Lompat ke isi

Kariu, Pulau Haruku, Maluku Tengah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menghilangkan bagian [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Suntingan 182.1.216.25 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Tyagita
Tag: Pengembalian pranala ke halaman disambiguasi
Baris 11:
|kepadatan = -
}}
'''Kariu''' adalah sebuah [[negeri (Maluku Tengah)|negeri]] di [[kecamatan]] [[Pulau Haruku, Maluku Tengah]], [[Kabupaten Maluku Tengah|Maluku Tengah]], [[Maluku]], [[Indonesia]]. Negeri ([[desa]]) Kariu terletak di bagian utara [[Pulau Haruku]] dan letaknya dikelilingi oleh [[Pelauw, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Negeri Pelauw]] yang lebih luas. Negeri Kariu menurut catatan sejarah setempat dahulu merupakan bagian dari wilayah Petuanan Negeri Pelauw hingga akhirnya menjadi negeri adat terpisah dari Pelauw.
'''Kariu''' adalah Negeri Adat yang sudah ada di Pulau haruku jauh sebelum zaman Penjajahan. Ketika Bangsa Portugis menginjakan kaki pertama di Pulau Haruku dan membangun Benteng di Negeri Kariu yang diberi nama Benteng Hoorn Van Kariu yang bersebelahan dengan Gereja Tua Ebenhaezer yang sisa bangunannya masih berdiri kokoh sampai saat ini.
==Sejarah==
Dahulu negeri-negeri adat yang memegang hukum adat di [[Pulau Haruku]] belum mengenal nama Kariu. Baik oleh Uli Hatuhaha ([[Pelauw, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Pelauw]], [[Kailolo, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Kailolo]], [[Kabauw, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Kabauw]], [[Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Rohomoni]] dan [[Hulaliu, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Hulaliu]]) di sisi utara, maupun di Uli Buangbesi ([[Aboru, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Aboru]], [[Wassu, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Wassu]], [[Sameth, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Sameth]], [[Oma, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Oma]], dan [[Haruku, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Haruku]]) di sisi selatan Pulau Haruku. Warga Kariu saat itu merupakan sekelompok kecil masyarakat yang berpindah-pindah atau [[nomaden]], dan kemudian terakhir menempati wilayah antara Negeri Aboru dan Negeri Wassu, lokasi itu disebut Wasi Kariu yang berati Hutan Kariu dengan jejak Wae Kariu yang berarti Sungai Kariu.
 
Adapun Negeri Pelauw atau Matasiri adalah kotaraja atau pusat pemerintahan Uli Hatuhaha yang berbatasan dengan semua negeri adat di Pulau Haruku. Tapi Pelauw tidak memiliki batas dengan Kariu, karena memang saat itu begeri Kariu belum terbentuk atau belum ada. Pada masa negeri Pelauw diperintah oleh Upu Latu Marawakan yang bermarga Latupono, masyarakatnya telah memeluk [[agama Islam]] dan bermukim di pesisir pantai, pemerintahan [[kolonial Belanda]] datang dan bercokol di bagian utara Pulau Haruku. Mereka kemudian mendirikan Benteng New Hoorn di sisi timur negeri Pelauw pada tahun 1656 oleh [[Arnold de Vlaming]].
 
Belanda kemudian menempatkan 20 serdadu yang dipimpin oleh seorang berpangkat Sersan. Keberadaan serdadu kolonial di jegeri Pelauw juga membawa kebiasaan mereka dalam mengkonsumsi binatang buruan, termasuk [[Babi hutan]] yang kala itu masih banyak populasinya di Pulau Haruku. Kerap kali prajurit dari Benteng New Hoorn, berburu bersama masyarakat negeri Pelauw. Karena itu pula beberapa pemuda negeri Pelauw diperintahkan untuk memikul hasil buruan dari hutan. Setelah selesai bertugas, sebagai seorang Muslim, para pemuda negeri Pelauw tersebut diwajibkan "beristinja" (membersihkan diri sesuai [[syariat Islam]]) di Wae Marike’e.
 
Melihat kejadian semacam itu, Raja Negeri Pelauw kemudian menyampaikan atau mengusulkan kepada pimpinan kolonial di benteng bahwa akan mencari warga lain untuk berburu bersama prajurit, menghindari warga Pelauw terlibat dalam aktivitas berburu, yang harus diakhiri dengan beristinja. Aktivitas masyarakat Pelauw dalam berburu dengan prajurit kolonial rupanya diketahui oleh kelompok masyarakat yang tinggal di Wasi Kariu. Mereka kemudian menghadap Upu Latu Marawakan menawarkan diri untuk ikut berburu binatang bersama prajurit kolonial, apalagi mereka memang memiliki keterampilan dalam berburu.
 
[[raja (penguasa) |Raja]] Pelauw, Upu Latu Marawakan yang tidak menginginkan warganya ikut dalam aktivitas memikul hasil buruan, berupa Babi yang memang diharamkan untuk orang Muslim, sementara ada kelompok masyarakat lain yang tinggal di hutan menawarkan diri untuk menemani prajurit kolonial berburu. Upu Latu Marawakan kemudian memerintahkan utusannya menemui kelompok yang ada di Wasi Kariu, untuk dapat mewakili warga Pelauw dalam berburu bersama tentara kolonial. Tidak saja itu, untuk memudahkan, Upu Latu Marawakan juga memberikan tanah untuk ditempati kelompok dari Wasi Kariu ke satu wilayah di samping Benteng New Hoorn.
 
Apalagi lokasi tanah dekat benteng New Hoorn punya mata air sendiri yang disebut Wae Maua yang dapat memudahkan warga baru itu beraktivitas dan tidak mengganggu masyarakat Pelauw dalam aktivitas, terutama mandi dan berwudhu, serta aktivitas lainnya yang selama itu dilakukan di Wae Marike'e. Kedatangan warga baru di tanah Negeri Pelauw sesuai kesepakatan dengan kolonial adalah untuk memudahkan koordinasi dan komunikasi. Maka dibentuk pula penugasan secara administratif oleh pemerintah kolonial kepada kelompok dari Wasi Kariu itu.
 
Kolonial Belanda kemudian menganugerahi gelar Pati untuk urusan pemerintahan warga Wasi Kariu itu dengan sebutan "Pattiradjawane", artinya pati yang pertama sebagai pimpinan kelompok masyarakat Kariu. Berwenang memimpin kelompok masyarakatnya dengan tetap berkoordinasi dengan pemerintah Negeri Pelauw. Selain urusan pemerintahan, kelompok Kariu juga ditunjuk salah satu dari mereka untuk mengurusi urusan ekonomi, diberi gelar "Pattiwaelapia". Gelar ini diambil dari nama sungai yang oleh masyarakat Pelauw selalu dijadikan sebagai lokasi untuk mengolah sagu ("Wae" yang berarti [[Air]] dan "Lapia" yang berarti [[Sagu]]).
 
Struktur pemerintahan yang dibentuk untuk mengatur komunitas masyarakat yang turun dari Wasi Kariu ini dengan tujuan utama membantu pihak kolonial, dengan tetap melaporkan aktivitasnya kepada Raja negeri Pelauw. Karena secara keseluruhan raja selaku penguasa adat dan pemerintahan mengkoordinasikan sistem perdagangan rempah-rempah waktu itu. Seiring berjalannya waktu, sekira pada tahun 1930an, populasi warga Kariu pun semakin bertambah, sementara lokasi tinggal mereka tidak begitu luas. Apalagi karena melayani kolonial saat itu warga Kariu juga diberikan hak-hak istimewa, diantaranya diberikan kesempatan menjadi pengawal benteng sehingga dapat memegang senjata. Pada tahun 1933, terjadi gesekan antara warga Kariu dan masyarakat negeri Pelauw. Saat itu menjelang siang, warga Kariu berkumpul di depan Benteng New Hoorn (Kota Uwei) dan warga negeri Pelauw berkumpul depan Masjid dan Asari (Tauwamen Uwai), hingga kemudian ada warga Kariu yang melepaskan tembakan dari kota Uwei dan mengenai salah satu warga Negeri Pelauw.
 
Kondisi kemudian berkembang tidak terkendali, turut pula mempengaruhi hubungan relasi kedua komunitas yang notabene tinggal dalam satu kawasan yang tidak berbatas itu. Untuk menghindari terus terjadi gesekan dan atas persetujuan Raja negeri Pelauw yang waktu dipimpin oleh Abdul Basir Latuconsina, warga Kariu yang sebelumnya bermukim tak jauh dari benteng New Hoorn dipindahkan ke tanah negeri Pelauw yang ada di seberang Wae Marike’e, sehingga kedua komunitas ini berbatas dengan sungai. Itulah yang kemudian menjadi lokasi Negeri Kariu yang dikenal hingga saat ini. Yaitu diantara sungai Wae Marike’e di sebelah barat dan sungai mati atau Wae Ory Urui yang mengalir di samping Wae Rukumatai. Itulah batas negeri yang diijinkan raja negeri Pelauw, hanya sebatas itu, atas kesepakatan dengan pemerintah kolonial waktu itu. Usai dipindahkan ke lokasi tinggal yang baru, masyarakat Kariu tetap melayani pemerintah kolonial, sementara secara internal di negeri Pelauw terjadi dinamika ekonomi, politik, sosial dan budaya yang berujung pada gesekan masyarakat yang waktu itu terpolarisasi dalam dua kelompok.
 
Untuk menghindari benturan atau gesekan kedua kelompok, atas persetujuan pemerintah kolonial dan Raja Negeri Pelauw. Pada tahun 1939, salah satu kelompok dari warga negeri Pelauw ditempatkan di lokasi yang namanya Ory, yang berada di seberang Wae Ory Urui berbatasan dengan Kariu di sisi barat. Dengan demikian posisi Kariu ada di antara Pelauw dan Ory. Negeri Kariu bagian barat berbatasan dengan Pelauw, yang perbatasannya ditandai dengan aliran Wae Marike’e, sementara sisi timur berbatasan Ory yang ditandai dengan kali mati atau Wae Ory Urui. Adapun Ory tetap masuk wilayah Pelauw. Sampai sekarang Ory secara administratif merupakan Dusun yang merupakan salah satu dari sembilan dusun di negeri Pelauw.<ref>{{cite web|url=https://batarapos.com/klarifikasi-negeri-pelauw-maluku-terkait-konflik-dengan-kariu-26-januari-2022-diduga-ada-pelanggaran-ham-by-omission/|title=Klarifikasi Negeri Pelauw Maluku, Terkait Konflik dengan Kariu 26 Januari 2022: Diduga Ada Pelanggaran HAM by Omission|author=Gus Din|date=31 Januari 2022|access-date=12 Februari 2022|language=id|website=batarapos.com}}</ref>
 
==Kerusuhan==
{{Utama|Kerusuhan Haruku 2022}}
Desa Kariu terlibat bentrokan dengan [[Pelauw, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Desa Pelauw]] dan [[Ori, Pulau Haruku, Maluku Tengah|Desa Ori]] akibat sengketa tanah di perbatasan Desa Kariu dan Ori. Konflik ini terjadi pada tanggal 25–27 Januari 2022.
==Referensi==
{{Reflist}}

Revisi per 18 Februari 2022 02.36

Kariu
Leamoni Kamasune
Negara Indonesia
ProvinsiMaluku
KabupatenMaluku Tengah
KecamatanPulau Haruku
Luas-
Jumlah penduduk-
Kepadatan-

Kariu adalah sebuah negeri di kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah, Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Negeri (desa) Kariu terletak di bagian utara Pulau Haruku dan letaknya dikelilingi oleh Negeri Pelauw yang lebih luas. Negeri Kariu menurut catatan sejarah setempat dahulu merupakan bagian dari wilayah Petuanan Negeri Pelauw hingga akhirnya menjadi negeri adat terpisah dari Pelauw.

Sejarah

Dahulu negeri-negeri adat yang memegang hukum adat di Pulau Haruku belum mengenal nama Kariu. Baik oleh Uli Hatuhaha (Pelauw, Kailolo, Kabauw, Rohomoni dan Hulaliu) di sisi utara, maupun di Uli Buangbesi (Aboru, Wassu, Sameth, Oma, dan Haruku) di sisi selatan Pulau Haruku. Warga Kariu saat itu merupakan sekelompok kecil masyarakat yang berpindah-pindah atau nomaden, dan kemudian terakhir menempati wilayah antara Negeri Aboru dan Negeri Wassu, lokasi itu disebut Wasi Kariu yang berati Hutan Kariu dengan jejak Wae Kariu yang berarti Sungai Kariu.

Adapun Negeri Pelauw atau Matasiri adalah kotaraja atau pusat pemerintahan Uli Hatuhaha yang berbatasan dengan semua negeri adat di Pulau Haruku. Tapi Pelauw tidak memiliki batas dengan Kariu, karena memang saat itu begeri Kariu belum terbentuk atau belum ada. Pada masa negeri Pelauw diperintah oleh Upu Latu Marawakan yang bermarga Latupono, masyarakatnya telah memeluk agama Islam dan bermukim di pesisir pantai, pemerintahan kolonial Belanda datang dan bercokol di bagian utara Pulau Haruku. Mereka kemudian mendirikan Benteng New Hoorn di sisi timur negeri Pelauw pada tahun 1656 oleh Arnold de Vlaming.

Belanda kemudian menempatkan 20 serdadu yang dipimpin oleh seorang berpangkat Sersan. Keberadaan serdadu kolonial di jegeri Pelauw juga membawa kebiasaan mereka dalam mengkonsumsi binatang buruan, termasuk Babi hutan yang kala itu masih banyak populasinya di Pulau Haruku. Kerap kali prajurit dari Benteng New Hoorn, berburu bersama masyarakat negeri Pelauw. Karena itu pula beberapa pemuda negeri Pelauw diperintahkan untuk memikul hasil buruan dari hutan. Setelah selesai bertugas, sebagai seorang Muslim, para pemuda negeri Pelauw tersebut diwajibkan "beristinja" (membersihkan diri sesuai syariat Islam) di Wae Marike’e.

Melihat kejadian semacam itu, Raja Negeri Pelauw kemudian menyampaikan atau mengusulkan kepada pimpinan kolonial di benteng bahwa akan mencari warga lain untuk berburu bersama prajurit, menghindari warga Pelauw terlibat dalam aktivitas berburu, yang harus diakhiri dengan beristinja. Aktivitas masyarakat Pelauw dalam berburu dengan prajurit kolonial rupanya diketahui oleh kelompok masyarakat yang tinggal di Wasi Kariu. Mereka kemudian menghadap Upu Latu Marawakan menawarkan diri untuk ikut berburu binatang bersama prajurit kolonial, apalagi mereka memang memiliki keterampilan dalam berburu.

Raja Pelauw, Upu Latu Marawakan yang tidak menginginkan warganya ikut dalam aktivitas memikul hasil buruan, berupa Babi yang memang diharamkan untuk orang Muslim, sementara ada kelompok masyarakat lain yang tinggal di hutan menawarkan diri untuk menemani prajurit kolonial berburu. Upu Latu Marawakan kemudian memerintahkan utusannya menemui kelompok yang ada di Wasi Kariu, untuk dapat mewakili warga Pelauw dalam berburu bersama tentara kolonial. Tidak saja itu, untuk memudahkan, Upu Latu Marawakan juga memberikan tanah untuk ditempati kelompok dari Wasi Kariu ke satu wilayah di samping Benteng New Hoorn.

Apalagi lokasi tanah dekat benteng New Hoorn punya mata air sendiri yang disebut Wae Maua yang dapat memudahkan warga baru itu beraktivitas dan tidak mengganggu masyarakat Pelauw dalam aktivitas, terutama mandi dan berwudhu, serta aktivitas lainnya yang selama itu dilakukan di Wae Marike'e. Kedatangan warga baru di tanah Negeri Pelauw sesuai kesepakatan dengan kolonial adalah untuk memudahkan koordinasi dan komunikasi. Maka dibentuk pula penugasan secara administratif oleh pemerintah kolonial kepada kelompok dari Wasi Kariu itu.

Kolonial Belanda kemudian menganugerahi gelar Pati untuk urusan pemerintahan warga Wasi Kariu itu dengan sebutan "Pattiradjawane", artinya pati yang pertama sebagai pimpinan kelompok masyarakat Kariu. Berwenang memimpin kelompok masyarakatnya dengan tetap berkoordinasi dengan pemerintah Negeri Pelauw. Selain urusan pemerintahan, kelompok Kariu juga ditunjuk salah satu dari mereka untuk mengurusi urusan ekonomi, diberi gelar "Pattiwaelapia". Gelar ini diambil dari nama sungai yang oleh masyarakat Pelauw selalu dijadikan sebagai lokasi untuk mengolah sagu ("Wae" yang berarti Air dan "Lapia" yang berarti Sagu).

Struktur pemerintahan yang dibentuk untuk mengatur komunitas masyarakat yang turun dari Wasi Kariu ini dengan tujuan utama membantu pihak kolonial, dengan tetap melaporkan aktivitasnya kepada Raja negeri Pelauw. Karena secara keseluruhan raja selaku penguasa adat dan pemerintahan mengkoordinasikan sistem perdagangan rempah-rempah waktu itu. Seiring berjalannya waktu, sekira pada tahun 1930an, populasi warga Kariu pun semakin bertambah, sementara lokasi tinggal mereka tidak begitu luas. Apalagi karena melayani kolonial saat itu warga Kariu juga diberikan hak-hak istimewa, diantaranya diberikan kesempatan menjadi pengawal benteng sehingga dapat memegang senjata. Pada tahun 1933, terjadi gesekan antara warga Kariu dan masyarakat negeri Pelauw. Saat itu menjelang siang, warga Kariu berkumpul di depan Benteng New Hoorn (Kota Uwei) dan warga negeri Pelauw berkumpul depan Masjid dan Asari (Tauwamen Uwai), hingga kemudian ada warga Kariu yang melepaskan tembakan dari kota Uwei dan mengenai salah satu warga Negeri Pelauw.

Kondisi kemudian berkembang tidak terkendali, turut pula mempengaruhi hubungan relasi kedua komunitas yang notabene tinggal dalam satu kawasan yang tidak berbatas itu. Untuk menghindari terus terjadi gesekan dan atas persetujuan Raja negeri Pelauw yang waktu dipimpin oleh Abdul Basir Latuconsina, warga Kariu yang sebelumnya bermukim tak jauh dari benteng New Hoorn dipindahkan ke tanah negeri Pelauw yang ada di seberang Wae Marike’e, sehingga kedua komunitas ini berbatas dengan sungai. Itulah yang kemudian menjadi lokasi Negeri Kariu yang dikenal hingga saat ini. Yaitu diantara sungai Wae Marike’e di sebelah barat dan sungai mati atau Wae Ory Urui yang mengalir di samping Wae Rukumatai. Itulah batas negeri yang diijinkan raja negeri Pelauw, hanya sebatas itu, atas kesepakatan dengan pemerintah kolonial waktu itu. Usai dipindahkan ke lokasi tinggal yang baru, masyarakat Kariu tetap melayani pemerintah kolonial, sementara secara internal di negeri Pelauw terjadi dinamika ekonomi, politik, sosial dan budaya yang berujung pada gesekan masyarakat yang waktu itu terpolarisasi dalam dua kelompok.

Untuk menghindari benturan atau gesekan kedua kelompok, atas persetujuan pemerintah kolonial dan Raja Negeri Pelauw. Pada tahun 1939, salah satu kelompok dari warga negeri Pelauw ditempatkan di lokasi yang namanya Ory, yang berada di seberang Wae Ory Urui berbatasan dengan Kariu di sisi barat. Dengan demikian posisi Kariu ada di antara Pelauw dan Ory. Negeri Kariu bagian barat berbatasan dengan Pelauw, yang perbatasannya ditandai dengan aliran Wae Marike’e, sementara sisi timur berbatasan Ory yang ditandai dengan kali mati atau Wae Ory Urui. Adapun Ory tetap masuk wilayah Pelauw. Sampai sekarang Ory secara administratif merupakan Dusun yang merupakan salah satu dari sembilan dusun di negeri Pelauw.[1]

Kerusuhan

Desa Kariu terlibat bentrokan dengan Desa Pelauw dan Desa Ori akibat sengketa tanah di perbatasan Desa Kariu dan Ori. Konflik ini terjadi pada tanggal 25–27 Januari 2022.

Referensi

  1. ^ Gus Din (31 Januari 2022). "Klarifikasi Negeri Pelauw Maluku, Terkait Konflik dengan Kariu 26 Januari 2022: Diduga Ada Pelanggaran HAM by Omission". batarapos.com. Diakses tanggal 12 Februari 2022.