Lompat ke isi

Bidadari

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Apsara)
Patung bidadari atau apsari dari suatu kuil di Bangalore, Karnataka, India.

Bidadari (Dewanagari: विध्यधरी; ,IASTVidhyadharī,; juga disebut dengan istilah apsara atau apsari[1]) menurut kepercayaan Hindu, adalah makhluk gaib berwujud manusia berjenis kelamin wanita yang tinggal di kahyangan (surga) dan menjadi istri para gandarwa.[2] Kepercayaan tersebut juga tersebar di kawasan yang mendapatkan pengaruh Hindu, antara lain Asia Selatan dan Tenggara.[3]

Tugas dan fungsi mereka, menurut agama Hindu, adalah menjadi penyampai pesan para dewa kepada manusia, sebagaimana para malaikat dalam kepercayaan Semit. Adakalanya mereka diutus untuk menguji sejauh mana ketekunan seseorang (pria) dalam bertapa, dengan cara mencoba membangunkan para petapa dari tapa mereka. Para bidadari memanfaatkan kecantikan fisik mereka untuk menguji para petapa.

Etimologi dan terminologi

[sunting | sunting sumber]

Kata "bidadari" dalam bahasa Melayu dan Indonesia (demikian pula kata hapsari atau widodari dalam bahasa Jawa, serta kata widyadari atau dedari dalam bahasa Bali) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta.[4] Kata "bidadari" berasal dari kata vidyadhārī, yang merupakan bentuk feminin dari kata vidyadhāra (Dewanagari: विद्यधार), artinya "Pembawa Pengetahuan". Vidhya berarti "pengetahuan", sedangkan dharya berarti "pemilik", "pemakai" atau "pembawa". Istilah Vidhyadhari tersebut kemudian dikenal sebagai "bidadari" dalam bahasa Indonesia modern.

Dalam susastra Hindu, kata "apsara" lebih sering digunakan daripada bidadari. Akar kata apsara yaitu apsaras (अप्सरस्). Bentuk kata benda tunggalnya adalah apsarās (अप्सरास्), atau apsarāḥ (अप्सरा), yang kemudian menjadi apsarā. Kamus Monier-Williams menyatakan etimologi sebagai berikut: अप् (ap) + √सृ (sṛ), "berkelana di perairan atau di antara perairan awan-awan".[2]

Orang Sunda menyebut bidadari dengan nama Pohaci. Dalam agama Hindu dan Buddha, mereka lebih dikenal sebagai apsara.

Kepercayaan Hindu

[sunting | sunting sumber]
Patung bidadari yang dibuat pada abad ke-12, dari Uttar Pradesh, India.

Penampilan jasmani

[sunting | sunting sumber]

Dalam penampilan fisik, mereka memang dilukiskan sebagai sosok yang sangat cantik jelita dan sempurna tanpa cela. Tak jarang mereka diberikan kepada seseorang untuk diperistri sebagai hadiah atas jasa mereka melakukan sesuatu yang luar biasa demi kebaikan, misalnya dalam legenda Arjuna yang dijodohkan dengan bidadari Supraba setelah berhasil menumpas Niwatakawaca yang meneror para dewa dan manusia.

Dalam kitab Regweda ada cerita tentang seorang bidadari yang merupakan istri seorang bidadara; namun, Regweda juga mengakui keberadaan bidadari yang jumlahnya lebih dari satu. Bidadari yang paling istimewa bernama Urwasi. Ada sebuah himne yang mengandung percakapan antara Urwasi dan kekasihnya dari golongan manusia bernama Pururawa.[5] Kemudian, banyak sastra Hindu yang menyatakan adanya banyak bidadari, yang bekerja sebagai dayang-dayang Indra atau sebagai penari di kahyangan.[6]

Mahabharata

[sunting | sunting sumber]

Pada kisah-kisah yang terkandung dalam Mahabharata, bidadari muncul sebagai peran pembantu yang utama. Wiracarita tersebut mengandung beberapa daftar tentang bidadari terkemuka, tetapi tidak selalu sama. Ada sebuah daftar bidadari dalam Mahabharata, yang juga memberikan deskripsi bagaimana aksi penari kahyangan saat muncul ke hadapan penghuni dan tamu kahyangan:

Gretaci dan Menaka dan Ramba dan Purwaciti dan Swayampraba dan Urwasi dan Misrakesi dan Dandagori dan Warutini dan Gopali dan Sahajanya dan Kumbayoni dan Prajagara dan Citrasena dan Citraleka dan Saha dan Maduraswana, mereka dan ribuan bidadari lainnya, memiliki mata seperti daun teratai, yang pekerjaannya merayu hati seseorang yang bertapa dengan khusuk, menari di sana. Dan dengan memiliki pinggang yang ramping, besar dan molek, mereka mulai melakukan berbagai gerakan, menggoyang buah dadanya yang mekar, dan mengedipkan mata ke sekelilingnya, dan melakukan atraksi menarik lainnya yang mampu mencuri hati dan membuai pikiran orang yang menontonnya.[7]

Kitab Mahabharata juga menceritakan tindakan berani yang dilakukan oleh bidadari, seperti misalnya Tilottama, yang menyelamatkan dunia dari keganasan dua raksasa bersaudara, Sunda dan Upasunda. Selain itu ada kisah Urwasi, yang mencoba merayu Arjuna.

Kisah maupun tema yang sering muncul dalam Mahabharata adalah tentang seorang bidadari yang dikirim untuk merayu seorang pertapa atau rohaniwan dari pertapaannya yang khusuk. Sebuah kisah yang mengandung tema seperti ini, dinarasikan oleh seorang wanita bernama Sakuntala untuk menceritakan asal-usulnya.

Natyasastra

[sunting | sunting sumber]

Natyasastra, kitab untuk mempelajari drama dalam bahasa Sanskerta, memiliki daftar bidadari: Manjukesi, Sukesi, Misrakesi, Sulocana, Sodamini, Dewadatta, Dewasena, Manorama, Sudati, Sundari, Wigagda, Wiwida, Budha, Sumala, Santati, Sunanda, Sumuki, Magadi, Arjuni, Sarala, Kerala, Dreti, Nanda, Supuskala, Supuspamala dan Kalaba.

Seni rupa dan pertunjukan

[sunting | sunting sumber]
Tari Legong dari Bali, menampilkan wanita yang berperan sebagai bidadari.

Budaya Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Gambar bidadari ditemukan dalam beberapa kuil/candi dari zaman Jawa Kuno, sekitar masa wangsa Sailendra sampai kerajaan Majapahit. Biasanya gambar mereka tidak ditemukan sebagai motif penghias, tetapi sebagai ilustrasi sebuah cerita dalam wujud relief, contohnya di Borobudur, Mendut, Prambanan, Plaosan, dan Penataran. Di Borobudur, bidadari digambarkan sebagai wanita kahyangan yang cantik, dan digambarkan dalam posisi berdiri maupun terbang, biasanya memegang teratai yang mekar, menaburkan kelopak bunga, atau menenun pakaian kahyangan yang mampu membuat mereka terbang. Candi Mendut di dekat Borobudur menggambarkan sekelompok dewata, makhluk surgawi yang beterbangan di kahyangan, termasuk bidadari.

Secara tradisional, bidadari digambarkan sebagai wanita kahyangan yang menghuni surga Dewa Indra (Jawa: Kaéndran). Mereka dikenal sebagai pelaksana tugas istimewa, yaitu dikirim ke bumi oleh Indra untuk merayu, menggoda dan menguji keimanan para pertapa yang mungkin berkat tapa, mereka dapat memperoleh kekuatan melebihi para dewa. Tema ini sering muncul dalam tradisi Jawa, misalnya Kakawin Arjunawiwaha, ditulis oleh Mpu Kanwa pada tahun 1030, selama masa pemerintahan Raja Airlangga. Kisah itu bercerita tentang Arjuna, yang sedang berusaha mengalahkan raksasa Niwatakawaca, mencoba bertapa dan bermeditasi. Maka dari itu, Indra mengirim beberapa apsara untuk mengujinya. Bagaimanapun juga, Arjuna dapat mengendalikan nafsunya dan kemudian memperoleh senjata sakti dari para dewa untuk mengalahkan sang raksasa.

Relief bidadari, atau wanita surgawi, di Candi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia.

Legenda Jaka Tarub merupakan cerita rakyat dari Jawa Tengah yang mengisahkan tentang pemuda bernama Jaka Tarub yang nekat mencuri selendang seorang bidadari dari kahyangan bernama Nawang Wulan lalu menikahinya. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang putri bernama Nawangsih. Dalam naskah Babad Tanah Jawi, tertulis bahwa Jaka Tarub, Nawang Wulan, dan Nawangsih adalah leluhur dari keluarga Kesultanan Mataram.

Dalam Kakawin Arjunawiwāha, dikisahkan Arjuna diutus oleh Batara Indra untuk membunuh raja raksasa bernama Niwatakawaca, karena Niwatakawaca mengancam akan memporakporandakan kahyangan dan bumi. Kemudian, Batara Indra mengutus tujuh oranh bidadari untuk menguji Arjuna yang bertapa. Dari tujuh bidadari itu, Batara Indra mengutus seorang bidadari bernama Supraba untuk menemani Arjuna dalam menjalankan misinya karena Supraba adalah kelemahan dari Niwatakawaca. Setelah Arjuna berhasil membunuh Niwatakawaca, Arjuna menikah dengan Supraba.

Tradisi Hindu-Buddha di Jawa juga memengaruhi Bali. Dalam tarian Bali, tema tentang wanita kahyangan sering muncul. Tarian seperti misalnya Sang Hyang Dedari dan Legong menggambarkan wanita kahyangan menurut cara mereka. Di keraton Kesultanan Mataram, tradisi menampilkan penari kahyangan dalam tarian masih tetap ada dan tetap bagus. Tarian Bedhaya di keraton-keraton Jawa menampilkan bidadari.

Budaya Kamboja

[sunting | sunting sumber]
Seniman Kamboja mempertunjukkan Tari Khmer Klasik yang melambangkan apsara di Siem Reap.

Bidadari merupakan motif yang utama pada relief di kuil-kuil Angkor di Kamboja. Lukisan di kuil sering kali dibedakan menjadi dua macam penghuni kahyangan: Gambaran sosok makhluk yang menari atau dalam posisi tari, disebut "bidadari"; dan penggambaran sosok yang tegak berdiri, menghadap ke depan, dalam sikap selayaknya penjaga kuil, disebut "dewata".[8]

Ukiran bidadari biasanya ditemukan di Angkor Wat, kuil Angkor kuno yang terbesar. Para sarjana telah menghitung ada lebih dari 1.860 ukiran pada monumen abad ke-12 tersebut. Beberapa diukir pada pilar, beberapa pada tembok, kadang terletak di menara. Penelitian yang diumumkan pada tahun 1927 oleh Sappho Marchal telah mencatat perbedaan yang menarik tentang rambut, hiasan kepala, kain, permata dan bunga-bunga hiasan, yang disimpulkan oleh Marchal bahwa itu dibuat sesuai dengan kehidupan masyarakat selama zaman Angkor.[9]

Tarian Khmer klasik, yaitu seni pertunjukan seperti balet asli dari Kamboja, sering kali disebut "Tarian Bidadari". Konon tarian Khmer kalsik pada zaman sekarang dihubungkan dengan tradisi menari di istana raja-raja Angkor, yang terinspirasi dari mitologi tentang istana para dewa di kahyangan dan penarinya adalah para bidadari.

Bidadari juga merupakan motif yang penting dalam kesenian Champa, tetangga Angkor pada zaman pertengahan, terletak di sebelah timur sepanjang pantai yang sekarang dikenal sebagai Vietnam Tengah. Yang istimewa adalah penggambaran bidadari menurut aliran Tra Kieu, aliran seni yang berkembang antara abad ke-10 sampai abad ke-11 Masehi.

Dalam budaya populer

[sunting | sunting sumber]

Padanan dalam Islam

[sunting | sunting sumber]

Umat Islam meyakini adanya makhluk yang disebut dengan istilah Huurin `Iin dalam al-Quran, dan diterjemahkan sebagai bidadari yang bermata jeli,[10] mereka digambarkan selalu perawan, dengan umur sebaya yang diciptakan langsung tanpa proses kelahiran,[11] dan digambarkan payudara mereka padat dan fisik mereka seperti gadis remaja.[12]

Memiliki kulit putih, bening, bersih dan lembut yang sempurna, diibaratkan seperti telur yang tersimpan dengan baik, dan ibaratkan pula para bidadari itu seperti permata yakut dan mutiara. Dijelaskan pula bahwa para bidadari itu sangat sopan, selalu menundukkan pandangannya, mereka tidak pernah disentuh oleh bangsa manusia atau jin.[13]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia, Definisi 'apsari' (edisi ke-V), Kemdikbud 
  2. ^ a b Monnier-Williams Sanskrit-English Dictionary 
  3. ^ "Apsara | Indian religion and mythology". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-15. 
  4. ^ ""bidadari" - Maklumat Kata". Pusat Rujukan Persuratan Melayu. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Diakses tanggal 26 July 2019. 
  5. ^ Rig Veda, Book X, Hymn 95.
  6. ^  Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Apsaras". Encyclopædia Britannica. 2 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 231. 
  7. ^ Mahabharata, Book III: Vana Parva, Section 43.
  8. ^ Maurice Glaize, Monuments of the Angkor Group, p.37.
  9. ^ "Home". Rough Guides (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-15. 
  10. ^ "...dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli." (Al-Waqi’ah 56:22)
  11. ^ Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (wanita surga) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (Al-Waqi’ah 56:35-37)
  12. ^ "(Bagi penghuni surga para bidadari) yang buah dada mereka bulat melingkar serta remaja yang sebaya." (An-Naba' 78:33)
  13. ^ “Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman 55:56)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]