Prasasti Poh: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
'''Prasasti Poh''' |
'''Prasasti Poh''' |
||
Prasasti Poh berupa 2 lempeng prasasti tembaga yang ditemukan di dukuh Plembon, |
Prasasti Poh berupa 2 lempeng prasasti tembaga beraksara Kawi yang ditemukan di dukuh Plembon, Desa Randusari, Kecamatan Prambanan, Kabupaten [[Klaten]]. Prasasti yang ditemukan dekat candi Prambanan tersebut disebut juga dengan Prasasti Randusari 1, berbentuk dua lempeng (lembar) tembaga berukuran panjang 50 cm dan lebar 20,5 cm. Prasasti itu dikoleksi oleh KGPA Hadiwijoyo bangsawan keraton Mangkunegaran, Surakarta. Dinamai sebagai prasasti Poh karena berisi tentang penetapan [[wanua]] Poh menjadi [[sima]] yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Rakai Watukura [[Dyah Balitung]] berangka tahun 827 saka (=905 masehi). |
||
Alih aksara prasasti Poh pertama kali dilakukan oleh [[W.F. Stutterheim]] pada tahun 1940 dalam buku Inscripties van Nederlandsch Indie dengan judul Oorkonde van Balitung uit 905 A. D. [Randoesari I]. Dari alih aksara didapat banyak ilmu pengetahuan lanjutan misalnya bahwa desa Poh dimerdekakan pada tahun 827 Saka, bulan Srawana, tanggal 13 paro-terang [suklapaksa], paringkelan Paniruan [sadwara], pasaran Pon [pancawara], hari Budhawara [saptawara] yang menurut ahli penanggalan dari Perancis yaitu Louis-Charles Damais sama dengan hari Rabu Pon tanggal 17 Juli 905 Masehi. |
|||
Desa Poh dimerdekakan secara pajak oleh raja Mataram Kuno ([[Medang]]) saat itu yaitu Sri Maharaja Rakai Watukura [[Dyah Balitung]] Dharmodaya Mahasambhu atau lebih sering disebut [[Dyah Balitung]] (899 – 911). Berdasarkan penetapannya, prasasti Poh berusia lebih tua 2 tahun dari [[prasasti Mantyasih]] yang dijadikan patokan Hari Jadi Kota [[Magelang]]. |
|||
Isi pokok prasasti ini terdapat dalam plat 1b baris 3 dan 5 yaitu |
|||
{{cquote|…paknan yan sinususk caitya mahaywa silunglung sang dewata lumah i pastika…}} |
|||
yang berarti penetapan desa Poh menjadi sima (desa perdikan bebas pajak) dalam rangka mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya. Menurut [[W.F. Stutterheim]], silunglung berarti bangunan candi permanen untuk mengabadikan tempat suci yang ditandai oleh silunglung. |
|||
Prasasti Poh juga menyebut |
|||
{{cquote|…wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang….. poh 827 C}} |
|||
yang berarti wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang. |
|||
Artinya, desa Poh, dusun Rumasan, dan dusun Nyu semuanya termasuk lungguh kinawang. Para tetua di desa dan dusun tadi diceritakan mempersembahkan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna. Rakyat jelata juga dikatakan mendapat hadiah. Selain itu disebutkan juga nama para pejabat, penduduk desa, saji-sajian yang digunakan dalam upacara manusuk [[sima]], dan nama-nama desa lainnya. Beberapa penguasa desa yang turut diundang yaitu dari desa Mantyasih, desa Glangglang, dan desa Galang. |
|||
===Referensi=== |
===Referensi=== |
Revisi per 8 September 2021 10.27
Prasasti Poh
Prasasti Poh berupa 2 lempeng prasasti tembaga beraksara Kawi yang ditemukan di dukuh Plembon, Desa Randusari, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Prasasti yang ditemukan dekat candi Prambanan tersebut disebut juga dengan Prasasti Randusari 1, berbentuk dua lempeng (lembar) tembaga berukuran panjang 50 cm dan lebar 20,5 cm. Prasasti itu dikoleksi oleh KGPA Hadiwijoyo bangsawan keraton Mangkunegaran, Surakarta. Dinamai sebagai prasasti Poh karena berisi tentang penetapan wanua Poh menjadi sima yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung berangka tahun 827 saka (=905 masehi).
Alih aksara prasasti Poh pertama kali dilakukan oleh W.F. Stutterheim pada tahun 1940 dalam buku Inscripties van Nederlandsch Indie dengan judul Oorkonde van Balitung uit 905 A. D. [Randoesari I]. Dari alih aksara didapat banyak ilmu pengetahuan lanjutan misalnya bahwa desa Poh dimerdekakan pada tahun 827 Saka, bulan Srawana, tanggal 13 paro-terang [suklapaksa], paringkelan Paniruan [sadwara], pasaran Pon [pancawara], hari Budhawara [saptawara] yang menurut ahli penanggalan dari Perancis yaitu Louis-Charles Damais sama dengan hari Rabu Pon tanggal 17 Juli 905 Masehi.
Desa Poh dimerdekakan secara pajak oleh raja Mataram Kuno (Medang) saat itu yaitu Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu atau lebih sering disebut Dyah Balitung (899 – 911). Berdasarkan penetapannya, prasasti Poh berusia lebih tua 2 tahun dari prasasti Mantyasih yang dijadikan patokan Hari Jadi Kota Magelang.
Isi pokok prasasti ini terdapat dalam plat 1b baris 3 dan 5 yaitu
…paknan yan sinususk caitya mahaywa silunglung sang dewata lumah i pastika…
yang berarti penetapan desa Poh menjadi sima (desa perdikan bebas pajak) dalam rangka mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya. Menurut W.F. Stutterheim, silunglung berarti bangunan candi permanen untuk mengabadikan tempat suci yang ditandai oleh silunglung.
Prasasti Poh juga menyebut
…wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang….. poh 827 C
yang berarti wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang.
Artinya, desa Poh, dusun Rumasan, dan dusun Nyu semuanya termasuk lungguh kinawang. Para tetua di desa dan dusun tadi diceritakan mempersembahkan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna. Rakyat jelata juga dikatakan mendapat hadiah. Selain itu disebutkan juga nama para pejabat, penduduk desa, saji-sajian yang digunakan dalam upacara manusuk sima, dan nama-nama desa lainnya. Beberapa penguasa desa yang turut diundang yaitu dari desa Mantyasih, desa Glangglang, dan desa Galang.
Referensi
1. http://novoolshop.blogspot.com/2018/03/prasasti-poh-batu-atau-emas.html?m=1