Lompat ke isi

Samarinda Seberang, Samarinda: Perbedaan antara revisi

Koordinat: 0°30′36″S 117°08′18″E / 0.51000°S 117.13838°E / -0.51000; 117.13838
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Bima Abimanyu (bicara | kontrib)
jumlah populasi dan kepadatan penduduk tahun 2013
Baris 6: Baris 6:
|nama dati2 =Samarinda
|nama dati2 =Samarinda
|luas =12,49 km²
|luas =12,49 km²
|penduduk =66.108 jiwa
|penduduk =63.715 jiwa (2013)
|kelurahan =-/3
|kelurahan =-/3
|nama camat =Ansarullah
|nama camat =Ansarullah
|kepadatan =... jiwa/km²
|kepadatan =5.101 jiwa/km²
|provinsi =Kalimantan Timur
|provinsi =Kalimantan Timur
}}
}}

Revisi per 23 Desember 2014 14.18

0°30′36″S 117°08′18″E / 0.51000°S 117.13838°E / -0.51000; 117.13838

Samarinda Seberang
Negara Indonesia
ProvinsiKalimantan Timur
KotaSamarinda
Pemerintahan
 • CamatAnsarullah
Populasi
 • Total63,715 jiwa (2.013) jiwa
Kode Kemendagri64.72.02 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS6472030 Edit nilai pada Wikidata
Luas12,49 km²
Desa/kelurahan-/3
Peta
PetaKoordinat: 0°30′36.000″S 117°8′18.168″E / 0.51000000°S 117.13838000°E / -0.51000000; 117.13838000
Pemandangan Samarinda Seberang dari atas
Pemandangan Samarinda Seberang pada tahun 1905-1914

Samarinda Seberang adalah sebuah kecamatan di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia. Kecamatan ini merupakan kecamatan yang terkecil di Samarinda, tetapi dengan jumlah kepadatan yang paling tinggi. Nama asli Samarinda Seberang pada masa dahulu dikenal dengan nama Mangkujenang ibukota Kesultanan Kutai.

Sejarah

Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut Kompeni menyerang Makassar dari laut, sedangkan Arung Palakka yang mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan Bone dari penjajahan Sultan Hasanuddin (raja Gowa) menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.

Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).

Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.

Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda sehingga awal dari pendirian Kota Samarinda adalah dari sebuah kampung yang kini menjadi kecamatan Samarinda Seberang[1].

Samarinda Seberang dulu dan kini

Orang Samarinda zaman dulu beranggapan seberang itu adalah sebuah kampung atau pedesaan. Memang tak bisa dipungkiri kata seberang bagi warga Kaltim identik sekali dengan istilah dusun. Namun di beberapa tahun terakhir ini imej ini berubah drastis menjadi anggapan bahwa seberang bukan lagi kampung melainkan kota.

"Kota Masa Depan", bahkan bisa dikatakan bila Samarinda Seberang saat ini merupakan kota baru yang lebih modern dibanding kota lamanya. Hal ini dibuktikan mengenai perkembangan Samarinda Seberang, Palaran, dan Loa Janan yang berpenduduk lebih dari 200.000 jiwa dari 5 tahun terakhir begitu pesat. Tampak dari pembangunan infrastruktur dan fasilitas kota yang mulai bermunculan seperti Jembatan Mahkota II, Jembatan Mahakam Hulu atau Mahulu, Intek Gunung Lipan, taman rekreasi Jessica Water Park, beberapa ruas jalan yang lebar, RSUD IA Moeis, SMP/SMA/SMK Plus Melati, Stadion Utama Palaran, Sirkuit Kalan, pelabuhan peti kemas yang modern di Palaran, beberapa perkantoran Pemerintah Kota dan Pemerintah Provinsi dan masih banyak lagi fasilitas yang lain. Belum lagi terlihat pembangunan yang dikerjakan dari industri dan sektor swasta khususnya di bidang properti seperti Pesona Mahakam Estate, Grand Taman Sari, dan Bhumi Prestasi Kencana. Daerah Samarinda Seberang dan sekitarnya layak disebut menjadi "Kota Baru".

Letak geografis

Samarinda Seberang terletak pada arah barat daya Kota Samarinda. Kontur wilayah ini mulai dari dataran rendah di tepi sungai hingga menjorok ke darat yang berbukit-bukit.

Batas wilayah

Utara Sungai Mahakam (seberangnya kecamatan Sungai Kunjang dan Samarinda Ulu)
Timur Kecamatan Palaran dan Sungai Mahakam (seberangnya kecamatan Samarinda Ilir)
Selatan Kecamatan Loa Janan Ilir dan Kabupaten Kutai Kartanegara
Barat Sungai Mahakam (seberangnya kecamatan Sungai Kunjang)

Demografi

Kependudukan

Penduduk di Samarinda Seberang terdiri dari berbagai macam ras dan etnis, antara lain yang cukup dominan adalah Kutai, Banjar, Bugis, Jawa, Toraja, dan Dayak. Namun, salah satu etnis di kawasan Seberang bagian utara (Kampung Baqa dan Kampung Mesjid) sebagian besar adalah dari suku Bugis yang sejak turun-temurun tinggal di kawasan itu sejak Sultan Kutai memberikan tanah bagi mereka untuk bertempat tinggal dan hidup karena konflik dengan penjajah Belanda di tanah kelahiran mereka, yaitu di Sulawesi bagian selatan. Selain itu juga di kawasan Rapak Dalam dan Sungai Keledang, sebagian besar penduduknya adalah dari suku Banjar yang merantau dari tanah leluhur mereka di Tanah Banjar dikarenakan Kesultanan Banjar telah dihapuskan oleh kolonial Belanda pada tahun 1860 dan Belanda menguasai Tanah Banjar sehingga memaksa ribuan etnis Banjar yang tidak mau tunduk terhadap peraturan-peraturan kolonial untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka dan pergi merantau, salah satu tujuan mereka adalah ke Samarinda.

Pembagian administrasi

Kantor kecamatan Samarinda Seberang.

Kecamatan Samarinda Seberang terbagi dalam 3 kelurahan, yaitu:

  1. Kampung Baqa dengan kode pos 75132
  2. Kampung Mesjid dengan kode pos 75132
  3. Sungai Keledang dengan kode pos 75131

Sebelumnya, Samarinda Seberang terbagi dalam 8 kelurahan. Namun, karena pemekaran wilayah Samarinda Seberang menjadi kecamatan baru, yaitu Loa Janan Ilir yang terdiri dari 5 kelurahan, maka Samarinda Seberang kini hanya terdiri dari 3 kelurahan saja.

Transportasi

Karena pusat perdagangan dan pemerintahan hampir keseluruhan berada di Samarinda Kota, maka diperlukan transportasi untuk mendukung mobilitas penduduk Samarinda Seberang. Penghubung antara Samarinda Kota dengan Samarinda Seberang adalah Jembatan Mahkota I dan Jembatan Mahakam Ulu.

Untuk melayani penduduk Samarinda Seberang yang menggunakan sarana transportasi umum, ada beberapa armada angkutan kota yang siap melayani, antara lain :

  • Angkot G warna jingga-merah jurusan Harapan Baru-Pasar Pagi
  • Angkot K warna putih-hitam jurusan sepanjang Samarinda Seberang
  • Angkot L warna abu-abu jurusan Rapak Dalam-Pasar Pagi
  • Angkot I warna kuning jurusan Mangkupalas-Pelabuhan

Selain itu di wilayah Samarinda Seberang terdapat sebuah terminal yang terletak di Jl. Bung Tomo yang melayani jurusan antar kota antar provinsi, yakni Kaltim-Kalsel (dari Samarinda-Balikpapan-Penajam-Paringin-Barabai-Kandangan-Rantau-Martapura-Banjarbaru-Banjarmasin). Terminal ini dapat dicapai dengan transportasi air, yakni "tambangan" dari Pasar Pagi menyeberang ke dermaga menuju terminal dan transportasi darat, yakni dengan angkot K warna putih-hitam.

Penggantian nama

Sempat beredar wacana bahwa nama Samarinda Seberang akan diganti menjadi Samarinda Selatan dan hal itu pun menjadi kontroversi masyarakat setempat. Tetapi walikota Samarinda saat itu Achmad Amins meluruskan bahwa tidak benar Kecamatan Samarinda Seberang bakal diganti Samarinda Selatan. Amins mengatakan bahwa wacana itu tidak benar. Bukan diganti Samarinda Selatan tapi daerah atau kelurahan yang dulunya masuk Kutai Kartanegara seperti kelurahan Sengkotek, Tani Aman dan Simpang Tiga masuk Kecamatan Samarinda Seberang. Dia juga mengatakan lebih lanjut bahwa tidak mungkin Samarinda Seberang dihilangkan karena kawasan ini menjadi bagian dari sejarah Samarinda.[2]

Referensi

Pranala luar