Lompat ke isi

Prasasti Telaga Batu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Roby diery (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
→‎Penafsiran prasasti: Ringkasan terperbaiki
Baris 7: Baris 7:
Tulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar isinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di [[kedatuan]] [[Sriwijaya]] dan tidak taat kepada perintah [[datuk|dātu]]. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.<ref>Casparis, J.G., (1956), ''Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D.'', Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.</ref>
Tulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar isinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di [[kedatuan]] [[Sriwijaya]] dan tidak taat kepada perintah [[datuk|dātu]]. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.<ref>Casparis, J.G., (1956), ''Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D.'', Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.</ref>


Disebutkan orang-orang tersebut mulai dari para pejabatnya putra mahkota (''rājaputra''), hakim/jaksa (''dandanayaka''), kapten bahari (''puhāvam''), pengrajin (''sthāpaka''), tukang cuci (''marsī hāji''), (''hulun hāji''). Meskipun tidak memuat angka tahun, prasasti Telaga Batu ini dapat diperkirakan berasal dari zaman yang sama dengan prasasti Kota Kapur tang berangka Tahun 608 Saka (686 Masehi) di lihat dari bentuk tulisan aksara yang terdapat dalam batu tersebut (Casparis, 1956:16)<ref>https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/prasasti-telaga-batu/</ref>.
Disebutkan orang-orang tersebut mulai dari putra raja (''rājaputra''), menteri (''kumārāmātya''), bupati (''bhūpati''), panglima (''senāpati''), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (''nāyaka''), bangsawan (''pratyaya''), raja bawahan (''hāji pratyaya''), hakim (''dandanayaka''), ketua pekerja/buruh (''tuhā an vatak'' = ''vuruh''), pengawas pekerja rendah (''addhyāksi nījavarna''), ahli senjata (''vāsīkarana''), tentara (''cātabhata''), pejabat pengelola (''adhikarana''), karyawan toko (''kāyastha''), pengrajin (''sthāpaka''), kapten kapal (''puhāvam''), peniaga (''vaniyāga''), pelayan raja (''marsī hāji''), dan budak raja (''hulun hāji'').


Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu berada di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibu kota kerajaan.<ref>Irfan, N.K.S., (1983), ''Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya'', Girimukti Pasaka</ref> [[Soekmono]] berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak mungkin Sriwijaya berada di Palembang karena adanya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang ''durhaka'' kepada kedatuan,<ref>Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, (1958), ''Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama'', Volume 5.</ref> dan mengajukan usulan [[Minanga]] seperti yang disebut pada [[prasasti Kedukan Bukit]] yang diasumsikan berada di sekitar [[Candi Muara Takus]] sebagai ibu kota Sriwijaya.<ref>Soekmono, R., (2002), ''Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2'', Kanisius, ISBN 979-413-290-X.</ref>
Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu berada di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibu kota kerajaan.<ref>Irfan, N.K.S., (1983), ''Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya'', Girimukti Pasaka</ref> [[Soekmono]] berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak mungkin Sriwijaya berada di Palembang karena adanya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang ''durhaka'' kepada kedatuan,<ref>Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, (1958), ''Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama'', Volume 5.</ref> dan mengajukan usulan [[Minanga]] seperti yang disebut pada [[prasasti Kedukan Bukit]] yang diasumsikan berada di sekitar [[Candi Muara Takus]] sebagai ibu kota Sriwijaya.<ref>Soekmono, R., (2002), ''Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2'', Kanisius, ISBN 979-413-290-X.</ref>

Revisi per 28 Agustus 2022 05.47

Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatra Selatan, pada tahun 1935.[1] Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti.[2] Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah dibentuk sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di bagian bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno.

Penafsiran prasasti

Tulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar isinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.[3]

Disebutkan orang-orang tersebut mulai dari para pejabatnya putra mahkota (rājaputra), hakim/jaksa (dandanayaka), kapten bahari (puhāvam), pengrajin (sthāpaka), tukang cuci (marsī hāji), (hulun hāji). Meskipun tidak memuat angka tahun, prasasti Telaga Batu ini dapat diperkirakan berasal dari zaman yang sama dengan prasasti Kota Kapur tang berangka Tahun 608 Saka (686 Masehi) di lihat dari bentuk tulisan aksara yang terdapat dalam batu tersebut (Casparis, 1956:16)[4].

Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu berada di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibu kota kerajaan.[5] Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak mungkin Sriwijaya berada di Palembang karena adanya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang durhaka kepada kedatuan,[6] dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Takus sebagai ibu kota Sriwijaya.[7]

Lihat juga

Rujukan

  1. ^ Erwan Suryanegara, 1990
  2. ^ Casparis, 1956
  3. ^ Casparis, J.G., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
  4. ^ https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/prasasti-telaga-batu/
  5. ^ Irfan, N.K.S., (1983), Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya, Girimukti Pasaka
  6. ^ Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, (1958), Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama, Volume 5.
  7. ^ Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-290-X.