Kerajaan Bima: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
San Alexa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
San Alexa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 14: Baris 14:
Dalam teks [[Calon Arang]], beberapa daerah disebutkan sebagai wilayah kekuasaan Airlangga, di antaranya: Sabrang, Malayu, Palembang, Jambi, Malaka, Singapura, Patani, Pahang, Siyam, Cempa, Cina, Koci, Keling, Tatar, Pego, Kedah, Kutawaringin, Kate, Bangka, Sunda, Madura, Kangayan, Makasar, Seran, Goran, Pandan, Peleke, Moloko, '''''Bolo, Dompo, Bima''''', Timur, Sasak, Sambawa.
Dalam teks [[Calon Arang]], beberapa daerah disebutkan sebagai wilayah kekuasaan Airlangga, di antaranya: Sabrang, Malayu, Palembang, Jambi, Malaka, Singapura, Patani, Pahang, Siyam, Cempa, Cina, Koci, Keling, Tatar, Pego, Kedah, Kutawaringin, Kate, Bangka, Sunda, Madura, Kangayan, Makasar, Seran, Goran, Pandan, Peleke, Moloko, '''''Bolo, Dompo, Bima''''', Timur, Sasak, Sambawa.


Kekuasaan Airlangga memang tidak berlangsung lama. Diakhir kekuasaan, Airlangga membagi dua kerajaan untuk dua orang anaknya. Begitupun di Bima, pengaruh Airlangga juga tak berlangsung lama. Memasuki era [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singosari]], kekuasan politik di Bima, Bolo dan Dompo pun ikut berubah pasca penyerangan Singosari atas Bedahulu Bali tahun 1285 masehi, yang diduga ekspedisi militer itu berlanjut ke wilayaj timurnya termasuk Bima hingga ekspedisi itu berakhir tahun 1293 masehi.
Kekuasaan Airlangga memang tidak berlangsung lama. Diakhir kekuasaan, Airlangga membagi dua kerajaan untuk dua orang anaknya. Begitupun di Bima, pengaruh Airlangga juga tak berlangsung lama.
'''Bima Dalam Kuasa Singosari (1285 - 1291 masehi)'''
Memasuki era [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singosari]], kekuasan politik di Bima, Bolo dan Dompo pun ikut berubah pasca penyerangan Singosari atas Bedahulu Bali tahun 1285 masehi, yang diduga ekspedisi militer itu berlanjut ke wilayaj timurnya termasuk Bima hingga ekspedisi itu berakhir tahun 1293 masehi.


Singosari menggabungkan Bolo kedalam Bima dan membentuk wilayah wilayah politik baru yaitu di Pulau Sangiang dan Sape, sebagai port perdagangan dan pelabuhan angkut hasil alam ke Jawa.
Singosari menggabungkan Bolo kedalam Bima dan membentuk wilayah wilayah politik baru yaitu di Pulau Sangiang dan Sape, sebagai port perdagangan dan pelabuhan angkut hasil alam ke Jawa.

Revisi per 30 Maret 2021 06.11

Penaklukan Sowal (913 masehi)

Kerajaan Bima adalah sebuah Kerajaan yang dibentuk pada abad 10 masehi oleh Wangsa Warmadewa sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan Kerajaan Sri Wijaya untuk wilayah timur Nusantara.

Dalam Prasasti Blajong Bali (835 ćaka atau 913 masehi), Raja Bedahulu pertama yaitu Sri Kesari Warmadewa mencatat sebuah kemenangan ekapedisi militer pertama mereka di wilayah timur Pulau Bali yaitu di Gurun dan Sowal. Menurut Mahaviranata dalam Suantika (1989, 45 - 46), kata Suwal kemungkinan besar adalah Sowa, yaitu tempat situs Wadu Pa'a berada. Sementara itu situs Wadu Pa'a sendiri sudah ada jauh sebelum penyerangan Sri Kesari Warmadewa ke Sowa, yaitu tahun 709 masehi.

Saat penyerangan Sri Kesari Warmadewa ke wilayah Sowa tahun 913 masehi, kerajaan lain di ujung timur Pulau Sumbawa saat itu belum terbentuk. Sri Kesari kemudian membentuk 3 (tiga) kerajaan baru dibekas wilayah taklukannya tersebut yaitu Kerajaan Dompo, Kerajaan Bolo dan Kerajaan Bima.

Sejak tahun 913 masehi, 3 kerajaan tersebut berada dibawah konfederasi Bali yaitu kerajaan Bedahulu. Bahkan ketika pangeran Airlangga dari Bedahulu mendirikan Kerajaan di Kediri (abad 11 masehi), 3 kerajaan bentukan Sri Kesari inipun masuk sebagai negara yang berada dibawah kekuasaan Airlangga sebagaimana yang tercatat dalam Serat Calon Arang

Bima Dalam Kekuasaan Airlangga (1009 - 10042 masehi)

Dalam teks Calon Arang, beberapa daerah disebutkan sebagai wilayah kekuasaan Airlangga, di antaranya: Sabrang, Malayu, Palembang, Jambi, Malaka, Singapura, Patani, Pahang, Siyam, Cempa, Cina, Koci, Keling, Tatar, Pego, Kedah, Kutawaringin, Kate, Bangka, Sunda, Madura, Kangayan, Makasar, Seran, Goran, Pandan, Peleke, Moloko, Bolo, Dompo, Bima, Timur, Sasak, Sambawa.

Kekuasaan Airlangga memang tidak berlangsung lama. Diakhir kekuasaan, Airlangga membagi dua kerajaan untuk dua orang anaknya. Begitupun di Bima, pengaruh Airlangga juga tak berlangsung lama.

Bima Dalam Kuasa Singosari (1285 - 1291 masehi)

Memasuki era Kerajaan Singosari, kekuasan politik di Bima, Bolo dan Dompo pun ikut berubah pasca penyerangan Singosari atas Bedahulu Bali tahun 1285 masehi, yang diduga ekspedisi militer itu berlanjut ke wilayaj timurnya termasuk Bima hingga ekspedisi itu berakhir tahun 1293 masehi.

Singosari menggabungkan Bolo kedalam Bima dan membentuk wilayah wilayah politik baru yaitu di Pulau Sangiang dan Sape, sebagai port perdagangan dan pelabuhan angkut hasil alam ke Jawa.

Pada era Singosari ini kuda kuda bima sudah mulai diambli untuk dijadikan kuda perang bagi para perwira kerajaan. Singosari termasuk kerajaan yang sering melakukan ekspansi militer ke wilayah Nusantara, termasuk ke Sumatra yang dikenal dengan Pamalayu (1275 ) dan wilayah timur jauh nusantara (1285 - 1293).

DIperkirakan seorang Raja dari Kerajaan Bima juga tewas saat ikut dalam ekpedisi militer Singosari ke Luwu pasca penaklukan Bali oleh Singosari (1284 masehi). Raja Bima itu tercatat dengan nama Maharaja Tunggal Pandita Batara Indra Ratu yang gugur di Luwu (raja ke 7) yang berkuasa sekitar 1280 hingga 1290 masehi.

Pasca gugurnya Maharaja Batara Indra Ratu, kekuatan politik di Bima mengalami kegaduhan. Di Jawapun terjadi kemelut panjang politik kekusaan yang menggeser beberapa orang penting seperti Arya Wiraraja yang di geser menjadi Bupati Madura. Pada periosdesasi ini di Bima juga ditempatkan seorang raja kecil atau raja bawahan yang ditunjuk oleh raja atasannya yaitu Punggawa Bisa sebagai raja ke 8 Bima.

Sementara di Singosari pemberontakan demi pemberontakan terus terjadi yang akhirmya menewaskan Raja Singosari l, Kertanegara (1292 masehi). Raja baru Singosari berganti dan pusat kerajaannya pun dipindahkan ke Kediri oleh raja baru yaitu Jayakatwang.

Disisi lain, Arya Wiraraja yang punya ambisi tersendiri juga sedang menyusun kekuatan untuk menggulingkan Jayakatwang dan membentuk kerajaan baru. Seluruh kerajaan bekas taklukan Kertanagara dikonsolosidasi oleh Arya Wiraraja. Pasukan pasukan Singosari yang pulang melakukan ekpedisi militer (1274 - 1293) era Kertanegara pun diminta Arya Wiraraja untuk bergabung dalam rencana penggulingan Raja Jayakatwang.

Diperkirakan Punggawa Bisa bukanlah keturunan Raja Bima 7 Maharaja Bataran Indra Ratu, namun ia memiliki kuasa perdagangan diwilayah Bima pada era Kertanegara dan merupakan orangnya Arya Wiraraja.

pada tahun 1293 masehi, untuk menunjang rencana penyerangan atas Jayakatwang oleh Raden Wijaya, Arya Wiraraja meminta Punggawa Bisa mengirimkan 72 ekor kuda perang untuk membantu persiapam penyerangan Raden Wijaya di hutan tarik.

Kuda kuda itu diserahkan Arya Wiraraja pada anaknya Rangga Lawe.

Keinginan Arya Wiraraja membantu Raden Wijaya ini setalah keduanya menyepakati jika Jayakatwang berhasil digulingkan, maka wilayah kerajaan akan dibagi 2 yaitu di barat dan di timur. Dibarat untuk Raden Wijaya, sementara di timur untuk Arya Wiraraja.

Namun setelah Majapahit berdiri, wilayah kerajaan tidak dibagi sebagaimana perjanjian awal. Arya Wiraraja dan keluarganya hanya diangkat sebagai pejabat penting di Majapahit. Hal ini menimbulkan ketidak puasan dan melahirkan pemberontakan oleh orang orang Arya Wiraraja.

Puncak dari perlawanan orang orang Arya Wiraraja adalah pemberontakan Lumajang, Sedeng dan Keta (Besuki) tahun 1331 masehi.

Pada pemberontakan ini, para pendukung Arya Wiraraja yang juga dendam atas tewasnya Nambi (anak Arya Wiraraja) menghimpun seluruh kekuatan yang ada. Baik itu pasukan Gajah dari Sumatra maupun pasukan Kuda dari Bima.

Pada pertempuran ini Gajah Mada juga ikut menumpas pemberontakan bersama Ratu Tribuana Tungga Dewi. Pemberontakan Lumajang, Sedeng dan Keta inipun berhasil ditumpas dan mengakibatkan Raja Bima ke 8 yang bernama Punggawa Bisa (1291 - 1331 masehi) tewas dalam pertempuran membela Sedeng.

Berdasarkan naskah Kuno Bima, Punggawa Bisa dinyatakan tewas di Wilayah Besuki atau Ketha (Situbondo).

Lima tahun setelah berhasil menumpas pemberontakan Sedeng, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih dan mengucap Sumpah Palapa (1336 masehi).

Sementara di Bima, pasca tewasnya Raja Bima Punggawa Bisa di Ketha saat membantu pemberontakan Sedeng, tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh Maharaja Pande Dewa Nata atau Dede La Nata ssebagai raja ke 9 sekitar tahun 1332 masehi.

Pande Dewa Nata atau Dede La Nata ini melanjutkan perlawanan Raja Punggawa Bisa atas Majapahit.

Walaupun pada awalnya Bima ikut membantu mendirikan Kerajaan Majapahit dengan mengirimkan 72 ekor kuda perang melalui Arya Wiraraja dan Rangga Lawe, namun pasca disingkirkannya Arya Wirataja dan keluarganya dari Majapahit, Bima pun melawan dan tidak mau tunduk lagi pada Majapahit.

Tahun 1343 masehi, Majapahit melakukan penyerangan atas Bedahulu Bali. Penyerangan ini mampu dihalau oleh Bedahulu melalui patih patihnya seperti Kebo Iwa dan Pasung Gerigis. Namun kemudian Majapahit menjalankan siasantnya dengan mengundang Kebo Iwa ke Majapahit untuk dikawinkan dengan seorang putri Majapahit, namun ternyata disana ia dibunuh.

Pasca terbunuhnya Kebo Iwa, Kerajaan Bedahulu melemah dan akhirnya tunduk pada kekuasaan Majapahit.

Patih Bedahulu yang juga guru dari Kebo Iwa yaitu Pasung Gerigi, ditarik ke Wilwatikta untuk memperkuat pasukan Majapahit.

Kekacauan diwilayah kekuasaan Majapahit terus berlangsung melalui pemberontakan pemberontakan kecil yang bersifat lokalitas. Di Bali pun perlawanan eks kekuasaan politik Bedahulu terus terjadi hingga harus segera dicarikan solusinya.

Antara tahun 1344 hingga 1350 masehi, Gajah Mada mengutus Pasung Gerigis yang telah tunduk pada Majapahit, untuk membawa pasukannya meredam pemberontakan Raja Bima ke 9 yaitu Dede La Nata atau Maharaja Pande Dewa Nata.

Saat itu pusat kekuasaan Dede La Nata diperkirakan berada di wilayah Deča atau Desa sebagai ibukota Kerajaan Bima.

Kedatangan Pasukan Pasung Grigis ini membuat panik warga Kerajaan Bima yang ada di pesisir utara dan wilayah wilayah pesisir timur teluk Bima. Apalagi kapalnya dilengkapi catbang atau meriam kecil yang biasa dipakai untuk melakukan ekspansi militer Majapahit.

Kemungkinan, Warga Kerajaan Bima yang mengungsi akibat ekspansi militer ini memilih naik gunung ke pegunugan Lambitu dan membentuk komunitas baru yang bernama inge ndai (orang kita).

Hipotesa ini diambil berdasarkan tutur lokal masyarakat Lambitu bahwasanya leluhur mereka berasal dari wilayah yang berbeda di Bima saat itu. Ada yang dari wera, ada yang dari Doro Londa (sekarang Desa Londu), ada yang dari wilayah Nungga, dll.

Terjadi pertempuran sengit antara pasukan Pasung Gerigis dengan pasukan Dede La Nata dengan menggunakan senjata tajam. Berdasarkan catatan Babad Bali, pertempuran antara dua pasukan berlangsung lama karena kedua pasukan samna sama kebal senjata tajam.

Untuk mengkhiri pertempuran, disepakatilah pertatungan sampaii mati antara Pasung Gerigis dan Pandu Dewa Nata yang mengakibatkan kedua duanya sama sama tewas.

Menurut cerita tutur turun temurun pewaris tradisi Ntumbu di Wawo Ntori, bahwa tari dan atraksi Ntumbu atau adu kepala yang mereka wariskan tersebut merupakan gambararan pertarungan sampai mati antara dua raja di Bima pada zaman dahulu. Ketika dua raja itu kulitnya sama sama tak mampu ditembus senjata, maka diputuskanlah untuk melakukan duel dengan cara adu kepala.kepala.

Jasad Pasung Grigis di ngabenkan di Wadu Pa'a sementara Raja Dewa Nata di Ngabenkan di Wawo dan abunya disemayamkan dibawah Wadu Ruka (Waruga).

Pasca tewasnya Raja Bima Dede La Nata, Kerajaan Bima mengalami kekosongan kekuasaan. Para Ncuhi (pimpinan desa) tidak berani mengambil sikap jika tidak ada titah atau petunjuk dari Negara atasan.

Keadaan yang sama juga terjadi di Bali, Pasuruan dan Blambangan.

Pasca tewasnya Pasung Gerigis, pemberontakan dari keluarga keluarga kerajaan Bedahulu terus saja terjadi di Bali.

Untuk meredam kemelut di tanah Jawa, Bali dan Bima, Gajah Mada meminta bantuan seorang brahma dari Kediri yang bernama Mpu Soma Kepakisan guna mendelegasikan anak anak nya untuk memimpin empat wilayah yang sedang mengalami kekosongan kekuasaan.