Lompat ke isi

Kesultanan Serdang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 117: Baris 117:


=== Kepala Adat Kesultanan Serdang ===
=== Kepala Adat Kesultanan Serdang ===
* [[1960]]-[[2001]] Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifullah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Sultan dan Pemangku Adat
* [[1960]]-[[2001]] Tuanku Abu Nawar Sharifullah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Sultan dan Pemangku Adat
* [[2002]]-[[2011]] Sri Sultan Tuanku Luckman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Kepala Adat Kesultanan Serdang.
* [[2002]]-[[2011]] Tuanku Luckman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Kepala Adat Kesultanan Serdang.
* [[2011]] Sri Sultan Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Tuanku Abunawar Shariful Alam, Kepala Adat Kesultanan Serdang
* [[2011]] Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Abunawar Shariful Alam, Kepala Adat Kesultanan Serdang


== Kehidupan Sosial-Budaya ==
== Kehidupan Sosial-Budaya ==

Revisi per 29 Desember 2022 10.43

Negeri Kesultanan Serdang Darul Arif

ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ سردڠ
1723–Sekarang
Bendera Kesultanan Serdang
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Wilayah Kesultanan Serdang pada 1930 (pada peta berwarna jingga)
Wilayah Kesultanan Serdang pada 1930 (pada peta berwarna jingga)
Ibu kotaPerbaungan
Bahasa yang umum digunakanMelayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan dibawah Kedatukan
Sultan 
• 1723–1782
Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah
• 1879–1946
Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah
• 2002–2011
Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II
• 2011–Sekarang
Sultan Achmad Thalaa Shariful Alam Shah
Sejarah 
• Pendirian
1723
1946 Sekarang
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Deli
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1945.[1] Kesultanan ini berpisah dari Deli dan menjadi subjek federal baru Negara Kedatukan Sunggal setelah sengketa takhta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di Sumatra Timur, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.

Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam Revolusi Sosial Sumatra Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik. Namun, berbeda dengan yang terjadi di beberapa kesultanan Sumatra Timur, karena Sultan dan pejabat kesultanan ketika itu merupakan pendukung Republik, maka tidak terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa di Serdang, dan istana Kesultanan Serdang tidak menjadi sasaran penjarahan massa.[1]

Institusi Kesultanan Serdang masih berdiri sampai sekarang, serta masih melestarikan adat istiadatnya secara turun temurun, meski sudah tidak memiliki kekuasaan dalam politik dan pemerintahan. Namun, dalam hal-hal tertentu, pemerintah juga mengambil keputusan bersama dengan pihak kesultanan, khususnya mengenai masalah sosial dan kebudayaan. Bekas wilayah Kesultanan Serdang kini menjadi Kabupaten Serdang Bedagai dan sebagian Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.[2]

Sejarah

Pendirian Kesultanan Deli

Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Suku Karo yang sudah sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.[2]

Kemelut di tubuh Kesultanan Deli

Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putra tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putra kedua, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih takhta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.[2]

Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putra garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka dua Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.[2]

Periode Pemerintahan

Istana Darul Arif di Kota Galuh, Perbaungan, Serdang Bedagai pada tahun 1930-an. Istana tersebut hancur pada saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947.[1]

Penggabungan dengan Perbaungan

Pemerintahan Kesultanan Serdang berlangsung selama lebih dari dua abad, sejak tahun 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa lima orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Alma Shah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Alam Shah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Pada masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kesultanan Serdang dan Perbaungan. Dikisahkan, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.[2]

Putra Ainan Johan Alam Shah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut takhta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat), dan kemudian diberi gelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putra mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putra mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyar Shah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama, yaitu Tengku Besar.[2]

Sultan Thaf Sinar Basyar Shah

Ketika Sultan Johan Alam Shah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basar Shah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putra, namun putranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putra tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.[2]

Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia

Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda dan selama tiga setengah tahun berada di bawah pendudukan Jepang, akhirnya, pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di bulan Desember 1945, Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah yang ketika itu sudah berusia lanjut mengirimkan telegram kepada pemerintah pusat Indonesia yang menyatakan bahwa Kesultanan Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1][2]

Struktur Pemerintahan

Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah (memerintah 1879-1946).
Tuanku Luckman Sinar Bashar Shah II (memerintah 2002-2011).
Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah (memerintah sejak tahun 2011).

Raja Pertama

Struktur tertinggi di Kesultanan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:[2]

  1. Sebagai Kepala Pemerintahan Kesultanan Serdang.
  2. Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
  3. Sebagai Kepala Adat Melayu

Lembaga Orang Besar Berempat

Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Alma Shah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:[2]

  1. Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
  2. Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
  3. Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
  4. Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia)

Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.

Sultan Ainan Johan Almashah memperkukuh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kukuhnya 4 kaki binatang dan asas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu, yaitu suami, istri, anak beru (menantu), dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.[2]

Jabatan Lainnya

Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.[2]

Penguasa/Sultan

Penguasa Kejuruan Junjungan (Ujong)

  • 1723-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah bin Tuanku Panglima Paderap (Kejeruan Junjungan), Raja Serdang
  • 1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Umar (Al-Marhum Kacapuri), Raja Serdang

Sultan Serdang

  • 1822-1851 Sultan Thaf Sinar Basyar Shah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah (Al-Marhum Besar), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
  • 1851-1879 Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah (Al-Marhum Kota Batu), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
  • 1879-1946 Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din (Al-Marhum Perbaungan), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang

Kepala Rumah Tangga Kesultanan Serdang

  • 1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang

Kepala Adat Kesultanan Serdang

  • 1960-2001 Tuanku Abu Nawar Sharifullah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Sultan dan Pemangku Adat
  • 2002-2011 Tuanku Luckman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Kepala Adat Kesultanan Serdang.
  • 2011 Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Abunawar Shariful Alam, Kepala Adat Kesultanan Serdang

Kehidupan Sosial-Budaya

Istana Kesultanan Serdang yang baru di Melati Kebun, Pegajahan, Serdang Bedagai. Pembangunan istana ini diprakarsai oleh Sultan Luckman Sinar Bashar Shah II serta pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, dan diresmikan pada 7 Januari 2012.

Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Shah.[2]

Catatan Utusan Kerajaan Inggris

Pada masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang tahun 1823, ia mencatat:[2]

  1. Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
  2. Sultan Thaf Sinar Basyar Shah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
  3. Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatra (orang Alas) yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
  4. Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
  5. Cukai di Serdang cukup moderat.

Pepatah Melayu

Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:[2]

  • secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang dalam diperlihara ikan;
  • genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
  • cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras maka pembangunan terlaksana);
  • hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).

Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Shah ini amat berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk Melayu (agama Islam). Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat pada tahun 1850, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan untuknya dengan gelar Marhom Besar.[2]

Lihat Pula

Rujukan

Referensi

Pranala luar