Perang Kopi: Perbedaan antara revisi
k Bot: Perubahan kosmetika |
Pinerineks (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{for|istilah persaingan bisnis|Perang kopi}} |
{{for|istilah persaingan bisnis|Perang kopi}} |
||
'''Perang Kopi''' adalah sebuah [[perang]] yang terjadi dari [[1889]] sampai [[1890]] di [[Sulawesi]]. Perang tersebut terbagi menjadi dua peristiwa, '''Perang Kopi I''' yang terjadi pada 1887 sampai 1888 dan '''Perang Kopi II''' yang terjadi pada 1989 sampai 1980.<ref>https://travel.tempo.co/read/623597/ketika-kopi-memicu-perang/full&view=ok</ref> |
'''Perang Kopi''' adalah sebuah [[perang]] yang terjadi dari [[1889]] sampai [[1890]] di [[Sulawesi]]. Perang tersebut terbagi menjadi dua peristiwa, '''Perang Kopi I''' yang terjadi pada 1887 sampai 1888 dan '''Perang Kopi II''' yang terjadi pada 1989 sampai 1980.<ref>https://travel.tempo.co/read/623597/ketika-kopi-memicu-perang/full&view=ok</ref> |
||
== Latar belakang == |
|||
Kopi pertama kali masuk ke Sulawesi Selatan melalui perdagangan dengan bangsa Arab di wilayah [[Kota Makassar|Makassar]]. Kopi pertama kali ditanam dan dibudidayakan di wilayah [[Toraja]] setelah diperkenalkan oleh orang-orang dari [[Kesultanan Gowa|Kerajaan Gowa]]. Dalam naskah ''Lontaraq Bilang'', sebuah catatan harian dari Kerajaan Gowa, menyebutkan bahwasanya orang-orang Gowa berlayar membawa kopi ke pelabuhan Suppa (sekarang [[Kota Parepare|Parepare]]), kemudian menuju Toraja dengan berjalan kaki melalui pegunungan [[Kabupaten Enrekang|Enrekang]]. Pada masa tersebut, Gowa dan Toraja memiliki hubungan yang erat. Pada masa-masa awal pembentukan Kerajaan Gowa telah memiliki hubungan dengan Toraja. Hal ini terlihat pada dipergunakannya pusaka Toraja dalam pelantikan raja-raja Gowa. Kopi akhirnya menjadi komoditas penting di Sulawesi Selatan yang diminum oleh semua kalangan tanpa membedakan kelas sosial. Kopi bahkan menjadi minuman penambah energi sebelum berangkat berperang.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://historia.id/kultur/articles/setetes-hikayat-kopi-toraja-DbN1G|title=Setetes Hikayat Kopi Toraja|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2020-05-13}}</ref> |
|||
Ketenaran kopi ini memicu persaingan perdagangan antara kopi antara bagian selatan (sekitar Wajo, Sidenreng, Camba dan sebagian Sinjai) dan bagian utara (Toraja dan Enrekang). Kerajaan Sidenreng yang memiliki pelabuhan [[Bungin, Enrekang|Bungin]] memasarkan kopi dengan nama kopi Bungin. Pesaingnya, [[Kesultanan Bone|Kerajaan Bone]] bersama saudagar Arab berupaya merebut pasar kopi melalui pelabuhan [[Kota Palopo|Palopo]]. Toraja sebagai penghasil kopi utama walau secara geografis lebih dekat dengan pelabuhan Palopo di bawah [[Kedatuan Luwu]] tetapi memilih menjual kopinya melalui pelabuhan Bungin di wilayah Sidenreng. Hal ini mungkin disebabkan lokasi pelabuhan Luwu yang tidak terlalu strategis dan tidak diperhitungkan di kancah pedagangan antarnegara.<ref name=":0" /> |
|||
Kerajaan Luwu kemudian bersekutu dengan Kerjaan Bone untuk melancarkan perang ke Toraja. Penyerbuan ini dikenal dengan nama ''Songko Barong''. Toraja di bawah [[Kerajaan Sangalla]] memberikan perlawanan balik terhadap Bone dan Luwu. Toraja tetap menjual kopinya pada Kerajaan Sidenreng dan Wajo di bagian utara.<ref name=":0" /> |
|||
== Referensi == |
== Referensi == |
Revisi per 13 Mei 2020 14.19
Perang Kopi adalah sebuah perang yang terjadi dari 1889 sampai 1890 di Sulawesi. Perang tersebut terbagi menjadi dua peristiwa, Perang Kopi I yang terjadi pada 1887 sampai 1888 dan Perang Kopi II yang terjadi pada 1989 sampai 1980.[1]
Latar belakang
Kopi pertama kali masuk ke Sulawesi Selatan melalui perdagangan dengan bangsa Arab di wilayah Makassar. Kopi pertama kali ditanam dan dibudidayakan di wilayah Toraja setelah diperkenalkan oleh orang-orang dari Kerajaan Gowa. Dalam naskah Lontaraq Bilang, sebuah catatan harian dari Kerajaan Gowa, menyebutkan bahwasanya orang-orang Gowa berlayar membawa kopi ke pelabuhan Suppa (sekarang Parepare), kemudian menuju Toraja dengan berjalan kaki melalui pegunungan Enrekang. Pada masa tersebut, Gowa dan Toraja memiliki hubungan yang erat. Pada masa-masa awal pembentukan Kerajaan Gowa telah memiliki hubungan dengan Toraja. Hal ini terlihat pada dipergunakannya pusaka Toraja dalam pelantikan raja-raja Gowa. Kopi akhirnya menjadi komoditas penting di Sulawesi Selatan yang diminum oleh semua kalangan tanpa membedakan kelas sosial. Kopi bahkan menjadi minuman penambah energi sebelum berangkat berperang.[2]
Ketenaran kopi ini memicu persaingan perdagangan antara kopi antara bagian selatan (sekitar Wajo, Sidenreng, Camba dan sebagian Sinjai) dan bagian utara (Toraja dan Enrekang). Kerajaan Sidenreng yang memiliki pelabuhan Bungin memasarkan kopi dengan nama kopi Bungin. Pesaingnya, Kerajaan Bone bersama saudagar Arab berupaya merebut pasar kopi melalui pelabuhan Palopo. Toraja sebagai penghasil kopi utama walau secara geografis lebih dekat dengan pelabuhan Palopo di bawah Kedatuan Luwu tetapi memilih menjual kopinya melalui pelabuhan Bungin di wilayah Sidenreng. Hal ini mungkin disebabkan lokasi pelabuhan Luwu yang tidak terlalu strategis dan tidak diperhitungkan di kancah pedagangan antarnegara.[2]
Kerajaan Luwu kemudian bersekutu dengan Kerjaan Bone untuk melancarkan perang ke Toraja. Penyerbuan ini dikenal dengan nama Songko Barong. Toraja di bawah Kerajaan Sangalla memberikan perlawanan balik terhadap Bone dan Luwu. Toraja tetap menjual kopinya pada Kerajaan Sidenreng dan Wajo di bagian utara.[2]
Referensi
- ^ https://travel.tempo.co/read/623597/ketika-kopi-memicu-perang/full&view=ok
- ^ a b c "Setetes Hikayat Kopi Toraja". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2020-05-13.