Lompat ke isi

R. E. Djailani: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 70: Baris 70:
[[Kategori:Komandan Jenderal Kopassus]]
[[Kategori:Komandan Jenderal Kopassus]]
[[Kategori:Tokoh Kopassus]]
[[Kategori:Tokoh Kopassus]]
[[Kategori:Tokoh Angkatan 45]]

Revisi per 13 Maret 2022 01.04

R.E. Djailani
Komandan RPKAD ke-2
Masa jabatan
1956 – 1956
Wadan RPKAD
Masa jabatan
1953 – 1956
Sebelum
Pendahulu
"Jabatan Baru"
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1942 - 1956
Pangkat Letnan Kolonel
SatuanInfanteri (RPKAD
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Letnan Kolonel Inf.(Purn) R.E. Djailani merupakan seorang purnawirawan RPKAD (sekarang Kopassus). Karier militer nya macet setelah terjadinya Peristiwa Kranji.[1] Saat ini namanya di abadikan menjadi nama jalan, Jl. Letkol RE. Djaelani Kota Tasikmalaya.[2]

Peristiwa Kranji

Saat itu perwira tertinggi di Batujajar itu adalah Mayor Djaelani, pengganti Mayor Idjon Djanbi, yang merupakan komandan pertama satuan baret merah itu. Dan mendapat Perintah Untuk meninggalkan Batujajar dengan berjalan melewati sawah, Kemudian naik ke atas truk yang sudah menunggu, menuju Jakarta lewat Karawang, Para prajuit sudah bergerak sejak dini hari 17 November 1956. Atasan mereka, Letnan Aloysius Sugianto dan Mayor Djaelani kerap wara-wiri antara Batujajar dan tempat-tempat rapat rahasia kelompok Kolonel Zulkifli Lubis, yang sedang mengalami friksi dengan kelompok Kolonel Abdul Haris Nasution. Rivalitas antara Kolonel Abdul Haris Nasution vs Kolonel Zulkifli Lubis adalah perseteruan hebat dalam sejarah TNI Angkatan Darat Indonesia. Pada tanggal 17 November 1956, Letnan Aloysius Sugianto sudah dua hari di Jakarta, menunggu pasukan dari arah Bandung. Letnan Aloysius Sugianto dan pasukan itu rencananya akan masuk bersama-sama ke kota Jakarta. Namun, pasukan RPKAD itu harus menanti tanpa kepastian di Kranji, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Mereka bertahan di Kranji untuk selanjutnya menunggu perintah dari Mayor Djuhro dari Kodam VI/Siliwangi. Ternyata kabar dan perintah itu tak kunjung datang. Di tengah siang bolong, Mayor Djaelani dapat kabar bahwa gerakan yang bertujuan untuk menculik Kolonel Abdul Haris Nasution itu ditunda, kecewalah pasukan itu dan Kembalilah mereka ke Batujajar.[3]

Dalam hitungan hari, para prajurit bawahan tahu, mereka sedang diperalat untuk sebuah gerakan politik. Mereka pun berang pada Mayor Djaelani dan beberapa perwiranya. Pada 20 November 1956 pagi, para prajurit ini bergerak lagi. Kali ini balik ke Batujajar untuk membuat perhitungan dengan perwira Angkatan Darat yang terlibat gerakan politik di kesatuan baret merah. Sekitar satu peleton RPKAD (baret merah) dengan raut muka beringas berlari-lari. Sersan Mayor Agus Hernoto, Bintara bagian Angkutan, paling depan mengacungkan senapan.

Letnan Benny Moerdani adalah perwira yang dianggap tak terlibat. Para tentara RPKAD itu tahu bahwa Benny sejak beberapa minggu terakhir sedang terkapar karena keracunan makanan. Pagi itu, usai pulih dari sakitnya, Letnan Benny Moerdani melihat para prajurit yang bergerak membawa senapan, Letnan Benny pun membuntuti dari belakang. Dia melihat perwira-perwira di asrama diringkus. Hanya dirinya yang tak diringkus. Tak ada waktu lagi untuk mencari tahu. Ketika ditanya pada prajurit yang marah, dia hanya memperoleh jawab, Para perwira ini telah mengkhianati. Semua orang akhirnya menuruti Letnan Benny Moerdani. Keadaan jadi lebih tenang, Atas kemauannya sendiri Mayor Djaelani melepas pistolnya dan menyerahkannya kepada Letnan Benny Moerdani, Sikap ini diikuti perwira lain yang dianggap terlibat. Para prajurit pun menahan diri dan drama itu tidak berlanjut ke hari-hari berikutnya. Para perwira itu kemudian dibawa oleh Letnan Benny Moerdani ke rumah tahanan di Bandung. Peristiwa penculikan yang gagal dan tentara bawahan yang mengamuk ini kelak dikenal sebagai Peristiwa Kranji.

Mayor Djaelani dan tujuh rekannya yang dianggap terlibat langsung Peristiwa Kranji ini dikenai hukuman disiplin dan harus meninggalkan dinas militer. Golongan yang banyak dihukum adalah para perwiranya, karena mereka adalah otak dari Peristiwa Kranji. Maka wajar hukuman berat dibebankan berat ke mereka. Dan Karier militer Mayor Djaelani di militer pun macet. Hanya Letnan Aloysius Sugianto yang kariernya lanjut sampai Pangkat Kolonel, Selepas penahanan akibat Peristiwa Kranji, ia bukan lagi anggota baret merah. Ia masuk Caduad kini Kostrad, tapi dia tidak pernah di baret merah lagi. Belakangan Letnan Aloysius Sugianto juga pernah dipekerjakan di sebagai perwira intelijen di Operasi Khusus (Opsus) Letjen TNI Ali Moertopo.

Para prajurit bawahan yang tidak paham politik dan sudah terlanjur diperalat itu, tak diberi hukuman. Sersan Mayor Agus Hernoto kemudian lanjut kariernya dan pangkat terakhirnya adalah Kolonel dan pernah di Opsus pula. Sementara itu, Sersan Nicholas Sulu, tiga tahun berikutnya terlibat gerakan yang lain. Dia menjadi salah satu komandan pasukan Permesta di kampung halamannya.

Riwayat Jabatan

  • Komandan Sektor I, Balaraja[4]
  • Perwira Divisi Siliwangi
  • Wadan KKAD (1953-1956)
  • Komandan RPKAD (1956-1956)

Referensi

Jabatan militer
Didahului oleh:
Mayor Idjon Djanbi
Komandan RPKAD
1956 - 1956
Diteruskan oleh:
Mayor Kaharuddin Nasution