Bidadari: Perbedaan antara revisi
k Clean up, replaced: Ada kalanya → Adakalanya using AWB |
|||
Baris 65: | Baris 65: | ||
* [[Nimfa]] |
* [[Nimfa]] |
||
* [[Elf]] |
* [[Elf]] |
||
* [[Huur]] |
|||
== Referensi == |
== Referensi == |
Revisi per 18 Januari 2017 08.19
Bidadari (Sanskerta: विध्यधरी ; vidhyadharī) atau Apsara (Sanskerta: अप्सरा; apsarāḥ) adalah makhluk berwujud manusia berjenis kelamin perempuan yang tinggal di kahyangan atau surga dalam kepercayaan Hindu dan Islam. Tugas dan fungsi mereka, menurut agama Hindu, adalah menjadi penyampai pesan para dewa kepada manusia, sebagaimana para malaikat dalam kepercayaan Semit. Adakalanya mereka diutus untuk menguji sejauh mana ketekunan seseorang (pria) dalam bertapa, dengan cara mencoba membangunkan para petapa dari tapa mereka. Para bidadari memanfaatkan kecantikan fisik mereka untuk menguji para petapa. Dalam ajaran Islam, bidadari akan menjadi istri-istri bagi orang-orang beriman yang masuk surga atau jannah.
Penampilan jasmani
Dalam penampilan fisik, bidadari dilukiskan sebagai sosok yang sangat cantik jelita dan sempurna tanpa cela. Tak jarang mereka diberikan kepada seseorang untuk diperistri sebagai hadiah atas jasa mereka melakukan sesuatu yang luar biasa demi kebaikan, misalnya dalam legenda Arjuna yang dijodohkan dengan bidadari Supraba setelah berhasil menumpas Niwatakawaca yang meneror para dewa dan manusia.
Istilah bidadari
Kata "bidadari" dalam bahasa Indonesia dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, begitu pula bahasa Jawa dan Bali. Dalam tradisi Jawa, bidadari yang juga disebut hapsari, juga disebut widodari, sedangkan dalam bahasa Bali, bidadari atau apsari dikenal dengan sebutan widyadari atau dedari. Istilah widodari dari Jawa dan widyadari / dedari dari Bali, berasal dari kata vidhyadhari dalam bahasa Sanskerta. Vidhya berarti "pengetahuan", sedangkan dharya berarti "pemilik", "pemakai" atau "pembawa". Istilah Vidhyadhari tersebut kemudian dikenal sebagai "bidadari" dalam bahasa Indonesia modern.
Orang Sunda menyebut bidadari dengan nama Pohaci. Dalam agama Hindu dan Buddha, mereka lebih dikenal sebagai apsara.
Bidadari menurut Hindu
Regweda
Dalam Regweda ada cerita tentang seorang bidadari yang merupakan istri seorang bidadara; namun, Regweda juga mengakui keberadaan bidadari yang jumlahnya lebih dari satu. Bidadari yang paling istimewa bernama Urwasi. Ada sebuah himne yang mengandung percakapan antara Urwasi dan kekasihnya yang tak kekal bernama Pururawa. Kemudian, banyak sastra Hindu yang menyatakan adanya banyak bidadari, yang bekerja sebagai dayang-dayang Indra atau sebagai penari di kahyangan.
Mahabharata
Pada kisah-kisah yang terkandung dalam Mahabharata, bidadari muncul sebagai peran pembantu yang utama. Wiracarita tersebut mengandung beberapa daftar tentang bidadari terkemuka, namun tidak selalu sama. Ada sebuah daftar bidadari dalam Mahabharata, yang juga memberikan deskripsi bagaimana aksi penari kahyangan saat muncul ke hadapan penghuni dan tamu kahyangan:
Gretaci dan Menaka dan Ramba dan Purwaciti dan Swayampraba dan Urwasi dan Misrakesi dan Dandagori dan Warutini dan Gopali dan Sahajanya dan Kumbayoni dan Prajagara dan Citrasena dan Citraleka dan Saha dan Maduraswana, mereka dan ribuan bidadari lainnya, memiliki mata seperti daun teratai, yang pekerjaannya merayu hati seseorang yang bertapa dengan khusuk, menari di sana. Dan dengan memiliki pinggang yang ramping, besar dan molek, mereka mulai melakukan berbagai gerakan, menggoyang buah dadanya yang mekar, dan mengedipkan mata ke sekelilingnya, dan melakukan atraksi menarik lainnya yang mampu mencuri hati dan membuai pikiran orang yang menontonnya.
Kitab Mahabharata juga menceritakan tindakan berani yang dilakukan oleh bidadari, seperti misalnya Tilottama, yang menyelamatkan dunia dari keganasan dua raksasa bersaudara, Sunda dan Upasunda. Selain itu ada kisah Urwasi, yang mencoba merayu Arjuna.
Kisah maupun tema yang sering muncul dalam Mahabharata adalah tentang seorang bidadari yang dikirim untuk merayu seorang pertapa atau rohaniwan dari pertapaannya yang khusuk. Sebuah kisah yang mengandung tema seperti ini, dinarasikan oleh seorang wanita bernama Sakuntala untuk menceritakan asal usulnya.
Natyasastra
Natyasastra, kitab untuk mempelajari drama dalam bahasa Sanskerta, memiliki daftar bidadari: Manjukesi, Sukesi, Misrakesi, Sulocana, Sodamini, Dewadatta, Dewasena, Manorama, Sudati, Sundari, Wigagda, Wiwida, Budha, Sumala, Santati, Sunanda, Sumuki, Magadi, Arjuni, Sarala, Kerala, Dreti, Nanda, Supuskala, Supuspamala dan Kalaba.
Bidadari dalam seni rupa dan pertunjukan
Bidadari dalam budaya Indonesia
Gambar bidadari ditemukan dalam beberapa kuil/candi dari zaman Jawa Kuno, sekitar masa wangsa Sailendra sampai kerajaan Majapahit. Biasanya gambar mereka tidak ditemukan sebagai motif penghias, namun sebagai ilustrasi sebuah cerita dalam wujud relief, contohnya di Borobudur, Mendut, Prambanan, Plaosan, dan Penataran. Di Borobudur, bidadari digambarkan sebagai wanita kahyangan yang cantik, dan digambarkan dalam posisi berdiri maupun terbang, biasanya memegang teratai yang mekar, menaburkan kelopak bunga, atau menenun pakaian kahyangan yang mampu membuat mereka terbang. Candi Mendut di dekat Borobudur menggambarkan sekelompok dewata, makhluk surgawi yang beterbangan di kahyangan, termasuk bidadari.
Secara tradisional, bidadari digambarkan sebagai wanita kahyangan yang menghuni surga Dewa Indra (Jawa: Kaéndran). Mereka dikenal sebagai pelaksana tugas istimewa, yaitu dikirim ke bumi oleh Indra untuk merayu, menggoda dan menguji keimanan para pertapa yang mungkin berkat tapa, mereka dapat memperoleh kekuatan melebihi para dewa. Tema ini sering muncul dalam tradisi Jawa, misalnya Kakawin Arjunawiwaha, ditulis oleh Mpu Kanwa pada tahun 1030, selama masa pemerintahan Raja Airlangga. Kisah itu bercerita tentang Arjuna, yang sedang berusaha mengalahkan raksasa Niwatakawaca, mencoba bertapa dan bermeditasi. Maka dari itu, Indra mengirim beberapa apsara untuk mengujinya. Bagaimanapun juga, Arjuna dapat mengendalikan nafsunya dan kemudian memperoleh senjata sakti dari para dewa untuk mengalahkan sang raksasa.
Tradisi Hindu-Buddha di Jawa juga memengaruhi Bali. Dalam tarian Bali, tema tentang wanita kahyangan sering muncul. Tarian seperti misalnya Sang Hyang Dedari dan Legong menggambarkan wanita kahyangan menurut cara mereka. Di keraton Kesultanan Mataram, tradisi menampilkan penari kahyangan dalam tarian masih tetap ada dan tetap bagus. Tarian Bedhaya di keraton-keraton Jawa menampilkan bidadari.
Bidadari dalam kesenian dan arsitektur Kamboja
Bidadari merupakan motif yang utama pada relief di kuil-kuil Angkor di Kamboja. Lukisan di kuil seringkali dibedakan menjadi dua macam penghuni kahyangan: Gambaran sosok makhluk yang menari atau dalam posisi tari, disebut "bidadari"; dan penggambaran sosok yang tegak berdiri, menghadap ke depan, dalam sikap selayaknya penjaga kuil, disebut "dewata".
Ukiran bidadari biasanya ditemukan di Angkor Wat, kuil Angkor kuno yang terbesar. Para sarjana telah menghitung ada lebih dari 1.860 ukiran pada monumen abad ke-12 tersebut. Beberapa diukir pada pilar, beberapa pada tembok, kadang terletak di menara. Penelitian yang diumumkan pada tahun 1927 oleh Sappho Marchal telah mencatat perbedaan yang menarik tentang rambut, hiasan kepala, kain, permata dan bunga-bunga hiasan, yang disimpulkan oleh Marchal bahwa itu dibuat sesuai dengan kehidupan masyarakat selama zaman Angkor.
Tarian Khmer klasik
Tarian Khmer klasik, yaitu seni pertunjukan seperti balet asli dari Kamboja, seringkali disebut "Tarian Bidadari". Konon tarian Khmer kalsik pada zaman sekarang dihubungkan dengan tradisi menari di istana raja-raja Angkor, yang terinspirasi dari mitologi tentang istana para dewa di kahyangan dan penarinya adalah para bidadari.
Bidadari dalam kesenian Champa
Bidadari juga merupakan motif yang penting dalam kesenian Champa, tetangga Angkor pada zaman pertengahan, terletak di sebelah timur sepanjang pantai yang sekarang dikenal sebagai Vietnam Tengah. Yang istimewa adalah penggambaran bidadari menurut aliran Tra Kieu, aliran seni yang berkembang antara abad ke-10 sampai abad ke-11 Masehi.
Bidadari menurut Islam
Umat Islam meyakini adanya bidadari, istilah "huurin `iin" (وَحُورٌ عِينٌ) dalam al-Quran, diterjemahkan sebagai bidadari yang bermata jeli,[1] mereka digambarkan selalu perawan, dengan umur sebaya yang diciptakan langsung tanpa proses kelahiran,[2] dan digambarkan payudara mereka padat dan fisik mereka seperti gadis remaja.[3]
Memiliki kulit putih, bening, bersih dan lembut yang sempurna, diibaratkan seperti telur yang tersimpan dengan baik, dan ibaratkan pula para bidadari itu seperti permata yakut dan mutiara. Dijelaskan pula bahwa para bidadari itu sangat sopan, selalu menundukkan pandangannya, mereka tidak pernah disentuh oleh bangsa manusia atau jin.[4]
Lihat pula
Referensi
- ^ "...dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli." (Al-Waqi’ah 56:22)
- ^ Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (wanita surga) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (Al-Waqi’ah 56:35-37)
- ^ "(Bagi penghuni surga para bidadari) yang buah dada mereka bulat melingkar serta remaja yang sebaya." (An-Naba' 78:33)
- ^ “Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman 55:56)