Lompat ke isi

Keuskupan Sintang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tambah bahasa
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Beri pautan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 50: Baris 50:
|patron_title =
|patron_title =
|priests = 44
|priests = 44
|language = {{bulleted list|[[Bahasa Indonesia]]|[[Bahasa Kayan Mendalam]] <small>(khusus Paroki Antonius Padua Mendalam)}}
|language = {{bulleted list|[[Bahasa Indonesia]]|[[Bahasa Kayan Mendalam]] <small>(khusus [[Paroki Santo Antonius dari Padua, Mendalam|Paroi Antonius Padua Mendalam]])}}
|calendar =[[Kalender Gregorius|Gregorian]]
|calendar =[[Kalender Gregorius|Gregorian]]
|music =
|music =

Revisi per 9 Juli 2022 06.15

Keuskupan Sintang

Dioecesis Sintangensis
Katolik
Logo Keuskupan Sintang
Lambang Uskup Petahana,
Samuel Oton Sidin, O.F.M. Cap.
Lokasi
Negara Indonesia
WilayahSintang, Kapuas Hulu, dan Melawi
Pontianak
Dekanat
  • Sintang
  • Melawi
  • Kapuas Hulu
Kantor pusat
Jl. Kelam No.88, Tanjungj Puri, Kec. Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat 78615
Koordinat0°04′41″N 111°31′32″E / 0.077992°N 111.525645°E / 0.077992; 111.525645
Statistik
Luas62.120 km2 (23.980 sq mi)[2]
Populasi
- Total
- Katolik
(per 2015)
998.513[1]
260,741 (26.11%)
Paroki37[1]
Kongregasi24
Imam44
Informasi
DenominasiKatolik Roma
Gereja sui iuris
Gereja Latin
RitusRitus Roma
Pendirian3 Januari 1961 (63 tahun, 288 hari)
KatedralKristus Raja, Sintang
Bahasa
PenanggalanGregorian
Kepemimpinan kini
PausFransiskus
UskupSamuel Oton Sidin, O.F.M. Cap.
Vikaris jenderal
R.D. Leonardus Miau
Sekretaris jenderal
R.D. Herman Yosef Ga I
EkonomR.D. Yohanes Pranoto

Keuskupan Sintang adalah keuskupan sufragan dari Keuskupan Agung Pontianak[3] yang berpusat di Kota Sintang, Kalimantan Barat. Wilayah Keuskupan Sintang, yang terletak di bagian hulu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi, meliputi tiga kabupaten dari provinsi Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Kapuas Hulu, dengan luas wilayah 62.120 km².[4] Jumlah penduduk di wilayah Keuskupan Sintang, menurut sensus 1980, berjumlah 391.926 jiwa. Jumlah orang katolik dan yang mengaku katolik sebanyak 130.966 jiwa (153.723 pada 2004[2]), atau 33,4% dari jumlah penduduk dalam wilayah Keuskupan Sintang.

Garis waktu

  • Didirikan sebagai Prefektur Apostolik Sintang pada tanggal 11 Maret 1948, memisahkan diri dari Vikariat Apostolik Pontianak
  • Ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Sintang pada tanggal 23 April 1956
  • Ditingkatkan menjadi Keuskupan Sintang pada tanggal 3 Januari 1961

Waligereja

Ordinaris

Prefek Apostolik Sintang
Vikaris Apostolik Sintang
  • Lambertus van Kessel, S.M.M. (23 April 1956 s.d. 3 Januari 1961, naik tingkat)
Uskup Sintang
  • Lambertus van Kessel, S.M.M. (3 Januari 1961 s.d. 25 Mei 1973, mengundurkan diri)
  • Isak Doera (9 Desember 1976 s.d. 1 Januari 1996, mengundurkan diri)
  • Agustinus Agus (29 Oktober 1999 s.d. 3 Juni 2014, pindah tugas)
  • Samuel Oton Sidin, O.F.M. Cap. (sejak 21 Desember 2016)

Prelat tituler

Administrator Apostolik Keuskupan Sintang
  • Lambertus van de Boom[5] (25 Mei 1973 s.d. 9 Desember 1976, jabatan selesai)
  • Agustinus Agus (1 Januari 1996 s.d. 29 Oktober 1999, ganti jabatan)
  • Agustinus Agus (3 Juni 2014 s.d. 21 Desember 2016, jabatan selesai)

Sejarah

Permulaan misi Katolik

Gereja di Keuskupan Sintang dimulai dari sebuah “biji” yang betul-betul kecil dan hampir tidak kelihatan, yakni wilayah Sejiram. Ketika seluruh Nusantara masih di bawah satu Vikariat Apostolik Jakarta, sudah ada maksud mendirikan karya misi di antara orang-orang Dayak. Dalam surat Vikaris Apostolik dari Batavia tertanggal 25 Februari 1884, dengan nomor 178, Mgr. Claessens memberitahu tentang pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (bogor), yang menyatakan kemungkinan pemerintah Belanda memberi daerah Borneo bagi Misi Katolik. Dalam surat itu juga dinyatakan bahwa dalam penjajakannya yang terakhir di Borneo ada kesan cukup baik akan kemungkinan penerimaan orang Dayak terhadap Misi Katolik. Ijin untuk memulai bekerja di antara orang Dayak diberikan pada tanggal 7 Agustus 1884, mula-mula di daerah-daerahang langsung di bawah pemerintah Belanda, yakni di Sambas, Mempawah dan Sintang. Pater Staal beberapa kali mengadakan perjalanan untuk meninjau situasi. Beliau menganjurkan supaya misi dimulai di antara orang-orang Dayak yang diam di sekitar Bengkayang, khususnya di kampung Sebalau. Darah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang, sehingga Pastor Singkawang dan Pastor Sebalau dapat mudah berhubungan. Residen Gijbers dari Pontianak menganjurkan supaya Pater Staal mengunjungi juga daerah-daerah lain: lima hari mudfik dengan motor-boat dari Pontianak. Daerah itu adalah Semitau, pusat orang-orang Dayak dari Suku Rambai, Seberuang dan Kantuk. Pater Staal punya kesan baik terhadap orang-orang Dayak di sekitar Semitau. Namun mengingat jumlah mereka yang hanya sekitar 1500 orang, dan perjalanan yang sulit sekali, sehingga Pater Staal tetap pada nasehatnya: pilihlah Sebalau.

Dalam pertimbangan selanjutnya ternyata Sebalau tidak dipilih, karena terletak dalam daerah kekuasaan Sultan Sambas dan tidak ada jaminan bahwa pejabat-pejabatnya yang semuanya Islam tidak akan menghalangi karya misi di antara orang-orang Dayak yang masih animis. Dengan demikian, pilihan jatuh pada Semitau, tempat kedudukan seorang Kontrolir yang membawahi daerah Kapuas Hulu. Residen Sintang menyetujui rencana itu dan menyatakan bahwa Suku Seberuang, Rambai dan Kantuk cukup taat pada Pemnerintah Belanda dan mereka bersedia menerima Misi Katolik.

Demikianlah dengan Surat Dinas tanggal 14 Juni 1890, nomor 252, yang dikeluarkan berdasarkan Surat Dinas Kabinet tanggal 29 Juli 1889, nomor 7, yang menyetujui Misi Katolik berkarya di antara orang-orang Dayak dengan tempat kedudukan Semitau, Pastor Looymans diutus menjadi misionaris pertama bagi orang Dayak. Tanggal 29 Juli 1890 Pastor H. Looymans tiba di Semitau.Kemudian ternyata Semitau bukan tempat yang strategis bagi karya misi. Karena orang Dayak tidak tinggal di Semitau, tetapi di daerah sekitarnya. Hanya sesekali mereka datang ke Semitau Desa yang merupakan pusat perdagangan bagi daerah sekitarnya. Penduduknya sendiri hanya terdiri dari orang-orang Cina dan Melayu. Dengan demikian, kontak yang mendalam dengan orang Dayak hampir tidak mungkin. Maka pada tahun 1892 Pastor Looymans dijemput dan dibawa ke Sejiram oleh Babar, Bantan dan Unang, tiga bersaudara dari Sejiram. Di atas tanah kosong yang agak berbukit di pinggir Sungai Seberuang, tidak jauh dari Nanga Sejiram, Pastor Looymans membangun rumah. Tempat itu terletak di antara 4 kampung orang Dayak. Jarak setiap kampung sekitar lima menit berjalan kaki. Di tempat itu kemudian dibangun gereja, sekolah dan pondok untuk anak-anak sekolah. Dalam waktu tujuh bulan Pastor Looymans sudah mempermandikan 58 orang anak. Di sini pun, seperti di tempat lain, harapan terutama terletak pada anak-anak muda. Pada tahun 1893 Pastor Looymans yang sendirian dan kurang terpelihara hidupnya dibantu oleh Pastor Mulder. Sayang karya mereka tidak dapat beretahan lama.Daerah yang baru dirintis itu hanya dapat dilayani beberapa tahun saja. Pada tahun 1898 Sejiram terpaksa harus ditinggalkan, karena tenaga mereka diperlukan di tempat lain yang lebih mendesak. Pada tahun 1900 Pastor Schrader pernah sekali mengunjungi Sejiram. Sesudah itu Sejiram tidak pernah dikunjungi lagi sampai tahun 1906.

Perkembangan misi di Kalimantan

Tanggal 11 Februari 1905 Kalimantan menjadi daerah Prefektur Apostolik sendiri, yang meliputi seluruh wilayah Kalimantan yang dikuasai oleh Belanda pada waktu itu, dengan tempat kedudukan Prefek Apostolik di Pontianak. Daerah Prefektur Apostolik yang baru ini dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Pater Pacificus Bos sebagai Prefek Apostolik yang pertama, diangkat pada tanggal 10 April 1905.

Sejak ditinggalkan pada tahun 1898, baru bulan Mei 1906 bekas Stasi Sejiram dikunjungi lagi. Kunjungan ini dilakukan oleh Prefek sendiri sebagai penjajakan. Stasi dibuka kembali pada tanggal 22 Agustus 1906. Dua orang Pastor dan dua orang Bruder, yakni: Pastor Eugenius, Pastor Camillus dan Bruder Theodorius, pada tanggal tersebut mulai menetap di Sejiram. Tidak lam kemudian karya misi di Sejiram diperkokoh dengan datangnya beberapa Suster Fransiskanes dari Veghel, yaitu: Sr. Didelia, Sr. Casperina dan Sr. Cayetana. Datangnya misionaris Kapusian dan Suster-Suster Fransiskanes tersebut merupakan titik awal baru perkembangan Gereja di wilayah ini. Benih sudah ditanam, kini mulai tumbuh.

Ketika misionaris Kapusin datang ke Sejiram, mereka tidak menemukan apa-apa lagi kecuali rumah Pastor. Gereja, sekolah dan perumahan lainnya yang dulu pernah dibangun oleh Pastor Looymans di situ tidak ada lagi. Tetapi benih yang dulu ditanam, sudah tumbuh dan masih hidup, walaupun ditinggalkan beberapa tahun. Beberapa orang katolik yang dulu dipermandikan sebagai anak kecil oleh Pastor Looymans masih ada. Setiap hari Minggu berkumpul kurang lebih 50 orang untuk sembahyang dan pelajaran agama. Gereja dan Pastoran baru segera mulai dibangun.

Selain karya untuk hal-hal yang rohani, juga karya di bidang sosial dimulai. Misionaris-misonaris ini mulai membuka sekolah dan perkebunan. Walaupun saat ini perkebunan di Sejiram tidak lagi berkembang dan sekolah di Sejiram tidak ada lagi, juga tidak lagi sebagai pusat, tetapi dampaknya masih nyata dan dapat dilihat sampai saat ini. Perkembangan orang Dayak dalam bidang perkebunan, khususnya perkebunan karet, dan pendidikan lainnya, yang kemudian membawa mereka keluar dari lingkungannya yang amat tertutup pada waktu itu, dimulai dari karya misi di Sejiram ini. Para misionaris dari poermulaan sudah melihat bahwa usaha misi di antara orang Dayak harus disertai dengan usaha meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Untuk itu perlu ada sekolah dan usaha perkebunan.

Memulai sebuah sekolah di kalangan orang Dayak pada waktu itu cukup sulit. Pastor terpaksa harus pergi ke kampung-kampung mencari murid. Anak-anak dan orang tua diberi pengertian tentang pentingnya sekolah dan dibujuk dengan kata-kata serta hadiah-hadiah. Setiap tahun Pastor tetap terpaksa memburu murid ke kampung-kampung, karena setelah beberapa tahun orang tua masih tidak berani melepaskan anak-anak pergi ke sekolah. Ketakutan itu masih ditambah oleh adanya isu yang mengatakan bahwa anak-anak akan dibawa pergi dan tidak akan dibawa kembali kepada orang tuanya. Anak-anak disembunyikan oleh orang tuanya di ladang atau di loteng rumah begitu mendengar Pastor datang ke kampung mereka. Ini hanya salah satu contoh kesulitan pada waktu itu.

Sekarang keadaannya berlainan sekali. Boleh dikatakan terbalik. Pastor tidak perlu mencari murid, tetapi mereka sendiri yang datang. Namun kesulitan biaya, yang dari dulu dialami, sekarang masih tetap dialami sebagai salah satu hambatan yang terbesar untuk kemajuan orang-orang Dayak. Karena itu salah satu penekanan dalam usaha misi di bidang pendidikan di masa sekarang ini untuk orang-orang Dayak, adalah beasiswa bagi anak / remaja / pemuda yang memiliki kemampuan belajar dan ingin maju, tetapi kurang biaya. Asrama bagi para pelajar Dayak masih tetap dibutuhkan, mengingat sebagian besar mereka tinggal di pedalaman. Perkembangan Gereja sebagian ditentukan oleh usaha pendidikan. Bahwa ada orang Dayak yang tertarik kepada Gereja karena usaha pendidikan yang dapat meningkatkan hidup mereka, itu kiranya bukan hanya terjadi di kalangan orang Dayak, tetapi bisa terjadi di seluruh dunia. Pendidikan itu membuka pikiran dan dunia seseorang, membantu kesadaran dan penghayatan iman yang lebih mendalam. Hal ini sudah disadari sejak misionaris-misionaris pertama menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan ini.

Perkembangan di pedalaman Kalimantan

Di wilayah barat Borneo bagian pedalaman, Sejiram adalah pusat Stasi. Wilayah Stasi ini meliputi wilayah Keuskupan Sintang dan sebagian dari wilayah Keuskupan Sanggau sekarang ini. Dari Sejiram, seluruh wilayah ini dilayani dengan perahu, motor-boat dan jalan kaki. Kegiatan utama dalam kunjungan ke Stasi-stasi adalah sembahyang, pelajaran agama, permandian dan mencari anak-anak yang mau disekolahkan di Sejiram. Dalam arsip dapat dilihat kebanggaan seorang Pastor yang baru pulang dari kunjungan ke Stasi-stasi, selan dari umlah permandian, juga berapa anak yang berhasil dibawa ke Sejiram untuk disekolahkan.

Tanggal 26 Desember 1906 ada pembicaraan dengan Campagne Kontrolir Semitau tentang kemungkinan membangun rumah untuk Stasi baru di Batang Lupar, dengan tempat kedudukan Lanjak. Tanggal 30 Januari 1907 jawaban dari Pater Prefek menyetujui rencana tersebut. Mkasud peninjauan pertama ke daerah itu terpaksa dibatalkan karena ada wabah cacar di kampung-kampung bagian Serawak (daerah di bawah kekuasaan Inggris) yang berdekatan dengan kampung-kampung di Batang Lupar. Beberapa orang dari daerah yang berada di bawah kekuasaan Belanda juga kena. Baru bulan Juli 1908 P. Gonzalpus, P. Ignasius dan Br. Donulus dapat pergi ke Batang Lupar / Lanjak. Di Lanjak, seperti di Sejiram, mereka mulai membangun rumah, gereja dan sekolah. Mereka mulai berkenalan dengan orang-orang Dayak yang berasal dari Embaloh. Mereka kadang-kadang pergi ke Lanjak untuk mencari pekerjaan, menjual hasil ladang dan membeli keperluan sehari-hari dari pedagang-pedagang Tionghoa yang berada di Lanjak. Di antara orang-orang Dayak itu ada juga yang sudah dipermandikan. Mereka menjadi kristen di Kanowir-Serawak. Jumlah mereka cukup banyak, yakni 16 orang. Di antara orang-orang ini, yang penting ialah Peter Bai, Gregorius Jawa dan Petrus Nglambong. Atas undangan mereka, tanggal 2 sampai 3 Nopember 1909, Pastor Gonzalpus Buil pertama kali mengunjungi Embaloh dan sukses. Sejak saat itu putera-puteri Embaloh ikut Pastor ke Lanjak dan sekolah di sana. Dalam satu tahun jumlah anak-anak Embaloh yang sekolah di Lanjak sudah mencapai 75 orang. Kehadiran anak-anak Embaloh ini menguntungkan sekolah di Lanjak yang cukup sulit mencari murid, karena anak-anak dari suku Iban belum tertarik pada sekolah. Karena itu juga P. Ignasius van der Putten dan P. Gonzalpus mengusulkan pada pimpinan supaya mendirikan sekolah di Embaloh. Untuk sementara usul itu belum diterima karena ada rencana mau mulai dengan Stasi baru di Nanga Mandai, di antara Suku Kantuk.

Dari tanggal 2 sampai 24 Juli 1910 dilakukan kunjungan pertama oleh misionaris Kapusin dari Sejiram ke Kapuas Hulu. Ada 30 kampung yang dikunjungi. Dalamkunjungan itu bertemu dengan 180 orang Katolik yang dulu dipermandikan oleh Pastor Looymans. Dari kunjungan itu kelihatan bahwa Kapuas Hulu sudah perlu pusat Stasi sendiri. Persoalannya, di mana didirikan. Di bagian Suku Kayan (sungai Mendalam) ada tempat yang bagus. Penduduk sudah menetap dan mereka suka menerima misionaris. Tetapi mereka masih amat kuat berpegang pada adat. Di bagian Suku Kantuk juga baik. Masyarakat di situ ramah dan suka menerima Pastor. Tetapi mereka pendatang di daerah itu dan belum ada kepastian apakah mereka akan tetap tinggal di daerah itu. Kemudian, pada tahun 1911 Pastor Eleutherius dan Pastor Flavianus diutus ke Kapuas Hulu untuk mengadakan pembicaraan mengenai pembangunan Stasi di Nanga Mandai. Dalam pembicaraan itu ternyata Suku Kantuk di Nanga Mandai merencanakan akan pindah. Kontrolir di Putussibau pun menginginkan supaya Suku anKantuk yang berada di pinggir Sungai Kapuas pindah ke daerah yang lebih tinggi. Di pinggir Kapuas hasil ladang mereka sering rusak oleh banjir, sehingga kehidupan mereka seringamat sulit. Oleh karena itu, maka rencana mendirikan Stasi baru di Nanga Mandai dibatalkan. Dengan persetujuan Pastor Prefek J.P. Bos pada bulan September 1912, dana pembangunan untuk Stasi Nanga Mandai yang diberikan oleh keluarga van Thiel (Holland) dipindahkan ke pembangunan Stasi di Embaloh. Hasil perundingan dengan kepala-kepala suku orang Dayak di Embaloh diputuskan Benua Banyu sebagai tempat pembangunan pusat Stasi yang baru, yang kemudian diberi nama sesuai nama permandian donaturnya: Benua Martinus.

Sementara itu Kapuas Hulu tetap dilayani dari Sejiram. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1924, bagian Kapuas Hulu mendapat pusat Stasi sendiri: Bika. Stasi Sejiram makin tahun makin berkembang. Pada tahun 1924 Stasi ini sudah dibagi dalam 4 Stasi: Sejiram, Lanjak, Benua Martinus dan Bika. Gambaran Gereja dan perkembangannya sampai tahun 1927 dapat dilihat dari Laporan Tahunan Paroki Sejiram tahun 1926 dan 1927. Perlu diingat bahwa laporan ini hanya dari Paroki Sejiram, tidak termasuk Lanjak, Benua Martinus dan Bika.

Dari perkembangan itu makin terasa akan kebutuhan katekis-katekis yang dapat ikut Pastor mewartakan Kerajaan Allah. Pada tanggal 20 Maret 1927 didirikan Sekolah Minggu dengan katekis Dayak yang pertama: Ch. Palil. Selain dari itu, buah-buah pertama dari hasil karya misi dalam bidang pendidikan sudah mulai dipetik. Pada tanggal 19 November 1927 Pius Ungkang dan Paulus Cawan disambut di Sejiram sesudah menyelesaikan studi mereka di Menado.

Kedatangan Misionaris Monfortan

Dengan surat tertanggal 23 September 1938 Kongregasi untuk Penyebaran Iman memberi persetujuan kepada Mgr. T. van Valenberg OFM Cap. untuk menyerahkan bagian timur dari Vikariatnya, yaitu Keresidenan Sintang, kepada Misionaris Monfortan. Serikat Monfortan mengutus Pastor L’Ortye, Pastor J. Linsen dan Br. Bruno untuk memulai misi mereka yang baru, yang secara bertahap akan diserahkan oleh misionaris Kapusin. Tanggal 16 Maret 1939 tiga orang Misionaris Monfortan pertama itu berangkat dari Belanda dengan menumpang kapal laut Sebajak menuju Indonesia. Pada tanggal 4 April 1939 mereka tiba di pelabuhan Pontianak. Bapak Uskup Tarcitius van Valenberg mengangkat Pastor L’Ortye sebagai pemimpin Misi Monfortan, yang mempunyai wilayah dari Sintang sampai Kapuas Hulu. Mula-mula daerah itu akan dilayani bersama oleh Misionaris Kapusin dan Monfortan. P. L’Ortye memilih Bika sebagai basis wilayah kerja. Dalam tahun 1940 dua Misionaris Monfortan lainnya tiba, yaitu Pastor L. van Kessel (yang kemudian menjadi Prefek Apostolik Sintang yang pertama) dan Pastor J. Wintraecken.

Atas permintaan Pemerintah Sipil Belanda, pada tahun 1939 Suster-suster Antonius Fransiskanes mulai bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Putussibau. Adanya Suster-suster di Putussibau menjadi alasan dapat dibukanya Paroki baru di Putussibau. Pada tanggal 10 Juni 1939 Pastor J. Linsen mulai menetap di Paroki Putussibau. Dengan alasan yang sama itu juga, Stasi Sintang dibuka pada tahun 1932, yaiyu dengan diperlukannya tenaga Suster di Rumah Sakit. Mengenai Suster-suster Antonius Fransiskanes dari Asten dapat dibaca dalam bab V.

Dalam catata harian di Paroki Sejiram, yang ditulis oleh Pastor Christianus, dicatat bahwa dalam bulan September 1939 berita-berita pertama mengenai perang sudah sampai di Sejiram. Tetapi kegiatan misi berlangsung terus. Pada tahun 1942 Pastor dan Bruder, Misionaris Kapusin dan Monfortan, serta Suster-suster Fransiskanes dari Veghel dan Suster-suster Antonius Fransisikanes dari Asten mulai dikumpulkan. Kemudian mereka semua dibawa dan ditahan di Kamp Tahanan Kucing (Serawak). Berikut ini kami kutip Buku Harian dari Paroki Benua Martinus yang mencatat saat-saat terakhir menjelang keberangkatan para Misionaris:

  • 31 Mei 1942: Hari Minggu, sesudah Misa Kudus diadakan rapat dengan umat. Mereka menyusun rencana perlawanan terhadap orang dari Palin dan Melayu (orang-orang ini kemudian merampas barang-barang milik Misi di Bika, red.). Umat mengambil tanggung jawab untuk melindungi karya Misi.
  • 2 Juni 1942: Raph. Giling Laut dan beberapa orang lain berada di sini untuk melindungi Misi.
  • 21 Juni 1942: Hari Minggu, Opas Jamal dari Nanga Embaloh membawa fonogram dengan berita Pastor dan Suster harus segera berangkat ke Pontianak menghadap Nippon. Setelah berunding kami menulis surat, yang mengatakan bahwa kami mau menuruti perintah Nippon, tetapi tidak dapat berangkat karena tidak ada perahu dan tidak ada orang yang mengantar. Kalau Nippon menjemput, kami akan ikut. Banyak orang Dayak datang dengan tombak dan parang untuk melindungi kami.
  • 25 Juni 1942: Pastor Wintraecken dari Bika datang ke sini dengan berita bahwa kami juga harus pergi. Pesan yang sama juga kami terima dari Thomas Burerek (guru) dari Sejiram. Setelah berunding kami sepakat berangkat pada hari Minggu. Ini diumumkan kepada umat.
  • 28 Juni 1942: Hari Minggu, gereja penuh dengan umat. Jam 08.00 Misa Kudus: Penyerahan tugas dan pelantikan pengurus rumah dan guru. Umat terharu sekali: menangis dan mengeluh, dan mereka menunjukkan bahwa mereka mencintai kami. Jam 11.00 kami berangkat dengan 32 pembantu. Malam hari berada di Ukit-ukit Di sini juga banyak perhatian. Orang kristen Leboyan semuanya datang untuk mengaku dosa. Hari berikut ada Misa Kudus dengan 30 Komuni Suci. Waktu perpisahan mereka menangis. Di Lanjak dengan ramah tamah disambut oleh Wakil Demang. Hari berikut pagi-pagi 30 Juni berangkat dari Lanjak.
  • 6 Juli 1942: Interogasi di Pontianak.

Selama Perang Dunia II boleh dikatakan tidak ada lagi Misionaris yang boleh tinggal di Kalimantan Barat. Hanya dua orang Pastor yang mendapat ijin melayani umat selama perang, yaitu Pastor Bong dan Pastor Adikarjana. Mereka dua mengambil tugas dari 32 orang Pastor, 40 orang Bruder dan 123 orang Suster. Paroki-paroki di bagian Hulu Kapuas hanya beberapa kali dapat dikunjungi oleh Pastor Adikarjana,yang berkedudukan di Pontianak selama Perang Dunia II tersebut. Baru pada tanggal 4 Desember 1945 para Misonaris Kalbar diperkenankan pulang ke Pontianak. Dan beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan Maret 1946 para Misionaris diperkenankan pergi ke tempat tugas masing-masing.

Pada tahun yang sama 10 orang Monfortan berangkat dari Belanda. Kedatangan mereka itu memungkinkan Misionaris Kapusin menyerahkan seluruh wilayah Keresidenan Sintang kepada Misionaris-misionaris Monfortan sepenuhnya. Penyerahan dan pengambil-alihan itu berlangsung dari bulan Nopember 1946 sampai Januari 1947. Misionaris-misionaris Monfortan ini terus mengembangkan daerah dan pusat-pusat Misi baru sesuai dengan perkembangan umat dan kebutuhan pelayanan. Pada taun 1947 dibuka Stasi Nanga Serawai yang terletak di Hulu Melawi, sedangkan pada tahun 1949 dibuka Stasi baru lagi di bagian tengah Sungai Melawi, yaitu di Nanga Pinoh, sebuah desa dagang di mana banyak penduduknya terdiri dari keturunan Cina. Pada tahun yang sama, 1949, dibuka juga Stasi baru diNanga Beloh, di Hulu Ketungau. Akan tetapi pada tahun 1953 pos itu terpaksa harus ditinggalkan karena beberapa kesulitan.

Dengan Dekrit Kongregasi Propaganda Fidei, tertanggal 11 Maret 1948, wilayah Sintang menjadi Wilayah Gerejani yang berdiri sendiri, menjadi Prefektur Apostolik dengan Prefeknya yang pertama Mgr. Lambertus van Kessel, SMM. Pada waktu itu wilayah Prefektur Apostolik Sintang mempunyai lima Stasi, yaitu: Sintang, Bika, Putussibau, Benua Martinus dan Nanga Serawai.Di samping itu, tahun 1948 ini juga ditandai oleh peristiwa bersejarah lainnya, khususnya bagi orang Dayak, dengan selesai dan kembalinya Pastor Aloysius Ding dari Seminari Ledalero, Flores. Pastor Aloysius Ding adalah orang Dayak pertama yang menjadi Pastor.

Pada tanggal 23 April 1956 Prefektur Apostolik Sintang menjadi Vikariat Apostolik dengan Mgr. L. van Kessel sebagai Administrator Apostolik. Dan tanggal 3 Januari 1961 Vikariat Apostolik Sintang menjadi Keuskupan Sintang, dengan Mgr. L. van Kessel, SMM sebagai Uskup yang pertama. Dua puluh lima tahun lamanya Mgr. van Kessel memimpin karya misi di wilayah Sintang dengan tekun dan semangat penuh pengorbanan. Agustus 1973 Mgr. L. van Kessel mengundurkan diri dari tugasnya yang mulia dan berat. Selanjutnya beliau menghabiskan sisa masa hidupnnya di Belanda. Untuk sementara tugasnya diambil alih oleh Pastor L. van de Born, yang pada bulan Agustus itu juga diangkat menjadi Administrator Apostolik Sintang.

Tahun tujuh-puluhan adalah titik-titik perkembangan baru di Keuskupan Sintang. Uskup pertama Sintang, Mgr. Lambertus van Kessel mengundurkan diri. Perundingan-perundingan dengan Misionaris OMI dan Lazaris dimulai, sehubungan dengan kemungkinan beberapa tenaga dari Misionaris tersebut yang pernah bekerja di Laos dan Vietnam, bekerja di Keuskupan Sintang. Akhir 1976 Pastor Lazaris pertama datang di Sintang. Sekarang Misionaris Lazaris berjumlah 7 orang dan OMI juga 7 orang. Kedua kelompok Misionaris itu berasal dari Provinsi Prancis. Peristiwa bersejarah lain yang amat penting, yang juga terjadi dalam tahun tujuh-puluhan, ialah ditahbiskannya Uskup Sintang yang baru, Mgr. R. Isak Doera, Pr., tanggal 19 Mei 1977. Kemudian pada permulaan tahun delapan-puluhan, tenaga di bidang pastoral dan sosial di Keuskupan Sintang bertambah lagi dengan datangnya dua kelompok rohaniwati, yaitu lima orang Suster Ursulin dan empat orang Suster Caritas.

Salah satu langkah yang sangat penting yang diambil oleh Mgr. L. van Kessel beberapa tahun sebelum beliau pulang ke Belanda ialah didirikannya Sekolah Menengah Kateketik Atas (SKMA), yang kemudian diganti nama menjadi PGAK (Pendidikan Guru Agama Katolik). Ijazah PGAK setingkat dengan ijazah SLTA, dan diakui resmi oleh Pemerintah. Tokoh lain yang dengan semangat dan kepercayaan merintis dan mendirikan PGAK ialah Pastor R. Dijker, SMM. PGAK dimulai dengan beberapa siswa/i saja. Selanjutnya PGAK Sintang boleh dikatakan menjadi pusat Pendidikan Kateketik untuk seluruh Kalimantan. Siswa/inya berasal dari semua Keuskupan di Kalimantan. Bersamaan dengan berdirinya PGAK juga dimulai Kursus-kursus Pemimpin Umat. Perkembangan umat yang begitu cepat tidak memungkinkan Pastor dapat melayani dan membimbing secara intensif. Umat yang tersebar di kampung-kampung perlu seorang pembimbing yang dekat dengan mereka. Sedangkan Pastor mesti melayani banyak kampung. Jadi mereka memerlukan pemimpin yang muncul dari masyarakat itu sendiri.

PGAK dan Kursus Pemimpin Umat adalah jawaban atas perkembangan umat di Kalimantan, khususnya di Sintang. Umat berkembang begitu banyak setiap tahun, sedangkan tenaga yang melayani mereka, khususnya rohaniwan-rohaniwati, bertambahnya tidak sebanding. Salah satu jalan pintas untuk dapat melalani yang makin besar jumlahnya dan untuk lebih mampu mengembangkan Gereja ialah mencetak katekis-katekis sendiri. Sebagai katekis mereka tidak diharapkan sebagai tenaga cadangan dari Pastor, atau sekedar “guru agama” yang mengajar di sekolah. Mereka diharapkan menjadi tokoh awam yang muncul dari umat yang sedang berkembang. Bersama Pastor, tokoh-tokoh awam lainnya, dan umat secara keseluruhan, mereka membangun dan membina gereja.

Kedatangan Kongregasi Suster SMFA

Pada tahun 1930 Mgr. Bos, Administrator Apostolik Pontianak, menghadap pimpinan Serikat SMFA membicarakan kemungkinan bantuan untuk bekerja di daerah Misi Kalimantan. Pada tanggal 24 Februari 1931 empat orang Suster: Sr. Gerarda, Sr. Dominika, Sr. Dolorata dan Sr. Yosephine, berangkat menuju Indonesia. Pionir-pionir pertama ini mulai berkarya di bagian paling pedalaman dari Kalimantan Barat, yaitu Benua Martinus, dekat perbatasan dengan Serawak. Karya mereka yang utama pada waktu itu ialah dalam bidang pendidikan, khususnya bagi puteri-puteri Dayak, dan dalam bidang kesehatan. Dalam bidang kesehatan mereka mulai dengan hal-hal yang sangat sederhana. Sr. Gerarda menceriterakan pengalamannya sebagai berikut: Mereka mulai mencuci kain-kain dari anak sekolah putera dan merawat orang berpenyakit kulit dengan sabun dan saleb.

Di tengah jalan menuju Benua Martinus, Suster-suster melewati kota Sintang. Seorang pejabat Pemerintah Hindia Belanda mau menahan mereka di Sintang, karena mereka sudah lama mencari perawat untuk Rumah Sakit milik Pemerintah (Landschasziekenhuis) yang mulai merosot. Suster-suster ini mengajukan permohonan itu ke Asten lewat Bapak Uskup Pacificus Bos di Pontianak. Setahun kemudian datang Sr. Xaveria dan Sr. Bernadetha. Mereka dua bersama dengan Sr. Dolorata yang datang dari Benua Martinus, pada tahun 1932 mulai membantu di Rumah Sakit Sintang, baik dalam bidang Tata Usaha maupun dalam mengurus dan merawat pasien. Pekerjaan mereka amat memuaskan, sehingga Pemerintah Belanda meminta mereka untuk membantu di Rumah Sakit Putussibau pada tahun 1938.

Pada waktu mereka mulai berkarya di Putussibau dan Sintang, belum ada Pastor yang menetap di kedua tempat itu. Melihat perkembangan karya Suster dan mengingat kebutuhan rohani mereka, Bapak Uskup mengutus seorang Pastor untuk menetap di Sintang dan Putussibau. Sintang kemudian menjadi pusat perkembangan agama Katolik di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Sementara itu, Misi pun mulai mendirikan Rumah Sakit Swasta di Benua Martinus, Sejiram, dan kemudian Nanga Pinoh. Sampai sekarang masih ada Suster-suster yang aktif dalam bidang kesehatan, yaitu di Benua Martinus dan Nanga Pinoh.

Dalam bidang pendidikan yang dimulai oleh Gereja sejak permulaan, Suster-suster juga ikut ambil bagian. Ada Suster yang mengajar di Hollands-Chinese School di Sintang, ada yang mengajar di SD Swasta Benua Martinus dan Sejiram. Kemudian juga di Putussibau, yaitu di SD dan SMP. Di Sintang para Suster mulai dengan SKP yang kemudian menjadi SKKP, dan sekarang, atas anjuran Pemerintah, berkembang menjadi SMKK. Selain bekerja sama dengan Pemerintah dan Misi, di setiap Stasi di mana ada Suster, juga dibuka asrama bagi anak-anak puteri khususnya dari pedalaman.

Sekarang masih ada 20 orang Suster keturunan Belanda yang aktif di sini, walaupun sudah ada 10 orang yang berusia di atas 65 tahun. Sedangkan Suster pribumi baru 14 orang dan 2 orang novis. Suster-suster ini bekerja di lima Paroki: Benua Martinus, Sejiram, Sintang (dua rumah: Wisma Dharmawati dan Susteran SMKK), Putussibau dan Nanga Pinoh. Asrama-asrama didirikan dengan tujuan memberikan kesempatan belajar kepada anak-anak dari pedalaman.Namun berkat sekolah-sekolah Inspres yang didirikan di mana-mana di pedalaman, makin banyak anak-anak mendapat kesempatan menikmati pendidikan di kampungnya sendiri. Hal ini nampak jelas pada penghuni asrama. Dulu penghuni asrama kebanyakan anak-anak SD. Sekarang anak-anak SD makin berkurang, sedangkan anak-anak SLTP dan SLTA makin bertambah.

Di beberapa tempat, Kursus Menjahit ditingkatkan menjadi Kursus Rumah Tangga (KRT). Selain menjahit, anak-anak belajar mengatur Rumah Tangga lewat praktik di rumah dan di dapur. Di samping itu juga diajarkan mengenai kesehatan, gizi, perawatan bayi, PKK, perkebunan, agama, pengetahuan umum dll. Anak-anak ini ada yang tamat SD Kelas VI, ada juga yang hanya kelas III dan IV, bahkan masih ada yang buta huruf. Dengan pendidikan Kursus Rumah Tangga, usaha kesehatan kuratif dan pendidikan formal di sekolah beralih menjadi usaha kesehatan preventif dan pendidikan informal. Kedua usaha ini masih sangat perlu untuk masyarakat Kalimantan dan masih perlu ditingkatkan.

Sejak Pastor Loymans menginjakkan kakinya yang pertama di Semitau, sudah 90 tahun lebih karya Misi khususnya di antara orang dayak mulai dan berkembang di Sintang. Kalau kita melihat permulaan sejarah Gereja di Sintang dengan infrastruktur yang amat sulit dan kita bandingkan dengan keadaan sekarang, terutama kalau dilihat dari prosentase jumlah umat, maka harapan dan syukur patut kita panjatkan pada Tuhan atas karya-Nya dan pionir-pionir-Nya. Dari sejarah Gereja Sintang kita lihat bahwa karya Tuhan dan usaha manusia adalah satu. Perkembangan Gereja ditentukan oleh karya Tuhan dan usaha manusia. Dari lain piha, perkembangan selalu menimbulkan tantangan-tantangan berupa kesulitan, hambatan dan langkah-langkah baru untuk mempertahankan perkembangan yang sudah dicapai dan untuk dapat melangkah maju menuju perkembangan selanjutnya. Dalam sejarah Gereja Sintang kita lihat usaha-usaha manusia dalam menjawab tantangan itu. Dan dari usaha, keberanian dan kepandaian mereka dalam melihat dan menghadapi tantangan-tantangan itu ditentukan perkembangan Gereja yang kita alami sekarang ini. Adalah tugas kita semua untuk meneruskan langkah-langkah itu.[6]

Paroki

Kabupaten Sintang
Kabupaten Melawi
Kabupaten Kapuas Hulu

Referensi

Pranala luar