Lompat ke isi

Kota Bukittinggi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 8: Baris 8:
|image_skyline = 2011 jamgadang 2 cropped.jpg
|image_skyline = 2011 jamgadang 2 cropped.jpg
|imagesize = 250px
|imagesize = 250px
|image_caption = [[Jam Gadang]] Bukittinggi
|image_caption = [[Jam Gadang]]
|image_flag =
|image_flag =
|image_blank_emblem = Lambang Kota Bukittinggi.jpeg
|image_blank_emblem = Lambang Kota Bukittinggi.jpeg

Revisi per 25 Mei 2012 14.20

"Fort de Kock" beralih ke halaman ini. Untuk benteng, silakan lihat Fort de Kock (benteng)
Kota Bukittinggi
Jam Gadang
Logo resmi Kota Bukittinggi
Motto: 
Saayun Salangkah
Letak Bukittinggi di Sumatera Barat
Letak Bukittinggi di Sumatera Barat
NegaraIndonesia
ProvinsiSumatera Barat
Pemerintahan
 • Wali kotaH. Ismet Amzis, S.H.
Luas
 • Total25,24 km2 (9,75 sq mi)
Populasi
 (2010[1])
 • Total110.954
 • Kepadatan4,400/km2 (11,000/sq mi)
Zona waktuUTC+7 (WIB)
Kode area telepon+62 752
Situs webwww.bukittinggikota.go.id

Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.[4]

Bukittinggi sebelumnya disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya pernah dijuluki sebagai Parijs van Sumatra selain kota Medan.[5] Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.

Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam mirip Big Ben yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada pada tepi sebuah lembah bernama Ngarai Sianok.

Sejarah

Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825[6] pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota),[7] dan juga berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.[8]

Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Dimana kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[9] Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibukota Provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10] Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.

Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai ibukota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dikemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.[11][12]

Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,[13] yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.

Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan PP Nomor 84 Tahun 1999, yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok Anam Suku, Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang.[14] Namun sebagian masyarakat di 12 nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi, sehingga peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan.[15]

Geografi

Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1 – 24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.

Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 – 110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.

Kependudukan

Masjid Bengkudu dengan kolam di sekitarnya di dekat Bukittinggi, salah satu masjid tertua di Indonesia.
Pasar Ateh tempo dulu

Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.

Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[3] Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak.

Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock, yang terletak di bagian barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.

Tahun 2008 2010
Jumlah penduduk 106.045 110.954
Sejarah kependudukan kota Bukittinggi
Sumber:[3][1]

Pemerintahan

Balai kota Bukittinggi

Sejak tahun 1918 kota Bukittinggi telah berstatus gemeente,[16] selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2 km².[17] Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun Jepang.

Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh Kabupaten Agam, dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas wilayah masih berlanjut,[18] ditambah setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah kota Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km², dengan memasukan beberapa nagari yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi kota Bukittinggi.[19]

Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota, muncul kembali penolakan dari masyarakat Kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan wilayah Kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat Kabupaten Agam yang masuk ke dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan berada dalam sistem kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota yang telah heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.

Perwakilan

DPRD kota Bukittinggi
2009-2014
Partai Kursi
Lambang Partai Demokrat Partai Demokrat 8
Lambang Partai Golkar Partai Golkar 3
Lambang PAN PAN 3
PKS 3
Lambang PPP PPP 3
Lambang Partai Hanura Partai Hanura 2
Lambang PBB PBB 1
Lambang Gerindra Partai Gerindra 1
Lambang PKPI PKPI 1
Total 25
Sumber:[20]

Pada Pemilu Legislatif 2009, DPRD kota Bukittinggi adalah sebanyak 25 orang dan tersusun dari perwakilan sembilan partai.[20]

Pendidikan

Sejak zaman kolonialis Belanda, kota ini telah menjadi pusat pendidikan di Pulau Sumatera.[21] Dimulai sejak tahun 1872, dengan berdirinya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (sekolah guru untuk guru-guru bumiputera) atau dikenal juga dengan nama sekolah radja, yang selanjutnya berkembang menjadi volksschool atau sekolah rakyat. Kemudian pada tahun 1912 muncul Holandsch Inlandsche School (HIS), yang dilanjutkan dengan berdirinya Sekolah Pamong Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA) tahun 1918. Pada tahun 1926 juga telah berdiri MULO di kota Bukittinggi.[22]

Pada masa awal kemerdekaan di kota ini pernah berdiri sekolah Polwan dan Kadet serta sekolah Pamong Praja yang pertama di Indonesia. Bahkan Universitas Andalas, pertama kali didirikan di Bukittinggi.[23]

Pendidikan formal SD atau MI negeri dan swasta SMP atau MTs negeri dan swasta SMA negeri dan swasta MA negeri dan swasta SMK negeri dan swasta Perguruan tinggi
Jumlah satuan 65 19 11 5 13 4
Data sekolah di kota Bukittinggi
Sumber:
[24][25]

Kesehatan

Kota Bukittinggi telah memiliki pelayanan kesehatan yang baik, di mana kota dengan luas relatif kecil ini telah memiliki 5 rumah sakit, yaitu 3 buah milik pemerintah dan 2 milik swasta. Serta didukung oleh 5 buah puskesmas, 6 puskesmas keliling, dan 15 puskesmas pembantu. Salah satu yang utama adalah Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar, merupakan rumah sakit umum milik pemerintah tipe B dengan jumlah tempat tidur sebanyak 299.[26]

Rumah Sakit Stroke Nasional yang terdapat di kota ini, merupakan rumah sakit milik pemerintah dengan pelayanan khusus penyakit stroke, dan memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 124 buah.[27][28] Selain itu terdapat juga Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, sebuah rumah sakit swasta yang telah memiliki kapasitas tempat tidur sebanyak 136 buah.[26]

Sementara untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, sampai tahun 2009 terdapat 8 institusi pendidikan tenaga kesehatan di Kota Bukittinggi. 2 institusi milik pemerintah (Poltekes) dan 6 dikelola oleh pihak swasta.[26]

Perhubungan

Museum Tri Daya Eka Dharma di Bukittinggi
Berkas:The Hills Bukittinggi.JPG
Hotel The Hill di Bukittinggi

Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera, yang menghubungkan Padang, Medan, dan Palembang, serta berada diantara Padang dan Pekanbaru. Terminal Aur Kuning merupakan terminal utama untuk angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara untuk transportasi dalam kota, tersedia angkutan kota, taksi, dan bendi (kereta kuda).

Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api yang menghubungkan Kota Payakumbuh dan Kota Padang, yang dibangun sekitar awal abad ke 20. Namun pada dekade 1970-an, sarana transportasi ini tidak diaktifkan lagi. Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non-kelas yang bernama Bandara Bukittinggi.[29]

Perekonomian

Lubang Jepang di Bukittinggi

Perkembangan pasar Loih Galuang yang sekarang disebut juga Pasar Ateh, membuat pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900 mengembangkan sebuah loods ke arah timur, tepatnya pada kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit. Karena lokasi pasar tersebut berada di kemiringan, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng. Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar, di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Pasar-pasar tradisional di sekitar kawasan Jam Gadang ini, kemudian berkembang menjadi tempat penjualan hasil kerajinan tangan dan cinderamata khas Minangkabau. Dalam penataan pasar, pemerintah Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang (anak tangga), dan di antara anak tangga yang terkenal adalah Janjang 40.

Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan, pemerintah Kota Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera. Disebabkan luas wilayah yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan yang tepat bagi pemerintah Kota Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan penduduknya.

Selain itu pemerintah Kota Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan kemiskinan, di antaranya pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya, serta penumbuhan wirausaha baru.[30]

Pariwisata

Jembatan Limpapeh
Berkas:Lapangan Olahraga Wirabraja .JPG
Lapangan Olahraga Wirabraja

Pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu sektor andalan bagi Kota Bukittinggi. Banyaknya objek wisata yang menarik, menjadikan kota ini dijuluki sebagai "kota wisata". Saat ini di kota Bukittinggi telah terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.[31] Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara lain The Hills (sebelumnya Novotel) dan Hotel Pusako.

Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut dengan Lubang Japang.

Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau. Kebun Binatang Bukittinggi dan benteng Fort de Kock, dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi.

Pasar Ateh (Pasar Atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir,[32] serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat, seperti Karupuak Sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, Karupuak Jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau, dan Karak Kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8. Saat ini juga telah dibangun beberapa pusat perbelanjaan modern di Kota Bukittinggi.

Olahraga

Masyarakat Kota Bukittinggi sangat menyukai olahraga berkuda, dan setiap tahunnya kota ini mengadakan lomba pacu kuda di Bukit Ambacang, yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1889.[6] Perlombaan pacu kuda ini merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan dibeberapa kawasan lain di Sumatera Barat. Dengan adanya pelombaan ini, mendorong para peternak kuda untuk tetap bertahan dan memanfaatkan tradisi ini sebagai sumber mata pencarian.[33]

Pers dan Media

Pada masa pendudukan Jepang, di kota ini pernah didirikan pemancar radio terbesar untuk Pulau Sumatera. Pemancar ini dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan Perang Asia Timur Raya versi Jepang.[34] Di kota ini terdapat beberapa stasiun pemancar radio sebagai sarana informasi dan hiburan masyarakat, antara lain : RRI Bukittinggi, Elsi FM[35], SK FM[36], dan GRC FM.[37]

Kota persaudaraan

Kota lain yang menjadi Sister City dari kota Bukittinggi adalah:

Galeri

Catatan kaki

  1. ^ a b dds.bps.go.id Jumlah Penduduk Sumbar
  2. ^ "Perpres No. 6 Tahun 2011". 2011-02-17. Diakses tanggal 2011-05-23. 
  3. ^ a b c sumbar.bps.go.id Jumlah Penduduk Kota Bukittinggi
  4. ^ Mestika Zed, Eddy Utama, Hasril Chaniago; Sumatera Barat di panggung sejarah, 1945-1995; Panitia Peringatan 50 Tahun RI, 1995.
  5. ^ bataviase.co.id Inilah Parijs van Sumatera. Diakses pada 26 Juni 2010.
  6. ^ a b Asnan, Gusti, (2003), Kamus sejarah Minangkabau, Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, ISBN 978-979-97407-0-0.
  7. ^ Sujamto, (1991), Cakrawala otonomi daerah, Sinar Grafika, ISBN 978-979-8061-17-2.
  8. ^ www.docstoc.com Pembangunan-infrastruktur kota Bukittinggi masa kolonial Belanda (diakses pada 29 Juni 2010)
  9. ^ Barbara Gifford Shimer & Guy Hobbs, (2010), The Kenpeitai in Java and Sumatra, Equinox Publishing, ISBN 978-602-8397-10-0.
  10. ^ Hasan, Teuku Moehammad (1991). Meester Teuku Moehammad Hasan memoir gubenur Sumatera dari Aceh ke pemersatu bangsa. Papas Sinar Sinanti. ISBN 979-9314-00-3. 
  11. ^ www.setneg.go.id Hari Bela Negara.
  12. ^ Hakiem, Lukman, (2008), 100 tahun Mohammad Natsir: berdamai dengan sejarah, Penerbit Republika, ISBN 978-979-1102-31-5.
  13. ^ hukum.unsrat.ac.idUndang-undang Nomor 9 Tahun 1956 (diakses pada 29 Juni 2010)
  14. ^ Harian Haluan [1]
  15. ^ www.pu.go.id Pemkot Bukittinggi Bertekad Menata Kembali Ruang Kota-nya (diakses pada 26 Juni 2010)
  16. ^ Staadblats van Nederlandsch-Indie, 310, 1918.
  17. ^ Besluit van Gouverneur General, 25, 1930.
  18. ^ Haris, Syamsuddin, (2004), Desentralisasi dan otonomi daerah: Naskah akademik dan RUU usulan LIPI, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-98014-1-8.
  19. ^ hukum.unsrat.ac.id Peraturan Pemerintah RI No. 84 Tahun 1999 (diakses pada 26 Juni 2010)
  20. ^ a b caleg-sumbar.com Caleg Terpilih Kota Bukittinggi
  21. ^ Abdullah, Taufik, (2009), Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), Equinox Publishing, ISBN 978-602-8397-50-6.
  22. ^ Azizah Etek, Mursyid A. M., Arfan B. R., (2008), Kelah sang demang Jahja Datoek Kajo: pidato otokritik di Volkstraad, 1927-1939, PT LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-1283-58-8.
  23. ^ www.bukittinggikota.go.id Pendidikan (diakses pada 11 Juli 2010)
  24. ^ nisn.jardiknas.org Rekap data
  25. ^ ban-pt.depdiknas.go.id Hasil Pencarian Akreditasi Program Studi (diakses pada 27 Juni 2010)
  26. ^ a b c www.depkes.go.id Profil Kesehatan Kota Bukittinggi
  27. ^ www.bukittinggikota.go.id Kesehatan (diakses pada 11 Juli 2010)
  28. ^ www.depkes.go.id Daftar rumah sakit (diakses pada 11 Juli 2010)
  29. ^ Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, (1999), Profil 111 kawasan andalan Indonesia: Kawasan barat Indonesia, Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
  30. ^ www.kabarindonesia.com Sang Pengentasan Kemiskinan ala Kota Bukittinggi (diakses pada 26 Juni 2010)
  31. ^ regionalinvestment.com Profil Kota Bukittinggi (diakses pada 26 Juni 2010)
  32. ^ Vaisutis, Justine (2007). Indonesia. Lonely Planet. ISBN 1-74104-435-9. 
  33. ^ Bangun, M. Tinjauan ekonomi-sosial & pembangunan sepanjang Sumatera dan Kalimantan Barat,. Yayasan Pola Pembangunan Indonesia. 
  34. ^ Situs resmi pemerintah kota Bukittinggi
  35. ^ www.elsifm.com Elsi FM (diakses pada 11 Juli 2010)
  36. ^ www.skfmbukittinggi.com SK FM (diakses pada 11 Juli 2010)
  37. ^ www.grcfmbukittinggi.com GRC FM (diakses pada 11 Juli 2010)

Tautan luar