Kopi di Indonesia: Perbedaan antara revisi
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan visualeditor-wikitext |
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan visualeditor-wikitext |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
[[Berkas:Coffeeroasting woodfired.jpg|jmpl|ka|Kopi pada saat digoreng di Toko Aroma, Bandung, Indonesia]] |
[[Berkas:Coffeeroasting woodfired.jpg|jmpl|ka|Kopi pada saat digoreng di Toko Aroma, Bandung, Indonesia]] |
||
⚫ | |||
'''Kopi Indonesia''', yaitu kopi yang diekspor dari [[Indonesia]], saat ini menempati peringkat keempat terbesar di dunia dari segi hasil produksi sebanyak 648.000 ton, setelah [[Brazil]], [[Vietnam]] dan [[Kolombia]].{{sfn|Taufiqurohman|2018|p=59}} |
'''Kopi Indonesia''', yaitu kopi yang diekspor dari [[Indonesia]], saat ini menempati peringkat keempat terbesar di dunia dari segi hasil produksi sebanyak 648.000 ton, setelah [[Brazil]], [[Vietnam]] dan [[Kolombia]].{{sfn|Taufiqurohman|2018|p=59}} |
||
Baris 59: | Baris 58: | ||
== Status industri == |
== Status industri == |
||
⚫ | |||
[[Kopi]] dari [[Indonesia]] diekspor ke berbagai negara di dunia, antara lain: |
[[Kopi]] dari [[Indonesia]] diekspor ke berbagai negara di dunia, antara lain: |
Revisi per 27 Desember 2018 16.09
Kopi Indonesia, yaitu kopi yang diekspor dari Indonesia, saat ini menempati peringkat keempat terbesar di dunia dari segi hasil produksi sebanyak 648.000 ton, setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia.[1]
Biji kopi yang tumbuh di Indonesia, pada dasarnya hanya terdiri atas tiga macam, yaitu : biji kopi Arabika, biji kopi Robusta dan biji kopi Liberika[2]. Kopi di Indonesia memiliki sejarah panjang dan memiliki peranan penting bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat di Indonesia. Indonesia diberkati dengan letak geografisnya yang sangat cocok difungsikan sebagai lahan perkebunan kopi. Letak Indonesia sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi.
Sejarah
Abad 18
Benih kopi Arabika, untuk pertama kalinya ditanam di pulau Jawa, tepatnya di daerah Kedawung, sebuah perkebunan berlokasi dekat dengan Batavia/Jakarta oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1696[3] [4], dibawa langsung oleh pimpinan kapal dagang Belanda, Adrian van Ommen dari Malabar, India. Usaha ini mengalami kegagalan, karena bencana yang terjadi pada masa itu. Pemerintahan Belanda melakukan usaha penanaman kedua dengan mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar, Jawa Barat, dan mengalami kesuksesan, dimana kopi yang dihasilkan berkualitas sangat baik sehingga dijadikan bibit bagi semua perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Pemerintah Belanda akhirnya meluaskan areal budidayanya ke Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.[4]
Lima belas tahun kemudian, atau kurang lebih pada tahun 1711, Bupati Cianjur, Raden Aria Wira Tanu III, mengapalkan sekitar 4 kuintal kopi ke Amsterdam, dan ekspor kopi perdana tersebut memecahkan rekor harga lelang disana. Tahun 1726, tidak kurang dari 2.145 ton kopi yang berasal dari pulau Jawa, membanjiri benua Eropa, mengalahkan kopi Mocha dari Yaman yang sebelumnya menjadi penguasa pasar. Dan karena itu pula, kopi yang berasal dari pulau Jawa mulai dikenal dengan nama Java Coffee [3]
Pada tahun 1714, Raja Louis XIV dari Perancis, meminta benih Coffea arabica var. Arabica atau disebut sebagai Coffea arabica L. var. typica yang untuk selanjutnya disebut sebagai tipika dari walikota Amsterdam Nicolaes Witsen. Hal ini dikarenakan raja Perancis tersebut mendapatkan fakta bahwasanya Kopi asal pulau Jawa mendapatkan harga tertinggi dalam lelang di Amsterdam, Belanda. Sehingga ia menginginkan varietas kopi itu dapat menjadi bagian dari kebun raya Jardin des Plantes di kota Paris, Perancis. [3]
Benih tersebut, aslinya tumbuh di bantaran Ciliwung, seperti Kampung Melayu dan Jatinegara atau dulu dikenal dengan nama Meester Cornelis, yang merupakan area awal perkebunan kopi di Jawa, dimana bibitnya dibawa orang Belanda dari Sri Lanka. Pada tahun 1706, saat kopi tumbuh dengan lambak di Jawa, oleh pemerintah Belanda, benih kopi yang tumbuh di bantaran Ciliwung, dikirimkan ke kebun botani di Amsterdam untuk dilakukan penelitian, dimana hasilnya, kopi tersebut berkualitas bagus.[3]
Benih kopi Jawa yang ada di kebun raya Jardin des Plantes dibawa oleh perwira angkatan laut Perancis ke Martinique, salah satu koloni Perancis di Karibia. Selain itu di awal tahun 1720-an, Belanda juga mengirimkan benih kopi Jawa ke Suriname, karena tergiur dengan harganya yang tinggi, untuk membuka perkebunan di sana. Dari dua tempat tersebut, benih kopi Jawa menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jejaknya terlihat di Amerika Latin, yaitu di Ethiopia. Disana ada tipika yang sekarang sudah memiliki merek Blue Mountain yang ditanam di Jamaika dan Geisha atau Gesha, dimana nama itu mengacu pada nama dusun penghasil kopi di Ethiopia yang tumbuh di Panama. [5]
Pada tahun 1878 di hampir semua area perkebunan kopi Indonesia, terutama yang terletak di dataran rendah, rusak terkena hama penyakit karat daun (Hemileia vastatrix - HV), dimana pada masa itu kopi-nya berjenis kopi Arabika. Pemerintah Belanda menanggulanginya dengan mendatangkan spesies kopi Liberika (Coffea Liberica) yang diharapkan lebih tahan terhadap hama ini. Namun upaya ini juga mengalami kegagalan, karena mereka juga terkena hama yang sama.[4]
Baru pada tahun 1907, pemerintahan Belanda mendatangkan spesies lainnya, yaitu kopi Robusta (Coffea Canephora). Dan usaha mereka kali ini berhasil, dimana hampir semua perkebunan yang terletak di dataran rendah tidak terkena lagi hama penyakit karat daun.[4]
Abad 19
Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel sekitar tahun (1830 — 1870) di masa penjajahan pemerintah Belanda di Indonesia, mereka membuka sebuah perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau Sumatera dan sebahagian Indonesia Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores.
Pada permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah penjajahan Belanda sempat memutuskan untuk mencoba menggantinya dengan jenis kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun di daerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama meskipun jenis kopi yang dibudidayakan disana juga kopi Arabica.
Pemerintah Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika sedikit lebih besar dari biji kopi Arabika dan kopi Robusta.
Sebenarnya, perkebunan kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dimana buruh perkebunan kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.
Status industri
Kopi dari Indonesia diekspor ke berbagai negara di dunia, antara lain:
- Amerika Serikat, sebanyak 67,3 ton
- Jerman 42,6 ton
- Malaysia 39 ton
- Italia 35,8 ton
- Jepang 35,4 ton
- Rusia 24,2 ton
- Mesir 21,1 ton
- Inggris 18,4 ton
- Belgia 12,2 ton
- Kanada 4,3 ton dan
- Negara lainnya 112 ton[1]
Di Indonesia, kopi Robusta merupakan kopi yang terbanyak diproduksi, dan Lampung merupakan gudang kopi utama di Indonesia.[6] Robusta menggantikan kopi Liberika. Walaupun ini bukan kopi yang khas bagi Indonesia, kopi ini menjadi bahan ekspor yang penting di Indonesia.
Bencana alam, Perang Dunia II dan perjuangan kemerdekaan - semuanya mempunyai peranan penting bagi kopi di Indonesia. Pada awal abad ke-20 perkebunan kopi berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda. Infrastruktur dikembangkan untuk mempermudah perdagangan kopi. Sebelum Perang Dunia II di Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi, gula, merica, teh dan tembakau ke Semarang untuk kemudian diangkut dengan kapal laut. Kopi yang ditanam di Jawa Tengah umumnya adalah kopi Arabika. Kopi Arabika juga banyak diproduksi di kebun-kebun seperti (Kayumas, Blawan, Kalisat/Jampit) di Bondowoso, Jawa Timur. Sedangkan kopi Robusta di Jawa Timur, banyak diproduksi dari kebun - kebun seperti Ngrangkah Pawon (Kediri), Bangelan (Malang), Malangsari, Kaliselogiri (Banyuwangi). Di daerah pegunungan dari Jember hingga Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi Arabika dan Robusta. Kopi Robusta tumbuh di daerah rendah sedangkan kopi Arabika tumbuh di daerah tinggi.
Setelah kemerdekaan banyak perkebunan kopi yang diambil alih oleh pemerintah yang baru atau ditinggalkan. Saat ini sekitar 92% produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.
Kebiasaan masyarakat minum kopi di Indonesia masih belumlah sebesar bangsa Barat, dan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, serupa Singapura dan Filipina, yang merupakan negara tujuan utama ekspor kopi Indonesia saat ini.[7] Kisaran konsumsi kopi di negara ini umumnya antara 1-3 cangkir sehari.[7]
Jenis-jenis kopi di Indonesia
Kopi Gayo
Kopi Gayo (bahasa Inggris: Gayo coffee) merupakan salah satu varietas kopi Arabika yang ditanam di daerah Dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, Indonesia.[8]
Lihat pula
Referensi
Catatan kaki
- ^ a b Taufiqurohman 2018, hlm. 59.
- ^ Wira, Ni Nyoman ( 2018-01-20), "Crazy about Indonesian coffee? Here are the basics of java", The Jakarta Post
- ^ a b c d Taufiqurohman 2018, hlm. 8.
- ^ a b c d [Rusman] ( 2018-03-17), "Asal Mula Masuknya Kopi di Indonesia", sindonews.com Periksa nilai
|author-link1=
(bantuan); - ^ Taufiqurohman 2018, hlm. 9.
- ^ Astawan 2004, hlm. 64.
- ^ a b Astawan 2004, hlm. 63.
- ^ [ http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/admin/docs/researchcorner/1561376297761.pdf Market Brief Kopi di Pasar Jerman] Periksa nilai
|url=
(bantuan) (PDF), Januari, diakses tanggal 2018-12-26
Daftar pustaka
- Astawan, Made (2004). Solusi Sehat: Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Solo: Tiga Serangkai. ISBN 979-668-443-8.
- Taufiqurohman, Muhammad (2018). Kopi: Aroma, Rasa, Cerita. Pusat Data dan Analisa Tempo Publishers. ISBN 978-602-6773-23-4.