Lompat ke isi

Djadoeg Djajakoesoema: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Bahar akhirudin (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu dirapikan kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Bahar akhirudin (bicara | kontrib)
Tag: kemungkinan perlu dirapikan kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 98: Baris 98:


== Gaya ==
== Gaya ==
[[Berkas:Lahirnja Gatotkatja Nasional 26 September 1960 p3.jpg|jmpl|kiri|Set film karya Djajakusuma pada 1960 yang berjudul ''Lahirnja Gatotkatja''; film tersebut merupakan salah satu dari dua film yang ia sutradarai yang sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita [[wayang]].]]
[[Berkas:Lahirnja Gatotkatja Nasional 26 September 1960 p3.jpg|jmpl|kiri|Di lokasi syuting film Djajakusuma tahun 1960 ''Lahirnja Gatotkatja'' ; film ini adalah salah satu dari dua film yang disutradarainya yang banyak dipengaruhi oleh cerita ''[[wayang]]''.]]


Seperti halnya Usmar Ismail, Djajakusuma dipengaruhi oleh realisme. Namun, sementara Ismail lebih berfokus pada tema yang tingkatannya nasional, Djajakusuma dapat dikatakan lebih sederhana, yang secara lokal alur ceritanya relevan dengan pesan mendidik.{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} Realisme ini dimasukkan ke dalam adegan pewayangan karya Djajakusuma. Latar panggungnya, yang terlihat tradisional, dibuat dalam bentuk [[latar teatrikal|set]] tiga dimensi, termasuk tiruan pohon, batu, dan air.{{sfn|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Pencetus}} Menurut Soemardjono, yang sering menyunting film-film Djajakusuma, sutradara tersebut menikmati percobaan dengan teknik baru
Seperti Usmar Ismail, Djajakusuma dipengaruhi oleh realisme. Namun, meski Ismail lebih suka fokus pada tema-tema tingkat nasional, Djajakusuma lebih tertarik pada alur cerita yang sederhana dan relevan secara lokal dengan pesan-pesan pendidikan. [32] Realisme ini terbawa ke dalam karya Djajakusuma dalam pewayangan . Pengaturan, yang digambar secara tradisional, malah dibuat sebagai set tiga dimensi , termasuk representasi pohon, batu, dan air. [75] Menurut Soemardjono, yang sering menyunting film-film Djajakusuma, sang sutradara senang bereksperimen dengan teknik-teknik baru untuk menyampaikan maksudnya dengan lebih baik. [32]


Djajakusuma sering memasukkan kesenian tradisional ke dalam film-filmnya,{{sfn|Setiawan 2009, National Film Month}} dan dua diantaranya (''Lahirnja Gatotkatja'' dan ''Bimo Kroda'') berdasarkan pada cerita wayang tradisional dan menggunakan kostum dan alur yang terinspirasi dari wayang.<ref>{{harvnb|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}; {{harvnb|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang}}</ref> Fokus pada aspek kebudayaan tradisional ini ditinggalkan secara umum setelah 1965, dengan digantikan oleh film-film mengenai kehidupan perkotaan.{{sfn|Sen|Hill|2000|p=156}} Pembuatan teatrikal Djajakusuma dibuat dengan teknik penceritaan baru yakni mengadapsi jenis kesenian tradisional pada zaman modern.{{sfn|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Pencetus}} Sebagai seorang dosen yang mengajarkan penulisan naskah dan sejarah teater, Djajakusuma berfokus pada kesenian Indonesia.
Djajakusuma sering memasukkan seni tradisional dalam film-filmnya, [22] dan dua di antaranya ( Lahirnja Gatotkatja dan Bimo Kroda ) didasarkan pada cerita wayang tradisional dan menggunakan kostum dan tempo yang diilhami wayang . [76] Fokus pada aspek budaya tradisional ini keluar dari arus utama setelah tahun 1965, digantikan oleh film-film tentang kehidupan kota. [77] Produksi teater Djajakusuma bereksperimen dengan teknik bercerita baru, mengadaptasi gaya tradisional untuk dunia modern. [75]Sebagai dosen yang mengajar penulisan skenario dan sejarah teater, Djajakusuma fokus pada seni rupa Indonesia. Dia berpendapat bahwa orang Indonesia harus mengandalkan budaya lokal, tidak terus-menerus melihat ke Barat. [14] Di daerah lain dia kebanyakan apolitis. [78]


Sosiolog Indonesia [[Umar Kayam]], yang bertugas pada Dewan Kesenian Jakarta bersama Djajakusuma, memandangnya sebagai seorang sutradara yang sangat disiplin. Biran menganggapnya sebagai orang yang sangat tempramental yang bisa muncul secara tiba-tiba, namun dapat ditenangkan dengan cepat ketika pemicunya dihilangkan; kebiasaan tersebut telah dirasakan oleh beberapa orang yang pernah bekerja dengan Djajakusuma.{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} Dalam sebuah ulasan pada majalah film ''Djaja'', ia dideskripsikan sebagai pekerja keras dan berdedikasi tinggi terhadap kerajinannya, pada titik yang menekankan hubungan percintaan.{{sfn|Kadarjono|1970|p=25}}
Sosiolog Indonesia Umar Kayam , yang pernah menjabat di Dewan Kesenian Jakarta bersama Djajakusuma, menyebut sutradara itu sangat disiplin. Biran menggambarkan dia memiliki temperamen yang berapi-api yang dapat dipicu secara tiba-tiba, namun cepat menjadi tenang ketika pemicunya dilepas; Sentimen ini diamini oleh beberapa orang yang pernah bekerja sama dengan Djajakusuma. [66] Liputan di majalah film Djaja menggambarkannya sebagai pekerja keras dan berdedikasi tinggi pada keahliannya, sampai-sampai meninggalkan hubungan romantis. [79]


== Pencapaian ==
== Pencapaian ==

Revisi per 4 Agustus 2022 05.19

D. Djajakoesoema
Djajakoesoema, 1950-an
LahirDjadoeg Djajakoesoema
(1918-08-01)1 Agustus 1918
Temanggung, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal28 Oktober 1987(1987-10-28) (umur 69)
Jakarta, Indonesia
Sebab meninggalStroke
MakamTPU Karet Bivak
KebangsaanIndonesia
Almamater
PekerjaanSutradara, produser, kritikus budaya
Tahun aktif1952–87
IMDB: nm2676200 Modifica els identificadors a Wikidata

Djadoeg Djajakusuma[a] ([dʒaˈdʊʔ dʒajakuˈsuma];1 Agustus 1918 – 28 Oktober 1987) adalah seorang sutradara film Indonesia dan promotor bentuk seni tradisional. Lahir dari seorang bangsawan dan istrinya di Temanggung, Jawa Tengah, Djajakusuma mulai tertarik dengan seni di usia muda, memilih untuk berkarir di teater. Selama pendudukan Jepang dari tahun 1943 sampai 1945 ia adalah seorang penerjemah dan aktor, dan dalam empat tahun revolusi nasional berikutnya ia bekerja untuk Divisi pendidikan militer, beberapa kantor berita, dan dalam drama.

Pada tahun 1951, Djajakusuma bergabung dengan Perusahaan Film Nasional (Perfini) atas undangan Usmar Ismail. Setelah membuat debut penyutradaraannya dengan Embun, Djajakusuma merilis sebelas film lagi dengan perusahaan tersebut sebelum pergi pada tahun 1964. Dia kemudian kembali ke teater tradisional Indonesia, termasuk wayang. Meskipun ia terus mengarahkan film secara independen dari Perfini, sebagian besar energinya didedikasikan untuk mempromosikan bentuk seni tradisional dan mengajar sinematografi. Setelah lebih dari satu dekade kesehatan yang buruk dan tekanan darah tinggi, Djajakusuma pingsan saat upacara dan meninggal. Ia dimakamkan di Pemakaman Karet Bivak.

Djajakusuma yang berdedikasi tetapi mudah marah dipengaruhi oleh pandangan realis Usmar Ismail, meskipun ia lebih fokus pada aspek kehidupan tradisional. Pertunjukan teatrikalnya berusaha memodernisasi bentuk-bentuk tradisional agar dapat diterima lebih baik di dunia modern. Ia dipuji karena merevitalisasi bentuk teater Betawi lenong dan menerima berbagai penghargaan untuk pembuatan filmnya, termasuk penghargaan pencapaian seumur hidup di Festival Film Indonesia.

Biografi

Masa muda

Djajakusuma lahir pada 1 Agustus 1918 di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Hindia Belanda,[1] dari ayah priyayi, Raden Mas Aryo Djojokoesomo, dan istrinya Kasimah. Djajakusuma adalah anak kelima dari enam yang lahir dari pasangan itu, yang hidup nyaman dari gaji Djojokoesomo sebagai pejabat pemerintah.[2] Semasa muda ia menikmati menonton pertunjukan panggung, seperti wayang kulit dan tarian tradisional bentuk tayuban;[3] kadang-kadang dia diam-diam meninggalkan rumahnya setelah waktu tidur untuk menonton produksi. Dengan teman-temannya, dia akan memerankan cerita pengantar tidur yang diceritakan ibunya kepadanya.[4] Ketika film-film impor Hollywood mulai diputar, dia menjadi penonton setia, menonton Barat dan karya-karya yang dibintangi Charlie Chaplin.[5]

Karena kedudukannya sebagai anak seorang bangsawan, Djajakusuma bisa mengenyam pendidikan. Ia menyelesaikan studinya di Semarang, Jawa Tengah,[6] lulus dari program ilmu alam di sebuah sekolah menengah atas di sana pada tahun 1941.[5] Meskipun keluarganya berharap ia akan menjadi pegawai pemerintah seperti ayahnya, Djajakusuma memutuskan untuk pergi ke dalam seni pertunjukan.[4] Dia kembali ke kampung halamannya untuk waktu yang singkat sebelum menyadari bahwa dia akan memiliki sedikit kesempatan di Parakan. Oleh karena itu, pada awal tahun 1943 – hampir setahun setelah Hindia Belanda diduduki oleh Kekaisaran Jepang – Djajakusuma pindah ke pusat politik koloni, Jakarta, untuk mencari pekerjaan.[7]

Djajakusuma dipekerjakan di Pusat Kebudayaan[b] sebagai penerjemah dan aktor di bawah Armijn Pane.[8] Di antara karya-karya yang ia terjemahkan adalah beberapa karya dramawan Swedia August Strindberg dan dramawan Norwegia Henrik Ibsen,[c][9] serta sejarah Jepang dan beberapa drama panggung kabuki.[7] Saat bersama center, Djajakusuma menulis beberapa sandiwara panggungnya sendiri.[10] Di waktu senggangnya, Djajakusuma membantu mendirikan perusahaan teater amatir Maya, bersama artis-artis seperti HB Jassin, Rosihan Anwar, dan Usmar Ismail. Rombongan yang dibentuk sebagai tanggapan atas keinginan akan kebebasan artistik yang lebih besar, menampilkan terjemahan karya-karya Eropa dan karya asli Ismail dan El Hakim.[d] Untuk meningkatkan rasa nasionalisme Indonesia sambil tetap mengikuti aturan biro sensor Jepang, beberapa lakon Maya tidak secara eksplisit mempromosikan Jepang, melainkan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Tema-tema pendukung gerakan nasionalis Indonesia, sementara itu, tetap tersirat dalam karya-karya tersebut. Bersama Maya, Djajakusuma melakukan perjalanan dari desa ke desa, mengadakan pertunjukan.[11]

Revolusi Nasional Indonesia

Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, beberapa hari setelah pemboman Hiroshima dan Nagasaki. Berharap pemerintah kolonial Belanda kembali, Djajakusuma dan Ismail turut mendirikan Seniman Merdeka (Seniman Merdeka) sebagai bentuk perlawanan. Rombongan melakukan perjalanan ke seluruh kota, menyebarkan berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia saat tampil dari truk terbuka. Setelah kedatangan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda, kelompok ini terkadang berusaha untuk memata-matai orang Eropa atau menyembunyikan informasi yang dianggap berguna bagi pasukan Belanda yang kembali. Karena pekerjaan yang berbahaya ini, Djajakusuma mulai membawa pistol, dan pergi ke Banten untuk meminta kyai untuk membuatnya kebal peluru.[12]

Pada awal 1946, dengan pasukan kolonial Belanda menguasai Jakarta, Djajakusuma melarikan diri ke ibu kota negara yang baru di Yogyakarta.[13] Di sana, ia menghabiskan waktu dengan kantor berita nasional Antara[14] sebelum bergabung dengan divisi pendidikan militer, naik ke pangkat kapten.[15] Untuk militer Djajakusuma mengedit mingguan Tentara; ia juga menyumbangkan artikel untuk majalah budaya Ismail Arena.[16] Terlepas dari keterlibatannya dalam pers, dia tidak meninggalkan teater; dengan Surjo Sumanto, ia mendirikan sebuah rombongan yang tampil untuk tentara dan mengangkat moral, kadang-kadang bepergian ke garis depan.[17]

Djajakusuma dipekerjakan oleh Departemen Penerangan pada tahun 1947 untuk mengajar di sebuah sekolah seni pertunjukan, Yayasan Hiburan Mataram (Stichting Hiburan Mataram).[18] Melalui Mataram, ia dan Ismail dikenalkan kepada sineas Andjar Asmara, Huyung, dan Sutarto; keduanya belajar di bawah individu-individu yang lebih mapan ini. Sementara itu, Djajakusuma ditugaskan untuk menyensor siaran radio di daerah-daerah yang dikuasai Republik, tugas yang dipegangnya sampai Belanda merebut Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Djajakusuma melarikan diri dari kota, kemudian bertemu dengan pasukan Republik. Menggunakan radio tua dan generator bertenaga sepeda, Djajakusuma mendengarkan siaran berita internasional dan menuliskannya;[19] informasi dari siaran ini kemudian dicetak di surat kabar bawah tanah.[20]

Usmar Ismail, yang membawa Djajakusuma ke Perfini pada 1951

Setelah Revolusi Nasional Indonesia berakhir dengan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, Djajakusuma terus bekerja sebagai jurnalis untuk Patriot (penggantian citra Tentara) dan majalah Kebudajaan Nusantara;[6] Mataram dibuka kembali, dan Djajakusuma mulai mengajar di sana lagi sambil mengelola bioskop Soboharsono dan menulis beberapa sandiwara panggung.[21] Ismail, sementara itu, kembali ke Jakarta dan mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini);[22] produksi pertamanya, Darah dan Doa (The Long March), yang memberikan versi fiksi dari perjalanan Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada tahun 1948, disutradarai oleh Ismail dan dirilis pada tahun 1950.[23]

Karir dengan Perfini

Untuk persiapan film keduanya, Enam Djam di Jogja, Ismail memanggil Djajakusuma ke Jakarta. Untuk film tersebut, Djajakusuma membantu Ismail mengadaptasi Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk layar. Produksi diselesaikan dengan anggaran rendah; Djajakusuma kemudian mengingat bahwa kamera mereka harus ditenagai oleh baterai mobil.[24] Terlepas dari ini dan kesulitan lainnya, Djajakusuma tetap tinggal setelah film selesai, menyelesaikan pekerjaan lain untuk Perfini, Dosa Tak Berampun, akhir tahun itu. Ismail berperan sebagai sutradara untuk film ini, tentang seorang pria yang meninggalkan keluarganya setelah dia terpaku oleh senyum seorang pelayan.[25]

Sementara Ismail, yang tetap menjadi kepala Perfini, pergi ke luar negeri untuk belajar sinematografi di School of Theater, Film and Television di University of California, Los Angeles, Djajakusuma mulai mengambil peran yang lebih besar di Perfini. Dia membuat debut penyutradaraannya pada tahun 1952 dengan Embun, yang menunjukkan masalah psikologis yang dihadapi oleh tentara setelah kembali ke desa mereka setelah revolusi.[26] Film ini diambil di Wonosari , pada saat di tengah kekeringan, untuk memberikan metafora visual untuk jiwa para pejuang yang tandus.[27] Karena penggambaran takhayul tradisionalnya, film ini bermasalah dengan biro sensor dan kritikus; takhayul dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan republik baru untuk modernisasi.[28] Pelepasan Embun menjadikan Djajakusuma salah satu dari empat direktur yang bekerja untuk Perfini; yang lainnya adalah Ismail, Nya Abas Akup, dan Wahyu Sihombing.[29]

Produksi Djajakusuma berikutnya, Terimalah Laguku (1952), adalah musikal tentang seorang musisi tua miskin yang menjual saksofonnya untuk membantu karir mantan muridnya.[30] Meskipun kualitas teknis film buruk, ketika ia kembali ke Indonesia pada tahun 1953 Ismail senang dengan pekerjaan itu, menyatakan bahwa penyuntingan telah dilakukan dengan baik. Tahun berikutnya Ismail menyampaikan informasi yang dipelajarinya di UCLA kepada staf Perfini; Djajakusuma mengikuti pelajaran ini dengan cermat.[31] Ini diikuti oleh Harimau Tjampa pada tahun 1953, sebuah film tentang seorang pria yang mencoba untuk membalas kematian ayahnya. Berada di tengah budaya Minang,[32] film tersebut menampilkan beberapa ketelanjangan pertama dalam produksi dalam negeri[33] dan sukses besar.[31]

Djajakusuma menaiki kapal untuk pergi ke Sumatera untuk syuting Arni, ca 1955

Pada tahun 1954 Djajakusuma menyutradarai dua film komedi, Putri dari Medan dan Mertua Sinting. Yang pertama berurusan dengan tiga pria muda yang memutuskan untuk tidak pernah menikah, hanya karena kekuatan mereka goyah setelah bertemu dengan beberapa wanita dari Medan,[34] sedangkan yang kedua mengikuti seorang pria yang menolak pilihan pasangan putranya karena kurangnya keturunan bangsawan, kemudian tanpa sadar memilih wanita yang sama untuk menjadi istri anaknya.[35] Tahun berikutnya Djajakusuma membantu mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI).[4] Satu-satunya filmnya tahun itu, drama Arni, menceritakan seorang pria yang menikahi wanita lain sementara istrinya yang sakit pergi ke Padang, Sumatra, untuk berobat.[36]

Djajakusuma belajar sinematografi di Amerika Serikat, pertama di University of Washington di Seattle, kemudian di University of Southern California's School of Cinematic Arts, dari tahun 1956 hingga 1957.[4] Ketika kembali ke Indonesia, ia bekerja dengan Ismail dan sesama karyawan Perfini Asrul Sani untuk mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia, yang mengusung realisme; dramawan Indonesia Putu Wijaya menggambarkan realisme yang dipromosikan oleh akademi sebagai lebih Indonesia daripada Barat, [37] sementara Djajakusuma dianggap terinspirasi oleh pergerakan neorealis Italia.[38] Djajakusuma tetap menjadi dosen di akademi tersebut sampai tahun 1970, dan murid-muridnya menganggapnya lucu dan mudah didekati.[39]

Sekembalinya ke Indonesia, Djajakusuma mulai mengerjakan Tjambuk Api (1958), sebuah kritik terhadap maraknya korupsi di Indonesia; tema ini menyebabkan film ditahan oleh biro sensor selama hampir satu tahun [32] Sutradara melanjutkannya dengan drama Pak Prawiro, yang disponsori oleh Bank Tabungan Pos dan dimaksudkan untuk menyampaikan pentingnya memiliki tabungan.[40] Selama periode ini ia mempelajari teater tradisional India, bepergian ke Calcutta, Madras, dan New Delhi; Ia berharap pengalaman langsung ini akan menginspirasinya dalam pembuatan film cerita tradisional Indonesia.[41]

Pada tahun 1960 Djajakusuma merilis film pertamanya berdasarkan cerita wayang tradisional, Lahirnja Gatotkatja;[42] pewayangan tradisional telah membuatnya terpesona sebagai seorang anak, dan ia sangat menikmati karakter Gatotkaca.[43] Diambil di Yogyakarta, film ini menampilkan pemeran bintang dari Jakarta dan bakat lokal dalam peran pendukung.[44] Namun, itu kontroversial: dhalang dan orang lain yang berpengalaman dalam wayang berpendapat bahwa sutradara telah mengabaikan terlalu banyak aspek tradisional dari pewayangan.[45] Tahun itu Djajakusuma juga menjabat sebagai manajer produksi Pedjuang Ismail[45] dan menyutradarai Mak Tjomblang, sebuah film komedi yang diadaptasi dari drama Nikolai Gogol tahun 1842 Marriage.[46]

Djajakusuma merilis komedi lain, Masa Topan dan Badai, pada tahun 1963; film ini berpusat di sekitar dinamika keluarga seorang ayah yang konservatif, ibu yang liberal, dan dua putri remaja mereka yang sedang dalam masa remaja.[47] Tahun berikutnya Djajakusuma menyutradarai film terakhirnya dengan Perfini, Rimba Bergema, yang dimaksudkan untuk memajukan industri karet nasional.[48] ​​Tahun itu ia membantu mendirikan Persatuan Karyawan Film dan TV,[4] sebagai tanggapan terhadap Liga Film Indonesia yang disponsori Lekra.[49] Seperti halnya Ismail dan sebagian besar pegawai Perfini, Djajakusuma sangat menentang Lekra yang berafiliasi dengan komunis; kelompok budaya juga memusuhi mereka yang berafiliasi dengan Perfini.[50]

Karier selanjutnya

Sebuah penampilan wayang orang
Sebuah penampilan lenong
Djajakusuma mempromosikan modernisasi wayang orang (atas) dan revitalisasi lenong.

Menjelang akhir waktunya bersama Perfini, Djajakusuma kembali aktif dalam kesenian tradisional. Dia mencurahkan banyak waktu untuk promosi wayang . Pada tahun 1967 ia menyelenggarakan Festival Wayang Nasional, [14] yang runtuh tak lama kemudian karena kekurangan dana. [51] Pada tahun 1967 ia menyutradarai film yang diilhami wayang Bimo Kroda untuk Film Pantja Murti, [52] yang menggunakan penghancuran Pandawa – saudara laki-laki dalam epos Hindu Mahābhārata – untuk menggambarkan penculikan dan pembunuhan berikutnya terhadap lima jenderal angkatan darat selama Perang Dunia II. Gerakan 30 September 1965. [32]Keterlibatan Djajakusuma dengan wayang berlanjut hingga awal 1970-an; ia menyelenggarakan dua Pekan Wayang, pada tahun 1970 dan 1974, serta festival wayang nasional pada tahun 1977. [14] Selanjutnya, ia mendirikan dua kelompok wayang orang , Jaya Budaya (1971) dan Bharata (1973), dengan harapan dapat menyelamatkan medium yang sedang sakit. dengan memodernisasinya. [53]

Sementara itu, Djajakusuma membantu mempromosikan bentuk seni seperti lenong Betawi dan ludruk Jawa selama beberapa tahun. [54] Ia secara khusus dikenal karena lenongnya yang menyegarkan . [e] Mulai tahun 1968, Djajakusuma muncul di televisi sebagai pendukung lenong , yang kemudian terbatas pada desa-desa dan di ambang kematian. Dia meningkatkan pengetahuan populer tentang formulir sambil berdebat untuk remunerasi yang tepat bagi para pemain. [55] Selama tahun 1970-an lenong dipertunjukkan di Ismail Marzuki Hall , menarik banyak penonton, [56] dan beberapa pemain lenong mendapat pengakuan arus utama di industri film. [57]

Djajakusuma juga mempromosikan kegiatan budaya non-tradisional, baik modern maupun asing. Pada tahun 1968 ia menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta, jabatan yang dijabatnya hingga tahun 1977, [4] dan pada tahun 1970 ia mengadakan festival musik keroncong . [58] Dimulai dengan pendirian sekolah pada tahun 1970, ia menjadi dosen di Institut Pendidikan Kesenian Jakarta ( Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta , kemudian Institut Kesenian Jakarta [ Institut Kesenian Jakarta , atau IKJ] ), mengajar sinematografi. Untuk lebih memahami teater dunia, pada tahun 1977 ia pergi ke Jepang dan Cina untuk mempelajari tradisi mereka. [59] Dia kemudian memimpin para siswa dalam berbagai pertunjukan panggung, termasuk adaptasi dari bahasa Jepangnoh dan opera Cina ; [60] beberapa dari pertunjukan ini diadakan di Aula Ismail Marzuki. [6] Pada 1970-an Djajakusuma memegang berbagai posisi di organisasi film, termasuk sebagai anggota Dewan Film (1974–76), anggota dewan pengawas Siaran Radio dan TV (1976), dan anggota Biro Pengembangan Film Nasional (1977–78). [61]

Namun, produktivitas Djajakusuma di industri perfilman justru menurun. Pada tahun 1971 ia menyutradarai film terakhirnya, Api di Bukit Menoreh ( Api di Gunung Menoreh ) dan Malin Kundang (Anak Durhaka) ( Malin Kundang [Anak yang Tidak Setia] ). Yang pertama, dirilis untuk Penas Film Studio dan berdasarkan novel karya Singgih Hadi Mintardja, mengikuti tentara dari Kerajaan Pajang dalam upaya mereka untuk menaklukkan tentara dari kerajaan saingan Jipang. [62] Film kedua adalah adaptasi dari cerita rakyat Melayu dengan nama yang sama. [4] Dibintangi oleh Rano Karnodan Putu Wijaya sebagai karakter utama, film ini mengikuti seorang anak muda yang melupakan akarnya setelah menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di laut. [63] Peran terakhirnya sebagai pembuat film adalah pada tahun 1977, ketika ia membantu memproduksi komedi Fritz G. Schadt Bang Kojak (1977). [45]

Tahun-tahun terakhir dan kematian

Pada tahun 1977 Djajakusuma menjadi juri Festival Film Indonesia ( FFI ). [f] Saat membacakan putusan tersebut, ia pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, sedangkan Rosihan Anwar menyelesaikan pembacaannya. [64] Tetangga Djajakusuma dan kolaboratornya Taufiq Ismail mengatakan kepada wartawan bahwa itu bukan pertama kalinya Djajakusuma runtuh. [65] Djajakusuma terus menderita kelemahan mendadak selama sisa hidupnya, [66] disebabkan oleh tekanan darah tinggi. [14]

Meskipun kesehatannya menurun dengan cepat, Djajakusuma tetap aktif dalam seni. Pada tahun 1980 ia membuat penampilan film terakhirnya, dan satu-satunya perannya di layar lebar, berakting di Perempuan dalam Pasungan karya Ismail Soebardjo . [67] Dia dan Sofia WD menggambarkan orang tua yang secara teratur menempatkan putri mereka di saham untuk menghukumnya karena tidak patuh; [68] dalam sebuah wawancara dengan Suara Karya , Soebardjo mengingat bahwa, sejak dia menulisnya, dia hanya mempertimbangkan Djajakusuma untuk peran tersebut. [69] Perempuan dalam Pasungan memenangkan Penghargaan Citra untuk Film Terbaik pada Festival Film Indonesia 1981, [39] dan Djajakusuma menyatakan minatnya untuk membuat beberapa film lebih lanjut; ini, bagaimanapun, tidak pernah disadari. [51] Pada tahun 1983 Djajakusuma menjabat sebagai dekan Fakultas Seni Rupa di IKJ, [70] dan pada tahun 1984 ia pergi ke Festival Tiga Benua di Nantes , Prancis, di mana dua filmnya ditayangkan dengan pujian kritis. [32]

Pada awal tahun 1987 dokter Djajakusuma mendiagnosisnya dengan penyakit jantung , yang menyebabkan Djajakusuma mulai berdiet dan berhenti merokok. [14] Ia tetap dihormati di kalangan perfilman Indonesia, namun tidak senang dengan kondisi industri film tanah air, yang ia anggap di ambang kehancuran. Ia menyalahkan imperialisme budaya Amerika , yang berarti bahwa sebagian besar bioskop lebih suka memutar film asing, terutama yang dari Hollywood, dan bahwa pemuda Indonesia tidak lagi menciptakan identitas Indonesia yang unik. [71]

Djajakusuma pingsan pada tanggal 28 Oktober 1987 saat memberikan pidato peringatan Sumpah Pemuda di IKJ, kepalanya terbentur anak tangga batu. Setelah dilarikan ke Rumah Sakit Umum Cikini, ia dinyatakan meninggal pada pukul 10.05 waktu setempat (UTC+7). Ia dimakamkan di Pemakaman Karet Bivak malam itu, setelah upacara di IKJ yang dipimpin oleh penulis Sutan Takdir Alisjahbana dan doa di Masjid Amir Hamzah di Pendopo Ismail Marzuki yang dipimpin oleh penyair Taufiq Ismail. [72] Di antara para pelayat adalah mantan Menteri Penerangan Boediardjo , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan , dan Wakil Gubernur Jakarta Anwar Umar. [66]

Djajakusuma tidak pernah menikah, tetapi meninggalkan beberapa keponakan yang dibesarkannya sebagai anak sendiri. [73] Setelah kematiannya, surat kabar di seluruh Jakarta memuat berita kematian oleh tokoh budaya dan film seperti Alisjahbana, produser Misbach Yusa Biran , dan juru kamera Perfini Soemardjono. Berita kematian ini menekankan peran Djajakusuma dalam perkembangan industri film Indonesia dan pelestarian budaya tradisional. Dalam upacara peringatan lima tahun wafatnya Djajakusuma, seluruh dokumen dan bukunya disumbangkan ke perpustakaan IKJ. [74]

Gaya

Di lokasi syuting film Djajakusuma tahun 1960 Lahirnja Gatotkatja ; film ini adalah salah satu dari dua film yang disutradarainya yang banyak dipengaruhi oleh cerita wayang.

Seperti Usmar Ismail, Djajakusuma dipengaruhi oleh realisme. Namun, meski Ismail lebih suka fokus pada tema-tema tingkat nasional, Djajakusuma lebih tertarik pada alur cerita yang sederhana dan relevan secara lokal dengan pesan-pesan pendidikan. [32] Realisme ini terbawa ke dalam karya Djajakusuma dalam pewayangan . Pengaturan, yang digambar secara tradisional, malah dibuat sebagai set tiga dimensi , termasuk representasi pohon, batu, dan air. [75] Menurut Soemardjono, yang sering menyunting film-film Djajakusuma, sang sutradara senang bereksperimen dengan teknik-teknik baru untuk menyampaikan maksudnya dengan lebih baik. [32]

Djajakusuma sering memasukkan seni tradisional dalam film-filmnya, [22] dan dua di antaranya ( Lahirnja Gatotkatja dan Bimo Kroda ) didasarkan pada cerita wayang tradisional dan menggunakan kostum dan tempo yang diilhami wayang . [76] Fokus pada aspek budaya tradisional ini keluar dari arus utama setelah tahun 1965, digantikan oleh film-film tentang kehidupan kota. [77] Produksi teater Djajakusuma bereksperimen dengan teknik bercerita baru, mengadaptasi gaya tradisional untuk dunia modern. [75]Sebagai dosen yang mengajar penulisan skenario dan sejarah teater, Djajakusuma fokus pada seni rupa Indonesia. Dia berpendapat bahwa orang Indonesia harus mengandalkan budaya lokal, tidak terus-menerus melihat ke Barat. [14] Di daerah lain dia kebanyakan apolitis. [78]

Sosiolog Indonesia Umar Kayam , yang pernah menjabat di Dewan Kesenian Jakarta bersama Djajakusuma, menyebut sutradara itu sangat disiplin. Biran menggambarkan dia memiliki temperamen yang berapi-api yang dapat dipicu secara tiba-tiba, namun cepat menjadi tenang ketika pemicunya dilepas; Sentimen ini diamini oleh beberapa orang yang pernah bekerja sama dengan Djajakusuma. [66] Liputan di majalah film Djaja menggambarkannya sebagai pekerja keras dan berdedikasi tinggi pada keahliannya, sampai-sampai meninggalkan hubungan romantis. [79]

Pencapaian

Film karya Djajakusuma yang berjudul Harimau Tjampa meraih Penghargaan Permainan Latar Terbaik di Festival Film Asia 1954.[51] Kemudian, filmnya yang berjudul Bimo Kroda dipuji oleh Departemen Informasi Indonesia karena mempromosikan kebudayaan tradisional.[52] Pada 1970, ia mendapatkan Penghargaan Kesenian dari pemerintah Indonesia karena "Jasa terhadap Negara sebagai Pembina Utama Drama Modern".[51] Pada Festival Film Infonesia 1987, ia diberikan penghargaan khusus untuk kontribusinya pada industri film,[53] dan pada November 2003, secara anumerta, ia diberikan Penghargaan Budaya Parama Dharma oleh Presiden Megawati Sukarnoputri untuk kontribusinya pada pengembangan kebudayaan Indonesia.[e][54]

Tanggapan yang didapatkan terbilang positif. Sutradara pemenang penghargaan Teguh Karya menyatakan bahwa karya-karya buatan Djajakusuma, Usmar Ismail, dan Asrul Sani sebagai "legendaris" dan memiliki pengaruh yang sangat besar.[55] Koreografer Bagong Kussudiardjo dikabarkan mengenang Djajakusuma dengan cara menamai putranya dengan nama Djadoeg.[56] Menurut sebuah peringatan dalam surat kabar Kompas, Djajakusuma juga dijuluki "legenda hidup" saat berkunjung ke Nantes.[32] Artikel Kompas selanjutnya menyatakan mengenai karya-karya Djajakusuma yang paling diingat yakni Harimau Tjampa dan Tjambuk Api. Dua karya tersebut merupakan yang paling sering ditampilkan, selain salinan-salinan yang masih dapat diputar yang dijual di Sinematek Indonesia; film buatannya yang lain yang masih ada adapula yang dalam bentuk negatif film.[20]

Filmografi

Pemeran

Kru

  • Enam Djam di Jogja (1951) – sebagai penulis naskah
  • Embun (1951) – sebagai penulis naskah
  • Dosa Tak Berampun (1951) – sebagai penulis naskah
  • Terimalah Laguku (1952) – sebagai sutradara
  • Harimau Tjampa (1953) – sebagai sutradara dan penulis naskah
  • Mertua Sinting (1954) – sebagai sutradara
  • Putri dari Medan (1954) – sebagai sutradara
  • Arni (1955) – sebagai sutradara
  • Tjambuk Api (1958) – sebagai sutradara
  • Pak Prawiro (1958) – sebagai sutradara dan penulis naskah
  • Pedjuang (1960) – sebagai manajer produksi
  • Lahirnya Gatotkatja (1960) – sebagai sutradara dan penulis naskah
  • Mak Tjomblang (1960) – sebagai sutradara dan penulis naskah
  • Masa Topan dan Badai (1963) – sebagai sutradara
  • Rima Bergema (1964) – sebagai sutradara
  • Bimo Kroda (1967) – sebagai sutradara
  • Api di Bukit Menoreh (1971) – sebagai sutradara
  • Malin Kundang (Anak Durhaka) (1971) – sebagai sutradara
  • Api Dibukit Menoreh (Gugurnya Tohpati) (1971) – sebagai sutradara
  • Bang Kojak (1977) – sebagai produser

Catatan penjelas

  1. ^ Ejaan lain dari nama depannya termasuk Djadug, Djadoek, dan Djaduk, sedangkan nama belakangnya mungkin juga dieja Djajakoesoema
  2. ^ Pusat Kebudayaan dikenal dengan nama Indonesia dan Jepang. Nama Indonesianya adalah Poesat Keboedajaan, sedangkan nama Jepangnya adalah Keimin Bunka Shidōsho (啓民文化指導所). Pusat Kebudayaan mempromosikan pertumbuhan berbagai bentuk seni, termasuk film dan drama, dengan tujuan akhir menyediakan propaganda untuk posisi politik Jepang (Hoerip 1995, hlm. 8).
  3. ^ Baik Norwegia maupun Swedia tidak sedang berperang dengan Jepang pada saat itu, artinya terjemahan seperti itu dianggap dapat diterima oleh atasan Djajakusuma (Hoerip 1995, hlm. 9).
  4. ^ El Hakim adalah nama samaran Abu Hanifah (Hoerip 1995, hlm. 9–10).
  5. ^ Pemenang lainnya meliputi komedian Bing Slamet dan aktris Fifi Young (Unidjaja 2003, Megawati awards).

Referensi

  1. ^ Setiawan 2009, National Film Month; Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma
  2. ^ Hoerip 1995, hlm. 104.
  3. ^ Hoerip 1995, hlm. 2–3.
  4. ^ a b c d e Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma.
  5. ^ a b Hoerip 1995, hlm. 4.
  6. ^ a b JCG, Djaduk Djajakusuma.
  7. ^ a b Hoerip 1995, hlm. 8.
  8. ^ JCG, Djaduk Djajakusuma; Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma
  9. ^ Biran 2009, hlm. 331.
  10. ^ Hoerip 1995, hlm. 10.
  11. ^ Hoerip 1995, hlm. 9–10.
  12. ^ Hoerip 1995, hlm. 17–19.
  13. ^ Biran 2009, hlm. 354.
  14. ^ Suara Karya 1987, D.Djajakusuma.
  15. ^ Said 1982, hlm. 139.
  16. ^ Hoerip 1995, hlm. 20–21.
  17. ^ Hoerip 1995, hlm. 22.
  18. ^ Biran 2009, hlm. 356.
  19. ^ Hoerip 1995, hlm. 22–24.
  20. ^ a b Kompas 1993, Pekan Film Djajakusuma.
  21. ^ Hoerip 1995, hlm. 24.
  22. ^ Setiawan 2009, National Film Month.
  23. ^ Said 1982, hlm. 51.
  24. ^ Hoerip 1995, hlm. 27.
  25. ^ Hoerip 1995, hlm. 36; Said 1982, hlm. 54; Filmindonesia.or.id, Filmografi
  26. ^ JCG, Djaduk Djajakusuma; Said 1982, hlm. 55
  27. ^ Hoerip 1995, hlm. 28.
  28. ^ Said 1982, hlm. 55.
  29. ^ Anwar 2004, hlm. 84.
  30. ^ Hoerip 1995, hlm. 39–40.
  31. ^ a b Hoerip 1995, hlm. 29.
  32. ^ a b c Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma.
  33. ^ Imanjaya 2006, hlm. 107–108.
  34. ^ Filmindonesia.or.id, Putri dari Medan.
  35. ^ Filmindonesia.or.id, Mertua Sinting.
  36. ^ Filmindonesia.or.id, Arni.
  37. ^ National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Putu Wijaya.
  38. ^ Biran 2009, hlm. 334.
  39. ^ Hoerip 1995, hlm. 31.
  40. ^ Filmindonesia.or.id, Pak Prawiro.
  41. ^ Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang; Hoerip 1995, hlm. 106
  42. ^ Suara Karya 1987, D.Djajakusuma; Filmindonesia.or.id, Filmografi
  43. ^ Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang.
  44. ^ Nasional 1960, (Tanpa Judul).
  45. ^ a b Hoerip 1995, hlm. 30.
  46. ^ Filmindonesia.or.id, Mak Tjomblang.
  47. ^ Filmindonesia.or.id, Masa Topan dan Badai.
  48. ^ Filmindonesia.or.id, Rimba Bergema.
  49. ^ Hoerip 1995, hlm. 58.
  50. ^ Said 1982, hlm. 65–68.
  51. ^ a b Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma.
  52. ^ Biran 1979, hlm. 123.
  53. ^ Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia.
  54. ^ Unidjaja 2003, Megawati awards.
  55. ^ National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Teguh Karya.
  56. ^ Hoerip 1995, hlm. 83.

Kutipan karya

  • Anwar, Rosihan (2004). Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 2. Jakarta: Kompas. ISBN 978-979-709-428-7. 
  • Ardan, S.M. (1 November 1987). "Djaduk Djajakusuma Bukan Cuma Pengabdi Seni". Suara Pembaruan (dalam bahasa Indonesia). hlm. 11. 
  • "Arni". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesia). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 Agustus 2012. 
  • Biran, Misbach Yusa, ed. (1979). Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926–1978. Sinematek Indonesia. OCLC 6655859. 
  • Biran, Misbach Yusa (2009). Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Komunitas Bamboo working with the Jakarta Art Council. ISBN 978-979-3731-58-2. 
  • "Budayawan D. Djajakusuma Sudah Tiada". Kompas (dalam bahasa Indonesia). 29 Oktober 1987. hlm. 1. 
  • "D.Djajakusuma Tutup Usia". Suara Karya (dalam bahasa Indonesia). 29 October 1987. hlm. 1, 9. 
  • Darmawi, Suslanna (28 February 1982). "Djadoeg Djajakusuma". Suara Karya (dalam bahasa Indonesia). hlm. 1. 
  • Dharyono (7 November 1987). "Selamat Jalan Djadug Djajakoesoema: Sutradara dan Pencipta Wayang Orang Modern yang Pertama". Berita Buana (dalam bahasa Indonesia). hlm. 5. 
  • "Djaduk Djajakusuma". Encyclopedia of Jakarta (dalam bahasa Indonesia). Jakarta City Government. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 Agustus 2012. 
  • "Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang & Teater Sejak Duduk di Sekolah Dasar". Berita Buana (dalam bahasa Indonesia). 13 November 1975. hlm. 4. 
  • "Djaduk Djajakusuma Pencetus "Wayang Gaya Baru"". Berita Buana (dalam bahasa Indonesia). 14 November 1975. hlm. 4. 
  • "Filmografi". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesia). Yayasan Konfidan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 Agustus 2012. 
  • Hoerip, Satyagraha (1995). Dua Dunia dalam Djadoeg Djajakoesoema (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Jakartan Ministry of Culture working with the Jakarta Institute of Art. ISBN 978-979-8699-00-9. 
  • Imanjaya, Ekky (2006). A to Z about Indonesian Film (dalam bahasa Indonesian). Bandung: Mizan. ISBN 978-979-752-367-1. 
  • Iskandar, Eddy D. (17 July 1983). "Sebagian Besar Hidupnya Untuk Seni". Suara Karya Minggu (dalam bahasa Indonesian). hlm. 1, 11. 
  • Kadarjono, BZ. (1970). "Profil Seorang Seniman: D. Djajakusuma". Djaja (dalam bahasa Indonesian) (452): 25. 
  • Loven, Klarijn (2008). Watching Si Doel: Television, Language, and Culture Identity in Contemporary Indonesia. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-90-6718-279-9. 
  • "Mak Tjomblang". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Yayasan Konfidan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 Agustus 2012. 
  • Marselli (6 November 1987). "Mengenang D. Djajakusuma dalam Perfilman Indonesia". Kompas (dalam bahasa Indonesia). hlm. 6. 
  • "Masa Topan dan Badai". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Yayasan Konfidan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 Agustus 2012. 
  • "Mertua Sinting". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Yayasan Konfidan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 Agustus 2012. 
  • "Pak Prawiro". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesia). Yayasan Konfidan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 Agustus 2012. 
  • "Pandangan Tokoh: Putu Wijaya". Tokoh Perfilman Indonesia (dalam bahasa Indonesia). National Library of Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Pandangan Tokoh: Taufiq Ismail". Tokoh Perfilman Indonesia (dalam bahasa Indonesian). National Library of Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Pandangan Tokoh: Teguh Karya". Tokoh Perfilman Indonesia (dalam bahasa Indonesian). National Library of Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Panembahan, Harianto Gede (6 September 1987). "Barangkali, 40 pCt Manusia di Dunia Hasil Keisengan". Sinar Pagi (dalam bahasa Indonesian). hlm. 4. 
  • "Pekan Film Djajakusuma: Mengenang "Legenda Hidup" Perfilman Indonesia". Kompas (dalam bahasa Indonesian). 22 January 1993. hlm. 16. 
  • "Perempuan dalam Pasungan". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Putri dari Medan". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Rimba Bergema". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Said, Salim (1982). Profil Dunia Film Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Grafiti Pers. OCLC 9507803. 
  • Sen, Krishna; Hill, David T. (2000). Media, Culture and Politics in Indonesia. Melbourne: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-553703-1. 
  • Setiawan, Iwan (1 March 2009). "National Film Month: Time warp, anyone?". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Unidjaja, Fabiola Desy (8 November 2003). "Megawati awards posthumously Hero title to Gorontalo figure". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-06. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "(Untitled)". Nasional (dalam bahasa Indonesian). 26 September 1960. hlm. 3. 

Pranala luar