Lompat ke isi

Darma: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Julia nada 1 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Julia nada 1 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 184: Baris 184:
Dharma adalah penyelidikan empiris dan pengalaman bagi setiap pria dan wanita, menurut beberapa naskah agama Hindu.<ref>{{Cite journal|last=Hacker|first=Paul|date=2006-07-26|title=Dharma in Hinduism|url=http://dx.doi.org/10.1007/s10781-006-9002-4|journal=Journal of Indian Philosophy|volume=34|issue=5|pages=479–496|doi=10.1007/s10781-006-9002-4|issn=0022-1791}}</ref>  Misalnya, [[:en:Apastamba|Apastamba Dharmasutra]] menyatakan:<blockquote>''Dharma'' dan ''Adharma'' tidak berkeliling mengatakan, "Itu adalah kita." Dewa, atau gandharva, atau leluhur tidak menyatakan apa itu ''Dharma'' dan apa itu ''Adharma''.<ref>{{Cite journal|last=Hatcher|first=Brian A.|date=2001-08|title=Dharmasūtras: The Law Codes of Ancient India. Translated by Patrick Olivelle. Oxford World's Classics. New York: Oxford University Press, 1999. xlvi, 434 pp. $12.95 (paper).|url=http://dx.doi.org/10.2307/2700162|journal=The Journal of Asian Studies|volume=60|issue=3|pages=905–906|doi=10.2307/2700162|issn=0021-9118}}</ref>
Dharma adalah penyelidikan empiris dan pengalaman bagi setiap pria dan wanita, menurut beberapa naskah agama Hindu.<ref>{{Cite journal|last=Hacker|first=Paul|date=2006-07-26|title=Dharma in Hinduism|url=http://dx.doi.org/10.1007/s10781-006-9002-4|journal=Journal of Indian Philosophy|volume=34|issue=5|pages=479–496|doi=10.1007/s10781-006-9002-4|issn=0022-1791}}</ref>  Misalnya, [[:en:Apastamba|Apastamba Dharmasutra]] menyatakan:<blockquote>''Dharma'' dan ''Adharma'' tidak berkeliling mengatakan, "Itu adalah kita." Dewa, atau gandharva, atau leluhur tidak menyatakan apa itu ''Dharma'' dan apa itu ''Adharma''.<ref>{{Cite journal|last=Hatcher|first=Brian A.|date=2001-08|title=Dharmasūtras: The Law Codes of Ancient India. Translated by Patrick Olivelle. Oxford World's Classics. New York: Oxford University Press, 1999. xlvi, 434 pp. $12.95 (paper).|url=http://dx.doi.org/10.2307/2700162|journal=The Journal of Asian Studies|volume=60|issue=3|pages=905–906|doi=10.2307/2700162|issn=0021-9118}}</ref>


- Apastamba Dharmasutra<ref>{{Cite journal|last=Hatcher|first=Brian A.|date=2001-08|title=Dharmasūtras: The Law Codes of Ancient India. Translated by Patrick Olivelle. Oxford World's Classics. New York: Oxford University Press, 1999. xlvi, 434 pp. $12.95 (paper).|url=http://dx.doi.org/10.2307/2700162|journal=The Journal of Asian Studies|volume=60|issue=3|pages=905–906|doi=10.2307/2700162|issn=0021-9118}}</ref></blockquote>Dalam teks-teks lain, tiga sumber dan sarana untuk menemukan dharma dalam agama Hindu dijelaskan. Ini, menurut [[:de:Paul_Hacker|Paul Hacker]], adalah:<ref>{{Cite journal|last=Hacker|first=Paul|date=2006-07-26|title=Dharma in Hinduism|url=http://dx.doi.org/10.1007/s10781-006-9002-4|journal=Journal of Indian Philosophy|volume=34|issue=5|pages=479–496|doi=10.1007/s10781-006-9002-4|issn=0022-1791}}</ref> Pertama, mempelajari pengetahuan sejarah seperti Veda, Upanishad, Epos dan literatur Sansekerta lainnya dengan bantuan guru seseorang. Kedua, mengamati perilaku dan teladan orang baik. Sumber ketiga berlaku ketika pendidikan seseorang maupun contoh perilaku teladan tidak diketahui. Dalam hal ini, "[[:en:Atmatusti|atmatusti]]" adalah sumber dharma dalam agama Hindu, yaitu orang baik merefleksikan dan mengikuti apa yang memuaskan hatinya, perasaan batinnya sendiri, apa yang dia rasa terdorong.<ref>{{Cite journal|last=Hacker|first=Paul|date=2006-07-26|title=Dharma in Hinduism|url=http://dx.doi.org/10.1007/s10781-006-9002-4|journal=Journal of Indian Philosophy|volume=34|issue=5|pages=479–496|doi=10.1007/s10781-006-9002-4|issn=0022-1791}}</ref>
- Apastamba Dharmasutra<ref>{{Cite journal|last=Hatcher|first=Brian A.|date=2001-08|title=Dharmasūtras: The Law Codes of Ancient India. Translated by Patrick Olivelle. Oxford World's Classics. New York: Oxford University Press, 1999. xlvi, 434 pp. $12.95 (paper).|url=http://dx.doi.org/10.2307/2700162|journal=The Journal of Asian Studies|volume=60|issue=3|pages=905–906|doi=10.2307/2700162|issn=0021-9118}}</ref></blockquote>Dalam teks-teks lain, tiga sumber dan sarana untuk menemukan dharma dalam agama Hindu dijelaskan. Ini, menurut [[:de:Paul_Hacker|Paul Hacker]], adalah:<ref>{{Cite journal|last=Hacker|first=Paul|date=2006-07-26|title=Dharma in Hinduism|url=http://dx.doi.org/10.1007/s10781-006-9002-4|journal=Journal of Indian Philosophy|volume=34|issue=5|pages=479–496|doi=10.1007/s10781-006-9002-4|issn=0022-1791}}</ref> Pertama, mempelajari pengetahuan sejarah seperti Veda, Upanishad, Epos dan literatur Sansekerta lainnya dengan bantuan guru seseorang. Kedua, mengamati perilaku dan teladan orang baik. Sumber ketiga berlaku ketika pendidikan seseorang maupun contoh perilaku teladan tidak diketahui. Dalam hal ini, "[[:en:Atmatusti|atmatusti]]" adalah sumber dharma dalam agama Hindu, yaitu orang baik merefleksikan dan mengikuti apa yang memuaskan hatinya, perasaan batinnya sendiri, apa yang dia rasa terdorong.<ref>{{Cite journal|last=Hacker|first=Paul|date=2006-07-26|title=Dharma in Hinduism|url=http://dx.doi.org/10.1007/s10781-006-9002-4|journal=Journal of Indian Philosophy|volume=34|issue=5|pages=479–496|doi=10.1007/s10781-006-9002-4|issn=0022-1791}}</ref>

=== Dharma, tahap kehidupan, dan stratifikasi sosial ===
{{main|Āśrama (stage)|Puruṣārtha|l1=Āśrama}}

Beberapa teks Agama Hindu menguraikan ''dharma'' bagi masyarakat dan pada tingkat individu. Dari jumlah tersebut, yang paling banyak dikutip adalah ''Manusmriti'', yang menggambarkan keempat ''Varnas'', hak dan kewajiban mereka.<ref name=":7">{{Cite book|last=Hiltebeitel|first=Alf|date=2011|url=https://www.worldcat.org/oclc/650019987|title=Dharma : its early history in law, religion, and narrative|location=Oxford|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-539423-8|oclc=650019987}}</ref>  Namun, sebagian besar teks Hindu membahas ''dharma'' tanpa menyebutkan ''Varna'' (kasta).<ref>{{Cite book|date=1996-12-31|url=http://dx.doi.org/10.3138/9781442671072-018|title=Aššur-dān II|publisher=University of Toronto Press|pages=131–141}}</ref>  Naskah dharma dan Smritis lainnya berbeda dari [[Manusmerti|Manusmriti]] tentang sifat dan struktur Varnas.<ref name=":7" />  Namun, teks-teks lain mempertanyakan keberadaan varna. [[Bregu|Bhrigu]], dalam Epos, misalnya, menyajikan teori bahwa dharma tidak memerlukan varnas.<ref>{{Cite journal|last=Trautmann|first=Thomas R.|date=1964-07|title=On the Translation of the Term Varna|url=http://dx.doi.org/10.2307/3596240|journal=Journal of the Economic and Social History of the Orient|volume=7|issue=2|pages=196|doi=10.2307/3596240|issn=0022-4995}}</ref>  Dalam praktiknya, India abad pertengahan secara luas diyakini sebagai masyarakat yang bertingkat secara sosial, dengan setiap strata sosial mewarisi profesi dan menjadi endogami. Varna tidak mutlak dalam dharma Hindu; individu memiliki hak untuk meninggalkan dan meninggalkan Varna mereka, serta [[:en:Ashrama_(stage)|asrama]] kehidupan mereka, untuk mencari moksa.<ref name=":7" /><ref>{{Cite journal|last=Buitenen|first=J. A. B. Van|date=1957-04|title=Dharma and Moksa|url=http://dx.doi.org/10.2307/1396832|journal=Philosophy East and West|volume=7|issue=1/2|pages=33|doi=10.2307/1396832|issn=0031-8221}}</ref>  Sementara baik Manusmriti maupun Smritis hinduisme yang menggantikan tidak pernah menggunakan kata varnadharma (yaitu, dharma varnas), atau varnasramadharma (yaitu, dharma varnas dan asrama), komentar ilmiah tentang Manusmriti menggunakan kata-kata ini, dan dengan demikian mengaitkan dharma dengan sistem varna India.<ref name=":7" /><ref>{{Cite book|date=1973-01-01|url=http://dx.doi.org/10.1163/9789004491601_003|title=The place of Hindu law in India. The dilemma of modern reformers|publisher=BRILL|pages=1–7}}</ref>  Di India abad ke-6, bahkan raja-raja Buddha menyebut diri mereka "pelindung varnasramadharma" – yaitu dharma varna dan asrama kehidupan.<ref name=":7" /><ref>{{Cite journal|last=Lang|first=Karen|date=1996-08|title=The Āśrama System: The History and Hermeneutics of a Religious Institution. By Patrick Olivelle. New York: Oxford University Press, 1993. xxii, 274 pp. $49.95 (cloth).|url=http://dx.doi.org/10.2307/2646495|journal=The Journal of Asian Studies|volume=55|issue=3|pages=762–763|doi=10.2307/2646495|issn=0021-9118}}</ref>


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==

Revisi per 14 Oktober 2022 11.53

Dharma atau Sanatana Dharma adalah kebenaran absolut yang kekal dan abadi. "kebenaran" berbeda dengan "benar" sebab "benar" bersifat relatif, menyesuaikan dengan sudut pandang atau perspektif yang dipakai, sedangkan "kebenaran" bersifat absolut dan tidak bisa terbantah dari sudut pandang manapun.

Dharma (/ˈdɑːrmə/;[1] Sansekerta: , diromanisasi: dharma, diucapkan [dʱɐrmɐ] (dengarkan); Pali: dhamma) adalah konsep kunci dengan berbagai makna dalam agama-agama India, seperti Hinduisme, Buddha, Jainisme, Sikhisme dan lainnya.[2] Meskipun tidak ada terjemahan kata tunggal langsung untuk dharma dalam bahasa-bahasa Eropa,[3] dharma umumnya diterjemahkan sebagai "kebenaran", "jasa" atau "kewajiban agama dan moral" yang mengatur perilaku individu.[4][5]

Dharma
Ritual dan ritus peralihan[6]
Yoga, perilaku pribadi[7]
Kebajikan seperti ahimsa (tanpa kekerasan)[8]
Hukum dan keadilan[9]
Tugas, seperti belajar dari guru[11]

Dharma sering disamakan dengan agama/kepercayaan tertentu, namun istilah agama/kepercayaan sejatinya berbeda dengan Dharma.

Dalam agama Hindu, dharma adalah salah satu dari empat komponen Puruṣārtha, tujuan hidup, dan menandakan perilaku yang dianggap sesuai dengan ta, tatanan yang memungkinkan kehidupan dan alam semesta.[12] Ini termasuk tugas, hak, hukum, perilaku, kebajikan dan "cara hidup yang benar".[13]

Dalam agama Buddha, dharma berarti "hukum dan ketertiban kosmik",[14][15] sebagaimana diungkapkan oleh ajaran Buddha.[16][15] Dalam filsafat Buddhis, dhamma/dharma juga merupakan istilah untuk "fenomena".[14]

Dharma dalam Jainisme mengacu pada ajaran Tirthankara (Jina)[17] dan kumpulan doktrin yang berkaitan dengan pemurnian dan transformasi moral manusia.

Dalam Sikhisme, dharma berarti jalan kebenaran dan praktik keagamaan yang benar dan kewajiban moral seseorang terhadap Tuhan.[18]

Konsep dharma sudah digunakan dalam sejarah agama Veda, dan makna serta ruang lingkup konseptualnya telah berkembang selama beberapa milenium.[19] Teks moral Tamil kuno Tirukkuṟaḷ, meskipun merupakan kumpulan ajaran aforistik tentang dharma (aram), artha (porul), dan kama (inpam),: 453 [20]: 82  sepenuhnya dan secara eksklusif didasarkan pada aṟam, the Istilah Tamil untuk dharma.: 55  Seperti komponen lain dari Puruṣārtha, konsep dharma adalah pan-India. Antonim dharma adalah adharma.

Nilai-nilai dharma dapat diterapkan dengan baik oleh siapapun, sedangkan nilai-nilai agama/kepercayaan hanya dapat diterapkan dengan baik oleh penganutnya masing masing.

Manu mengatakan:

DHARMA EVA HATO HANTI, Dharmo RAKSHATI RAKSHITAH

Artinya: Sebuah agama dimusnahkan/membunuh orang-orang tetapi akhirnya agama melindungi pengikutnya.

Dharma adalah kekal karena ia mampu membuat semua orang yang memiliki iman di dalamnya kekal dengan memberikan mereka pengetahuan utama. Untuk mendapatkan hal ini lebih baik, mari kita berpikir sedikit lebih dalam dan membandingkan negara yang berbeda, yang dulunya kekuatan super di beberapa titik waktu dalam sejarah. Yunani, Romawi, Suriah, Persia, Macedonia, Babilonia,Phoenician, Mesir adalah kerajaan kuat yang pernah memegang kekuasaan dalam sejarah manusia; namun tidak satupun dari mereka ada saat ini.

Dua kerajaan tersebut memiliki kekayaan segalanya, kekuasaan dan pasukan besar. Tapi mereka tidak memiliki kesadaran spiritual untuk mempertahankan dirinya sendiri untuk waktu yang lama. Dan bahwa kurangnya kapasitas tersebut menjadi penyebab pemusnahan mereka.

Tapi India atau Bali memang memiliki kapasitas seperti itu dan karenanya agamanya mengalami setiap serangan dan ada bahkan hari ini.

Tidak diragukan lagi, Dharma memainkan peran penting dalam menjaga budaya kita hidup.

Menurut definisi yang diberikan dalam tulisan suci:

DHAARNAAT DHARMAH

Arinya: Dharma adalah sesuatu yang harus ditanggung sepanjang waktu. Dengan demikian, itu adalah cara ampuh yang menyelamatkan kita dari bencana dan menyebabkan evolusi. Misalnya, Veda tidak hanya sarana untuk mencapai kenyamanan dalam dunia metafisik namun juga menunjukkan jalan menuju pengembangan secara keseluruhan dan kesejahteraan.

Dharma:
Dharma adalah semangat kemanusiaan.

Dharma adalah jantung untuk merasakan kemanusiaan.

Dharma adalah pemeriksa dan penyidik dari agama spiritual.

Dharma menyelidiki alasan untuk penciptaan.

Dharma menunjukkan hubungan antara peraturan dan regulator penciptaan.

Dharma membantu satu untuk introspeksi.

Dharma adalah budaya.

Dharma adalah pengetahuan.

Dharma adalah keberuntungan dan keselamatan.

Dharma memberikan keabadian.

Etimologi

Kata dharma berakar dari bahasa Sansekerta dhr-, yang berarti menahan atau menopang, dan berhubungan dengan bahasa Latin firmus (tegas, stabil).[21] Dari sini, ia mengambil arti "apa yang ditetapkan atau tegas", dan karenanya "hukum". Ini berasal dari bahasa Sanskerta Weda yang lebih tua n-batang dharman-, dengan arti harfiah "pembawa, pendukung", dalam pengertian agama yang dipahami sebagai aspek Rta.

Kata Prakerta "dha-ṃ-ma"/𑀥𑀁𑀫 (Sansekerta: Dharma ) dalam aksara Brahmi, seperti yang ditulis oleh Kaisar Ashoka dalam Edicts of Ashoka-nya (abad ke-3 SM).

Dalam Rigveda, kata tersebut muncul sebagai n-batang, dhárman-, dengan berbagai arti yang mencakup "sesuatu yang mapan atau kokoh" (dalam arti literal prods atau poles). Secara kiasan, itu berarti "pemelihara" dan "pendukung" (para dewa). Secara semantik mirip dengan themis Yunani ("dekret tetap, undang-undang, hukum").

Dalam bahasa Sanskerta Klasik, dan dalam bahasa Sanskerta Weda dari Atharvaveda, batangnya adalah tematik: dhárma- (Devanagari: ). Dalam Prakrit dan Pali, itu diterjemahkan sebagai dhamma. Dalam beberapa bahasa dan dialek India kontemporer, kata ini muncul sebagai dharma.

Pada abad ke-3 SM Kaisar Maurya Ashoka menerjemahkan dharma ke dalam bahasa Yunani dan Aram, ia menggunakan kata Yunani eusebeia (εὐσέβεια, kesalehan, kedewasaan spiritual, atau kesalehan) dalam Prasasti Batu Bilingual Kandahar dan Dekrit Yunani Kandahar.[22] Dalam Prasasti Batu Bilingual Kandahar ia menggunakan kata Aram (qšyṭ’; kebenaran, kebenaran).[23]

Definisi

Dharma adalah konsep yang sangat penting dalam filsafat dan agama India. Ini memiliki banyak arti dalam agama Hindu, Buddha, Sikhisme dan Jainisme.[24] Sulit untuk memberikan definisi tunggal yang ringkas untuk dharma, karena kata tersebut memiliki sejarah yang panjang dan beragam dan mengangkangi serangkaian makna dan interpretasi yang kompleks.[25] Tidak ada sinonim kata tunggal yang setara untuk dharma dalam bahasa barat.[26]

Ada banyak upaya yang saling bertentangan untuk menerjemahkan literatur Sanskerta kuno dengan kata dharma ke dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Prancis. Konsep, klaim Paul Horsch,[27] telah menyebabkan kesulitan luar biasa bagi komentator dan penerjemah modern. Sebagai contoh, ketika terjemahan Rig-Veda karya Grassmann[28] mengidentifikasi tujuh arti yang berbeda dari dharma, Karl Friedrich Geldner dalam terjemahannya dari Rig-Veda menggunakan 20 terjemahan berbeda untuk dharma, termasuk arti seperti "hukum", "aturan", "tugas", "adat", "kualitas", dan "model", antara lain.[29] Namun, kata dharma telah menjadi kata pinjaman yang diterima secara luas dalam bahasa Inggris, dan termasuk dalam semua kamus bahasa Inggris modern yang lengkap.

Akar kata dharma adalah "dhri", yang berarti "menopang, menahan, atau menanggung". Ini adalah hal yang mengatur jalannya perubahan dengan tidak berpartisipasi dalam perubahan, tetapi prinsip yang tetap konstan.[30] Monier-Williams, sumber yang banyak dikutip untuk definisi dan penjelasan kata-kata Sansekerta dan konsep Hinduisme, menawarkan[31] banyak definisi kata dharma, seperti yang ditetapkan atau tegas, ketetapan yang teguh, ketetapan, hukum, praktik, adat tugas, hak, keadilan, kebajikan, moralitas, etika, agama, pahala agama, perbuatan baik, alam, karakter, kualitas, properti. Namun, masing-masing definisi ini tidak lengkap, sementara kombinasi terjemahan ini tidak menyampaikan arti kata secara keseluruhan. Dalam bahasa umum, dharma berarti "cara hidup yang benar" dan "jalan kebenaran".[32]

Arti kata dharma tergantung pada konteksnya, dan maknanya telah berkembang seiring dengan berkembangnya ide-ide Hinduisme sepanjang sejarah. Dalam teks-teks paling awal dan mitos kuno Hinduisme, dharma berarti hukum kosmik, aturan yang menciptakan alam semesta dari kekacauan, serta ritual; di kemudian Weda, Upanishad, Purana dan Epos, artinya menjadi halus, lebih kaya, dan lebih kompleks, dan kata itu diterapkan pada konteks yang beragam.[33] Dalam konteks tertentu, dharma menunjuk perilaku manusia yang dianggap perlu untuk ketertiban di alam semesta, prinsip-prinsip yang mencegah kekacauan, perilaku dan tindakan yang diperlukan untuk semua kehidupan di alam, masyarakat, keluarga serta di tingkat individu.[34][35][36][37]Dharma mencakup gagasan-gagasan seperti tugas, hak, karakter, panggilan, agama, adat istiadat, dan semua perilaku yang dianggap pantas, benar, atau lurus secara moral.[38]

Antonim dari dharma adalah adharma (Sansekerta: ),[39] yang berarti "bukan dharma". Seperti halnya dharma, kata adharma mencakup dan menyiratkan banyak gagasan; dalam bahasa umum, adharma berarti sesuatu yang bertentangan dengan kodrat, tidak bermoral, tidak etis, salah atau melanggar hukum.[40]

Dalam agama Buddha, dharma menggabungkan ajaran dan doktrin pendiri agama Buddha, Sang Buddha.

Sejarah

Menurut Pandurang Vaman Kane, penulis buku otoritatif History of Dharmaśāstra, kata dharma muncul setidaknya lima puluh enam kali dalam himne Rigveda, sebagai kata sifat atau kata benda. Menurut Paul Horsch,[41] kata dharma berasal dari mitos Hinduisme Veda. Himne Rig Veda mengklaim Brahman[42] menciptakan alam semesta dari kekacauan, mereka memisahkan (dhar-) bumi dan matahari dan bintang-bintang, mereka mendukung (dhar-) langit menjauh dan berbeda dari bumi, dan mereka menstabilkan (dhar-) mengguncang gunung dan dataran.[43][44] Para dewa, terutama Indra, kemudian membebaskan dan menjaga ketertiban dari kekacauan, keselarasan dari kekacauan, stabilitas dari ketidakstabilan – tindakan-tindakan yang dibacakan dalam Veda dengan akar kata dharma.[45] Dalam himne yang disusun setelah syair-syair mitologis, kata dharma memiliki makna yang diperluas sebagai prinsip kosmik dan muncul dalam syair-syair yang tidak bergantung pada dewa. Ini berkembang menjadi sebuah konsep, klaim Paul Horsch,[46] yang memiliki arti fungsional dinamis di Atharvaveda misalnya, di mana ia menjadi hukum kosmik yang menghubungkan sebab dan akibat melalui subjek. Dharma, dalam teks-teks kuno ini, juga mengambil makna ritual. Ritual itu terhubung dengan kosmik, dan "dharmani" disamakan dengan pengabdian seremonial pada prinsip-prinsip yang digunakan para dewa untuk menciptakan keteraturan dari ketidakteraturan, dunia dari kekacauan[47]. Melewati ritual dan rasa kosmis dharma yang menghubungkan dunia saat ini dengan alam semesta mitos, konsep tersebut meluas ke pengertian etis-sosial yang menghubungkan manusia satu sama lain dan dengan bentuk kehidupan lainnya. Di sinilah dharma sebagai konsep hukum muncul dalam agama Hindu.[48][49]

Dharma dan kata-kata terkait ditemukan dalam literatur Veda tertua Hinduisme, di kemudian hari Weda, Upanishad, Purana, dan Epos; kata dharma juga memainkan peran sentral dalam literatur agama-agama India lainnya yang didirikan kemudian, seperti Buddhisme dan Jainisme.[50] Menurut Brereton,[51] Dharman muncul 63 kali dalam Rig-veda; Selain itu, kata-kata yang berhubungan dengan Dharma juga muncul dalam Rig-veda, misalnya sekali sebagai dharmakrt, 6 kali sebagai satyadharman, dan sekali sebagai dharmavant, 4 kali sebagai dharman dan dua kali sebagai dhariman.

Paralel Indo-Eropa untuk "dharma" diketahui, tetapi satu-satunya padanan Iran adalah "obat" darmān Persia Kuno, yang artinya agak dihilangkan dari dhárman Indo-Arya, yang menunjukkan bahwa kata "dharma" tidak memiliki peran utama pada periode Indo-Iran, dan pada prinsipnya dikembangkan baru-baru ini di bawah tradisi Veda. Namun, diperkirakan bahwa Daena Zoroastrianisme, juga berarti "Hukum abadi" atau "agama", terkait dengan "dharma" Sansekerta.[52]

Ide-ide di bagian yang tumpang tindih dengan Dharma ditemukan dalam budaya kuno lainnya: seperti Tao Cina, Maat Mesir, Me Sumeria.[53]

Eusebeia dan dharma

Prasasti Batu Bilingual Kandahar berasal dari Kaisar India Asoka pada tahun 258 SM, dan ditemukan di Afghanistan. Prasasti tersebut menerjemahkan kata dharma dalam bahasa Sansekerta sebagai eusebeia dalam bahasa Yunani, yang menunjukkan dharma di India kuno berarti kedewasaan spiritual, pengabdian, kesalehan, kewajiban terhadap dan penghormatan bagi komunitas manusia.[54]

Pada pertengahan abad ke-20, sebuah prasasti Kaisar India Asoka dari tahun 258 SM ditemukan di Afghanistan, Prasasti Batu Bilingual Kandahar. Prasasti batu ini berisi teks Yunani dan Aram. Menurut Paul Hacker,[55] di atas batu itu muncul terjemahan Yunani untuk kata Sansekerta dharma: kata eusebeia.[55] Sarjana Yunani Helenistik menjelaskan eusebeia sebagai konsep yang kompleks. Eusebia berarti tidak hanya untuk memuliakan dewa, tetapi juga kedewasaan spiritual, sikap hormat terhadap kehidupan, dan termasuk perilaku yang benar terhadap orang tua, saudara kandung dan anak-anak, perilaku yang benar antara suami dan istri, dan perilaku antara orang-orang yang tidak berhubungan secara biologis. Prasasti batu ini, menyimpulkan Paul Hacker,[55] menunjukkan dharma di India, sekitar 2300 tahun yang lalu, adalah konsep sentral dan tidak hanya berarti ide-ide keagamaan, tetapi ide-ide tentang benar, baik, tentang kewajiban seseorang terhadap komunitas manusia.[56]

Rta, maya dan dharma

Literatur Hinduisme yang berkembang menghubungkan dharma dengan dua konsep penting lainnya: Rta dan Māyā. Rta dalam Veda adalah kebenaran dan prinsip kosmik yang mengatur dan mengkoordinasikan bekerjanya alam semesta dan segala isinya.[57][58] Māyā dalam Rig-veda dan literatur selanjutnya berarti ilusi, penipuan, penipuan, sihir yang menyesatkan dan menciptakan ketidakteraturan,[59] dengan demikian bertentangan dengan kenyataan, hukum dan aturan yang membangun keteraturan, prediktabilitas, dan harmoni. Paul Horsch[60] menyarankan ta dan dharma adalah konsep paralel, yang pertama adalah prinsip kosmik, yang terakhir adalah lingkungan sosial moral; sedangkan Māyā dan dharma juga merupakan konsep yang berkorelasi, yang pertama adalah yang merusak hukum dan kehidupan moral, yang terakhir adalah yang memperkuat hukum dan kehidupan moral.[61][62]

Day mengusulkan dharma adalah manifestasi dari ta, tetapi menyarankan ta mungkin telah dimasukkan ke dalam konsep dharma yang lebih kompleks, sebagai ide yang dikembangkan di India kuno dari waktu ke waktu secara nonlinier.[63] Syair berikut dari Rigveda adalah contoh di mana rta dan dharma terkait:

O Indra, tuntunlah kami di jalan Rta, di jalan yang benar atas segala kejahatan...

— RV 10.133.6

Hinduisme

Dharma adalah prinsip pengorganisasian dalam agama Hindu yang berlaku untuk manusia dalam kesendirian, dalam interaksi mereka dengan manusia dan alam, serta antara benda mati, untuk semua kosmos dan bagian-bagiannya.[64]  Ini mengacu pada tatanan dan adat istiadat yang memungkinkan kehidupan dan alam semesta, dan mencakup perilaku, ritual, aturan yang mengatur masyarakat, dan etika.[65]  Dharma Hindu mencakup tugas-tugas keagamaan, hak dan kewajiban moral setiap individu, serta perilaku yang memungkinkan tatanan sosial, perilaku yang benar, dan yang bajik.[66]  Dharma, menurut Van Buitenen,[67] adalah apa yang harus diterima dan dihormati oleh semua makhluk yang ada untuk mempertahankan keharmonisan dan ketertiban di dunia. Bukan tindakan atau hasilnya, tetapi hukum alam yang memandu tindakan dan menciptakan hasil untuk mencegah kekacauan di dunia. Ini adalah karakteristik bawaan, yang membuat makhluk menjadi apa adanya. Ini adalah, klaim Van Buitenen, pengejaran dan eksekusi sifat dan panggilan sejati seseorang, sehingga memainkan peran seseorang dalam konser kosmik. Dalam agama Hindu, adalah dharma lebah untuk membuat madu, sapi untuk memberi susu, matahari untuk memancarkan sinar matahari, sungai untuk mengalir.[67]  Dalam hal kemanusiaan, dharma adalah kebutuhan akan, efek dari dan esensi pelayanan dan keterkaitan semua kehidupan.[68][69]

Dalam esensi sejatinya, dharma berarti bagi seorang Hindu untuk "memperluas pikiran". Selain itu, ini mewakili hubungan langsung antara individu dan fenomena masyarakat yang mengikat masyarakat bersama-sama. Dalam cara fenomena sosial mempengaruhi hati nurani individu, demikian pula tindakan individu dapat mengubah jalannya masyarakat, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ini telah secara halus digaungkan oleh kredo धर्मो धारयति प्रजा: artinya dharma adalah yang memegang dan memberikan dukungan kepada tatanan sosial.

Dalam agama Hindu, dharma umumnya mencakup berbagai aspek:

  • Sanātana Dharma, prinsip dharma yang abadi dan tidak berubah.[70]
  • Varṇ āśramā dharma, tugas seseorang pada tahap kehidupan tertentu atau tugas yang melekat.
  • Sav dharma, tugas individu atau pribadi seseorang.[71][72]
  • Āpad dharma, dharma yang ditentukan pada saat kemalangan.[72]
  • Sadharana dharma, tugas moral terlepas dari tahapan kehidupan.[73]
  • Yuga dharma, dharma yang berlaku untuk yuga, zaman atau zaman yang ditetapkan oleh tradisi Hindu dan dengan demikian dapat berubah pada akhir zamannya.[74][75]

Dalam Veda dan Upanishad

Bagian sejarah artikel ini membahas perkembangan konsep dharma dalam Veda. Perkembangan ini berlanjut di Upanishad dan kemudian aksara kuno Hindu. Dalam Upanishad, konsep dharma berlanjut sebagai prinsip universal hukum, ketertiban, harmoni, dan kebenaran.[76][77] Ini bertindak sebagai prinsip moral pengaturan Alam Semesta. Ini dijelaskan sebagai hukum kebenaran dan disamakan dengan satya (Sanskerta: सत्यं, kebenaran), dalam himne 1.4.14 dari Brhadaranyaka Upanishad, sebagai berikut:

धर्मः तस्माद्धर्मात् परं नास्त्य् अथो अबलीयान् बलीयाँसमाशँसते धर्मेण यथा राज्ञैवम् ।

यो वै स धर्मः सत्यं वै तत् तस्मात्सत्यं वदन्तमाहुर् धर्मं वदतीति धर्मं वा वदन्तँ सत्यं वदतीत्य् एतद्ध्येवैतदुभयं भवति ।।

Tidak ada yang lebih tinggi dari dharma. Yang lemah mengalahkan yang lebih kuat dengan dharma, seperti di atas seorang raja. Sungguh dharma itu adalah Kebenaran (Satya); Oleh karena itu, ketika seseorang berbicara kebenaran, mereka berkata, "Dia berbicara dharma"; dan jika dia berbicara Dharma, mereka berkata, "Dia berbicara tentang Kebenaran!" Karena keduanya adalah satu.

- Bhriadaranyaka Upanishad, 1.4.xiv[78][79]

Dalam Epos

Agama dan filsafat Hindu, klaim Daniel Ingalls,[80] menempatkan penekanan utama pada moralitas praktis individu. Dalam epos Sansekerta, kekhawatiran ini ada di mana-mana.

Dalam Kitab Ramayana Kedua, misalnya, seorang petani meminta Raja untuk melakukan apa yang dituntut dharma secara moral darinya, Raja setuju dan melakukannya meskipun kepatuhannya terhadap hukum dharma sangat merugikannya. Demikian pula, dharma adalah pusat dari semua peristiwa besar dalam kehidupan Rama, Sita, dan Lakshman di Ramayana, klaim Daniel Ingalls.[81]  Setiap episode Ramayana menyajikan situasi kehidupan dan pertanyaan etis dalam istilah simbolis. Masalah ini diperdebatkan oleh karakter, akhirnya yang benar menang atas yang salah, yang baik atas yang jahat. Untuk alasan ini, dalam Epos Hindu, raja yang baik, jujur secara moral, dan taat hukum disebut sebagai "dharmaraja".[82]

Dalam Mahabharata, epos utama India lainnya, demikian pula, dharma adalah pusat, dan disajikan dengan simbolisme dan metafora. Menjelang akhir epik, dewa Yama, yang disebut sebagai dharma[83] dalam teks, digambarkan mengambil bentuk seekor anjing untuk menguji belas kasih Yudhishthira, yang diberitahu bahwa dia mungkin tidak memasuki surga dengan binatang seperti itu, tetapi menolak untuk meninggalkan temannya, untuk keputusan itu dia kemudian dipuji oleh dharma.  Nilai dan daya tarik Mahabharata tidak sebanyak dalam penyajian metafisika yang kompleks dan terburu-buru dalam buku ke-12, klaim Ingalls,[84] karena metafisika India lebih fasih disajikan dalam kitab suci Sansekerta lainnya; daya tarik Mahabharata, seperti Ramayana, adalah dalam penyajiannya tentang serangkaian masalah moral dan situasi kehidupan, di mana biasanya ada tiga jawaban yang diberikan, menurut Ingalls: satu jawaban adalah dari Bhima, yang merupakan jawaban dari kekerasan, sudut pandang individu yang mewakili materialisme, egoisme, dan diri; jawaban kedua adalah tentang Yudhishthira, yang selalu merupakan daya tarik bagi kesalehan dan dewa-dewa, kebajikan sosial dan tradisi; jawaban ketiga adalah Arjuna introspektif, yang berada di antara dua ekstrem, dan yang, klaim Ingalls, secara simbolis mengungkapkan kualitas moral terbaik manusia. Epos Hindu adalah risalah simbolis tentang kehidupan, kebajikan, adat istiadat, moral, etika, hukum, dan aspek dharma[85] lainnya.  Ada diskusi ekstensif tentang dharma pada tingkat individu dalam Epos Hindu, mengamati Ingalls; misalnya, pada kehendak bebas versus takdir, kapan dan mengapa manusia percaya pada keduanya, pada akhirnya menyimpulkan bahwa yang kuat dan makmur secara alami menjunjung tinggi kehendak bebas, sementara mereka yang menghadapi kesedihan atau frustrasi secara alami condong ke arah takdir.[86]  Epos Hinduisme menggambarkan berbagai aspek dharma, mereka adalah sarana untuk mengkomunikasikan dharma dengan metafora.[87]

Menurut Klaus Klostermaier, sarjana Hindu abad ke-4 M Vātsyāyana menjelaskan dharma dengan membandingkannya dengan adharma.[88]  Vātsyāyana mengemukakan bahwa dharma tidak hanya dalam tindakan seseorang, tetapi juga dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis seseorang, dan dalam pikiran. Menurut Vātsyāyana:[88][89]

  1. Adharma tubuh: hinsa (kekerasan), steya (mencuri, mencuri), pratisiddha maithuna (kesenangan seksual dengan orang lain selain pasangannya)
  2. Dharma tubuh: dana (amal), paritasrana (succor of the distressed) dan paricarana (memberikan pelayanan kepada orang lain)
  3. Adharma dari kata-kata yang diucapkan atau ditulis seseorang: mithya (kepalsuan), parusa (pembicaraan kaustik), sucana (calumny) dan asambaddha (pembicaraan absurd)
  4. Dharma dari kata-kata yang diucapkan atau ditulis seseorang: satya (kebenaran dan fakta), hitavacana (berbicara dengan niat baik), priyavacana (lembut, bicara baik), svadhyaya (belajar mandiri)
  5. Adharma pikiran: paradroha (niat buruk kepada siapa pun), paradravyabhipsa (ketamakan), nastikya (penyangkalan terhadap keberadaan moral dan religiusitas)
  6. Dharma pikiran: daya (welas asih), asprha (ketidaktertarikan), dan sraddha (iman pada orang lain)

Dalam Sutra Yoga Patanjali dharma itu nyata; di Vedanta itu tidak nyata.[90]

Dharma adalah bagian dari yoga, saran Patanjali; unsur-unsur dharma Hindu adalah sifat, kualitas, dan aspek yoga.[90]  Patanjali menjelaskan dharma dalam dua kategori: yamas (pengekangan) dan niyama (ketaatan).[91]

Kelima yamas tersebut, menurut Patanjali, adalah: menjauhkan diri dari cedera pada semua makhluk hidup, menjauhkan diri dari kepalsuan (satya), menjauhkan diri dari perampasan hal-hal yang tidak sah dari hal-hal yang bernilai dari yang lain (acastrapurvaka), menjauhkan diri dari mendambakan atau selingkuh secara seksual pada pasangan Anda, dan menjauhkan diri dari mengharapkan atau menerima hadiah dari orang lain.[92]  Kelima yama berlaku dalam tindakan, ucapan, dan pikiran. Dalam menjelaskan yama, Patanjali menjelaskan bahwa profesi dan situasi tertentu mungkin memerlukan kualifikasi dalam perilaku. Misalnya, seorang nelayan harus melukai seekor ikan, tetapi ia harus berusaha melakukan ini dengan sedikit trauma pada ikan dan nelayan harus mencoba melukai tidak ada makhluk lain saat ia memancing.[93]

Kelima niyama (ketaatan) adalah kebersihan dengan makan makanan murni dan menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak murni (seperti kesombongan atau kecemburuan atau kesombongan), kepuasan dalam cara seseorang, meditasi dan refleksi diam terlepas dari keadaan yang dihadapi seseorang, belajar dan mengejar pengetahuan sejarah, dan pengabdian semua tindakan kepada Guru Tertinggi untuk mencapai kesempurnaan konsentrasi.[94]

Sumber

Dharma adalah penyelidikan empiris dan pengalaman bagi setiap pria dan wanita, menurut beberapa naskah agama Hindu.[95]  Misalnya, Apastamba Dharmasutra menyatakan:

Dharma dan Adharma tidak berkeliling mengatakan, "Itu adalah kita." Dewa, atau gandharva, atau leluhur tidak menyatakan apa itu Dharma dan apa itu Adharma.[96] - Apastamba Dharmasutra[97]

Dalam teks-teks lain, tiga sumber dan sarana untuk menemukan dharma dalam agama Hindu dijelaskan. Ini, menurut Paul Hacker, adalah:[98] Pertama, mempelajari pengetahuan sejarah seperti Veda, Upanishad, Epos dan literatur Sansekerta lainnya dengan bantuan guru seseorang. Kedua, mengamati perilaku dan teladan orang baik. Sumber ketiga berlaku ketika pendidikan seseorang maupun contoh perilaku teladan tidak diketahui. Dalam hal ini, "atmatusti" adalah sumber dharma dalam agama Hindu, yaitu orang baik merefleksikan dan mengikuti apa yang memuaskan hatinya, perasaan batinnya sendiri, apa yang dia rasa terdorong.[99]

Dharma, tahap kehidupan, dan stratifikasi sosial

Beberapa teks Agama Hindu menguraikan dharma bagi masyarakat dan pada tingkat individu. Dari jumlah tersebut, yang paling banyak dikutip adalah Manusmriti, yang menggambarkan keempat Varnas, hak dan kewajiban mereka.[100]  Namun, sebagian besar teks Hindu membahas dharma tanpa menyebutkan Varna (kasta).[101]  Naskah dharma dan Smritis lainnya berbeda dari Manusmriti tentang sifat dan struktur Varnas.[100]  Namun, teks-teks lain mempertanyakan keberadaan varna. Bhrigu, dalam Epos, misalnya, menyajikan teori bahwa dharma tidak memerlukan varnas.[102]  Dalam praktiknya, India abad pertengahan secara luas diyakini sebagai masyarakat yang bertingkat secara sosial, dengan setiap strata sosial mewarisi profesi dan menjadi endogami. Varna tidak mutlak dalam dharma Hindu; individu memiliki hak untuk meninggalkan dan meninggalkan Varna mereka, serta asrama kehidupan mereka, untuk mencari moksa.[100][103]  Sementara baik Manusmriti maupun Smritis hinduisme yang menggantikan tidak pernah menggunakan kata varnadharma (yaitu, dharma varnas), atau varnasramadharma (yaitu, dharma varnas dan asrama), komentar ilmiah tentang Manusmriti menggunakan kata-kata ini, dan dengan demikian mengaitkan dharma dengan sistem varna India.[100][104]  Di India abad ke-6, bahkan raja-raja Buddha menyebut diri mereka "pelindung varnasramadharma" – yaitu dharma varna dan asrama kehidupan.[100][105]

Lihat pula

  1. ^ Wells, J. C. (2008). Longman pronunciation dictionary (edisi ke-3rd ed). Harlow, England: Pearson Education Limited/Longman. ISBN 1-4058-8118-6. OCLC 213400485. 
  2. ^ "Dodge, John Vilas, (25 Sept. 1909–23 April 1991), Senior Editorial Consultant, Encyclopædia Britannica, since 1972; Chairman, Board of Editors, Encyclopædia Britannica Publishers, since 1977". Who Was Who. Oxford University Press. 2007-12-01. 
  3. ^ The Blackwell companion to Hinduism. Gavin D. Flood. Malden, MA: Blackwell Pub. 2003. ISBN 0-631-21535-2. OCLC 49875064. 
  4. ^ Grimes, Deanna E.; Grimes, Richard M. (1996-03). "Reply". Nursing Outlook. 44 (2): 103–104. doi:10.1016/s0029-6554(96)80062-5. ISSN 0029-6554. 
  5. ^ dx.doi.org http://dx.doi.org/10.17658/issn.2058-5462/issue-19/conversation/figure17. Diakses tanggal 2022-08-11.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  6. ^ Gavin Flood (1994), Hinduisme, dalam Jean Holm, John Bowker (Editor) – Rites of Passages, {{ISBN|1-85567-102-6} }, Bagian 3; Kutipan – "Ritus peralihan adalah dharma dalam tindakan."; "Ritus peralihan, kategori ritual,..."
  7. ^ lihat:
    • David Frawley (2009), Yoga dan Ayurveda: Penyembuhan Diri dan Realisasi Diri, ISBN 978-0-9149-5581-8; Kutipan – "Yoga adalah pendekatan dharma untuk kehidupan spiritual...";
    • Mark Harvey (1986), The Secular as Sacred?, Modern Asian Studies, 20(2), hlm. 321–331.
  8. ^ lihat di bawah:
    • J. A. B. van Buitenen (1957), "Dharma dan Moksa", Filsafat Timur dan Barat, 7(1/2), hlm. 33–40;
    • James Fitzgerald (2004), "Dharma and its Translation in the Mahābhārata", Journal of Indian Philosophy, 32(5), hlm. 671–685; Kutipan – "kebajikan memasuki topik umum dharma sebagai 'umum, atau umum, dharma', ..."
  9. ^ Bernard S. Jackson (1975), "Dari dharma ke hukum", The American Journal of Comparative Law, Vol. 23, No. 3 (Musim Panas, 1975), hlm. 490–512.
  10. ^ Harold Coward (2004), "bioetika Hindu untuk abad kedua puluh satu", JAMA: The Journal of American Medical Association' ', 291(22), hlm. 2759–2760; Quote – "Pendekatan tahapan kehidupan Hindu (ashrama dharma)..."
  11. ^ lihat:
    • Austin Creel (1975), "Pemeriksaan Ulang Dharma dalam Etika Hindu", Filsafat Timur dan Barat, 25(2), hlm. 161-173; Kutipan – "Dharma menunjuk pada tugas, dan tugas tertentu ..";
    • Gisela Trommsdorff (2012), Pengembangan regulasi "agen" dalam konteks budaya: peran pandangan diri dan dunia, Perspektif Perkembangan Anak, 6(1), hlm. 19–26.; Kutipan – "Mengabaikan tugas seseorang (dharma – tugas suci terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan kemanusiaan) dipandang sebagai indikator ketidakdewasaan."
  12. ^ "The Concise Oxford Dictionary of World Religions". 2000-01-01. doi:10.1093/acref/9780192800947.001.0001. 
  13. ^ Columbia Electronic Encyclopedia, 6th Edition. EBSCO: Columbia University Press. 2020. ISBN 978-0-7876-5015-5. OCLC 1149280662. 
  14. ^ a b Hoffman, Frank J. (1988-12). "David J. Kalupahana. Nagarjuna: The Philosophy of the Middle Way. Pp. 412. (New York: State University of New York Press, 1986.) SUNY Series in Buddhist Studies. $16.95 (paper); $49.50 (cloth). - David J. Kalupahana. The Principles of Buddhist Psychology. Pp. 236.(New York: State University of New York Press, 1987.) SUNY Series in Buddhist Studies. $12.95 (paper); $39.50 (cloth)". Religious Studies. 24 (4): 529–533. doi:10.1017/s0034412500019594. ISSN 0034-4125. 
  15. ^ a b Pp. Routledge. 2014-11-27. hlm. 574–626. 
  16. ^ "The Concise Oxford Dictionary of World Religions". 2000-01-01. doi:10.1093/acref/9780192800947.001.0001. 
  17. ^ "The Concise Oxford Dictionary of World Religions". 2000-01-01. doi:10.1093/acref/9780192800947.001.0001. 
  18. ^ The Oxford handbook of Sikh studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech. Oxford. 2016. ISBN 0-19-969930-5. OCLC 874522334. 
  19. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  20. ^ Xaveir, D.Antony; Thomas, Elizabeth; Mathew, Deepa; Theresal, Santiagu (2019-10-30). "On the Strong Monophonic Number of a Graph". International Journal of Engineering and Advanced Technology. 9 (1): 1421–1425. doi:10.35940/ijeat.a1231.109119. ISSN 2249-8958. 
  21. ^ Algeo, John; Barnhart, Robert K.; Steinmetz, Sol (1989-12). "The Barnhart Dictionary of Etymology". Language. 65 (4): 848. doi:10.2307/414944. ISSN 0097-8507. 
  22. ^ Middleton, Hugh (2015). The Medical Model: What Is It, Where Did It Come from and How Long Has It Got?. London: Palgrave Macmillan UK. hlm. 29–40. ISBN 978-1-349-49879-6. 
  23. ^ Hiltebeitel, Alf (2011). Dharma : its early history in law, religion, and narrative. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-539423-8. OCLC 650019987. 
  24. ^ "Dodge, John Vilas, (25 Sept. 1909–23 April 1991), Senior Editorial Consultant, Encyclopædia Britannica, since 1972; Chairman, Board of Editors, Encyclopædia Britannica Publishers, since 1977". Who Was Who. Oxford University Press. 2007-12-01. 
  25. ^ Buitenen, J. A. B. Van (1957-04). "Dharma and Moksa". Philosophy East and West. 7 (1/2): 33. doi:10.2307/1396832. ISSN 0031-8221. 
  26. ^ The Blackwell companion to Hinduism. Gavin D. Flood. Malden, MA: Blackwell Pub. 2003. ISBN 0-631-21535-2. OCLC 49875064. 
  27. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  28. ^ Grassmann, Hermann (1999). Wörterbuch zum Rig-Veda (edisi ke-1st Indian ed). Delhi: Motilal Banarsidass. ISBN 81-208-1636-6. OCLC 42610762. 
  29. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  30. ^ Rosen, Steven (2006). Essential Hinduism. Westport, Conn.: Praeger. ISBN 0-275-99006-0. OCLC 70775665. 
  31. ^ Monier-Williams, Monier, Sir (1999). A Sanskrit-English dictionary : etymological and philologically arranged with special reference to cognate Indo-European languages. Ernst Leumann, Carl Cappeller (edisi ke-AES reprint). New Delhi: Asian Educational Services. ISBN 81-206-0369-9. OCLC 42716868. 
  32. ^ Rosen, Steven (2006). Essential Hinduism. Westport, Conn.: Praeger. ISBN 0-275-99006-0. OCLC 70775665. 
  33. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  34. ^ "The Concise Oxford Dictionary of World Religions". 2000-01-01. doi:10.1093/acref/9780192800947.001.0001. 
  35. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  36. ^ "The Concise Oxford Dictionary of World Religions". 2000-01-01. doi:10.1093/acref/9780192800947.001.0001. 
  37. ^ "The Concise Oxford Dictionary of World Religions". 2000-01-01. doi:10.1093/acref/9780192800947.001.0001. 
  38. ^ The Concept of duty in South Asia. Wendy Doniger, J. Duncan M. Derrett. New Delhi: Vikas Pub. House. 1977. ISBN 0-7069-0534-2. OCLC 4314257. 
  39. ^ A Sanskrit-English Dictionary pages 146 to 287. Cambridge University Press. 2009-11-26. hlm. 146–287. 
  40. ^ Themes and issues in Hinduism. Paul Reid-Bowen. London: Cassell. 1998. ISBN 0-304-33850-8. OCLC 36746459. 
  41. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  42. ^ Grassmann, Hermann (1999). Wörterbuch zum Rig-Veda (edisi ke-1st Indian ed). Delhi: Motilal Banarsidass. ISBN 81-208-1636-6. OCLC 42610762. 
  43. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  44. ^ Keith, A. Berriedale (1910-07). "Der Rigveda im Auswahl. (Erster Teil, Glossar; Zweiter Teil, Kommentar.) By Karl F. Geldner. Stuttgart, 1907 and 1909". Journal of the Royal Asiatic Society. 42 (3): 921–930. doi:10.1017/s0035869x00040363. ISSN 1356-1863. 
  45. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  46. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  47. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  48. ^ A. Aus dem Ṛig-Veda. De Gruyter. 1887-12-31. hlm. 1–40. 
  49. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  50. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  51. ^ Parliament that has inherited its power from the monarch, and in the body of the monarch itself which contains the promises of both God and people. Today, law also finds its sources in the legislative acts of the European Community and the decisions of the European Court of Justice and the European Court of Human Rights (religion will often refer to a sacred text). All our understanding is reducible to the ability to comprehend the expansiveness and limits of our language and the cultural boundedness of our language. It was Edward Sapir who most poignantly maintained that the limits of our language are the limits of our world. Over the years of socialisation, ‘ways of seeing’ are developed that are socially constructed by the limits of a particular language. Yet, as language is all around, there is a temptation to see it as a neutral tool, a mirror that tells it ‘like it is’. All language does is to give someone else’s interpretation of their belief, or their experience. It is no more, and no less, than a guide to social reality. What is seen as, or believed to be, the real world may be no more than the language habits of the group. It is, therefore, often a biased view. Languages also have their limits: if language does not have a word for something or some concept then that ‘something’ will not be seen nor that ‘concept’ thought. All language is, however, responsive to what linguists call the ‘felt needs’ of its speakers. Indeed, it is more likely that not only are thoughts expressed in words but that thoughts themselves are shaped by language. An example of felt needs can be given from the vocabulary of weather. Although the English are often said to enjoy talking about the weather, for many decades our essentially mild climate has provided us with the need for only one word for ‘snow’ (that word is ‘snow’!). In English there are several words for cold, but only one word for ice. By contrast, the Aztecs living in the tropics have only one word to cover ‘snow’, ‘ice’ and ‘cold’ as separate words were unlikely to be used. As English speakers, it is impossible to state that ‘cold’ is synonymous with snow. Coldness is a characteristic of snow, but there can be ‘cold’ without ‘snow’. We would not be able to understand how snow and ice could be interchangeable. In English it is not possible for these two words to become synonyms. However, Inuits have many different words for ‘snow’. Words describe it falling, lying, drifting, packing, as well as the language containing many words for wind, ice and cold because much of their year is spent living with snow, ice, wind and cold. The above is one small illustration of the relationship between living, seeing, naming, language and thought. Language habits predispose certain choices of word. Words we use daily reflect our cultural understanding and at the same time transmit it to others, even to the next generation. Words by themselves are not oppressive or pejorative, but they acquire a morality or subliminal meaning of their own. A sensitivity to language usage therefore can be most revealing of the views of the speaker. For example, when parents or teachers tell a boy not to cry because it is not manly, or praise a girl for her feminine way of dressing, they are using the words for manly and feminine to reinforce attitudes and categories that English culture has assigned to males and females. Innocent repetition of such language as ‘everyday, taken-for-granted’ knowledge reinforces sexism in language and in society. In this way language determines social behaviour. Language, as a means of communication, becomes not only the expression of culture but a part of it. The. Routledge-Cavendish. 2012-09-10. hlm. 24–24. ISBN 978-1-84314-510-3. 
  52. ^ Morreall, John (2011). The Religion Toolkit A Complete Guide to Religious Studies. Tamara Sonn (edisi ke-1., Auflage). New York, NY. ISBN 978-1-4443-4370-0. OCLC 899182057. 
  53. ^ Rosen, Steven (2006). Essential Hinduism. Westport, Conn.: Praeger. ISBN 0-275-99006-0. OCLC 70775665. 
  54. ^ Hacker, Paul (2006-07-26). "Dharma in Hinduism". Journal of Indian Philosophy. 34 (5): 479–496. doi:10.1007/s10781-006-9002-4. ISSN 0022-1791. 
  55. ^ a b c Hacker, Paul (2006-07-26). "Dharma in Hinduism". Journal of Indian Philosophy. 34 (5): 479–496. doi:10.1007/s10781-006-9002-4. ISSN 0022-1791. 
  56. ^ Wigan, B. (1950-04-01). "An Early Euchologion. By C. H. Roberts and Dom B. Capelle Pp. 72 + 6 plates (Bibliotheque du Museon, vol. 23), Louvain, 1949". The Journal of Theological Studies. I (1): 113–114. doi:10.1093/jts/i.1.113. ISSN 0022-5185. 
  57. ^ The Hindu world. Sushil Mittal, Gene R. Thursby. London: Routledge. 2004. ISBN 0-203-64470-0. OCLC 252740963. 
  58. ^ Koller, John M. (1972-04). "Dharma: An Expression of Universal Order". Philosophy East and West. 22 (2): 131. doi:10.2307/1398120. ISSN 0031-8221. 
  59. ^ Monier-Williams, Monier, Sir (1999). A Sanskrit-English dictionary : etymological and philologically arranged with special reference to cognate Indo-European languages. Ernst Leumann, Carl Cappeller (edisi ke-AES reprint). New Delhi: Asian Educational Services. ISBN 81-206-0369-9. OCLC 42716868. 
  60. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  61. ^ Koller, John M. (1972-04). "Dharma: An Expression of Universal Order". Philosophy East and West. 22 (2): 131. doi:10.2307/1398120. ISSN 0031-8221. 
  62. ^ Northrop, F. S. C. (1950-12). "Naturalistic and Cultural Foundations for a More Effective International Law". The Yale Law Journal. 59 (8): 1430. doi:10.2307/793537. ISSN 0044-0094. 
  63. ^ Day, L.E. (1982). SYSTEMS ENGINEERING CHALLENGES OF THE SPACE SHUTTLE. Elsevier. hlm. 23–42. 
  64. ^ Rosen, Steven (2006). Essential Hinduism. Westport, Conn.: Praeger. ISBN 0-275-99006-0. OCLC 70775665. 
  65. ^ "The Concise Oxford Dictionary of World Religions". 2000-01-01. doi:10.1093/acref/9780192800947.001.0001. 
  66. ^ Columbia Electronic Encyclopedia, 6th Edition. EBSCO: Columbia University Press. 2020. ISBN 978-0-7876-5015-5. OCLC 1149280662. 
  67. ^ a b Buitenen, J. A. B. Van (1957-04). "Dharma and Moksa". Philosophy East and West. 7 (1/2): 33. doi:10.2307/1396832. ISSN 0031-8221. 
  68. ^ Rosen, Steven (2006). Essential Hinduism. Westport, Conn.: Praeger. ISBN 0-275-99006-0. OCLC 70775665. 
  69. ^ Hacker, Paul (2006-07-26). "Dharma in Hinduism". Journal of Indian Philosophy. 34 (5): 479–496. doi:10.1007/s10781-006-9002-4. ISSN 0022-1791. 
  70. ^ dx.doi.org http://dx.doi.org/10.17658/issn.2058-5462/issue-19/conversation/figure17. Diakses tanggal 2022-09-12.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  71. ^ Wood, Robert E. (2015). "Hegel, by J. M. Fritzman". Teaching Philosophy. 38 (1): 139–143. doi:10.5840/teachphil20153819. ISSN 0145-5788. 
  72. ^ a b Grimes, Deanna E.; Grimes, Richard M. (1996-03). "Reply". Nursing Outlook. 44 (2): 103–104. doi:10.1016/s0029-6554(96)80062-5. ISSN 0029-6554. 
  73. ^ Choudhury, Asim Kumar Roy (2020-08-03). "Flame Retardants for Textile Materials". doi:10.1201/9780429032318. 
  74. ^ dx.doi.org http://dx.doi.org/10.17658/issn.2058-5462/issue-19/conversation/figure17. Diakses tanggal 2022-09-12.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  75. ^ Howorka, Kinga (1996). Hyperglycemia. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 112–113. ISBN 978-3-540-60352-8. 
  76. ^ The Mukhya Upanishads : books of hidden wisdom. Charles Johnston. ISBN 9781495946530. OCLC 900618002. 
  77. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  78. ^ The Mukhya Upanishads : books of hidden wisdom. Charles Johnston (edisi ke-1st edition). [United States]. 2014. ISBN 978-1-4959-4653-0. OCLC 900618002. 
  79. ^ Horsch, Paul (2004-12). "From Creation Myth to World Law: the Early History of Dharma". Journal of Indian Philosophy. 32 (5-6): 423–448. doi:10.1007/s10781-004-8628-3. ISSN 0022-1791. 
  80. ^ Ingalls, Daniel H. H. (1957-04). "Dharma and Moksa". Philosophy East and West. 7 (1/2): 41. doi:10.2307/1396833. ISSN 0031-8221. 
  81. ^ Ingalls, Daniel H. H. (1957-04). "Dharma and Moksa". Philosophy East and West. 7 (1/2): 41. doi:10.2307/1396833. ISSN 0031-8221. 
  82. ^ Fitzgerald, James L.; Fitzgerald, James L. (2004). The Mahabharata, Volume 7: Book 11: The Book of the Women Book 12. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-25250-6. 
  83. ^ Doniger, Wendy (2022-08-12). Book Seventeen, Mahaprasthanika Parvan, The Book of the Great Departure. Oxford University Press. hlm. 129–C3.N50. 
  84. ^ Ingalls, Daniel H. H. (1957-04). "Dharma and Moksa". Philosophy East and West. 7 (1/2): 41. doi:10.2307/1396833. ISSN 0031-8221. 
  85. ^ Meyer, Johann Jakob (1971). Sexual life in ancient India : a study in the comparative history of Indian culture (edisi ke-1st Indian ed). Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Ltd. ISBN 978-81-208-0638-2. OCLC 27729284. 
  86. ^ motion, the latter being Elizabeth’s sole prerogative. faith vnto your force’. But faith in what? and whose In fashioning courtesy, for example, he is seeking to faith? We are never told, but the effect of her cry, fashion her courtiers; see ‘courtesy as a social code’ as Kane 1989:34 notes, affirms the general promise in the SEnc. More subversively, his poem challenges of the homilies that ‘true faith doth give life to the doctrinal claims of God’s grace at a time when, as works’. When the knight is freed from Orgoglio’s Gless 1994:37 notes, ‘the Protestant refusal to con-dungeon by Arthur, we may infer that he is re-cede that men might achieve meritorious works deemed by God’s grace, but the poem shows Arthur expresses a conviction that true virtue lies beyond the descending into the dungeon to rend its iron door reach of human capacity’. (He cites Bullinger, for and laboriously lift him up. When Fidelia teaches him whom one chief aim of the Reformation was to ‘Of God, of grace, of iustice, of free will’, we are not propagate the doctrine that belief in human merit is told what she says. The most theologically contro-the most insidiously corrupting error promoted by versial word in Book I – inescapable because predes-Roman Catholicism; for counter-claims, see Mallette tination was reformed theology’s central doctrine 1997:173–74.) Spenser wraps himself and his poem (see ‘Predestination’ in the SEnc) – occurs when Una in the Queen’s robes because he needed her protec-tells him not to despair of salvation because he is tion to speak through her. ‘chosen’. We may infer that he is among God’s elect predestined to salvation, but the poem tells us only Holiness: Book I. Routledge. 2014-06-11. hlm. 30–30. ISBN 978-1-315-83469-6. 
  87. ^ Smith, Huston ([2009?]). The world's religions. Huston Smith (edisi ke-50th anniversary edition). [New York, NY]. ISBN 978-0-06-166018-4. OCLC 900542876. 
  88. ^ a b Klostermaier, Klaus K. (1989). A survey of Hinduism. Albany, N.Y.: State University of New York Press. ISBN 0-88706-807-3. OCLC 17108707. 
  89. ^ B., E.; Burton, Richard S. (1963-04). "The Kama-Sutra of Vatsyayana". Journal of the American Oriental Society. 83 (2): 279. doi:10.2307/598402. ISSN 0003-0279. 
  90. ^ a b Buffet, Edward P.; Woods, James Haughton; Lanman, Charles Rockwell (1916-12-21). "The Yoga-System of Patanjali, or the Ancient Hindu Doctrine of Concentration of Mind, Embracing the Mnemonic Rules, Called Yoga-Sutras, of Patanjali, and the Comment, Called Yoga-Bhashya, Attributed to Veda-Vyasa, and the Explanation, Called Tattva-Vaicaradi of Vachaspati-Micra". The Journal of Philosophy, Psychology and Scientific Methods. 13 (26): 743. doi:10.2307/2012325. ISSN 0160-9335. 
  91. ^ Klostermaier, Klaus K. (1989). A survey of Hinduism. Albany, N.Y.: State University of New York Press. ISBN 0-88706-807-3. OCLC 17108707. 
  92. ^ "The Yoga-System of Patanjali. James Haughton Woods". Isis. 4 (1): 60–61. 1921-05. doi:10.1086/357991. ISSN 0021-1753. 
  93. ^ "The Yoga-System of Patanjali. James Haughton Woods". Isis. 4 (1): 60–61. 1921-05. doi:10.1086/357991. ISSN 0021-1753. 
  94. ^ "The Yoga-System of Patanjali. James Haughton Woods". Isis. 4 (1): 60–61. 1921-05. doi:10.1086/357991. ISSN 0021-1753. 
  95. ^ Hacker, Paul (2006-07-26). "Dharma in Hinduism". Journal of Indian Philosophy. 34 (5): 479–496. doi:10.1007/s10781-006-9002-4. ISSN 0022-1791. 
  96. ^ Hatcher, Brian A. (2001-08). "Dharmasūtras: The Law Codes of Ancient India. Translated by Patrick Olivelle. Oxford World's Classics. New York: Oxford University Press, 1999. xlvi, 434 pp. $12.95 (paper)". The Journal of Asian Studies. 60 (3): 905–906. doi:10.2307/2700162. ISSN 0021-9118. 
  97. ^ Hatcher, Brian A. (2001-08). "Dharmasūtras: The Law Codes of Ancient India. Translated by Patrick Olivelle. Oxford World's Classics. New York: Oxford University Press, 1999. xlvi, 434 pp. $12.95 (paper)". The Journal of Asian Studies. 60 (3): 905–906. doi:10.2307/2700162. ISSN 0021-9118. 
  98. ^ Hacker, Paul (2006-07-26). "Dharma in Hinduism". Journal of Indian Philosophy. 34 (5): 479–496. doi:10.1007/s10781-006-9002-4. ISSN 0022-1791. 
  99. ^ Hacker, Paul (2006-07-26). "Dharma in Hinduism". Journal of Indian Philosophy. 34 (5): 479–496. doi:10.1007/s10781-006-9002-4. ISSN 0022-1791. 
  100. ^ a b c d e Hiltebeitel, Alf (2011). Dharma : its early history in law, religion, and narrative. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-539423-8. OCLC 650019987. 
  101. ^ Aššur-dān II. University of Toronto Press. 1996-12-31. hlm. 131–141. 
  102. ^ Trautmann, Thomas R. (1964-07). "On the Translation of the Term Varna". Journal of the Economic and Social History of the Orient. 7 (2): 196. doi:10.2307/3596240. ISSN 0022-4995. 
  103. ^ Buitenen, J. A. B. Van (1957-04). "Dharma and Moksa". Philosophy East and West. 7 (1/2): 33. doi:10.2307/1396832. ISSN 0031-8221. 
  104. ^ The place of Hindu law in India. The dilemma of modern reformers. BRILL. 1973-01-01. hlm. 1–7. 
  105. ^ Lang, Karen (1996-08). "The Āśrama System: The History and Hermeneutics of a Religious Institution. By Patrick Olivelle. New York: Oxford University Press, 1993. xxii, 274 pp. $49.95 (cloth)". The Journal of Asian Studies. 55 (3): 762–763. doi:10.2307/2646495. ISSN 0021-9118.