Batara Guru: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
Membatalkan suntingan berniat baik oleh 158.140.175.168 (bicara): Tanpa sumber. (Notto Disu Shitto Agen ⛔) Tag: Pembatalan |
||
Baris 12: | Baris 12: | ||
Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda dia betul-betul terjadi. |
Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda dia betul-betul terjadi. |
||
Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. |
Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti [[rakshasa|raksasa]], maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan [[Walisongo]] dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran [[Islam]] di [[Jawa]]. Contoh lain adalah penyebutan [[Drona]] menjadi Durna (nista), adanya kisah [[Yudistira]] harus menyebut kalimat [[syahadat]] sebelum masuk [[surga]], dan lain-lain. |
||
Kisah ini berawal dari upaya para [[dewa]] dan [[asura]] Iblis untuk memperoleh air Suci Tirta [[Amerta]] yang dapat memberikan keabadian Kekekalan bagi siapa saja yang meminumnya. [[Wishnu|Wisnu]] membujuk para dewa dan asura iblis bahwa daripada mereka bertempur sebaiknya mereka bekerjasama untuk mendapatkan amerta. Maka Wisnu memimpin baik kaum dewa dan asura Iblis untuk melilitkan [[naga]] raksasa [[Wasuki|Basuki]] pada [[Gunung Meru]]. Lalu gunung Meru dipindahkan ke samudra, akan tetapi gunung Meru tenggelam, untuk menyelamatkannya Wisnu berubah wujud menjadi [[Kurma (Hindu)|Kurma]] [[awatara]] yaitu kura-kura raksasa, dan menopang Gunung Meru. Wisnu membujuk para asura Iblis untuk memegang ujung tubuh yang terdapat kepala Basuki, sementara para dewa memegang ekor ular naga Basuki. Maka akibatnya para asura Iblis terkena racun bisa yang keluar dari mulut Basuki. Meskipun demikian baik para dewa maupun para asura tetap bekerjasama menarik tubuh Basuki dengan gerakan seperti menarik tambang untuk memutar gunung Meru, sehingga samudra susu teraduk. |
|||
Dari dalam adukan ini muncullah racun berbahaya yang disebut [[Halahala]]. Racun ini demikian berbahaya sehingga dapat memusnahkan alam semesta. Wisnu membujuk [[Siwa]] untuk membantu, maka Siwa menelan racun ini dan menyelamatkan jagat raya. Pasangan Siwa, [[Parwati]] membantu menekan leher Siwa agar racun tidak lolos keluar. Karena hal ini leher Siwa berubah menjadi biru, sehingga muncul julukan Siwa sebagai ''Nilakanta'' (sansekerta: ''nila''= biru, ''kantha''= leher). |
|||
Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti [[rakshasa|raksasa]], maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan [[Walisongo]] dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran [[Islam]] di [[Jawa]]. Contoh lain adalah penyebutan [[Drona]] menjadi Durna (nista), adanya kisah [[Yudistira]] harus menyebut kalimat [[syahadat]] sebelum masuk [[surga]], dan lain-lain. |
|||
=== Keturunan === |
=== Keturunan === |
Revisi per 20 November 2019 13.07
Bathara Guru (Aksara Jawa: ꦨꦛꦫꦓꦸꦫꦸ) adalah Dewa yang merajai ketiga dunia, yakni Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka). Namanya berasal dari bahasa Sanskrit Bhattara yang berarti "tuan terhormat" dan Guru, epitet dari Bṛhaspati, seorang Dewa Hindu yang tinggal dan diidentifikasikan dengan planet Jupiter.[1]
Batara Guru dalam mitologi Jawa
Menurut mitologi Jawa, Bathara Guru merupakan Dewa yang merajai ketiga dunia, yakni Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka). Ia merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu, hadiah, dan berbagai ilmu. Batara Guru mempunyai sakti (istri) bernama Dewi Uma dan Dewi Umaranti. Bathara Guru mempunyai beberapa anak. Wahana (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang lembu Nandini. Ia juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata.
Kelahiran
Betara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh Sang Hyang Tunggal, bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya (Semar). Oleh Hyang Tunggal, diputuskanlah bahwa Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para Pandawa.
Batara Guru memiliki dua saudara, Sang Hyang Maha Punggung dan Sang Hyang Ismaya.[2][3][4] Orang tua mereka adalah Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Suatu hari, Dewi Rekatawati menelurkan sebutir telur yang bersinar. Sang Hyang Tunggal mengubah telur tersebut, kulitnya menjadi Sang Hyang Maha Punggung(Togog) yang sulung, putih telur menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar), dan kuningnya menjadi Sang Hyang Manikmaya. Kemudian waktu, Sang Hyang Tunggal menunjuk dua saudaranya yang lebih tua untuk mengawasi umat manusia, terutama Pandawa, sementara Batara Guru (atau Sang Hyang Manikmaya) memimpin para dewa di kahyangan.
Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda dia betul-betul terjadi.
Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan Walisongo dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran Islam di Jawa. Contoh lain adalah penyebutan Drona menjadi Durna (nista), adanya kisah Yudistira harus menyebut kalimat syahadat sebelum masuk surga, dan lain-lain.
Keturunan
Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa):
- Bhatara Cakra
- Batara Sambu
- Batara Brahma
- Batara Indra
- Batara Bayu
- Batara Wisnu
- Batara Ganesha
- Batara Kala
- Hanoman
Manikmaya dalam Agama Konghucu
Daftar Kelenteng yang memiliki altar untuk Manikmaya:
- Kelenteng Hong San Koo Tee, Jl. HOS Cokroaminoto No. 12, Surabaya
Batara Guru dalam mitologi Batak
Batara Guru adalah salah satu dari Debata na Tolu (Dewata Tritunggal) yang menguasai Banua Ginjang (dunia atas, kediaman para dewa). Ia dan saudara-saudaranya -Debata Sori Pada dan Debata Mangala Bulan- terlahir dari tiga butir telur yang dierami seekor ayam betina raksasa, Manuk Patiaraja, sesosok awatara dari Debata Asi Asi. Ia menikahi seorang dewi bernama Siboru Porti Bulan dan memiliki dua putra (Mula Songta dan Mula Songti) serta dua putri (Siboru Sorba Jati dan Siboru Deak Parujar). Siboru Deak Parujar selanjutnya menikahi Siraja Odap Odap dan melahirkan keturunan yang menjadi leluhur umat manusia yang tinggal di Banua Tonga (dunia tengah, yaitu Bumi).[5]
Mulajadi na Bolon yang maha kuasa memberi Batara Guru kebijaksanaan, hukum peradilan, hukum kerajaan, pengetahuan, dan kemampuan untuk mengontrol takdir serta nasib umat manusia. Wilayahnya meluas dari Bukit Siunggas ke Bukit Parsambilan, termasuk surga bertingkat tujuh dimana pohon suci Hari Ara tumbuh. Batara Guru digambarkan mengenakan jubah hitam serta serban berbentuk kapal besar dengan tiga warna yang disebut "Talungkup". Ia mengendarai kuda hitam dan di tangannya membawa timbangan yang disebut "Gantang Tarajuan". Ia memiliki seekor gagak berwarna hitam dan burung Nanggar Jati. Ia juga memiliki kemampuan untuk memberi kehidupan pada umat manusia serta membuka telinga mereka sehingga mereka dapat membedakan kata-kata baik dan jahat.(source: Mythology of Batak (Indonesian pages))
Berdasarkan sumber di atas, anak-anak Batara Guru didaftarkan sebagai berikut (di luar hukum Dalihan na Tolu):
- Mula Songta menikahi Nan Bauraja, putri Debata Sori Pada dan Siboru Malimbim
- Mula Songti menikahi Narudang Ulubegu, putri Debata Sori Pada dan Siboru Malimbim
- Siboru Sorba Jati menikahi Naga Padoha, putra Debata Mangala Bulan dan Siboru Anggarana
- Siboru Deak Parujar menikahi Siraja Odap Odap, putra Debata Mangala Bulan dan Siboru Anggarana
Batara Guru dalam mitologi Bugis
Berdasarkan Sureq Galigo, Batara Guru adalah seorang dewa, putra Sang Patotoqe dan Datu Palingeq, yang dikirim ke bumi untuk dibesarkan sebagai umat manusia. Nama kedewaannya adalah La Togeq Langiq. Ia setidaknya memiliki sepuluh anak dari lima selirnya, tetapi hanya satu putra dari permaisuri yang ia cintai, We Nyiliq Timoq. Ia adalah ayah dari Batara Lattuq dan kakek dari Sawerigading, tokoh utama dari kisah mitologi Bugis, Sureq Galigo. Ia juga ayah dari Sangiang Serri, dewi padi dan kesuburan dalam mitologi Bugis.
Daftar anak Batara Guru (berdasarkan Sureq Galigo):
- We Oddang Nriuq (alias Sangiang Serri), dari selir We Saung Nriuq
- La Pangoriseng dari selir We Leleq Ellung
- La Temmalureng dari selir We Saung Nriuq
- La Temmalolo (saudara kembar dari La Temmalureng) dari selir We Saung Nriuq
- La Lumpongeng dari selir Apung Talaga
- La Pattaungeng dari selir Tenritalunruq
- We Temmaraja dari selir Apung Ritoja
- La Tenriepeng dari selir We Saung Nriuq
- La Temmaukkeq dari selir We Leleq Ellung
- La Sappe Ilek dari selir Apung Talaga
- La Tenrioddang dario selir Tenritalunruq
- Batara Lattuq dari permaisuri We Nyiliq Timoq
Lihat pula
Referensi
- ^ Sunarto H., Viviane Sukanda-Tessier, ed. (1983). Cariosan Prabu Silihwangi. Naskah dan dokumen Nusantara (dalam bahasa Indonesian and French). 4. Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh. hlm. 383.
Statuette tricéphale assise, cuivre rouge moulé d'une beauté rarement égalée. C'est Batara Guru, un super dieu équivalent au Jupiter des Romains et au Brahma des Hindous.
- ^ Sena Wangi, ed. (1999). Ensiklopedi wayang Indonesia: A-B (dalam bahasa Indonesian). 1. Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. hlm. 259. ISBN 9799240018.
- ^ P. B. R. Carey, ed. (1992). The British in Java, 1811-1816: a Javanese account. Oriental documents. 10. Oxford University Press, for British Academy. hlm. 525. ISBN 0197260624.
- ^ Weiss, Jerome (1977). Folk psychology of the Javanese of Ponorogo. 2. Yale University. hlm. 522.
- ^ Wendy Doniger, Yves Bonnefoy, ed. (1993). "Divine Totality and Its Components: The Supreme Deity, the Divine Couple, and the Trinity in Indonesian Religions". Asian Mythologies (edisi ke-2d). University of Chicago Press. hlm. 161–170, 179. ISBN 0226064565.