Desentralisasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Grafik sistem sentralisasi dan desentralisasi.

Desentralisasi, pemencaran, atau pengawapusatan merupakan suatu bentuk pemberian kewenangan kepada unit-unit atau pengelola-pengelola dengan tingkat kewenangan yang lebih rendah di dalam suatu struktur organisasi. Tujuannya untuk membentuk delegasi yang mampu mengadakan pengambilan keputusan secara mandiri. Desentralisasi dapat diterapkan dalam organisasi berskala besar maupun dalam pemerintahan suatu negara. Produk yang dihasilkan dari desentralisasi adalah kearifan setempat.

Dasar Hukum[sunting | sunting sumber]

Peningkatan otonomi, termasuk hak untuk mengadopsi hukum berdasarkan sistem hukum lokal (tradisional) di Kaledonia Baru. Dalam konteks Indonesia, dasar hukum desentralisasi di Indonesia adalah UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 (sekarang UU No. 32 dan 33 Tahun 2004), yang juga secara dinamis mengalami perubahan di tahun 2014. Kewenangan pemerintah pusat menyusut hanya mencakup pertahanan, agama, peradilan, urusan luar negeri, utang, dan pengelolaan keuangan. Di sisi lain, kewenangan pemerintah kabupaten diperluas untuk mencakup pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan budaya, pertanian, komunikasi, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.[1]

Tujuan[sunting | sunting sumber]

Desentralisasi merupakan salah satu konsep manajemen yang berkaitan dengan pengelolaan kewenangan. Pelaksanaannya dengan memberikan kewenangan kepada unit-unit ataupun pengelola-pengelola dalam melakukan pengambilan keputusan. Kewenangan yang diberikan merupakan suatu bentuk delegasi dari pimpinan kepada bawahan. Tujuan desentralisasi adalah meningkatkan efektivitas dan produktivitas dalam pencapaian tujuan organisasi.[2]

Manfaat[sunting | sunting sumber]

Menurut Rondinelli dan Cheema (1983), manfaat signifikan dari desentralisasi, antara lain:

1.. Menjadi sarana mengatasi keterbatasan perencanaan nasional terpusat.

2. Memotong sejumlah rantai birokrasi dan prosedur yang sangat terstruktur.

3. Meningkatkan pengetahuan dan kepekaan para pejabat terhadap masalah dan kebutuhan daerah.

4. Memungkinkan "penetrasi" kebijakan politik nasional yang lebih baik ke daerah-daerah yang jauh dari ibukota nasional.

5. Memungkinkan perwakilan yang lebih besar (dalam berbagai kelompok politik, agama, etnis, dan suku) dalam pengambilan keputusan pembangunan yang menghasilkan kesetaraan dalam alokasi sumber daya.

6. Memperluas kapasitas lembaga pemerintah daerah dan swasta untuk mengambil alih fungsi yang biasanya tidak dilakukan dengan baik oleh kementerian pusat.

7. Meningkatkan efisiensi pemerintah pusat.

8. Menyediakan struktur yang mampu mengkooordinasikan secara efektif berbagai kegiatan kementerian dan lembaga pemerintah pusat.

9. Melembagakan partisipasi warga dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan.

10. Mengimbangi pengaruh atau kontrol atas kegiatan pembangunan oleh elite lokal yang berakar.

11. Menciptakan proses administrasi yang lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif.

12. Memungkinkan pemimpin lokal untuk menemukan layanan dan fasilitas secara lebih efektif di dalam masyarakat.

13. Meningkatkan stabilitas politik dan persatuan nasional melalui partisipasi kelompok secara langsung dalam pembuatan keputusan pembangunan.

14. Meningkatkan jumlah barang dan jasa publik dan efisiensi yang diberikan dengan biaya lebih rendah [3]

Penerapan[sunting | sunting sumber]

Desentralisasi dilakukan dengan pemberian kekuasaan dari pemegang kekuasaan di tingkat yang lebih tinggi kepada pemegang kekuasaan di tingkat yang lebih rendah. Pemberian kekuasaan ini dilakukan dalam lingkup hierarki teritorial. Penerapan desentralisasi dapat diberlakukan dalam suatu pemerintahan pada suatu negara, atau pada suatu organisasi berskala besar.[4]

Negara[sunting | sunting sumber]

Desentralisasi dapat diterapkan pada negara yang berbentuk negara kesatuan. Pada negara kesatuan, kekuasaan tertinggi hanya dimiliki oleh pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan, desentralisasi menjadi pilihan dalam pengaturan pemerintahan selain sentralisasi. Perbedaan penerapan antara desentralisasi dan sentralisasi terletak pada norma-norma validitas teritorial. Desentralisasi dapat memiliki norma-norma validitas teritorial yang berbeda, sementara sentralisasi memiliki norma-norma validitas teritorial yang sama.[5]

Asas-Asas Desentralisasi[sunting | sunting sumber]

UU No 32 tahun 2014 mengatur tentang tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni lembaganya dan asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diatur dalam Pasal 57 sampai dengan 331 yakni sebagai berikut: Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. Penyelenggara Pemerintahan Daerah, berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas: a. kepastian hukum; b. tertib penyelenggara negara; c. kepentingan umum;d. keterbukaan; e. proporsionalitas; f. profesionalitas; g. akuntabilitas; h. efisiensi; i. efektivitas; dan j. keadilan.[6]

Pembagian Urusan Pemerintah Daerah[sunting | sunting sumber]

Menurut UU No. 32 Tahun 2004, dalam BAB III Pembagian Urusan Pemerintahan, Pasal 13 dan mengenai kewenangan pemerintah daerah provinsi, dibagi menjadi dua:

Urusan Wajib[sunting | sunting sumber]

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan Pilihan[sunting | sunting sumber]

Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Produk[sunting | sunting sumber]

Kearifan lokal[sunting | sunting sumber]

Desentralisasi dapat menghasilkan suatu produk yaitu kearifan lokal. Produk ini dihasilkan dalam kondisi desentralisasi yang disertai dengan dukungan kuat dari lembaga perwakilan kewenangan di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Pada kondisi ini, desentralisasi memiliki kemampuan dalam mengelola aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal dibandingkan dengan kebijakan dari pemerintah pusat.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ikbal, Muhammad (2022). "Desentralisasi Belajar Dari Perancis". www.stialan.ac.id. Diakses tanggal 2022-03-25. 
  2. ^ Wasistiono, S., dan Polyando, P. (2017). Politik Desentralisasi di Indonesia: Edisi Revisi Yang Diperluas (PDF). Sumedang: Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Press Jatinangor. hlm. 1. ISBN 978-602-61034-0-6. 
  3. ^ Wasistiono, Sadu (2020). DAPU6104 – Teori Pemerintahan Daerah (PDF). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. hlm. 21. ISBN 9786233120043. 
  4. ^ Jalal, Asran (2019). Politik Desentralisasi di Indonesia: Pertarungan Kepentingan dalam Proses Perumusan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (PDF). Bekasi: Penerbit Penjuru Ilmu. hlm. 36. ISBN 978-602-0967-42-4. 
  5. ^ Shimada, Y., dkk. (2018). Sugandi, B., dan Rif'an, A., ed. Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) (PDF). Bandar Lampung: AURA. hlm. 46. ISBN 978-602-5636-85-1. 
  6. ^ Kusriyah, Sri (2019). Politik Hukum Desentralisasi & Otonomi Daerah (PDF). Semarang: Unissula Press. ISBN 978-623-7097-07-5. 
  7. ^ Noor, Muhammad (2012). Memahami Desentralisasi Indonesia (PDF). Sleman: Interpena Yogyakarta. hlm. 98. ISBN 979-1740-25-9. 

Lihat pula[sunting | sunting sumber]