Gerakan Ahmadiyah Lahore: Perbedaan antara revisi
k Bot: Perubahan kosmetika |
k Bot: Penggantian teks otomatis (- + ) |
||
Baris 24: | Baris 24: | ||
Tiba di Yogyakarta, keduanya disambut oleh keluarga besar Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-13, 28 Maret - 1 April 1924, keduanya diperkenankan memberikan pidato sambutan. Maulana Ahmad memberikan pidato dalam bahasa Arab, sementara Mirza Wali Ahmad Baig berpidato dalam bahasa Inggris. Majalah ''Bintang Islam'' dan harian ''Cahaya Timur'' menyebut pidato kedua muballigh itu sebagai “ruh baru yang ditiupkan dalam Gerakan Islam di Indonesia”. |
Tiba di Yogyakarta, keduanya disambut oleh keluarga besar Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-13, 28 Maret - 1 April 1924, keduanya diperkenankan memberikan pidato sambutan. Maulana Ahmad memberikan pidato dalam bahasa Arab, sementara Mirza Wali Ahmad Baig berpidato dalam bahasa Inggris. Majalah ''Bintang Islam'' dan harian ''Cahaya Timur'' menyebut pidato kedua muballigh itu sebagai “ruh baru yang ditiupkan dalam Gerakan Islam di Indonesia”. |
||
Selang beberapa bulan sesudah Kongres tersebut, Muhammadiyah mengirimkan beberapa pemuda untuk melakukan studi ke Lahore, India, dimana |
Selang beberapa bulan sesudah Kongres tersebut, Muhammadiyah mengirimkan beberapa pemuda untuk melakukan studi ke Lahore, India, dimana AAIIL berpusat. Mereka yang diutus ke Lahore antara lain Chaffie, Machdoem, Jundab (putra dari H. Moekhtar), Moehammad Sabitoen (putra H. Abdul Wahab, Wonosobo), Maksum (putra H. Hamid), dan Jumhan (Irfan Dahlan, putra pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan). |
||
Menjelang penghabisan tahun 1924, karena kondisi kesehatannya yang kian memburuk, Maulana Ahmad memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. |
Menjelang penghabisan tahun 1924, karena kondisi kesehatannya yang kian memburuk, Maulana Ahmad memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Maka tinggallah Mirza Wali Ahmad Baig seorang diri. Karena bahasa yang beliau kuasai hanya bahasa Inggris, maka dalam riwayat hanya kalangan muda dan kaum terpelajar yang mengecap Pendidikan Belanda sajalah yang pada gilirannya sering melakukan diskusi dan kajian bersama beliau. |
||
Tahun 1925, terjadi perdebatan antara Haji Rasul, ayahanda HAMKA, dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Haji Rasul datang ke Yogyakarta dalam rangka mengikuti Kongres Muhammadiyah ke-14. Haji Rasul, antara lain memperkarakan soal adanya isu nabi baru di kalangan Ahmadiyah. Dalam hal ini, Mirza Wali Ahmad Baig menjelaskan bahwa yang dimaksud Haji Rasul adalah pemahaman yang diusung oleh Qadiyani, yang menganggap Pendiri Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi. Sementara, Ahmadiyah Lahore, kelahirannya justru adalah untuk menentang pemahaman itu, dan memurnikan Ahmadiyah dari paham yang bertentangan dengan pemahaman Islam atas berakhirnya kenabian pada diri Muhammad saw, sebagai ''khatamun-nabiyyin''. |
Tahun 1925, terjadi perdebatan antara Haji Rasul, ayahanda HAMKA, dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Haji Rasul datang ke Yogyakarta dalam rangka mengikuti Kongres Muhammadiyah ke-14. Haji Rasul, antara lain memperkarakan soal adanya isu nabi baru di kalangan Ahmadiyah. Dalam hal ini, Mirza Wali Ahmad Baig menjelaskan bahwa yang dimaksud Haji Rasul adalah pemahaman yang diusung oleh Qadiyani, yang menganggap Pendiri Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi. Sementara, Ahmadiyah Lahore, kelahirannya justru adalah untuk menentang pemahaman itu, dan memurnikan Ahmadiyah dari paham yang bertentangan dengan pemahaman Islam atas berakhirnya kenabian pada diri Muhammad saw, sebagai ''khatamun-nabiyyin''. |
Revisi per 4 Februari 2019 04.07
Bagian dari seri mengenai
Ahmadiyah |
---|
Gerakan Ahmadiyah Lahore untuk Syiar Islam (Bahasa Urdu: احمدیہ انجمنِ اشاعتِ اسلام, Aḥmadiyyah Anjuman Ishāʿat-i Islām) atau lebih populer dengan sebutan Ahmadiyah Lahore, didirikan oleh Maulana Muhammad Ali, sebagai reaksi atas perselisihan pendapat di dalam Shadr Anjuman Ahmadiyah, pada era kepemimpinan Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad.
Shadr Anjuman Ahmadiyah adalah Badan Kepengurusan Gerakan Ahmadiyah pasca wafatnya pendiri Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (HMGA), pada 26 Mei 1908. Maulvi Hakim Nuruddin adalah Ketua Pertama Shadr Anjuman (w. 13 Maret 1914), Sepeninggal Nuruddin, Shadr Anjuman dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (MBMA), salah satu anak turun HMGA.
Beberapa saat setelah terpilih, MBMA menyatakan suatu maklumat, yang menimbulkan kontroversi di tubuh Ahmadiyah. Dalam bukunya, Aina Shadaqat hal. 35, MBMA berpendapat bahwa:
- HMGA adalah seorang Nabi
- HMGA adalah Ahmad yang diramalkan dalam Qur’an Suci 61:6
- Semua orang Islam yang tidak berbai’at kepada HMGA, sekalipun tak pernah mendengar nama beliau, hukumnya kafir dan keluar dari Islam.
Makulmat kontroversial ini ditentang oleh sejumlah tokoh Shadr Anjuman, antara lain Maulana Muhammad Ali (MMA). MMA berpendapat yang sebaliknya. Menurut MMA, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, dan tidak pernah mengaku sebagai nabi. Demikian pula nama "Ahmad" dalam Al-Qur’an sama sekali tidak menunjuk kepada HMGA, melainkan kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, kaum Muslimin yang tidak berbai’at kepada Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir.[1]
Atas dasar itu, Maulana Muhammad Ali kawan-kawannya, keluar dari Shadr Anjuman Ahmadiyah, kemudian mendirikan organisasi yang sama sekali baru, yakni Ahmadiyyah Anjuman Isha'ati Islam Lahore (AAIIL) sebagaimana tersebut sebelumnya. Saat sekarang ini lebih dikenal sebagai Ahmadiyah-Lahore.[2]
Di satu pihak, Shadr Anjuman Ahmadiyah sendiri berkembang dengan ide-ide keagamaannya sendiri di bawah kepemimpinan Bashiruddin Mahmud Ahmad, yang saat ini lebih dikenal sebagai Ahmadiyah-Qadiyan. Di Indonesia, sayap organisasi ini bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).[3]
Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)
Faham Keagamaan Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore tersebar ke Indonesia sejak tahun 1924 dengan perantaraan dua muballigh, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Dalam riwayat, keduanya tengah dalam perjalanan dari India menuju Cina. Akan tetapi ketika bersinggah di Singapura, mereka mendengar berita bahwa di pulau Jawa gerakan missionarisme Kristen memperoleh sukses besar. Keduanya pun memutuskan mengubah haluan menuju Pulau Jawa, setelah mendapat restu dari Shadr (Pedoman Besar) AAIIL, yang saat itu masih dijabat oleh Maulana Muhammad Ali.[4]
Tiba di Yogyakarta, keduanya disambut oleh keluarga besar Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-13, 28 Maret - 1 April 1924, keduanya diperkenankan memberikan pidato sambutan. Maulana Ahmad memberikan pidato dalam bahasa Arab, sementara Mirza Wali Ahmad Baig berpidato dalam bahasa Inggris. Majalah Bintang Islam dan harian Cahaya Timur menyebut pidato kedua muballigh itu sebagai “ruh baru yang ditiupkan dalam Gerakan Islam di Indonesia”.
Selang beberapa bulan sesudah Kongres tersebut, Muhammadiyah mengirimkan beberapa pemuda untuk melakukan studi ke Lahore, India, dimana AAIIL berpusat. Mereka yang diutus ke Lahore antara lain Chaffie, Machdoem, Jundab (putra dari H. Moekhtar), Moehammad Sabitoen (putra H. Abdul Wahab, Wonosobo), Maksum (putra H. Hamid), dan Jumhan (Irfan Dahlan, putra pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan).
Menjelang penghabisan tahun 1924, karena kondisi kesehatannya yang kian memburuk, Maulana Ahmad memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Maka tinggallah Mirza Wali Ahmad Baig seorang diri. Karena bahasa yang beliau kuasai hanya bahasa Inggris, maka dalam riwayat hanya kalangan muda dan kaum terpelajar yang mengecap Pendidikan Belanda sajalah yang pada gilirannya sering melakukan diskusi dan kajian bersama beliau.
Tahun 1925, terjadi perdebatan antara Haji Rasul, ayahanda HAMKA, dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Haji Rasul datang ke Yogyakarta dalam rangka mengikuti Kongres Muhammadiyah ke-14. Haji Rasul, antara lain memperkarakan soal adanya isu nabi baru di kalangan Ahmadiyah. Dalam hal ini, Mirza Wali Ahmad Baig menjelaskan bahwa yang dimaksud Haji Rasul adalah pemahaman yang diusung oleh Qadiyani, yang menganggap Pendiri Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi. Sementara, Ahmadiyah Lahore, kelahirannya justru adalah untuk menentang pemahaman itu, dan memurnikan Ahmadiyah dari paham yang bertentangan dengan pemahaman Islam atas berakhirnya kenabian pada diri Muhammad saw, sebagai khatamun-nabiyyin.
Tahun 1927, datanglah seorang muballigh dari India bernama Abdul Alim Ash-Shidiqi di Pulau Jawa. Ketika tiba di Yogyakarta, PB Muhammadiyah juga menyambut beliau dalam sebuah pertemuan. Dalam forum ini, beliau menyampaikan pidato yang bernuansa propaganda anti Ahmadiyah. Pidato inilah yang konon menyebabkan hubungan antara Pengurus Muhammadiyah dan berbagai kalangan yang tergabung dalam kelompok diskusi dan atau organisasi dalam lingkar Mirza Wali Ahmad Baig semakin memburuk.
Tanggal 5 Juli 1928, PB Muhammadiyah menerbitkan Maklumat No. 294. Isi Maklumat tersebut antara lain menyatakan bahwa “ilmu dan paham Ahmadiyah dilarang diajarkan di lingkungan Muhammadiyah”. Maklumat ini juga menegaskan bagi anggota Muhammadiyah yang tetap menganut paham Ahmadiyah untuk menentukan pilihan dengan pernyataan “keluar dari Muhammadiyah atau membuang ajaran Ahmadiyah”. Dalam waktu tidak lama sesudah terbitnya Maklumat itu, Moehammad Hoesni diberhentikan dari tugasnya sebagai Sekjend PB Muhammadiyah. Segala arsip dokumen organisasi Muhammadiyah yang berada di rumahnya yang saat itu menjadi sekretariat organisasi diambil. Demikian halnya juga dengan Djojoseogito, yang diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Purwokerto.
Akhir tahun 1928, Djojoseogito menginisiasi sebuah pertemuan di Yogyakarta dengan berbagai kalangan yang masih bersetia dalam kelompok diskusi Mirza Wali Ahmad Baig. Pertemuan diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 1928. Pertemuan inilah yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mendirikan organisasi baru dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indoesia centrum Lahore. Para pendiri sekaligus mubayin (orang yang berba’iat) pertama organisasi ini adalah Moehammad Irshad, Moehammad Sabiteon, R. Ng. Minhadjurrahman Djojosegito, Mirza Wali Ahmad Baig, Moehammad Hoesni, Moehammad Kafi, Hardjosoebroto, Idris L. Latjuba, K.H. Sya’rani, K.H. Abdoerrahman Pliken, dan R. Seopratolo. Sementara itu, Soedewo Parto Koesoemo baru berbai’at belakangan setelah didatangi oleh Moehammad Hoesni dan Mirza Wali Ahmad Baig. Dalam kepengurusan yang pertama kali, Ketua Pedoman Besar dijabat oleh R. Ng. Minhadjoerahman Djojoseogito, Wakil Ketua dijabat oleh K.H. Sya’rani, sementara Moehammad Hoesni menjabat sebagai Sekretaris.
Gerakan Ahmadiyah Indonesia mulai tercatat secara resmi sebagai sebuah Badan Hukum pada tanggal 30 April 1930.[1]
GAI memang mengakomodir, atau bahkan boleh dibilang mengusung, ide-ide kegamaan Ahmadiyah-Lahore. Tetapi tentu saja tidak sepenuhnya seluruh ide-ide keagamaan Ahmadiyah-Lahore itu diakomodir dan atau diusung oleh GAI. Djojosoegito mengibaratkan Ahmadiyah-Lahore sebagai buah mangga, sementara GAI sekedar mengambil pelok-nya (pelok = biji) belaka, yang ditanam di Indonesia, tumbuh dan berkembang sesuai dengan situasi kondisi tanah dan iklim Indonesia, sehingga akhirnya diharapkan dapat berbuah sesuai dengan cita rasa Indonesia.[3]
Referensi
- ^ a b "GERAKAN AHMADIYAH INDONESIA". Studi Islam. 2007-10-03. Diakses tanggal 2019-01-29.
- ^ "Ahmadiyyat @ aaiil.org". aaiil.org. Diakses tanggal 2019-01-29.
- ^ a b basyarat (2014-10-25). "Relasi GAI dan Ahmadiyah-Lahore (AAIIL)". ahmadiyah.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-01-29.
- ^ ahmadiyah.org (2013-02-01). "Sejarah Singkat GAI". ahmadiyah.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-01-29.