Lompat ke isi

A. Haga: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''dr A. Haga''' adalah [[gubernur]] [[Borneo]] ([[1938]]-[[1942]]) dalam pemerintahan [[kolonial]] [[Hindia Belanda]] di [[Kalimantan]] yang berkedudukan di [[Banjarmasin]] yang merupakan pusat pemerintahan dan militer kolonial Belanda. Status residensi ([[karesidenan]]) untuk Borneo telah ditingkatkan menjadi [[provinsi]] sejak tahun [[1938]]. Sebagai gubernur diangkat dr. Haga, seorang kolonial yang baik untuk tugasnya di sebuah [[koloni]], seorang penggemar [[Hukum Adat]] dan Peraturan-peraturan [[desentralisasi]] Ia dikenal bersikap kaku dan formalistis.
'''dr A. Haga''' adalah [[gubernur]] [[Borneo]] ([[1938]]-[[1942]]) dalam pemerintahan [[kolonial]] [[Hindia Belanda]] di [[Kalimantan]] yang berkedudukan di [[Banjarmasin]] yang merupakan pusat pemerintahan dan militer kolonial Belanda. Status residensi ([[karesidenan]]) untuk Borneo telah ditingkatkan menjadi [[provinsi]] sejak tahun [[1938]]. Sebagai gubernur diangkat dr. Haga, seorang kolonial yang baik untuk tugasnya di sebuah [[koloni]], seorang penggemar [[Hukum Adat]] dan Peraturan-peraturan [[desentralisasi]] Ia dikenal bersikap kaku dan formalistis.<ref name="sejarah tematis">{{id}} Saleh, Idwar; SEJARAH DAERAH TEMATIS Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, Depdikbud, Jakarta, 1986.</ref>


== Kedatangan Tentara Jepang ==
== Kedatangan Tentara Jepang ==
Perkembangan antara [[8 Desember]] [[1941]] hingga [[10 Februari]] [[1942]] menjelang Tentara [[Jepang]] memasuki kota Banjarmasin, menggambarkan segala kepanikan dan kehancuran [[pemerintahan]] di [[daerah]], yaitu adanya pertentangan antara pemerintah [[sipil]] dan [[militer]]. Sementara terbetik kabar [[Jepang]] memasuki utara Kalimantan Selatan melalui desa Bongkang di [[Muara Uya, Tabalong]] pada tanggal [[8 Februari]] [[1942]], sehingga Gubernur Haga terpaksa meninggalkan [[Banjarmasin]] yang dibumihanguskan, mengungsi ke [[pedalaman]] [[sungai Barito]] (sebagai rencana merebut kembali [[Banjarmasin]] dengan [[perang gerilya]]) melalui [[Kuala Kapuas]] menuju [[Puruk Cahu]] (sekarang ibukota [[Murung Raya]]) diiringi staf, rombongan tentara, pegawai sipil, dan para wanita kulit putih yang tertinggal dalam [[evakuasi]] ke pulau [[Jawa]] sebelumnya.
Perkembangan antara [[8 Desember]] [[1941]] hingga [[10 Februari]] [[1942]] menjelang Tentara [[Jepang]] memasuki kota Banjarmasin, menggambarkan segala kepanikan dan kehancuran [[pemerintahan]] di [[daerah]], yaitu adanya pertentangan antara pemerintah [[sipil]] dan [[militer]]. Sementara terbetik kabar [[Jepang]] memasuki utara Kalimantan Selatan melalui desa Bongkang di [[Muara Uya, Tabalong]] pada tanggal [[8 Februari]] [[1942]], sehingga Gubernur Haga terpaksa meninggalkan [[Banjarmasin]] yang dibumihanguskan, mengungsi ke [[pedalaman]] [[sungai Barito]] (sebagai rencana merebut kembali [[Banjarmasin]] dengan [[perang gerilya]]) melalui [[Kuala Kapuas]] menuju [[Puruk Cahu]] (sekarang ibukota [[Murung Raya]]) diiringi staf, rombongan tentara, pegawai sipil, dan para wanita kulit putih yang tertinggal dalam [[evakuasi]] ke pulau [[Jawa]] sebelumnya.<ref name="sejarah tematis"/>


== Menyerahkan Diri ==
== Menyerahkan Diri ==
Tanggal [[8 Maret]] [[1942]] setelah mendengar [[kapitulasi]] Hindia Belanda tak bersyarat kepada Jepang, mereka mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyerahkan diri dan dikepalai Kapten van Epen yang menggunakan kapal Ellen dengan memasang bendera putih. Tanggal [[17 Maret]] 1942 orang Jepang membawa [[Kapten van Epen]] ke Puruk Cahu untuk melucuti dan penyerahan diri yang terjadi dua kali. Pertama penyerahan diri pihak militer, yang berikutnya penyerahan diri pihak pemerintah sipil Hindia Belanda. Selanjutnya mereka dimasukan dalam barak [[Benteng Tatas]]. Dalam tawanan tersebut dr. Haga sempat membuat rencana-rencana pemulihan kembali kekuasan Belanda di [[Kalimantan Selatan]], jika perang telah berakhir. Dalam bulan [[Mei]] [[1943]], Jepang menangkapi sejumlah orang (termasuk anggota [[Organisasi Penyokong Tawanan]]}, yang dianggap tersangkut rencana tersebut, lebih dari [[200]] orang tangkapan ini mati dibunuh dan hampir semua pegawai Pemerintah Hindia Belanda dalam kasus tersebut dijatuhi hukuman mati.
Tanggal [[8 Maret]] [[1942]] setelah mendengar [[kapitulasi]] Hindia Belanda tak bersyarat kepada Jepang, mereka mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyerahkan diri dan dikepalai Kapten van Epen yang menggunakan kapal Ellen dengan memasang bendera putih. Tanggal [[17 Maret]] 1942 orang Jepang membawa [[Kapten van Epen]] ke Puruk Cahu untuk melucuti dan penyerahan diri yang terjadi dua kali. Pertama penyerahan diri pihak militer, yang berikutnya penyerahan diri pihak pemerintah sipil Hindia Belanda. Selanjutnya mereka dimasukan dalam barak [[Benteng Tatas]]. Dalam tawanan tersebut dr. Haga sempat membuat rencana-rencana pemulihan kembali kekuasan Belanda di [[Kalimantan Selatan]], jika perang telah berakhir. Dalam bulan [[Mei]] [[1943]], Jepang menangkapi sejumlah orang (termasuk anggota [[Organisasi Penyokong Tawanan]]}, yang dianggap tersangkut rencana tersebut, lebih dari [[200]] orang tangkapan ini mati dibunuh dan hampir semua pegawai Pemerintah Hindia Belanda dalam kasus tersebut dijatuhi hukuman mati.<ref name="sejarah tematis"/>


Mantan gubernur Haga tertangkap dan dipenggal lehernya di tiang gantungan.<ref>[http://books.google.co.id/books?id=fpi9macZcn8C&lpg=PA157&dq=haga%20borneo&pg=PA73#v=onepage&q=haga%20borneo&f=true {{id}} Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, Peristiwa Mandor Berdarah, Media Pressindo, 2009, ISBN 9797881091, 9789797881092]</ref>
Mantan gubernur Haga tertangkap dan dipenggal lehernya di tiang gantungan.<ref>[http://books.google.co.id/books?id=fpi9macZcn8C&lpg=PA157&dq=haga%20borneo&pg=PA73#v=onepage&q=haga%20borneo&f=true {{id}} Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, Peristiwa Mandor Berdarah, Media Pressindo, 2009, ISBN 9797881091, 9789797881092]</ref>

Revisi per 20 Agustus 2010 21.56

dr A. Haga adalah gubernur Borneo (1938-1942) dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin yang merupakan pusat pemerintahan dan militer kolonial Belanda. Status residensi (karesidenan) untuk Borneo telah ditingkatkan menjadi provinsi sejak tahun 1938. Sebagai gubernur diangkat dr. Haga, seorang kolonial yang baik untuk tugasnya di sebuah koloni, seorang penggemar Hukum Adat dan Peraturan-peraturan desentralisasi Ia dikenal bersikap kaku dan formalistis.[1]

Kedatangan Tentara Jepang

Perkembangan antara 8 Desember 1941 hingga 10 Februari 1942 menjelang Tentara Jepang memasuki kota Banjarmasin, menggambarkan segala kepanikan dan kehancuran pemerintahan di daerah, yaitu adanya pertentangan antara pemerintah sipil dan militer. Sementara terbetik kabar Jepang memasuki utara Kalimantan Selatan melalui desa Bongkang di Muara Uya, Tabalong pada tanggal 8 Februari 1942, sehingga Gubernur Haga terpaksa meninggalkan Banjarmasin yang dibumihanguskan, mengungsi ke pedalaman sungai Barito (sebagai rencana merebut kembali Banjarmasin dengan perang gerilya) melalui Kuala Kapuas menuju Puruk Cahu (sekarang ibukota Murung Raya) diiringi staf, rombongan tentara, pegawai sipil, dan para wanita kulit putih yang tertinggal dalam evakuasi ke pulau Jawa sebelumnya.[1]

Menyerahkan Diri

Tanggal 8 Maret 1942 setelah mendengar kapitulasi Hindia Belanda tak bersyarat kepada Jepang, mereka mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyerahkan diri dan dikepalai Kapten van Epen yang menggunakan kapal Ellen dengan memasang bendera putih. Tanggal 17 Maret 1942 orang Jepang membawa Kapten van Epen ke Puruk Cahu untuk melucuti dan penyerahan diri yang terjadi dua kali. Pertama penyerahan diri pihak militer, yang berikutnya penyerahan diri pihak pemerintah sipil Hindia Belanda. Selanjutnya mereka dimasukan dalam barak Benteng Tatas. Dalam tawanan tersebut dr. Haga sempat membuat rencana-rencana pemulihan kembali kekuasan Belanda di Kalimantan Selatan, jika perang telah berakhir. Dalam bulan Mei 1943, Jepang menangkapi sejumlah orang (termasuk anggota Organisasi Penyokong Tawanan}, yang dianggap tersangkut rencana tersebut, lebih dari 200 orang tangkapan ini mati dibunuh dan hampir semua pegawai Pemerintah Hindia Belanda dalam kasus tersebut dijatuhi hukuman mati.[1]

Mantan gubernur Haga tertangkap dan dipenggal lehernya di tiang gantungan.[2]

Catatan kaki

  1. ^ a b c (Indonesia) Saleh, Idwar; SEJARAH DAERAH TEMATIS Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, Depdikbud, Jakarta, 1986.
  2. ^ (Indonesia) Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, Peristiwa Mandor Berdarah, Media Pressindo, 2009, ISBN 9797881091, 9789797881092