Lompat ke isi

Temu Mesti: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2: Baris 2:


== Biografi ==
== Biografi ==
Temu Mesti lahir pada tanggal 20 April 1953<ref>{{Cite web|url=https://travel.kompas.com/read/2018/04/21/191000027/mbok-temu-misti-maestro-tari-gandrung-sekarang-pelihara-ayam|title=Mbok Temu Misti, Maestro Tari Gandrung, Sekarang Pelihara Ayam|last=Rachmawati|first=Ira|date=|website=kompas.com|publisher=|access-date=12 Maret 2019}}</ref> di [[Kemiren, Glagah, Banyuwangi|Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi]] yang berjarak sekitar <u>+</u> 15 menit dari pusat kota [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]].<ref name=":3">{{Cite web|url=https://www.dewimagazine.com/news-art/dewi-daya--sosok-temu-misti-sang-pelestari-tari-gandrung-banyuwangi|title=Dewi Daya: Sosok Temu Misti Sang Pelestari Tari Gandrung Banyuwangi|last=Christanty|first=Linda|date=|website=dewimagazine.com|publisher=|access-date=12 Maret 2019}}</ref> Desa yang menjadi tempat tinggalnya merupakan sebuah desa yang kental dengan nuansa dan tradisi masyarakat [[Suku Osing|suku Using]].<ref>{{Cite journal|last=Munawaroh|first=Siti|date=Juni 2009|title=Macam-Macam Bentuk Rumah Komunitas Using Desa Kemiren Banyuwangi|url=|journal=Jantra|volume=Vol. 4, No. 7|issue=Jurnal Sejarah dan Budaya|doi=|pmid=|access-date=}}</ref> Selain dirinya, ada tiga orang penari gandrung lain yang ada di [[Kemiren, Glagah, Banyuwangi|Desa Kemiren]], yaitu: Suidah, Temin, dan Mudaidah.<ref>{{Cite book|title=Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Using, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur|last=Isni Herawati|first=dkk|publisher=Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta|year=2004|isbn=|location=Yogyakarta|pages=7-20}}</ref> Ayah dari Temu Mesti bernama Mustari, sedangkan ibunya bernama Supiah.<ref name=":0" /><ref name=":2" /> Dia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dengan nama Misti. Kakak laki-lakinya bernama Slamet, sedangkan adik perempuannya bernama Musriah.<ref name=":1" /> Dalam bahasa [[Bahasa Osing|bahasa Using]], nama ''misti'' disebut dengan ''kluwung gapit'', yang berarti "diapit oleh kakak dan adik".<ref>{{Cite journal|last=Munawaroh|first=Siti|date=Desember 2004|title=Masyarakat Using di Banyuwangi|url=|journal=Patra Widya|volume=Vol. 5, No. 4|issue=Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya|doi=|pmid=|access-date=}}</ref> Di sisi lain, adiknya yang bernama Musriah lahir ketika Misti masih disusui. Hal tersebut dalam [[Bahasa Osing|bahasa Using]] disebut dengan ''kedhidhilen'' ([[bahasa Jawa]]: ''kesundhulan'').<ref name=":1" />
Temu Mesti lahir pada tanggal 20 April 1953<ref name=":5">{{Cite web|url=https://travel.kompas.com/read/2018/04/21/191000027/mbok-temu-misti-maestro-tari-gandrung-sekarang-pelihara-ayam|title=Mbok Temu Misti, Maestro Tari Gandrung, Sekarang Pelihara Ayam|last=Rachmawati|first=Ira|date=|website=kompas.com|publisher=|access-date=12 Maret 2019}}</ref> di [[Kemiren, Glagah, Banyuwangi|Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi]] yang berjarak sekitar <u>+</u> 15 menit dari pusat kota [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]].<ref name=":3">{{Cite web|url=https://www.dewimagazine.com/news-art/dewi-daya--sosok-temu-misti-sang-pelestari-tari-gandrung-banyuwangi|title=Dewi Daya: Sosok Temu Misti Sang Pelestari Tari Gandrung Banyuwangi|last=Christanty|first=Linda|date=|website=dewimagazine.com|publisher=|access-date=12 Maret 2019}}</ref> Desa yang menjadi tempat tinggalnya merupakan sebuah desa yang kental dengan nuansa dan tradisi masyarakat [[Suku Osing|suku Using]].<ref>{{Cite journal|last=Munawaroh|first=Siti|date=Juni 2009|title=Macam-Macam Bentuk Rumah Komunitas Using Desa Kemiren Banyuwangi|url=|journal=Jantra|volume=Vol. 4, No. 7|issue=Jurnal Sejarah dan Budaya|doi=|pmid=|access-date=}}</ref> Selain dirinya, ada tiga orang penari gandrung lain yang ada di [[Kemiren, Glagah, Banyuwangi|Desa Kemiren]], yaitu: Suidah, Temin, dan Mudaidah.<ref>{{Cite book|title=Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Using, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur|last=Isni Herawati|first=dkk|publisher=Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta|year=2004|isbn=|location=Yogyakarta|pages=7-20}}</ref> Ayah dari Temu Mesti bernama Mustari, sedangkan ibunya bernama Supiah.<ref name=":0" /><ref name=":2" /> Dia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dengan nama Misti. Kakak laki-lakinya bernama Slamet, sedangkan adik perempuannya bernama Musriah.<ref name=":1" /> Dalam bahasa [[Bahasa Osing|bahasa Using]], nama ''misti'' disebut dengan ''kluwung gapit'', yang berarti "diapit oleh kakak dan adik".<ref>{{Cite journal|last=Munawaroh|first=Siti|date=Desember 2004|title=Masyarakat Using di Banyuwangi|url=|journal=Patra Widya|volume=Vol. 5, No. 4|issue=Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya|doi=|pmid=|access-date=}}</ref> Di sisi lain, adiknya yang bernama Musriah lahir ketika Misti masih disusui. Hal tersebut dalam [[Bahasa Osing|bahasa Using]] disebut dengan ''kedhidhilen'' ([[bahasa Jawa]]: ''kesundhulan'').<ref name=":1" />


Sejak berumur tujuh bulan, Misti sudah harus berhenti menyusui dan diasuh oleh bibinya yang tidak dikaruniai keturunan bernama Atidjah karena ibunya telah mengandung anak ketiganya (Musriah).<ref name=":3" />
Sejak berumur tujuh bulan, Misti sudah harus berhenti menyusui dan diasuh oleh bibinya yang tidak dikaruniai keturunan bernama Atidjah karena ibunya telah mengandung anak ketiganya (Musriah).<ref name=":3" />


== Temu Mesti dan Sanggar Sopo Ngiro ==
== Temu Mesti dan Sanggar Sopo Ngiro ==
Temu mendedikasikan [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] tidak hanya melalui panggung ke panggung saja. Sejak tahun 2008, Temu mendirikan sanggar seni [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] yang menyatu dengan rumah tempat tinggalnya di [[Kemiren, Glagah, Banyuwangi|Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi]]. Sanggar tersebut menjadi ajang pewarisan ilmu dan kemampuan untuk menjadi [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] yang dinamakan dengan “Sopo Ngiro” ([[Bahasa Indonesia|bahasa Indonesia]]: siapa mengira atau siapa sangka). Nama itu menurut Temu memiliki makna tersendiri. Dia berharap sanggar tersebut membuat masyarakat terbelalak atau terkejut karena di tempat itulah ada seseorang yang mumpuni dalam dunia kesenian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]].
Temu mendedikasikan [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] tidak hanya melalui panggung ke panggung saja. Sejak tahun 2008, Temu mendirikan sanggar seni [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] yang menyatu dengan rumah tempat tinggalnya di [[Kemiren, Glagah, Banyuwangi|Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi]]. Sanggar tersebut menjadi ajang pewarisan ilmu dan kemampuan untuk menjadi [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] yang dinamakan dengan “Sopo Ngiro” ([[Bahasa Indonesia|bahasa Indonesia]]: siapa mengira atau siapa sangka).<ref name=":4" /> Nama itu menurut Temu memiliki makna tersendiri. Dia berharap sanggar tersebut membuat masyarakat terbelalak atau terkejut karena di tempat itulah ada seseorang yang mumpuni dalam dunia kesenian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]].


Cara pewarisan budaya dan kesenian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] yang dilakukan oleh Temu adalah secara horizontal kepada generasi di luar kerabatnya.<ref>{{Cite book|title=Upacara Adat|last=Noor Sulistyobudi|first=dkk|publisher=Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta|year=2013|isbn=|location=Yogyakarta|pages=vii}}</ref> Temu melatih sendiri para murid yang datang kepada dirinya di Sanggar Sopo Ngiro. Dia melatih para muridnya dengan sebuah ''tape recorder'' yang dipakai sebagai pengiring musik. Perempuan yang memiliki kemampuan komplit dalam seni [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] ini selalu siap menerima murid selagi mereka juga berminat untuk berlatih tarian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]]. Dia selalu berharap agar generasi penerusnya lahir dari hasil kerja keras tangannya dan Sanggar Sopo Ngiro. Begitulah Temu menjalani kehidupannya dengan sanggar yang didirikannya. Untuk mendapatkan murid yang mau belajar [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]], dirinya rela mengeluarkan uang untuk membayar ojek yang mengantar dan menjemput sang murid.
Cara pewarisan budaya dan kesenian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] yang dilakukan oleh Temu adalah secara horizontal kepada generasi di luar kerabatnya.<ref>{{Cite book|title=Upacara Adat|last=Noor Sulistyobudi|first=dkk|publisher=Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta|year=2013|isbn=|location=Yogyakarta|pages=vii}}</ref> Temu melatih sendiri para murid yang datang kepada dirinya di Sanggar Sopo Ngiro. Dia melatih para muridnya dengan sebuah ''tape recorder'' yang dipakai sebagai pengiring musik. Perempuan yang memiliki kemampuan komplit dalam seni [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] ini selalu siap menerima murid selagi mereka juga berminat untuk berlatih tarian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]]. Dia selalu berharap agar generasi penerusnya lahir dari hasil kerja keras tangannya dan Sanggar Sopo Ngiro. Begitulah Temu menjalani kehidupannya dengan sanggar yang didirikannya. Untuk mendapatkan murid yang mau belajar [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]], dirinya rela mengeluarkan uang untuk membayar ojek yang mengantar dan menjemput sang murid.


Model pembelajaran Temu dalam mengajarkan tari-tarian dan lagu-lagu pakem [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] di Sanggar Sopo Ngiro adalah dengan cara meniru. Temu menari di depan para murid-muridnya dari awal sampai dengan akhir tarian, yang kemudian dilanjutkan oleh para murid-muridnya. Mereka meniru gerakan dari Temu dengan cara ''ngintil'' (mengikuti). Satu tarian diulang terus-menerus sampai mereka hafal dari tahap ''jejer, paju,'' dan ''seblang-seblang''. Selanjutnya, para murid menari dengan iringan musik ''tape recorder''.
Model pembelajaran Temu dalam mengajarkan tari-tarian dan lagu-lagu pakem [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] di Sanggar Sopo Ngiro adalah dengan cara meniru. Temu menari di depan para murid-muridnya dari awal sampai dengan akhir tarian, yang kemudian dilanjutkan oleh para murid-muridnya. Mereka meniru gerakan dari Temu dengan cara ''ngintil'' (mengikuti). Satu tarian diulang terus-menerus sampai mereka hafal dari tahap ''jejer'' (sejajar) hingga ''paju'' (laku/berjalan). Selanjutnya, para murid menari dengan iringan musik ''tape recorder''.<ref name=":1" />


Proses pewarisan ilmu yang dilakukan Temu kepada para muridnya masih menggunakan cara yang konvensional, tidak ada buku maupun catatan yang dipakainya. Daya ingat dan interaksi kesehariannya dengan dunia [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] diwariskan Temu melalui perjumpaan dengan para murid-muridnya. Dokumen yang dimiliki oleh Temu hanyalah catatan mengenai ''wangsalan'', yang berasal dari komunitas [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] maupun yang terlahir melalui imajinasinya.
Proses pewarisan ilmu yang dilakukan Temu kepada para muridnya masih menggunakan cara yang konvensional, tidak ada buku maupun catatan yang dipakainya. Daya ingat dan interaksi kesehariannya dengan dunia [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] diwariskan Temu melalui perjumpaan dengan para murid-muridnya. Dokumen yang dimiliki oleh Temu hanyalah catatan mengenai ''[[:jv:Wangsalan|wangsalan]]'', yang berasal dari komunitas [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] maupun yang terlahir melalui imajinasinya.<ref name=":1" />

Temu bertekad tidak akan mundur menjadi penari [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] sebelum memiliki pengganti. Totalitas Temu kepada para muridnya tampak dari kerelaannya membagi ilmu tanpa memungut uang sepeserpun, bahkan tak jarang dirinya yang harus mengeluarkan uang untuk keperluan para muridnya. Dia pernah menyewakan tanah sawah miliknya agar kesenian yang mirip dengan [[Jaipongan]] di [[Jawa Barat]] serta [[Tari Tayub|Tayub]] di [[Jawa Tengah]]<ref>{{Cite book|title=Memuja Mantra|last=Saputra|first=Heru S.P.|publisher=LKIS Yogyakarta|year=2007|isbn=|location=Yogyakarta|pages=xxii}}</ref> tersebut terus berkembang di [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]].

Sampai saat ini, sudah banyak [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] yang muncul dari pelatihan yang diberikan, namun menurut Temu para [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] tersebut masih harus banyak belajar, khususnya mengenai tembang-tembang klasik serta memiliki moral yang kuat. Dahulu, tarian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] jauh dari minuman keras dan tawuran. Selain itu, antara penari, penonton, dan penabuh alat musik sama-sama saling menghargai dan menjaga.<ref name=":5" /> Temu sendiri tetap bertahan dengan pakem [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] di tengah bermunculannya penari [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Perempuan yang tak lulus sekolah rakyat ini ingin menunjukkan kalau [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] bukanlah kesenian murahan.<ref name=":4" />


== Penghargaan ==
== Penghargaan ==
Temu pernah mendapatkan penghargaan dari [[Telkom Indonesia]] melalui "Indi Women Award 2013". Sayangnya, belum ada satupun penari yang dapat mewarisi kemampuan menyanyi, menari, dan ''ngopak'' (melakukan kritik sosial melalui pantun). Kiprah Temu berlanjut pada bulan Agustus 2015, dia bersama dengan rombongan kesenian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] dan Barong Using dari [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]] berangkat ke [[Jerman]] untuk melaksanakan pentas selama tiga hari di [[Frankfurt am Main|Frankfurt]] pada tanggal 28-30 Agustus 2015. Temu bersama dengan para pelaku seni tersebut menjadi salah satu pengisi perhelatan budaya Indonesia dan menjadi ''guest of honour'' (tamu kehormatan) dalam acara Frankfurt Book Fair 2015. Dia bersama dengan tokoh gandrung lainnya dari [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]] tampil dengan beberapa musisi kenamaan tanah air, seperti: Djaduk Ferianto dan Kua Etnika serta Dwiki Dharmawan dan J-Flow.<ref name=":4" />
Temu pernah mendapatkan penghargaan dari [[Telkom Indonesia]] melalui "Indi Women Award 2013". [[Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia|Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]] waktu itu, [[Linda Amalia Sari|Linda Amalia Sari Gumelar]], menyerahkan langsung penghargaan tadi kepada Temu.<ref name=":3" /> Sayangnya, belum ada satupun penari yang dapat mewarisi kemampuan menyanyi, menari, dan ''ngopak'' (melakukan kritik sosial melalui pantun). Kiprah Temu berlanjut pada bulan Agustus 2015, dia bersama dengan rombongan kesenian [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] dan Barong Using dari [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]] berangkat ke [[Jerman]]<ref name=":5" /> untuk melaksanakan pentas selama tiga hari di [[Frankfurt am Main|Frankfurt]] pada tanggal 28-30 Agustus 2015.<ref name=":2" /> Temu bersama dengan para pelaku seni tersebut menjadi salah satu pengisi perhelatan budaya Indonesia dan menjadi ''guest of honour'' (tamu kehormatan) dalam acara Frankfurt Book Fair 2015. Dia bersama dengan tokoh gandrung lainnya dari [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]] tampil dengan beberapa musisi kenamaan tanah air, seperti: Djaduk Ferianto dan Kua Etnika serta Dwiki Dharmawan dan J-Flow.<ref name=":4" />


== Lihat Pula ==
== Lihat Pula ==

Revisi per 13 Maret 2019 21.03

Temu Mesti adalah seorang tokoh kesenian gandrung yang berasal dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Dirinya identik dengan kesenian gandrung dan dianggap sebagai seorang maestro gandrung.[1] Kemampuannya dalam menari, nembang, dan menyampaikan wangsalan atau cangkriman (teka-teki), yang ditambah dengan ciri khas suaranya yang unik, yaitu melengking tinggi dengan gaya khas masyarakat suku Using, telah berhasil membuatnya menghiasi beberapa isi VCD maupun DVD. Pada masa awal perkembangan rekaman kaset, suara dari Temu Mesti termasuk dari bagian awal yang menghiasi pita rekaman. Temu mendedikasikan dirinya kepada seni gandrung dengan terus melaksanakan aktivitas yang terkait dengan kesenian tersebut, yaitu: membuat pagelaran dan melatih para calon gandrung. Bagi dirinya, gandrung merupakan ladang penghidupan sekaligus sarana untuk mengekspresikan dirinya.[2] Beberapa penghargaan di tingkat lokal maupun nasional pernah diraih oleh perempuan yang tidak tamat Sekolah Dasar tersebut. Dia berhasil menampilkan kesenian gandrung dari panggung hajatan warga hingga salah satu acara misi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki serta di acara bookfair yang diadakan di Frankfrut, Jerman pada tanggal 28-30 Agustus 2015.[3] Untuk melestarikan dan mewariskan kesenian ini, Temu mendirikan sebuah sanggar yang dinamakan dengan "Sopo Ngiro", yang berarti "siapa mengira" atau "siapa sangka".[4] Temu sendiri juga tidak menyangka bahwa ungkapan tersebut benar-benar terwujud dalam kehidupannya karena dia menjadi gandrung sepanjang hidupnya.[5]

Biografi

Temu Mesti lahir pada tanggal 20 April 1953[6] di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi yang berjarak sekitar + 15 menit dari pusat kota Banyuwangi.[7] Desa yang menjadi tempat tinggalnya merupakan sebuah desa yang kental dengan nuansa dan tradisi masyarakat suku Using.[8] Selain dirinya, ada tiga orang penari gandrung lain yang ada di Desa Kemiren, yaitu: Suidah, Temin, dan Mudaidah.[9] Ayah dari Temu Mesti bernama Mustari, sedangkan ibunya bernama Supiah.[1][5] Dia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dengan nama Misti. Kakak laki-lakinya bernama Slamet, sedangkan adik perempuannya bernama Musriah.[2] Dalam bahasa bahasa Using, nama misti disebut dengan kluwung gapit, yang berarti "diapit oleh kakak dan adik".[10] Di sisi lain, adiknya yang bernama Musriah lahir ketika Misti masih disusui. Hal tersebut dalam bahasa Using disebut dengan kedhidhilen (bahasa Jawa: kesundhulan).[2]

Sejak berumur tujuh bulan, Misti sudah harus berhenti menyusui dan diasuh oleh bibinya yang tidak dikaruniai keturunan bernama Atidjah karena ibunya telah mengandung anak ketiganya (Musriah).[7]

Temu Mesti dan Sanggar Sopo Ngiro

Temu mendedikasikan gandrung tidak hanya melalui panggung ke panggung saja. Sejak tahun 2008, Temu mendirikan sanggar seni gandrung yang menyatu dengan rumah tempat tinggalnya di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Sanggar tersebut menjadi ajang pewarisan ilmu dan kemampuan untuk menjadi gandrung yang dinamakan dengan “Sopo Ngiro” (bahasa Indonesia: siapa mengira atau siapa sangka).[3] Nama itu menurut Temu memiliki makna tersendiri. Dia berharap sanggar tersebut membuat masyarakat terbelalak atau terkejut karena di tempat itulah ada seseorang yang mumpuni dalam dunia kesenian gandrung.

Cara pewarisan budaya dan kesenian gandrung yang dilakukan oleh Temu adalah secara horizontal kepada generasi di luar kerabatnya.[11] Temu melatih sendiri para murid yang datang kepada dirinya di Sanggar Sopo Ngiro. Dia melatih para muridnya dengan sebuah tape recorder yang dipakai sebagai pengiring musik. Perempuan yang memiliki kemampuan komplit dalam seni gandrung ini selalu siap menerima murid selagi mereka juga berminat untuk berlatih tarian gandrung. Dia selalu berharap agar generasi penerusnya lahir dari hasil kerja keras tangannya dan Sanggar Sopo Ngiro. Begitulah Temu menjalani kehidupannya dengan sanggar yang didirikannya. Untuk mendapatkan murid yang mau belajar gandrung, dirinya rela mengeluarkan uang untuk membayar ojek yang mengantar dan menjemput sang murid.

Model pembelajaran Temu dalam mengajarkan tari-tarian dan lagu-lagu pakem gandrung di Sanggar Sopo Ngiro adalah dengan cara meniru. Temu menari di depan para murid-muridnya dari awal sampai dengan akhir tarian, yang kemudian dilanjutkan oleh para murid-muridnya. Mereka meniru gerakan dari Temu dengan cara ngintil (mengikuti). Satu tarian diulang terus-menerus sampai mereka hafal dari tahap jejer (sejajar) hingga paju (laku/berjalan). Selanjutnya, para murid menari dengan iringan musik tape recorder.[2]

Proses pewarisan ilmu yang dilakukan Temu kepada para muridnya masih menggunakan cara yang konvensional, tidak ada buku maupun catatan yang dipakainya. Daya ingat dan interaksi kesehariannya dengan dunia gandrung diwariskan Temu melalui perjumpaan dengan para murid-muridnya. Dokumen yang dimiliki oleh Temu hanyalah catatan mengenai wangsalan, yang berasal dari komunitas gandrung maupun yang terlahir melalui imajinasinya.[2]

Temu bertekad tidak akan mundur menjadi penari gandrung sebelum memiliki pengganti. Totalitas Temu kepada para muridnya tampak dari kerelaannya membagi ilmu tanpa memungut uang sepeserpun, bahkan tak jarang dirinya yang harus mengeluarkan uang untuk keperluan para muridnya. Dia pernah menyewakan tanah sawah miliknya agar kesenian yang mirip dengan Jaipongan di Jawa Barat serta Tayub di Jawa Tengah[12] tersebut terus berkembang di Banyuwangi.

Sampai saat ini, sudah banyak gandrung yang muncul dari pelatihan yang diberikan, namun menurut Temu para gandrung tersebut masih harus banyak belajar, khususnya mengenai tembang-tembang klasik serta memiliki moral yang kuat. Dahulu, tarian gandrung jauh dari minuman keras dan tawuran. Selain itu, antara penari, penonton, dan penabuh alat musik sama-sama saling menghargai dan menjaga.[6] Temu sendiri tetap bertahan dengan pakem gandrung di tengah bermunculannya penari gandrung lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Perempuan yang tak lulus sekolah rakyat ini ingin menunjukkan kalau gandrung bukanlah kesenian murahan.[3]

Penghargaan

Temu pernah mendapatkan penghargaan dari Telkom Indonesia melalui "Indi Women Award 2013". Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak waktu itu, Linda Amalia Sari Gumelar, menyerahkan langsung penghargaan tadi kepada Temu.[7] Sayangnya, belum ada satupun penari yang dapat mewarisi kemampuan menyanyi, menari, dan ngopak (melakukan kritik sosial melalui pantun). Kiprah Temu berlanjut pada bulan Agustus 2015, dia bersama dengan rombongan kesenian gandrung dan Barong Using dari Banyuwangi berangkat ke Jerman[6] untuk melaksanakan pentas selama tiga hari di Frankfurt pada tanggal 28-30 Agustus 2015.[5] Temu bersama dengan para pelaku seni tersebut menjadi salah satu pengisi perhelatan budaya Indonesia dan menjadi guest of honour (tamu kehormatan) dalam acara Frankfurt Book Fair 2015. Dia bersama dengan tokoh gandrung lainnya dari Banyuwangi tampil dengan beberapa musisi kenamaan tanah air, seperti: Djaduk Ferianto dan Kua Etnika serta Dwiki Dharmawan dan J-Flow.[3]

Lihat Pula

Referensi

  1. ^ a b Nurjanah, Rina. "Mengenal Mak Temu, Sang Maestro Gandrung Banyuwangi". kumparan.com. Diakses tanggal 12 Maret 2019. 
  2. ^ a b c d e Nurhajarini, Dwi Ratna (Desember 2015). "Temu: Maestro Gandrung dari Desa Kemiren Banyuwangi". Patra Widya. Vol. 16, No. 4 (Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya). 
  3. ^ a b c d Qohhar, Muhammad Abdul. "Istimewa, Bertemu Gandrung Temu Misti yang dari Jerman". bloktuban.com. Diakses tanggal 12 Maret 2019. 
  4. ^ Andhika, Bayu. "Mbok Temu Misti, Sang Maestro Tari Gandrung Banyuwangi yang Tetap Melestarikan Gandrung". Media Tawang Alun. Diakses tanggal 12 Maret 2019. 
  5. ^ a b c Idrus. "Mengenal Mak Temu, Sang Maestro Gandrung Banyuwangi". Baca Plus. Diakses tanggal 12 Maret 2019. 
  6. ^ a b c Rachmawati, Ira. "Mbok Temu Misti, Maestro Tari Gandrung, Sekarang Pelihara Ayam". kompas.com. Diakses tanggal 12 Maret 2019. 
  7. ^ a b c Christanty, Linda. "Dewi Daya: Sosok Temu Misti Sang Pelestari Tari Gandrung Banyuwangi". dewimagazine.com. Diakses tanggal 12 Maret 2019. 
  8. ^ Munawaroh, Siti (Juni 2009). "Macam-Macam Bentuk Rumah Komunitas Using Desa Kemiren Banyuwangi". Jantra. Vol. 4, No. 7 (Jurnal Sejarah dan Budaya). 
  9. ^ Isni Herawati, dkk (2004). Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Using, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. hlm. 7–20. 
  10. ^ Munawaroh, Siti (Desember 2004). "Masyarakat Using di Banyuwangi". Patra Widya. Vol. 5, No. 4 (Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya). 
  11. ^ Noor Sulistyobudi, dkk (2013). Upacara Adat. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. hlm. vii. 
  12. ^ Saputra, Heru S.P. (2007). Memuja Mantra. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. hlm. xxii. 

Pranala Luar