Lompat ke isi

Pembatasan sosial: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
RianHS (bicara | kontrib)
RianHS (bicara | kontrib)
Baris 35: Baris 35:


=== Penutupan tempat kerja ===
=== Penutupan tempat kerja ===
Studi [[pemodelan dan simulasi]] berdasarkan data di AS menunjukkan bahwa jika 10% tempat kerja yang terdampak ditutup, tingkat penularan infeksi secara keseluruhan yaitu sekitar 11,9% dan waktu puncak epidemi sedikit tertunda. Sebaliknya, jika 33% tempat kerja yang terdampak ditutup, tingkat serangan berkurang menjadi 4,9%, dan waktu puncak tertunda selama satu minggu.<ref>{{cite journal |author-last1=Rousculp |author-first1=Matthew D. |author-last2=Johnston |author-first2=Stephen S. |author-last3=Palmer |author-first3=Liisa A. |author-last4=Chu |author-first4=Bong-Chul |author-last5=Mahadevia |author-first5=Parthiv J. |author-last6=Nichol |author-first6=Kristin L. |date=October 2010 |title=Attending Work While Sick: Implication of Flexible Sick Leave Policies |journal=[[Journal of Occupational and Environmental Medicine]] |volume=52 |issue=10 |pages=1009–1013 |doi=10.1097/jom.0b013e3181f43844 |pmid=20881626}}</ref><ref>{{cite journal |author-last1=Kumar |author-first1=Supriya |author-last2=Crouse Quinn |author-first2=Sandra |author-last3=Kim |author-first3=Kevin H. |author-last4=Daniel |author-first4=Laura H. |author-last5=Freimuth |author-first5=Vicki S. |title=The Impact of Workplace Policies and Other Social Factors on Self-Reported Influenza-Like Illness Incidence During the 2009 H1N1 Pandemic |date=January 2012 |journal=[[American Journal of Public Health]] |volume=102 |issue=1 |pages=134–140 |doi=10.2105/AJPH.2011.300307 |pmid=22095353 |pmc=3490553}}</ref> Penutupan tempat kerja termasuk penutupan bisnis dan layanan sosial "tidak penting" ("tidak penting" berarti fasilitas tersebut tidak menjaga fungsi utama masyarakat, sebagai lawan dari [[layanan penting]]).<ref>{{cite web |title=Social Distancing Support Guidelines For Pandemic Readiness |publisher=[[Colorado Department of Public Health and Environment]] |date=March 2008 |url=https://www.colorado.gov/pacific/sites/default/files/OEPR_Guidelines-for-Social-Distancing-Pandemic-Readiness.pdf |access-date=13 February 2017 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20170213001535/https://www.colorado.gov/pacific/sites/default/files/OEPR_Guidelines-for-Social-Distancing-Pandemic-Readiness.pdf |archive-date=13 February 2017}}</ref><ref name="ACAIM-WACEM COVID-19 Consensus Paper"/>


=== Pembatalan pertemuan massal ===
=== Pembatalan pertemuan massal ===

Revisi per 24 Mei 2020 06.35

Orang-orang mempraktikkan pembatasan sosial ketika mengantre untuk memasuki supermarket di London selama pandemi COVID-19 tahun 2020. Untuk memastikan para pembeli dapat menjaga jarak setibanya di toko, hanya sejumlah orang yang dibatasi dan diizinkan masuk sekaligus.
Pembatasan sosial mengurangi tingkat penularan penyakit dan dapat menghentikan wabah.

Pembatasan sosial (bahasa Inggris: social distancing), juga disebut pembatasan fisik (physical distancing),[1][2][3] adalah adalah serangkaian tindakan intervensi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk mencegah penyebaran penyakit menular dengan menjaga jarak fisik antara satu orang dan orang lain serta mengurangi jumlah orang yang melakukan kontak dekat satu sama lain.[1][4] Tindakan ini biasanya dilakukan dengan menjaga jarak tertentu dari orang lain (jarak yang ditentukan mungkin berbeda dari waktu ke waktu dan satu negara ke negara lain) dan menghindari berkumpul bersama dalam kelompok besar.[5][6]

Pembatasan sosial akan mengurangi kemungkinan kontak antara orang yang tidak terinfeksi dengan orang terinfeksi, sehingga dapat meminimalkan penularan penyakit, dan terutama, kematian.[1] Tindakan ini dikombinasikan dengan menerapkan higiene pernapasan yang baik dan kebiasaan mencuci tangan dalam suatu populasi.[7][8] Selama pandemi koronavirus 2019–2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan penggunaan istilah "pembatasan fisik" dan bukan "pembatasan sosial", sesuai dengan fakta bahwa jarak fisik yang mencegah penularan; sementara orang-orang dapat tetap terhubung secara sosial melalui teknologi.[1][2][9][10] Untuk memperlambat penyebaran penyakit menular dan mencegah sistem layanan kesehatan terbebani, khususnya selama pandemi, beberapa tindakan pembatasan sosial diterapkan, termasuk penutupan sekolah dan tempat kerja, isolasi, karantina, pembatasan perjalanan orang, dan pembatalan pertemuan massal.[4][11]

Meskipun istilah ini baru diperkenalkan pada abad ke-21,[12] langkah-langkah pembatasan sosial setidaknya telah ada sejak abad kelima SM. Salah satu rujukan paling awal tentang pembatasan sosial ditemukan dalam Kitab Imamat, 13:46: "Dan penderita kusta yang terkena wabah itu … ia akan tinggal sendirian; [di luar] tempat tinggalnya".[13] Selama wabah Yustinianus dari tahun 541 hingga 542, kaisar Yustinianus I memberlakukan karantina yang tidak efektif pada Kekaisaran Romawi Timur, termasuk membuang mayat ke laut; ia menyalahkan luasnya penyebaran terutama pada "orang Yahudi, Samaria, pagan, Arianis, Montanis, dan homoseksual".[14] Pada zaman modern, langkah-langkah pembatasan sosial berhasil diterapkan dalam beberapa epidemi. Di Kota St. Louis, Missouri, tak lama setelah kasus influenza pertama terdeteksi di kota tersebut selama pandemi flu 1918, pihak berwenang menerapkan penutupan sekolah, melarang pertemuan publik, dan intervensi pembatasan sosial lainnya. Angka kematian kasus di St. Louis jauh lebih sedikit dibandingkan di Kota Philadelphia, Pennsylvania, yang meskipun memiliki kasus influenza, masih mengizinkan parade massal dan tidak melakukan pembatasan sosial sampai lebih dari dua minggu setelah temuan kasus pertama.[15] Pihak berwenang telah mendorong atau memberi mandat untuk melakukan pembatasan sosial selama pandemi COVID-19.

Pembatasan sosial lebih efektif dilakukan ketika infeksi menular melalui kontak percikan pernapasan atau droplet (seperti batuk atau bersin); kontak fisik langsung, termasuk kontak seksual; kontak fisik tidak langsung (misalnya dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi seperti fomit); atau penularan melalui udara (jika mikroorganisme dapat bertahan hidup di udara untuk waktu yang lama).[16] Pembatasan sosial kurang efektif dalam kasus ketika infeksi ditularkan terutama melalui air atau makanan yang terkontaminasi atau oleh vektor seperti nyamuk atau serangga lain[17]

Kerugian dari pembatasan sosial dapat berupa kesepian, berkurangnya produktivitas, dan hilangnya manfaat lain yang berkaitan dengan interaksi manusia.[18]

Definisi

Sebuah poster (dalam bahasa Arab, Inggris, dan Urdu) yang mendorong pembatasan sosial selama pandemi COVID-19.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menggambarkan pembatasan sosial sebagai seperangkat "metode untuk mengurangi frekuensi dan kedekatan kontak di antara orang-orang untuk mengurangi risiko penularan penyakit".[11] Selama pandemi flu 2009, WHO menggambarkan pembatasan sosial sebagai "menjaga jarak setidaknya satu lengan dari orang lain, [dan] meminimalkan pertemuan".[7] Tindakan ini dikombinasikan dengan higiene pernapasan yang baik dan mencuci tangan, dan dianggap sebagai cara yang paling layak untuk mengurangi atau menunda pandemi.[7][19]

Selama pandemi COVID-19, CDC merevisi definisi pembatasan sosial sebagai "tetap berada di luar kondisi berkerumun, menghindari pertemuan massal, dan menjaga jarak (sekitar enam kaki atau dua meter) dari orang lain jika memungkinkan".[5][6] Tidak jelas mengapa enam kaki yang ditetapkan dalam definisi tersebut. Studi terbaru menunjukkan bahwa percikan dari bersin atau pernapasan yang kuat selama kegiatan fisik dapat mencapai jarak enam meter.[20][21][22] Beberapa orang menduga jarak yang ditetapkan tersebut didasarkan pada penelitian dari tahun 1930-an dan 1940-an yang sudah dibantah[23] atau akibat kebingungan tentang unit pengukuran. Para peneliti dan penulis sains merekomendasikan pembatasan sosial yang lebih jauh[21][24][25] dan/atau memakai masker sekaligus membatasi jarak sosial.[21][26][27]

Tindakan

Pemahaman bahwa suatu penyakit sedang beredar dapat memicu perubahan perilaku orang-orang, yang memilih untuk menjauh dari tempat-tempat umum dan orang lain. Ketika diterapkan untuk mengendalikan epidemi, pembatasan sosial seperti ini dapat menghasilkan manfaat tetapi juga menimbulkan biaya ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan ini harus diterapkan dengan segera dan secara ketat agar menjadi efektif.[28] Beberapa langkah pembatasan sosial digunakan untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular.[11][16][5][27]

Menghindari kontak fisik

Pembatasan sosial juga termasuk menghilangkan kontak fisik, misalnya jabat tangan yang umum, pelukan, atau hongi; ilustrasi dari Selandia Baru ini menawarkan delapan alternatif lain.

Menjaga jarak setidaknya dua meter (enam kaki) (di Amerika Serikat atau Britania Raya) atau 1,5 meter (di Australia) atau 1 meter (di Prancis atau Italia) satu sama lain dan menghindari pelukan dan gestur yang melibatkan kontak fisik langsung, mengurangi risiko terinfeksi selama pandemi flu dan pandemi koronavirus pada tahun 2020.[5][29] Pemisahan jarak ini, selain langkah-langkah higiene pribadi, juga direkomendasikan di tempat kerja.[30] Jika memungkinkan, disarankan untuk bekerja dari rumah.[8][27]

Berbagai alternatif diusulkan untuk menggantikan tradisi berjabat tangan. Gerakan namaste, menangkupkan kedua telapak tangan, mengarahkan jari-jari untuk menunjuk ke atas, menggambar bentuk jantung, adalah contoh alternatif tanpa melibatkan sentuhan dengan orang lain. Selama pandemi koronavirus di Britania Raya, gerakan ini digunakan oleh Pangeran Charles saat menyambut tamu ketika resepsi, serta telah direkomendasikan oleh Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.[31] Alternatif lain misalnya melambaikan tangan, membuat isyarat shaka, dan meletakkan telapak tangan di jantung, seperti yang dilakukan di beberapa wilayah Iran.[31]

Penutupan sekolah

Kasus flu babi per minggu di Britania Raya pada tahun 2009; sekolah biasanya liburan musim panas pada pertengahan Juli dan dibuka kembali pada awal September.[32]

Pemodelan matematika menunjukkan bahwa penyebaran wabah dapat ditunda dengan menutup sekolah. Namun, efektivitasnya tergantung pada kontak yang dilakukan anak-anak di luar sekolah. Seringkali, salah satu orang tua harus mengambil cuti, dan penutupan yang berkepanjangan mungkin diperlukan. Faktor-faktor ini dapat mengakibatkan gangguan sosial dan ekonomi.[33][34]

Penutupan tempat kerja

Studi pemodelan dan simulasi berdasarkan data di AS menunjukkan bahwa jika 10% tempat kerja yang terdampak ditutup, tingkat penularan infeksi secara keseluruhan yaitu sekitar 11,9% dan waktu puncak epidemi sedikit tertunda. Sebaliknya, jika 33% tempat kerja yang terdampak ditutup, tingkat serangan berkurang menjadi 4,9%, dan waktu puncak tertunda selama satu minggu.[35][36] Penutupan tempat kerja termasuk penutupan bisnis dan layanan sosial "tidak penting" ("tidak penting" berarti fasilitas tersebut tidak menjaga fungsi utama masyarakat, sebagai lawan dari layanan penting).[37][27]

Pembatalan pertemuan massal

Pembatasan perjalanan

Perlindungan umum

Karantina

Keefektifan

Mencegah puncak infeksi yang tajam, yang dikenal sebagai meratakan kurva epidemi, membantu mencegah layanan kesehatan mengalami kewalahan, dan juga menyediakan lebih banyak waktu untuk pengembangan vaksin atau pengobatan. Menyebarkan infeksi dalam jangka waktu yang lebih lama memungkinkan layanan kesehatan untuk mengelola volume pasien dengan lebih baik.[38][39]
Model kurva yang menunjukkan pentingnya pembatasan sosial sejak awal.

Penelitian menunjukkan bahwa langkah-langkah pembatasan sosial harus diterapkan secara ketat dan segera agar menjadi efektif.[40] Selama pandemi flu 1918, pihak berwenang di AS menerapkan penutupan sekolah, larangan pertemuan publik, dan intervensi jarak sosial lainnya di Philadelphia dan di St. Louis, tetapi di Philadelphia penundaan lima hari dalam memulai langkah-langkah ini memungkinkan tingkat transmisi meningkat dua kali lipat tiga hingga lima kali lipat, sedangkan respons yang lebih cepat di St. Louis lebih signifikan dalam mengurangi penularan di sana.[41] Analisis terhadap intervensi jarak sosial di 16 kota AS selama epidemi 1918 menyimpulkan bahwa intervensi berbatas waktu mengurangi angka kematian total secara menengah (mungkin 10-30%), dan bahwa dampaknya sering sangat terbatas karena intervensi dimulai terlalu terlambat dan dihentikan terlalu dini. Berdasarkan pengamatan, beberapa kota mengalami puncak epidemi kedua setelah kontrol jarak sosial dicabut, karena individu yang rentan yang sebelumnya dilindungi menjadi terpapar.[42]

Kerugian

Kerugian dari pembatasan sosial mencakup kesepian, berkurangnya produktivitas, dan hilangnya manfaat lain yang berkaitan dengan interaksi manusia.[43] Di negara berkembang dengan teknologi jarak jauh dan alat pelindung diri tidak digunakan secara luas, sering kali lebih sulit bagi masyarakat untuk memantau kesehatan anggotanya.

Referensi

  1. ^ a b c d Harris, Margaret; Adhanom Ghebreyesus, Tedros; Liu, Tu; Ryan, Michael "Mike" J.; Vadia; Van Kerkhove, Maria D.; Diego; Foulkes, Imogen; Ondelam, Charles; Gretler, Corinne; Costas (20 March 2020). "COVID-19" (PDF). World Health Organization. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  2. ^ a b Hensley, Laura (23 March 2020). "Social distancing is out, physical distancing is in – here's how to do it". Global News. Corus Entertainment Inc. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  3. ^ Venske, Regula (26 March 2020). Schwyzer, Andrea, ed. "Die Wirkung von Sprache in Krisenzeiten" [The effect of language in times of crisis] (Interview). NDR Kultur (dalam bahasa Jerman). Norddeutscher Rundfunk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 27 March 2020.  (NB. Regula Venske is president of the PEN Centre Germany.)
  4. ^ a b Johnson, Carolyn Y.; Sun, Lena; Freedman, Andrew (10 March 2020). "Social distancing could buy U.S. valuable time against coronavirus". The Washington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 11 March 2020. 
  5. ^ a b c d Pearce, Katie (13 March 2020). "What is social distancing and how can it slow the spread of COVID-19?". The Hub (dalam bahasa Inggris). Johns Hopkins University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  6. ^ a b "Risk Assessment and Management" (dalam bahasa Inggris). Centers for Disease Control and Prevention. 22 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  7. ^ a b c "Pandemic influenza prevention and mitigation in low resource communities" (PDF). World Health Organization. 2 May 2009. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  8. ^ a b "Guidance on social distancing for everyone in the UK". GOV.UK (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  9. ^ Tangermann, Victor (24 March 2020) [2020-03-20]. "It's Officially Time to Stop Using The Phrase 'Social Distancing'". science alert (Futurism / The Byte). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020.  [1]
  10. ^ Kumar, Satyendra (28 March 2020). "Corona Virus Outbreak: Keep Physical Distancing, Not Social Distancing" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. SSRN 3568435alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |ssrn= (bantuan). 
  11. ^ a b c Kinlaw, Kathy; Levine, Robert J. (15 February 2007). "Ethical guidelines in Pandemic Influenza—Recommendations of the Ethics Subcommittee of the Advisory Committee to the Director, Centers for Disease Control and Prevention" (PDF). Centers for Disease Control and Prevention. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 5 February 2020. Diakses tanggal 23 March 2020.  (12 pages)
  12. ^ "social distancing". Merriam-Webster. Diakses tanggal 7 May 2020. 
  13. ^ "Bible Gateway passage: Leviticus 13 - Authorized (King James) Version". Bible Gateway. 
  14. ^ Drews, Kelly (1 May 2013). "A Brief History of Quarantine". The Virginia Tech Undergraduate Historical Review (dalam bahasa Inggris). 2. doi:10.21061/vtuhr.v2i0.16. ISSN 2165-9915. 
  15. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ryan2008
  16. ^ a b "Information About Social Distancing" (PDF). www.cidrap.umn.edu. Public Health Department: Santa Clara Valley Health & Hospital System. 2017. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 17 March 2020. 
  17. ^ "Interim Pre-Pandemic Planning Guidance: Community Strategy for Pandemic Influenza Mitigation in the United States – Early, Targeted, Layered Use of Nonpharmaceutical Interventions" (PDF). Centers for Disease Control and Prevention. February 2007. CS10848. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  18. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Brooks26Feb2020
  19. ^ "Winning together: Novel coronavirus (COVID-19) infographic". ResearchGate. Diakses tanggal May 16, 2020. 
  20. ^ Xie, X.; Li, Y.; Chwang, A. T.; Ho, P. L.; Seto, W. H. (June 2007). "How far droplets can move in indoor environments – revisiting the Wells evaporation–falling curve". Indoor Air. 17 (3). hlm. 211–25. doi:10.1111/j.1600-0668.2007.00469.x. PMID 17542834. 
  21. ^ a b c Setti, L.; Passarini, F.; De Gennaro, G. (23 April 2020). "Airborne Transmission Route of COVID-19: Why 2 Meters/6 Feet of Inter-Personal Distance Could Not Be Enough". Int. J. Environ. Res. Public Health. 17 (8): 2932. doi:10.3390/ijerph17082932. PMID 32340347. 
  22. ^ Thoelen, J. (8 April 2020). "Belgian-Dutch Study: Why in times of COVID-19 you should not walk/run/bike close behind each other". Medium. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  23. ^ Letzter, R. (31 March 2020). "Is 6 feet enough space for social distancing? Not everyone thinks that's enough distance". Live Science. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  24. ^ Reynolds, G. (15 April 2020). "For Runners, Is 15 Feet the New 6 Feet for Social Distancing? When we walk briskly or run, air moves differently around us, increasing the space required to maintain a proper social distance". New York Times. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  25. ^ Sheikh, K.; Gorman, J.; Chang, K. (14 April 2020). "Stay 6 Feet Apart, We're Told. But How Far Can Air Carry Coronavirus? Most of the big droplets travel a mere six feet. The role of tiny aerosols is the 'trillion-dollar question.'". New York Times. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  26. ^ Huang, S. (26 March 2020). "Why we should all wear masks – There is new scientific rationale". Medium. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  27. ^ a b c d "The 2019–2020 Novel Coronavirus (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) Pandemic: A Joint American College of Academic International Medicine‑World Academic Council of Emergency Medicine Multidisciplinary COVID‑19 Working Group Consensus Paper". ResearchGate. Diakses tanggal May 16, 2020. 
  28. ^ Maharaj, Savi; Kleczkowski, Adam (2012). "Controlling epidemic spread by social distancing: Do it well or not at all". BMC Public Health. 12 (1): 679. doi:10.1186/1471-2458-12-679. PMC 3563464alt=Dapat diakses gratis. PMID 22905965. 
  29. ^ "Guidance on Preparing Workplaces for an Influenza Pandemic". Occupational Safety and Health Act of 1970. United States Department of Labor. OSHA 3327-02N 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 March 2020. Diakses tanggal 18 March 2020.  [2]
  30. ^ "Social Distancing". safety-security.uchicago.edu. Department of Safety & Security, The University of Chicago. 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  31. ^ a b Barajas, Julia; Etehad, Melissa (13 March 2020). "Joined palms, hands on hearts, Vulcan salutes: Saying hello in a no-handshake era". Los Angeles Times (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 18 March 2020. 
  32. ^ "2009 Press Releases". Health Protection Agency. 24 December 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 December 2009. Diakses tanggal 24 December 2009. 
  33. ^ Zumla, Alimuddin; Yew, Wing-Wai; Hui, David S. C. (31 August 2010). Emerging Respiratory Infections in the 21st Century, An Issue of Infectious Disease Clinics (dalam bahasa Inggris). 24. Elsevier Health Sciences. hlm. 614. ISBN 978-1-4557-0038-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  34. ^ Cauchemez, Simon; Ferguson, Neil Morris; Wachtel, Claude; Tegnell, Anders; Saour, Guillaume; Duncan, Ben; Nicoll, Angus (August 2009). "Closure of schools during an influenza pandemic". The Lancet Infectious Diseases. 9 (8): 473–481. doi:10.1016/S1473-3099(09)70176-8. ISSN 1473-3099. PMC 7106429alt=Dapat diakses gratis. PMID 19628172. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  35. ^ Rousculp, Matthew D.; Johnston, Stephen S.; Palmer, Liisa A.; Chu, Bong-Chul; Mahadevia, Parthiv J.; Nichol, Kristin L. (October 2010). "Attending Work While Sick: Implication of Flexible Sick Leave Policies". Journal of Occupational and Environmental Medicine. 52 (10): 1009–1013. doi:10.1097/jom.0b013e3181f43844. PMID 20881626. 
  36. ^ Kumar, Supriya; Crouse Quinn, Sandra; Kim, Kevin H.; Daniel, Laura H.; Freimuth, Vicki S. (January 2012). "The Impact of Workplace Policies and Other Social Factors on Self-Reported Influenza-Like Illness Incidence During the 2009 H1N1 Pandemic". American Journal of Public Health. 102 (1): 134–140. doi:10.2105/AJPH.2011.300307. PMC 3490553alt=Dapat diakses gratis. PMID 22095353. 
  37. ^ "Social Distancing Support Guidelines For Pandemic Readiness" (PDF). Colorado Department of Public Health and Environment. March 2008. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 13 February 2017. Diakses tanggal 13 February 2017. 
  38. ^ Wiles, Siouxsie (9 March 2020). "The three phases of Covid-19 – and how we can make it manageable". The Spinoff. Diakses tanggal 9 March 2020. 
  39. ^ Anderson, Roy M; Heesterbeek, Hans; Klinkenberg, Don; Hollingsworth, T Déirdre (March 2020). "How will country-based mitigation measures influence the course of the COVID-19 epidemic?". The Lancet. doi:10.1016/S0140-6736(20)30567-5. A key issue for epidemiologists is helping policy makers decide the main objectives of mitigation—e.g., minimising morbidity and associated mortality, avoiding an epidemic peak that overwhelms health-care services, keeping the effects on the economy within manageable levels, and flattening the epidemic curve to wait for vaccine development and manufacture on scale and antiviral drug therapies. 
  40. ^ Maharaj S, Kleczkowski A (2012). "Controlling epidemic spread by social distancing: Do it well or not at all". BMC Public Health. 12 (1): 679. doi:10.1186/1471-2458-12-679. PMC 3563464alt=Dapat diakses gratis. PMID 22905965. 
  41. ^ Hatchett RJ, Mecher CE, Lipsitch M (2007). "Public health interventions and epidemic intensity during the 1918 influenza pandemic". Proc Natl Acad Sci U S A. 104 (18): 7582–7587. doi:10.1073/pnas.0610941104. PMC 1849867alt=Dapat diakses gratis. PMID 17416679. 
  42. ^ Bootsma MC, Ferguson NM (2007). "The effect of public health measures on the 1918 influenza pandemic in U.S. cities". Proc Natl Acad Sci U S A. 104 (18): 7588–7593. doi:10.1073/pnas.0611071104. PMC 1849868alt=Dapat diakses gratis. PMID 17416677. 
  43. ^ Brooks, Samantha K.; Webster, Rebecca K.; Smith, Louise E.; Woodland, Lisa; Wessely, Simon; Greenberg, Neil; Rubin, Gideon James (26 February 2020). "The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence". The Lancet (dalam bahasa English). 0 (0). doi:10.1016/S0140-6736(20)30460-8. ISSN 0140-6736. Diakses tanggal 12 March 2020.