandan Resimen AMN (1959-1961)
* Wadan RPKAD (1962-1964)
* Komandan RPKAD (1964-1967)
* Pangdam II/Bukit Barisan (1967-1968)
* Pangdam XVII/Tjenderawasih (1968-1970)
* Gubernur AKABRI (1970-1974)


== Referensi ==
Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah, dengansiapa mempunyai 7 anak.
{{reflist|2}}


==Bermacam-macam==

Presiden [[Susilo Bambang Yudhoyono]] adalah anaknya-di-hukum, Yudhoyono menikah dengan putri Sarwo Edhie [[Kristiani Herawati | Kristiani "Ani" Herawati]].

Sarwo Edhie adalah Ketua [[Taekwondo]] Indonesia.

Sarwo Edhie terdaftar [[Douglas MacArthur]] dan [[Erwin Rommel]] sebagai orang yang ia kagumi.

Hobi termasuk menonton film epik dan [[wayang]] serta mengumpulkan [[Kris | keris]].

jnei woi busuk
== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
{{portal|Indonesia}}
* {{id}} [http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sarwo-edhie-wibowo/index.shtml Sarwo Edhie Wibowo (1925-1989) Jenderal Brilian dan Jujur]
* {{id}} [http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/282-ensiklopedi/2287-sarwo-edhie-wibowo Sarwo Edhie Wibowo (1925-1989) Jenderal Brilian dan Jujur] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20131004074837/http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/282-ensiklopedi/2287-sarwo-edhie-wibowo |date=2013-10-04 }}


{{S-start}}
{{kotak mulai}}
{{S-mil}}
{{s-mil}}
{{kotak suksesi
{{Succession box | jabatan = [[Komando Daerah Militer XVII/Trikora#Pejabat Pangdam|Pangdam Trikora]] | years = [[2 Juli]] [[1968]] - [[20 Februari]] [[1970]] | before = [[R. Bintoro]] | after = [[Acub Zaenal]] }}
| jabatan = [[Komando Daerah Militer XVII/Trikora#Pejabat Pangdam|Pangdam Trikora]]
{{Succession box | jabatan = [[Komandan Jendral Komando Pasukan Khusus|Danjen Kopassus]] | tahun = 1964 - 1967 | pendahulu = [[Mung Parahadimulyo]] | pengganti = [[Widjoyo Suyono]]}}
| tahun = 1968—1970
{{S-end}}
| pendahulu = [[R. Bintoro]]
| pengganti = [[Acub Zaenal]]
}}
{{kotak suksesi
| jabatan = [[Komandan Jendral Komando Pasukan Khusus|Danjen Kopassus]]
| tahun = 1964—1967
| pendahulu = [[Mung Parhadimulyo]]
| pengganti = [[Widjoyo Suyono]]
}}
{{s-dip}}
{{kotak suksesi
| jabatan = [[Daftar Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan|Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan]]
| tahun = 1974—1978
| pendahulu = [[Leonardus Benyamin Moerdani]]<br/>''Pejabat Duta Besar''
| pengganti = [[Kaharuddin Nasution]]
}}
{{kotak selesai}}


{{Susilo Bambang Yudhoyono |state=collapsed}}
{{indo-bio-stub}}
{{Authority control}}


{{DEFAULTSORT:Wibowo, Sarwo, Edhie}}
{{DEFAULTSORT:Wibowo, Sarwo, Edhie}}
[[Kategori:Anggota Pembela Tanah Air]]

[[Kategori:Tokoh militer Indonesia]]
[[Kategori:Duta Besar Indonesia]]
[[Kategori:Duta Besar Indonesia]]
[[Kategori:Komandan Jendral Kopassus]]
[[Kategori:Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan]]
[[Kategori:Tokoh Kopassus]]
[[Kategori:Komandan Jenderal Kopassus]]
[[Kategori:Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih]]
[[Kategori:Susilo Bambang Yudhoyono]]
[[Kategori:Tokoh dari Purworejo]]
[[Kategori:Tokoh dari Purworejo]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh Orde Baru]]

Revisi terkini sejak 28 Februari 2024 07.29

Sarwo Edhie Wibowo
Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan
Masa jabatan
Mei 1973 – Mei 1978
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Leonardus Benyamin Moerdani
Pejabat Duta Besar
Sebelum
Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih
Masa jabatan
2 Juli 1968 – 20 Februari 1970
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
R. Bintoro
Pengganti
Acub Zaenal
Sebelum
Panglima Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan
Masa jabatan
25 Juni 1967 – 2 Juli 1968
Sebelum
Pendahulu
Sobiran
Pengganti
Leo Lopulisa
Sebelum
Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat ke-5
Masa jabatan
1964–1967
Informasi pribadi
Lahir(1925-07-25)25 Juli 1925
Hindia Belanda Pangenjuru, Purworejo, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal9 November 1989(1989-11-09) (umur 64)
Indonesia Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Suami/istriNy. Sunarti Sri Hadiyah
Hubungan
Anak
PekerjaanTentara
Karier militer
Pihak
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1942—1975
Pangkat Letnan Jenderal TNI
SatuanInfanteri (RPKAD)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo (25 Juli 1925 – 9 November 1989) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia adalah ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara Republik Indonesia, yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga ayah dari mantan KSAD, Pramono Edhie Wibowo. Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.

Awal kehidupan

Ia lahir pada tanggal 25 Juli 1927 di Desa Pangenjuru, Purworejo dari Pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini berasal dari keluarga PNS bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda. dan kemudian diberi nama Edhie. Namun karena sering sakit sakitan sesuai dengan adat Jawa, nama Edhie pundi ditambah Dengan Sarwo. Dan akhirnya namanya menjadi Sarwo Edhie, bahkan setelah menikah namanya menjadi Sarwo Edhie Wibowo. Sesuai pesan ayahnya, dengan harapan kelak ia memiliki kewibawaan. Meski berdarah bangsawan. Edhie tak segan-segan mengikuti permainan anak desa. Orangtuanya tidak pernah mengajarkan perbedaan kedudukan dengan orang lain. Sebagai seorang anak, ia belajar silat sebagai bentuk pertahanan diri. Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang dan kemenangan mereka melawan Pasukan Sekutu yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.

Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA), yang merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.

Sarwo Edhie kecewa karena tugas-tugasnya selama periode ini sebagian besar hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang. Ketika dia berlatih, Sarwo Edhie harus menggunakan senjata kayu. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal ABRI (Tentara Nasional Indonesia saat ini) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.

Teman satu kampung halamannya, Ahmad Yani yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalion di Magelang, Jawa Tengah.

Karier militer

Karier hingga 1965

Karier Sarwo Edhie di ABRI, dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945—1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951—1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959—1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962—1964), dan Komandan RPKAD (1964—1967).

RPKAD adalah usaha Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (yang kemudian akan menjadi Kopassus) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandan unit elit ini berkat Ahmad Yani. Pada tahun 1964, Yani telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.[1]

Selama Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD Gerakan 30 September terjadi.

Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sementara proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung telekomunikasi.

Hari dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung, Jakarta. Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas Kostrad dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta. Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Panglima Kostrad diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat. Setelah memberikan banyak pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.[2]

Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S. Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak Soeharto.

Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang (batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah). Ketika pukul 06:00 petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.

Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S. Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.

Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru

Setelah mengambil alih Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung dengan Soeharto karena keduanya dipanggil ke Bogor oleh Presiden Soekarno. Sementara Soeharto diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie terkejut dengan ketidakpekaan Soekarno dengan kematian enam Jenderal. Sarwo Edhi bertanya "Di mana para Jenderal?", Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?".[3]

Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari sumur Lubang Buaya.

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat oleh Soekarno. Pada saat itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dituduh sebagai penyebab dari G30S dan sentimen anti-Komunis telah membangun cukup untuk mendapatkan momentum. Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di lahan subur komunis di Jawa Tengah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pembunuhan massal pada bulan Oktober-Desember 1965 di Jawa, Bali, dan beberapa bagian dari Sumatra.

Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama berbulan-bulan. Jumlah perkiraan awal sedikitnya setengah juta orang dan satu juta orang paling banyak menjadi korban.[4] Pada bulan Desember 1965, angka yang diberikan kepada Soekarno adalah 78.000 meskipun setelah ia jatuh, hal itu direvisi menjadi 780.000. Angka 78.000 itu adalah sebuah cara untuk menyembunyikan jumlah korban tewas dari Soekarno.[5] Spekulasi terus berlanjut sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus tampaknya telah menetapkan sekitar 400.000 jiwa.[5] Akhirnya, pada tahun 1989, sebelum kematiannya, Sarwo Edhie memberi pengakuan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa 3 juta orang[6] tewas dalam pertumpahan darah ini.

Pada awal tahun 1966, sentimen anti-Komunis dikombinasikan dengan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan Soekarno mulai kehilangan popularitasnya di mata Rakyat. Saat itu terjadi protes anti-Soekarno, yang dipimpin oleh gerakan pemuda seperti dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pada 10 Januari 1966, KAMI mengeluarkan tiga tuntutan kepada Soekarno. Mereka ingin PKI harus dilarang, simpatisan PKI dalam Kabinet ditangkap, dan harga-harga harus diturunkan.

Soeharto menyadari pentingnya dalam menyelaraskan Angkatan Darat dengan para pengunjuk rasa. Selama bulan-bulan pertama tahun 1966, Sarwo Edhie bersama-sama dengan Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris aktif menyelenggarakan dan mendukung protes sementara membuat nama untuk dirinya sendiri di antara para pengunjuk rasa KAMI dalam proses.[7] Pada 26 Februari 1966, KAMI secara resmi dilarang oleh Soekarno tetapi dengan dorongan dari Sarwo Edhie dan Kemal mereka masih terus memprotes. Dalam menunjukkan solidaritas dengan mahasiswa, Sarwo Edhie terdaftar di Universitas Indonesia.[8]

Meskipun ia tumbuh menjadi lawan politik terbesar Soekarno, Soeharto, seorang tradisionalis Jawa yang kuat, selalu berhati-hati untuk menghindari menantang Soekarno secara langsung. Namun pada Maret 1966, ia siap untuk memaksa Soekarno. Pada awal bulan, ia memerintahkan RPKAD untuk menangkap simpatisan PKI dalam kabinet Soekarno. Suharto berubah pikiran di menit terakhir, berpikir bahwa keamanan Soekarno mungkin dapat dikompromikan. Namun, itu sudah terlambat untuk menarik perintah.

Pada pagi hari 11 Maret 1966, pada saat rapat kabinet di mana Soeharto tidak hadir, Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung Istana Presiden tanpa identifikasi. Soekarno, takut dirinya dievakuasi ke Bogor. Kemudian pada hari itu juga ia mentransfer kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto melalui surat yang disebut Supersemar.

Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatra dan menjadi Panglima Kodam II/Bukit Barisan. Di Sumatra, Sarwo Edhie lanjut melemahkan kekuasaan Soekarno dengan melarang Partai Nasional Indonesia (PNI) di seluruh pulau.

Penentuan Pendapat Rakyat

Untuk hal ini, Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat untuk menjadi Panglima Kodam XVII/Cendrawasih. Ia memimpin di sana hingga terselenggaranya "Penentuan Pendapat Rakyat", di mana Indonesia menganeksasi wilayah tanpa memegang referendum penuh, Sarwo Edhie memainkan peran utama dalam menghancurkan resistensi Papua.[9]

Kehidupan pribadi

Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah binti Danu Sunarto, mereka mempunyai 7 anak: Wijiasih Cahyasasi, Wrahasti Cendrawasih, Kristiani Herrawati, Mastuti Rahayu, Pramono Edhie Wibowo, Retno Cahyaningtyas dan Hartanto Edhie Wibowo. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden keenam Republik Indonesia, adalah menantunya yang menikah dengan Kristiani Herrawati.

Meninggal Dunia

Sarwo Edhie meninggal pada 9 November 1989 pada usia 64 tahun karena penyebab alami. Ia dimakamkan di daerah asalnya di tempat pemakaman keluarga Purworejo tepatnya di Kampung Ngupasan, Kelurahan Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah.[10]

Riwayat Jabatan

  • Komandan Batalion Divisi Diponegoro (1945-1951)
  • Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953)
  • Wakil Komandan Resimen AMN (1959-1961)
  • Wadan RPKAD (1962-1964)
  • Komandan RPKAD (1964-1967)
  • Pangdam II/Bukit Barisan (1967-1968)
  • Pangdam XVII/Tjenderawasih (1968-1970)
  • Gubernur AKABRI (1970-1974)

Referensi

  1. ^ Djarot, Eros; et al. (2006). Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S PKI (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-1). Tangerang: PT Agromedia Pustaka. hlm. 63. 
  2. ^ Dake, Antonie C.A (2005). Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan (dalam bahasa Indonesian) (edisi ke-4). Jakarta: Aksara Karunia. hlm. 111. 
  3. ^ Dake, Antonie C.A (2005). Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan (dalam bahasa Indonesian) (edisi ke-4th). Jakarta: Aksara Karunia. hlm. 194. 
  4. ^ Hughes, John (2002). The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild. Singapore: Archipelago Press. hlm. 194. ISBN 981-4068-65-9. 
  5. ^ a b Hughes, John (2002). The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild. Singapore: Archipelago Press. hlm. 195. ISBN 981-4068-65-9. 
  6. ^ Kolektif Info Coup d'etat 65:. - Dokumen[pranala nonaktif permanen]
  7. ^ Elson, Robert (2001). Suharto: A Political Biography. UK: The Press Syndicate of the University of Cambridge. hlm. 130. ISBN 0-521-77326-1. 
  8. ^ Elson, Robert (2001). Suharto: A Political Biography. UK: The Press Syndicate of the University of Cambridge. hlm. 134. ISBN 0-521-77326-1. 
  9. ^ TAPOL, the Indonesian Human Rights Campaign
  10. ^ "Biografi Sarwo Edhie Wibowo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-28. Diakses tanggal 2014-07-23. 

Pranala luar

Jabatan militer
Didahului oleh:
R. Bintoro
Pangdam Trikora
1968—1970
Diteruskan oleh:
Acub Zaenal
Didahului oleh:
Mung Parhadimulyo
Danjen Kopassus
1964—1967
Diteruskan oleh:
Widjoyo Suyono
Jabatan diplomatik
Didahului oleh:
Leonardus Benyamin Moerdani
Pejabat Duta Besar
Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan
1974—1978
Diteruskan oleh:
Kaharuddin Nasution